Sabtu, 24 Desember 2011

SAAT MULAI BERLAKUNYA PENGANGKATAN ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS MENURUT UUPT

Perihal pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan Terbatas diatur dalam pasal 94 dan 95 UU No. 40 tahun 2007 (UUPT) untuk pengangkatan anggota  Direksi dan Pasal 111 dan 112 UUPT untuk pengangkatan angota Dewan Komisaris.

Pasal  94 ayat 1 dan pasal 111 ayat 1 UUPT menentukan anggota Direksi atau Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS. RUPS untuk melakukan pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris sah apabila dihadiri lebih dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS (Pasal 86 ayat 1 UUPT). Pengambilan keputusan untuk pengangkatan tersebut dilakukan secara musyawarah dan jika musyawarah tidak tercapai maka keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS (Pasal 87 UUPT).   

Keputusan RUPS mengenai pengangkatan anggota Direks atau Dewan komisaris tersebut sekaligus menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut.Apabila RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut maka pengangkatan anggota Direksi atau Dewan Komisaris tersebut MULAI BERLAKU SEJAK SAAT DITUTUPNYA RUPS (Pasal 94 ayat 5 dan ayat 6  dan Pasal 111 ayat 5 dan ayat 6 UUPT)

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa saat mulai berlakunya  pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan adalah SEJAK SAAT YANG DITENTUKAN DALAN RUPS atau jika RUPS tidak menentukan  SEJAK SAAT DITUTUPNYA RUPS.

Selanjutnya jika terjadi perubahan anggota Direksi maupun Dewan Komisaris Perseroan maka Direksi wajib memberitahukan perubahan anggota Direksi tersebut kepada Menteri (Menkumham) untuk dicatat dalam Daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)  hari  terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut (Pasal 94 ayat 7 dan pasal 111 ayat 7 UUPT).

Apa akibatnya jika Direksi tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan pemberitahuan tersebut ?

Jika Direksi tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan pemberitahuan tersebut maka akibatnya adalah Menteri akan menolak setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi yang belum tercatat dalam Daftar Perseroan (Pasal 94 ayat 8 UUPT) atau Menteri menolak satiap pemebritahuan perubahan anggota Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi (Pasal 111 ayat 8 UUPT) .     

Jadi jelas dalam hal terjadi perubahan anggota Direksi dan Dewan Komisaris dan perubahan tersebut tidak diberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,  akibatnya hanya sebatas penolakan oleh Menteri terhadap setiap permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar tertentu  serta  penolakan atas pemberitahuan atas perubahan anggaran dasar dan perubahan data perseroan yang disampaikan oleh Direksi yang belum tercatat dalam Daftar Perseroan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang tidak atau belum diberitahukan kepada Menteri tersebut tetap sah dan berwenang untuk melakukan perbuatan     hukum  ?

Melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 94 dan 111 UUPT tersebut diatas, tidak atau belum diberitahukannya perihal pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris kepada Menteri tidak  mengakibatkan tidak berlakunya pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris oleh RUPS. Pengangkatan tersebut tetap sah dan mulai berlaku sejak saat yang ditentukan dalam RUPS atau sejak ditutupnya RUPS (jika RUPS tidak menentukan mulai berlakunya pengangkatan) sekalipun belum ada pemberitahuan kepada Menteri. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut tetap sah dan berlaku dan berwenang menjalankann tugas dan jabatannya dan dapat melakukan perbuatan hukum sesuai kewenagannya.  

Anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang diangkat oleh RUPS tersebut, terhitung sejak saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut (sejak saat yang ditetapkan dalam RUPS atau sejak saat ditutupnya RUPS jika RUPS tidak menetapkan hal tersebut) telah berwenang  untuk melakukan perbuatan hukum sesuai fungsi dan tugasnya yang ditetapkan dalam UUPT dan atau AD Perseroan. 

Jumat, 23 Desember 2011

PEMINDAHAN HAK ATAS KEKAYAAN YAYASAN


Pemindahan hak atas kekayaan Yayasan harus memperhatikan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 16 tahun 2001 yo UU Nomor 28 tahun 2004 ("UU Yayasan"). Prinsipnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Yayasan, pemindahan hak atas kekayaan Yayasan dilakukan oleh Pengurus Yayasan dengan persetujuan dari Pembina Yayasan.    Syarat dan ketentuan lainnya berkaitan dengan hal tersebut harus memperhatikan lebih lanjut ketentuan yang ada dalam AD Yayasan. misalnya siapa yang berwenang mewakili Pengurus dan bagaimana bentuk persetujuan yang diberikan oleh Pembina.

Pasal 5 UU Nomor 16 tahun 2001 menentukan "Kekayaan  Yayasan  baik  berupa  uang,  barang,  maupun  kekayaan  lain  yang  diperoleh  Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada  Pembina,  Pengurus,  Pengawas,  karyawan,  atau  pihak  lain  yang  mempunyai  kepentingan terhadap Yayasan". 

Ketentuan tersebut kemudian diubah berdasarkan UU No. 28 tahun 2004, sehingga ketentuan pasal 5 tersebut selanjutnya berbunyi:
 “Pasal 5
(1)  Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang     diperoleh Yayasaberdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, pengurus dan Pengawas.
(2) Pengecualian  atas  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  dapat  ditentukan  dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal pengurus Yayasan :
a.    bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan
b melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.
       (3Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat
             (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan."

Dengan melihat ketentuan pasal 5 UU Yayasan tersebut maka kekayaan Yayasan dalam bentuk apapun dilarang untuk dialihkan kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan. 

Dengan melihat bunyi Pasal 5 UU Yayasan tersebut, terdapat perubahan di dalamnya, dimana larangan pengalihan kekayaan Yayasan yang semula termasuk juga yang dilarang adalah mengalihkan kekayaan Yayasan kepada pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadapa Yayasan, kemudian larangan tersebut telah dihapus.

Dengan tidak terdapatnya ketentuan mengenai larangan pengalihan kekayaan Yayasan kepada pihak lain (khususnya pihak lain yang mempeunyai kepentingan terhadap Yayasan), apakah berarti kekayaan Yayasan boleh  dialihkan kepada pihak lain?

Menurut penulis karena tidak terdapat larangan untuk mengalihkan kekayaan Yayasan  kepada pihak lain maka pada prinsipnya hal tersebut boleh dilakukan.      Akan tetapi pengalihan kekayaan Yayasan kepada pihak lain tersebut disamping harus memperhatikan syarat formalitas yang ditetapkan dalam UU Yayasan dan AD Yayasan, misalnya harus meperoleh persetujuan dari Dewan Pembina, juga haruslah memperhatikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terdapat  di dalam UU Yayasan serta Anggaran Dasar.

Prinsip dan ketentuan utama yang harus diperhatikan adalah prinsip yang terdapat di dalam Pasal 26 ayat 4 UU Yayasan, yang menetukan "Kekayaan Yayasan ... dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan." 

Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 ayat 4 UU Yayasan tersebut, menurut penulis pengalihan kekayaan Yayasan kepada pihak lain hanya boleh dilakukan apabila pengalihan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. 

Pertanyaan selanjutnya, apakah boleh kekayaan Yayasan  dihibahkan kepada pihak lain?

Jika melihat prinsip yang tercantum dalam Pasal 26 ayat 4 UU Yayasan tersebut, menurut penulis kekayaan Yayasan tidak boleh dihibahkan kepada pihak lain, kecuali pemberian hibah tersebut dilakukan dalam rangka untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

Tks

Mohon masukan dan sarannya.
Smoga bermanfaat





                      


Sabtu, 10 Desember 2011

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA/HARTA GONO GINI

Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") maka segala harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinan (harta bawaan) dan segala harta yang diperoleh dari warisan atau hadiah berada dibawah pengusaan masing-masing pihak yang membawa atau memperoleh harta tersebut (merupakan harta pribadi pihak yang membawa atau memperoleh harta tersebut), sedangkan segala harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama atau harta gono gini para pihak.

Penyimpangan terhadap ketentuan mengenai harta benda perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan tersebut hanya dapat dilakukan dengan membuat perjanjian perkawinan.   

Pemisahan dan pembagian atas harta bersama (harta gono gini) tersebut dapat dilakukan selama perkawinan atau setelah bubarnya perkawinan.

Pemisahan dan pembagian atas harta bersama (harta gono gini) selama berlangsungnya perkawinan hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan hakim sesuai ketentuan pasal 186 - 198 KUHPerdata.

Pemisahan dan Pembagian atas harta bersama (harta gono gini) yang dilakukan berkaitan dengan bubarnya perkawinan, dilakukan dalam hal perkawinan bubar karena adanya percerian. Pemisahan dan pembagian tersebut  dilakukan setelah putusan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap.

Untuk melakukan pemisahan dan pembagian harta bersama (harta gono gini) tersebut dilakukan dengann membuat akta Pemisahan dan Pembagian Harta Perkawinan. Di dalam akta tersebut diuraikan semua harta benda yang terdapat dalam perkawinan dengan memerinci status masing-masing harta yang meliputi harta pribadi mantan suami, harta pribadi mantan isteri dan harta bersama (harta gono gini).

Harta Bersama (harta gono gini) dibagi dua diantara mantan suami dan mantan isteri masing-masing untuk 1/2 (setengah) bagian yang sama besarnya dan mereka menetapkan secara musyawarah harta-harta yang mana menjadi bagian mantan suami atau mantan isteri. 

Di dalam akta pemisahan dan pembagian tersebut juga dicantumkan pemberian kuasa dan persetujuan  dari mantan suami kepada mantan isteri atau sebaliknya untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan sehubungan dengan harta yang menjadi hak baginannya, misalnya untuk melakukan pembuatan akta pembagian hak bersama, untuk menjual dan lain-lain.  

Setelah dibuatnya akta pemisahan dan pembagian tersebut, sepanjang menyangkut harta beruapa tanah maka harus ditindaklanjuti dengan pembuatan akta Pembagian Hak Bersama (APHB) dihadapan PPAT agar tanah yang bersangkutan dapat dibalik nama ke atas nama pihak yang memperoleh tanah tersebut.

Untuk melakukan pemisahan dan pembagian harta bersama (harta gono gini)  tersebut, apabila mantan suami memiliki lebih dari seorang isteri maka pemisahan dan pembagian harta bersama (harta gono gini) tersebut  hanya dilakukan terhadap harta bersama (harta gono gini) antara mantan suami dengan seluruh isterinya serta harta bersama mantan suami dengan mantan isteri yang perkawinannya bubar karena perceraian. harta bersama antara mantan suami dan seluruh isterinya tersebut tentunnya menjadi hak mantan suami dan isteri-isterinya. Jadi dalam hal ini yang dikeluarkan menjadi hak bagian mantan isteri adalah yangb bersala dari hak isteri-isteri tersebut. 
Misalnya harta bersama antara mantan suamis dan isteri-isterinya sebesar 600 maka mantan suami  memperoleh 300 dan istrei-isteri memperoleh 300. Dari bagian isteri-isteri sebesar 300 ini  hak mantan isteri dikeluarkan misalnya terdapat 3 (tiga) isteri maka yang dikeluarkan adalah sebesar 100.
Dalam hal ini pemisahan dan pembagian tersebut harus turut disetujui oleh isteri-isteri yang lain.

Sering juga terjadi dalam praktek mantan suami menyerahkan sebagian besar harta yang termasuk dalam harta bersama  (harta gono gini ) tersebut kepada mantan isterinya. Apakah hal tersebut diperbolehkan?. 

Jika melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada memang tidak ada larangan atas hal tersebut. Karena tidak ada larangan maka menurut saya hal tersebut boleh saja dilakukan dan hal tersebut termasuk dalam perbuatan pemberian hibah dari mantan suami kepada mantan isteri. Karena hal tersebut termasuk dalam perbuatan pemberian hibah maka menurut saya sebaiknya di dalam melakukan hal tersebut turut disetujui oleh anak-anak mereka. Jika dalam perkawinan tersebut tidak ada anak maka sebaiknya turut disetujui oleh orang tua dan  saudara-saudara dari mantan suami tersebut. . 

Selasa, 25 Oktober 2011

PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS (UUPT)

1. AKTA PEMINDAHAN HAK

Pemindahan hak saham dilakukan dengan AKTA PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM (pasal 56 ayat 1)

Akta Pemindahan Hak Atas Saham tersebut dapat di buat dalam bentuk akta dibawah tangan atau akta otentik (akta notaries).

Akta pemindahan hak atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan. ( Pasal 56 ayat 2)

2. WAJIB DICATAT DALAM DAFTAR PEMEGANG SAHAM (DPS).

Direksi wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus. (pasal 56 ayat 3)

AKIBATNYA JIKA TIDAK DI CATAT DALAM DPS

Jika perubahan kepemilikan saham tersebut tidak dicatat dalam DPS maka pemilik/pemegang hak yang baru (pembeli) belum mmepunyai hak-hak sebgaiamana dimaksud dalam Pasal 52 ayat 1 (Pasal 52 ayat 2), yaitu :

a. Hak untuk menghadiri dan mengelurkan suara dalam RUPS;
b. Menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c. Menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT.

Adanya akibat hokum sebagaiumana dimaksud dalam pasal 52 ayat 2 UUPT tersebut tentunya harus sangat diperhatikan oleh Para Notaris dalam kaitan pembuatan akta-akta PT khususnya menyangkut pembuatan akta RUPS, PKR, PKPS dan akta Jual Beli Saham.

3. PERSYARATAN MENGENAI PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM

Dalam AD dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu :

a. Keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; da/atau
c. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(Pasal 57 ayat 1)

Persyaratan tersebut tidak berlaku dalam hal pemindahan hak atas saham disebabkan peralihan hak karena hukum, kecuali keharusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berkenaan dengan pewarisan. (Pasal 57 ayat 2)

Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga. (Pasal 58)

4. PERSETUJUAN PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM OLEH ORGAN PERSEROAN

Untuk melakukan pemindahan hak atas saham harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUPT maupun AD PT ybs.

Untuk melakukan pemindahan hak atas saham diperlukannya persetujuan dari Organ Perseroan, misalnya Persetujuan RUPS atau Persetujuan Dewan Komisaris, jika memang AD PT ybs menetapkan harus adanya persetujuan tersebut. Sehingga apabila AD PT tidak menentukan diperlukannya persetujuan dari Organ Perseroan maka persetujuan tersebut tidak diperlukan.Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat 1 UUPT.

Jika AD PT mensyaratkan untuk pemindahan hak atas saham tersebut harus memperoleh persetujuan dari Organ Perseroan maka pemberian persetujuan pemindahan hak atas saham tersebut atau penolakannya HARUS DIBERIKAN SECARA TERTULIS dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal Organ Perseroan menerima permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut. (pasal 59 ayat 1)

Jika jangka waktu tersebut telah lewat dan Organ Perseroan tidak memberikan pernyataan tertulis, Organ Perseroan DIANGGAP MENYETUJUI pemindahan hak atas saham tersebut. (pasal 59 ayat 2)

Dalam pemindahan hak atas saham tersebut disetujui oleh Organ Perseroan, pemindahan hak harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan. (pasal 59 ayat 3)

5. WAJIB DIBERITAHUKAN KEPADA MENTERI

Direksi wajib MEMBERITAHUKAN perubahan susunan pemegang saham KEPADA MENTERI untuk dicatat dalam Daftar Perseroan.

KAPAN PEMBERITAHUAN TERSEBUT HARUS DILAKUKAN?

Pasal 56 ayat 3 UUPT memnetukan bahwa pemberitahuan tersebut wajib dilakukan oleh Direksi Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh ) hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak atas saham tersebut dalam DPS.

Sehubungan dengan ketentuan tersebut maka pemberitahuan tersebut wajib dilakukan oleh Direksi Perseroan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dicatat dalam DPS bukan sejak tanggal diadakannya RUPS untuk menyetujui pemindahan hak atas saham tersebut atau juga bukan sejak dibuatnya akta pemindahan hak.

KAPAN DIREKSI HARUS MENCATAT ADANYA PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM TERSEBUT DALAM DPS

UUPT tidak menentukan kapan Direksi wajib mencatat adanya pemindahan hak atas saham tersebut dalam DPS.

Tidak adanya tenggang waktu yang mewajibkan Direksi untuk mencatat perihal pemindahan hak atas saham tersebut dalam DPS dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum tersendiri.

DOKUMEN PENDUKUNG UNTUK MENYAMPAIKAN PERUBAHAN DATA PERSEROAN

Pasal 15 ayat 3 Per. Menkumham RI No M.HH-01.AH.01.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Penghesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas menentukan bahwa Dokumen Pendukung untuk pemberitahuan perubahan data dikarenakan adanya perubahan pemegang saham karena penglihan saham adalah:

1.. tembusan akta perubahan susunan pemegang saham yang meliputi nama dan jumlah saham yang dimilikinya dilengkapi dengan akta pemindahan hak atas saham yang diketahui oleh notaris sesuai dengan aslinya; dan

2. ringkasan akta perubahan nama pemegang saham karena pengalihan saham. (sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri tersebut … Lihat dibagian akhir tulisan ini).

APAKAH AKTA RISALAH RUPS MERUPAKAN SALAH SATU DOKUMEN PENDUKUNG YANG HARUS DISAMPAIKAN DALAM PEMBERITAHUAN PERUBAHAN DATA

Sebagaimana diuraikian di atas, untuk melakukan pemindahan hak atas saham diperlukan adanya persetujuan RUPS apabila AD PT ybs mensyaratkan hal tersebut.

Jika AD PT tidak mensyaratkan hal tersebut maka tentunya tidak perlu diadakan RUPS dan karenanya tidak ada akta Risalah RUPS.

Namun dengan adanya ketentuan Pasal 15 ayat 3 Peraturan Menkumham RI yang mensyaratkan adanya salah satu Dokumen Pendukung untuk penyampaian perubahan data karena pemindahan hak berupa “ Tembusan akta perubahan susunan pemegang saham yang meliputi nama dan jumlah saham yang dimilikinya dilengkapi …” disamping “… akta pemindahan hak atas saham yang diketahui oleh notaris sesuai dengan aslinya”, mau tidak mau di dalam praktek sebelum dilakukannya pembuatan akta jual beli saham maka terlebih dahulu diadakan RUPS dan dibuatlah Risalah RUPS yang didalamnya berisikan persetujuan penjualan saham sekaligus menyebutkan nama-nama para pemegang saham dan jumlah saham yang dimiliki.

DPS BUKAN MERUAPAKAN DOKUMEN PENDUKUNG YANG WAJIB DILAMPIRKAN UNTUK PEMBERITAHUAN PERUBAHAN DATA

Apabila kita berpegang pada ketentuan pasal 56 ayat 3 UUPT yang menentukan jangka waktu penyampaian pemberitahuan pemindahan hak atas saham kepada Menteri dihitung dari dicatatnya pemindahan hak tersebut oleh Direksi Perseroan dalam DPS maka seharusnya DPS merupakan salah satu dokumen pendukung yang wajib ada dan disampaikan untuk keperluan perubahan data dan juga menjadi dasar untuk melakukan input data dalam system SABH.

AKIBATNYA JIKA TIDAK DIBERITAHUKAN

Jika pemberitahuan kepada Menteri tersebut belum dilakukan, Menteri MENOLAK PERMOHONAN persetujuan atau pemberitahuan YANG DILAKSANAKAN BERDASARKAN SUSUNAN DAN NAMA PEMEGANG SAHAM YANG BELUM DIBERITAHUKAN tersebut.
(pasal 56 ayat 4)

Sekian. Semoga bermanfaat. Mohon koreksi teman-teman

Jakarta, 25 Oktober 2011

Alwesius,SH, MKn
0815-8825-748










Lampiran III
RINGKASAN AKTA PERUBAHAN NAMA PEMEGANG SAHAM


Nama Perseroan: ...................................................................
Nomor akta notaris : ................
Tanggal akta notaris : ...............
Nama Notaris : .......................
Kedudukan Notaris ............
Tempat kedudukan Perseroan :



No Data Perseroan Yang Telah Diubah
Data diisi sesuai dengan data mengenai perubahan nama pemegang saham dan jumlah saham yang dimilikinya atau perubahan nama pemegang saham akibat pemegang saham yang bersangkutan telah ganti nama dilengkapai landasan hukumnya


Demikian ringkasan akta ini kami buat dengan ketentuan bahwa :
1. ringkasan akta ini telah sesuai dengan isi akta yang telah kami buat;
2. perubahan anggaran dasar ini telah dilakukan sesuai dengan ketentuan kuorum dan tata cara rapat yang ditentukan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan;
3. susunan pemegang saham/Direksi dan Dewan Komisaris dari Perseroan yang melakukan perubahan Data Perseroan ini telah sesuai dengan data terakhir yang diberitahukan oleh Perseroan dan telah dicatat oleh Menteri.

Nama kota, tanggal bulan tahun
Tanda tangan notaris diatas materai 6000
Nama notaris


PELATIHAN BAGI CALON PESERTA UJIAN PPAT DI MEDAN

Pelatihan calon peserta ujian PPAT oleh "INP" JAKARTA , di MEDAN, "HOTEL GRAND SWISS-BEL", Jl. S.Parman No. 217, pd tgl 12 - 13 NOPEMBER 2011, jam 08.30 sampai jam 16.00, semua materi dan latihan tanya jawab soal ujian.(Dpt Modul). Biaya : Utk pendaftaran s.d tgl 15 OKTOBER (Rp. 1.500.000.-,), 16 - 31 OKTOBER 2011 (Rp. 2.000.000.-). transfer ke Rek BCA No. 5735062449 a.n Alwesius.Hub. Sekretariat INP Jakarta : Herry (08161196555-telp 021-3100337), Medan : Notaris JULITA SAGALA, SH, MKn, (HP: 081361597888), Bukti transfer fax ke 021-3142207 , Sekretariat "INP" Jakarta, Jl. Kramat Raya No. 23 J, Jakarta Pusat, Tulis Nama Peserta dan No. HP. Setelah transfer sms ke 0815-8825-748 untuk konfirmasi pendaftaran dan asli bukti transfer dibawa pada saat pelaksanaan untuk daftar ulang .

Tks.
Alwesius
08158825748

Julita Sagala,SH,MKn
081361597888

Jumat, 14 Oktober 2011

MATERI PEMBAHASAN PADA PELATIHAN BAGI CALON PESERTA UJIAN PPAT



MATERI PELATIHAN BAGI CALON PESERTA UJIAN PPAT
‘INP” JAKARTA
ALWESIUS, SH, MKn
                                                                                              

MATERI I : HUKUM PERTANAHAN NASIONAL



I.          BEBERAPA KETENTUAN HUKUM TANAH YANG LAMA                 (HUKUM TANAH SEBELUM BERLAKUNYA UUPA)

1.         AGRARISCHE WET (S.1870 :55) DAN AGRARISCHE                      BESLUIT (S.1870 :118).
2.         LARANGAN PENGASINGAN TANAH (GROND                    VERVREEMDINGS VERBOD) (S.1879 NO.179).
3.         TANAH PARTIKELIR.


II.         HUKUM TANAH NASIONAL (HUKUM TANAH YANG                     BERLAKU SEJAK 24 SEPTEMBER 1960)


1.    PENGERTIAN HUKUM TANAH NASIONAL (HTN)
2.    MULAI BERLAKUNYA HTN
3.         UU YANG MENGATUR HTN
4.         TUJUAN POKOK UUPA
5.         KONSEPSI HTN
6.         FUNGSI UUPA


III.       HUBUNGAN FUNGSIONAL  ANTARA HUKUM
        ADAT   DAN HUKUM TANAH NASIONAL

1.         ARTI HUBUNGAN FUNGSIONAL
2.         FUNGSI HUKUM ADAT BAGI HUKUM TANAH NASIONAL
3.         KONSEPSI.
4.         ASAS-ASAS.
5.         LEMBAGA-LEMBAGA.


IV.       HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

1.        MACAMNYA.
2.        HAK BANGSA INDONESIA.
3.        HAK MENGUASAI NEGARA.
4.        HAK ULAYAT.

V.        HAK ATAS TANAH.

1.        PENGERTIAN HAK ATAS TANAH.
2.        FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH.
3.        MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH.
4.        PENGERTIAN HAK MILIK, HGU, HGB DAN HAK PAKAI
5.        SUBYEK HAK ATAS TANAH.
6.        SUBYEK TIDAK LAGI MEMENUHI SYARAT.
7.        HAK MILIK YANG DIPUNYAI OLEH ORANG ASING.
8.        PEMILIKAN RUMAH TEMPAT TINGGAL/HUNIAN                                    OLEH ORANG ASING        (PP NO. 41/1996).
9.        PERKAWINAN CAMPUR ANTARA WNI (PEMEGANG                                            HAK MILIK) YANG TUNDUK PADA KUHPERDATA                                       DAN WNA.
10.     JANGKA WAKTU HAK ATAS TANAH.
11.     TERJADINYA/LAHIRNYA HAK.
12.     TANAH-TANAH DIMANA HAK-HAK ATAS TANAH DAPAT DIBERIKAN.
13.     HAK PENGELOLAAN.
14.     KEWAJIBAN PEMEGANG HAK TERHADAP MASYARAKAT                              YANG ADA DIBELAKANGNYA.


VI.       KETENTUAN MENGENAI KONVERSI

VII.      TATA CARA MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH

A.         TATA CARA MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH DI                                 ATAS TANAH NEGARA

B.         PEMBERIAN HAK MILIK UNTUK KEPERLUAN                                 RUMAH TINGGAL.

C.         PERUBAHAN HAK MILIK MENJADI HGB ATAU                                            HAK PAKAI DAN PERUBAHAN HGB MENJADI HAK PAKAI.

VIII.    PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM.

IX.       IZIN LOKASI 

X.        JUAL BELI TANAH.  

1.        PENGERTIAN.
2.        SAHNYA JUAL BELI.
3.        JUAL BELI “HARUS” DILAKUKAN DIHADAPAN PPAT.
4.        BLANKO AKTA PPAT.
5.        JUAL BELI DIBAWAH TANGAN (TIDAK DIHADAPAN                               PPAT).
6.        JUAL BELI DI BAWAH TANGAN YANG DAPAT                                  DIDAFTAR.
7.        SAKSI DALAM JUAL BELI
8.        AKTA JUAL BELI.
9.        FUNGSI PENDAFTARAN JUAL BELI.
10.      IZIN PEMINDAHAN HAK
11.     PAJAK.
12.     KEWAJIBAN PPAT SETELAH PENANDATANGAN PPAT
13.     SURAT KUASA MUTLAK DALAM JUAL BELI.

XI.       PENGETAHUAN MENGENAI RUMAH SUSUN.

1.        DASAR HUKUM.
2.        TANAH DI MANA RUMAH SUSUN DAPAT DIDIRIKAN.
3.        PENGERTIAN HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH                             SUSUN.
4.        UNSUR-UNSUR HAK MILIK ATAS RUMAH SUSUN.
5.        HAK BERSAMA DALAM PEMILIKAN SRS.
6.        PERTELAAN.
7.        AKTA PEMISAHAN.
8.        IZIN LAYAK HUNI.
9.        NILAI PERBANDINGAN PROPORSIONAL.
10.     TANDA BUKTI KEPEMILIKAN.
11.     PROSES PEMBANGUNAN SAMPAI DENGAN                                PENERBITAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS                                        SATUAN RUMAH SUSUN.
12.     JUAL BELI HAK MILIK ATAS SRS.
13.     PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN.

XII.      PENGETAHUAN MENGENAI HAK TANGGUNGAN.

1.        DASAR HUKUM.
2.        HAK JAMINAN ATAS TANAH.

3.        SYARAT AGAR TANAH DAPAT MENJADI OBYEK HAK TANGGUNGAN
4.        OBYEK HAK TANGGUNGAN.
5.        HAK TANGGUNGAN TIDAK DAPAT DIBAGI-BAGI
6.        ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DIKAITKAN DENGAN PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH

7.        SATU OBYEK HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANI                            LEBIH DARI SATU HAK TANGGUNGAN.
8.        UTANG YANG DIJAMIN.
9.        SATU OBYEK HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANI                            LEBIH DARI SATU HAK TANGGUNGAN.
10.     HAK TANGGUNGAN MEMPUNYAI SIFAT ACCESSOIR
11.     TAHAP PEMBEBAN HAK TANGGUNGAN.
12.     PENDAFTARAN HAK TANGGUNGAN.
13.     LAHIRNYA HAK TANGGUNGAN.
14.     SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN.
15.     HAK ISTIMEWA PEMEGANG HAK TANGGUNGAN.
16.     PERALIHAN HAK TANGGUNGAN.
17.     EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN.
18.     PEMBERI HAK TANGGUNGAN DINYATAKAN PAILIT
19.     HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN.
20.     ROYA HAK TANGGUNGAN.
21.     ROYA PARTIAL.
22.     SURAT KUASA UNTUK MEMBEBANKAN HAK                                          TANGGUNGAN.
23.     CIRI-CIRI LEMBAGA JAMINAN YANG BAIK.


XIII.    PENGETAHUAN MENGENAI LENDREFORM
XIV.    REFORMA AGRARIA




MATERI II : PENDAFTARAN TANAH



1.         DASAR HUKUM
2.         PENDAFTARAN TANAH MENURUT PASAL 19 UUPA                            MERUPAKAN SUATU RECHT KADASTER.
3.         KADASTER YANG MEMPUNYAI KEKUATAN BUKTI.
4.         PEMBAHARUAN DALAM PP-24/1997.
5.         ASAS-ASAS  DALAM  PENDAFTARAN TANAH
6.         TUJUAN PENDAFTARAN TANAH.
7.         SISTEM PENDAFTARAN TANAH.
8.         SISTEM PUBLIKASI.
9.         PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH
10.      CARA PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH                                  UNTUK PERTAMA KALI MENURUT PP-24/1997.
11.      WILAYAH-WILAYAH YANG DIUTAMAKAN UNTUK                                             PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA                          SISTEMATIK.
12.      SUSUNAN PANITIA AJUDIKASI.
13.      OBYEK PENDAFTARAN TANAH.
14.      SATUAN WILAYAH TATA USAHA PENDAFTARAN TANAH.
15.      PENETAPAN BATAS SECARA DELIMITATIE                               CONTRADICTOIR.
16.      HAK BARU DAN HAK LAMA MENURT PP 24/1997.
17.      PEMBUKTIAN HAK LAMA.(ASAL KONVERSI HAK                                    MILIK ADAT DAN HAK EIGENDOM).
18.      KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA                         KALI SAMPAI TERBITNYA SERTIPIKAT (HAK LAMA).
19.      PENGUMUMAN DALAM RANGKA PENDAFTARAN                             PERTAMA KALI.
20.      PENEGASAN KONVERSI DAN PENGAKUAN HAK.
21.      SERTIPIKAT SEBAGAI TANDA BUKTI HAK.

a.         KEKUATAN BUKTI SERTIPIKAT HAK ATAS                                    TANAH.
b.         PENERBITAN SERTIPIKAT.
c.         PENERBITAN SERTIPIKAT ATAS NAMA                                  BEBERAPA ORANG.

22.      KEGIATAN PEMELIHARAN DATA PENDAFTARAN                                TANAH.
23.      PENDAFTARAN PERALIHAN HAK KARENA JUAL BELI  (PEMINDAHAN HAK LAINNYA)
24.      PENDAFTARAN PERALIHAN HAK KARENA PEWARISAN.               
25.      PERALIHAN HAK KARENA PENGGABUNGAN PERUSAHAAN
26.      PEMECAHAN, PEMISAHAN DAN PENGGABUNGAN                           TANAH.
A.         PEMECAHAN.
B.         PEMISAHAN.
C.         PENGGABUNGAN


27.      PENDAFTARAN PERALIHAN HAK TANGGUNGAN.                                    
28.      PENERBITAN SERTIPIKAT PENGGANTI KARENA                                      SERTIPIKAT HILANG.                                            
29.      PENOLAKAN PENDAFTARAN OLEH KEPALA KANTOR PERTANAHAN
30.      CATUR TERTIB PERTANAHAN
31.      SURVEYOR BERLISENSI



MATERI III ; PERATURAN JABATAN PPAT.



1.         DASAR HUKUM.
2.         PENGERTIAN PPAT.
3.         MACAM PPAT.
4.         KEWENANGAN PPAT.     
5.         AKTA-AKTA OTENTIK YANG DIBUAT OLEH PPAT.                                       
6.         TUGAS POKOK PPAT 
7.         FUNGSI PPAT.
8.         PPAT HANYA BERWENANG MEMBUAT AKTA ATAS TANAH/HM.a.SRS       YANG TERLETAK DIDALAM                                    WILAYAH KERJANYA.
9.         PENGANGKATAN PPAT
10.       DAERAH KERJA PPAT.  
11.       FORMASI PPAT. 
12.       PENYESUAIAN DAERAH KERJA KARENA PEMEKARAN                          WILAYAH.
13.       KEWAJIBAN PPAT SETELAH MEMPEROLEH SURAT PENGANGKATAN SEBAGAI PPAT.
14.       SUMPAH JABATAN PPAT/PPAT SEMENTARA.
15.       PPAT/PPAT SEMENTARA YANG BELUM MENGUCAPKAN                          SUMPAH JABATAN  DILARANG MENJALANKAN                              JABATANNYA SEBAGAI PPAT.                                                            
16.       KEWAJIBAN PPAT/PPAT SEMENTARA SETELAH                            MENGUCAPKAN SUMPAH.
17.       KANTOR PPAT.
18.       JAM KERJA PPAT
19.       STEMPEL PPAT.
20.       PAPAN NAMA.                                                                                                                          
21.       BLANKO AKTA
22.       PEMBUATAN AKTA PPAT HARUS DI KANTOR PPAT                                              
PENGECUALIANNYA:
23.       PEMBUATAN AKTA PPAT HARUS DIHADIRI OLEH                                               PARA PIHAK.    
    
                  Jika Dilanggar : 

24.       SAKSI-SAKSI.
25.       PENGECEKAN SERTIPIKAT.                                                                            
26.       AKTA PPAT HARUS DIBACAKAN OLEH PPAT.                                                     
27.       LARANGAN BAGI PPAT MENINGGALKAN KANTOR                                          TANPA CUTI.
28.       CUTI PPAT

a.        Macam Cuti
b.        Cuti Bagi PPAT Baru.    
                                                                      
29.       PPAT PENGGANTI.

a.        Pengangkatan PPAT Pengganti                                                                       (ps 31 PP 37/1998 jo   ps 38  Per.Ka.BPN 1/2006)
b.        Syarat Sebagai PPAT Pengganti.                                                           (ps 31 ayat 3 PP 37/1998 jo                                                                                      ps 38 ayat 5 Per.Ka.BPN 1/2006)
c.        Sumpah Jabatan PPAT Pengganti.                                                                      ( ps 41 ayat 1 Per.Ka.BPN 1/2006)

Pengeculiannya :  ( ps 41 ayat 2 Per.Ka.BPN 1/2006)

d.        Penerimaan Protokol PPAT.                                                                                
e.        PPAT Pengganti Bertanggung Jawab Secara Pribadi.               
f.         Ketentuan Yang Berlaku Terhadap PPAT Berlaku Pula Terhadap PPAT Pengganti.                                                                            
30.       CUTI PPAT KHUSUS DAN PPAT SEMENTARA.                                                         
31.       PPAT (TERMASUK CAMAT DAN KA. KANTOR PERTANAHAN) YANG SEDANG CUTI DILARANG MEMBUAT AKTA.                                                 
32.       ORANG-ORANG YANG DILARANG MENJADI PIHAK                                                       DALAM AKTA PPAT.
33.       PROTOKOL PPAT.
34.       BUKU DAFTAR PPAT.
35.       PENJILIDAN AKTA.
36.       BUNDEL WARKAH PENDUKUNG AKTA.                                                                        
37.       LAPORAN BULAN PPAT.
38.       JABATAN YANG BOLEH DAN DILARANG DIRANGKAP                                      OLEH PPAT.        PPAT BERHENTI MENJABAT SEBAGAI PPAT.
39.       PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PPAT.
40.       PENOLAKAN PEMBUATAN AKTA OLEH PPAT


41.        KEWAJIBAN PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA

1.       Sebelum Pembuatan Akta :
2.       Pada Saat Pembuatan Akta.
3.       Setelah Pembuatan Akta.








MATERI IV: ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN
BPN RI


1.         DASAR HUKUM
2.         KEDUDUKAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BPN adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang                                        berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden,                                        yang dipimpin Kepala BPN

3.         TUGAS BPN.  
4.         FUNGSI BPN    
5.         SUSUNAN ORGANISASI BPN     
6.         DEPUTI BIDANG SURVEI, PENGUKURAN DAN PEMETAAN                                 (DEPUTI I)

a)        PENGATURAN
b)        TUGAS (Pasal 10 Perpres 10/2006)
c)         FUNGSI (Pasal 11 Perpres 10/2006)
d)        SUSUNAN ORGANISASI (Pasal 12 Perpres 10/2006)

7.       DEPUTI BIDANG HAK ATAS TANAH DAN PENDAFTARAN                                       TANAH (DEPUTI II) YAITU DEPUTI YANG BERKAITAN                                                  DENGAN KE-PPAT-AN

a)        PENGATURAN
b)         TUGAS (Pasal 13 Perpres 10/2006)
c)         FUNGSI (Pasal 14 Perpres 10/2006 jo Pasal 164              Per.Ka.BPN 3/2006)
d)        SUSUNAN ORGANISASI  (Pasal 165 Per.Ka.BPN 3/2006)

8.         DEPUTI BIDANG PENGATURAN DAN PENATAAN             PERTANAHAN  (DEPUTI III) 

a)        PENGATURAN
             
-              Pasal 15 - 17 Perpres 10/2006
-              Pasal 226 - 289 Per.Ka.BPN 3/2006

b)        TUGAS (Pasal 16 Perpres 10/2006)
c)         FUNGSI (Pasal 17 Perpres 10/2006 jo                              Pasal 228 Per.Ka.BPN 3/2006)
d)        SUSUNAN ORGANISASI  (Pasal 229 Per.Ka.BPN 3/2006)

9.         DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN PERTANAHAN DAN                               PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (DEPUTI IV) 

a)        PENGATURAN
-       Pasal 18 - 20 Perpres 10/2006
-              Pasal 290 - 342 Per.Ka.BPN 3/2006

b)        TUGAS (Pasal 19 Perpres 10/2006)
c)       FUNGSI (Pasal 20 Perpres 10/2006 jo                                                    Pasal 292 Per.Ka.BPN 3/2006)

d)        SUSUNAN ORGANISASI   (Pasal 293 Per.Ka.BPN 3/2006)

10.      DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN DAN PENANGANAN                                                   SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN (DEPUTI V) 

a)        PENGATURAN
             
-              Pasal 21 - 23 Perpres 10/2006
-              Pasal 343 - 391 Per.Ka.BPN 3/2006

b)        TUGAS (Pasal 22 Perpres 10/2006)
c)         FUNGSI (Pasal 23 Perpres 10/2006 jo Pasal 345 Per.Ka.BPN 3/2006)
d)        SUSUNAN ORGANISASI(Pasal 346 Per.Ka.BPN 3/2006)


11.      KOMITE PERTANAHAN

a)        PENGATURAN

-              Pasal 35 - 41 Perpres 10/2006
-              Pasal 468 Per.Ka.BPN 3/2006

b)        TUJUAN PEMBENTUKAN
c)         TUGAS  (Pasal 36 Perores 10/2006)
d)        KETUA (Pasal 37 Perpres 10/2006
e)        KEANGGOTAAN

12.         KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL            PROPINSI

a)        PENGATURAN
             
Pasal 1 -  28 Per.Ka.BPN 4/2006 Tentang Organisas                                                            i dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan                         Nasional dan Kantor Pertanahan.

b)        KEDUDUKAN (Pasal 1 Per.Ka.BPN 4/2006
c)         TUGAS (Pasal 2 Per.Ka.BPN 4/2006)

d)        FUNGSI (Pasal 3  Per.Ka.BPN 4/2006

13.      KANTOR PERTANAHAN
 
a)        PENGATURAN
             
Pasal 28 - 60 Per.Ka.BPN 4/2006 Tentang Organisasi                                             dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan                            Nasional dan Kantor Pertanahan.

b)        KEDUDUKAN (Pasal 29 Per.Ka.BPN 4/2006
c)         TUGAS (Pasal 30 Per.Ka.BPN 4/2006)
d)        FUNGSI ( (Pasal 31  Per.Ka.BPN 4/2006)
e)        SUSUNAN ORGANISASI
f)         PELAYANAN KANTOR PERTANAHAN KEPADA MASYARAKAT



MATERI V:PEDOMAN PEMBUATAN AKTA PPAT
MATERI VI : KODE ETIK


MATERI VII:
TANYA JAWAB DAN PEMBAHASAN SOAL-SOAL UJIAN