Jumat, 26 Agustus 2011

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PARA PEMEGANG SAHAM DI LUAR RUPS (CIRCULATION RESOLUTION)


Dalam suatu perseroan terbatas keputusan pemegang saham dapat diambil melalui Rapat Umum Para Pemegang Saham (RUPS) maupun di luar RUPS.

Pasal 91 UU No. 40 tahun 2007 (UUPT) mementukan bahwa pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat diluar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.

Mekanisme atau cara pengambilan keputusan dim luar RUPS secara fisik dilakukan dengan cara:
1. mengirimkan secara tertulsi usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham; dan
2. usuk tersebut, disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham.

Persetujuan dari semua pemegang saham merupakan syarat mutlak keabsahan keputusan di luar RUPS. Tidak boleh satu pemegang sahampun yang tidak setuju.Jika ada pemegang saham yang tidak setuju atas keputusan tersebut maka mengakibatkan keputusan tersebut tidak sah.

Keputuasn di laur RUPS yang diambil oleh para pemegang saham tersebut meruapakan keputusan yang "mengikat" yaitu mempunyai kekuatan yang sama dengan keputusan yang diambil dalam RUPS.

Dalam pengambilan keputusan di luar RUPS, yang berlaku sebagai tanggal tanggal keputusan tersebut adalah tanggal yang terakhir dari penandatanganan keputusan tersebut.

Selanjutnya setelah diambilnya keputusan tersebut dalam hal menyangkut keputusan tertentu, keputusan tersebut perlu dituangkan dalam suatu akta notaris, seperti misalnya keputusan yang menyangkut perubahan anggaran dasar perseroan atau perubahan susunan anggota Direksi atau Dewan Komisaris yaitu dengan membuat akta Pernyataan Keputusan Para Pemegang Saham Di Luar Rapat (akta PKPS).

Dalam membuat akta PKPS tersebut yang bertindak sebagai penghadap adalah pihak yang diberi kuasa oleh para pemegang saham untuk menyatakan keputusan tersebut dalam suatu akta notaris.

Jika Keputusan di luar RUPS tersebut berisikan hal-hal yang berkaitan dengan perubahan anggaran dasar maka hal tersebut hanya dapat dinyatakan dalam suatu akta notaris dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan tersebut diambil (Pasal 21 ayat 5 dan ayat 6 UUPT).

Dalam praktek sering juga kita temukan ada para pemgang saham yang berada di luar negeri. Untuk para pemegang saham yang berada di luar negeri tentunya penandatangan dokumen tersebut harus mengikuti prosedur penandatangan dokumen yang berlaku bagi dokumen-dokumen yang dibuat di laur negeri yang hendsak dipakai di Indonesia. Bagi WNI yang sedang bgerada di laur negeri maka penandatanganan tersebut dilakukan dihadapan paejabat perwakilan RI di negara yang bersangkutan, sedangkan bagi WNA penandatanganan dilakukan dihadapan atau dilegalisai oleh Notary Public dan kemudian tandatangan dari Notari Public tersebut dilegalisai oleh Pejabat Perwakilan RI.

Kamis, 18 Agustus 2011

PERMASALAHAN PENJUALAN TANAH WARISAN DALAM HAL TERDAPAT ANAK DI BAWAH UMUR

Apabila seseorang meninggal dunia maka harta yang ditinggalkannya akan beralih kepada para ahli warisnya. Ada kemungkinan ahli waris yang bersangkutan masih dibawah umur.Namun sekalipun ia masih dibawah umur ia tetap berhak atas harta warisan tersebut dan karenanya jika dalam harta warisan tersebut terdapat harta tidak bergerak misalnya tanah maka selanjutnya sertipikat tanah tersebut dibalik nama ke atas nama para ahli waris termasuk anak yang masih dibawah umur tersebut.

Dalam praktek banyak kita jumpai bahwa karena alasan tertentu selanjutnya harta warisan berupa tanah tersebut hendak dijual kepada pihak lain atau kepada salah seorang ahli waris yang ada.Yang menjadi permasalahan adalah apakah untuk penjulan tanah tersebut, karena didalamnya terdapat anak yang masih dibawah umur harus memperoleh izin dari hakim pengadilan negeri setempat sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 309 jo Pasal 393 KUHPerdata.  

Menurut penulis untuk menjawab permasalahan tersebut tentunya kita harus menjawab pertanyaan  apakah ketentuan KUHPerdata berlaku  bagi mereka? 

Dan selanjutnya jika ketentuan KHUPerdata berlaku bagi mereka, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata tersebut masih berlaku dengan adanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 48 jo Pasal  jo 52 UU No 1 tahun 1974 (UU Perkawinan) yang melarang orang tua atau wali untuk memindahkan hak atau menjadikan jaminan utang harta   tidak bergerak milik anak yang masih belum berusia 18 tahun, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

UU Perkawinan memang tidak mencabut ketentuan pasal 309 dan 393 KUHPerdata tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut maka kita berpegang pada ketentuan Pasal 66 UU Perkawinan. Dengan adanya ketentuan Pasaal 66 UU Perkawinan tersebut berarti bahwa jika hal tersebut telah diatur dalam UU Perkawinan maka ketentuan yang lama tidak berlaku lagi, sedangkan apabila UU Perkawinan tidak mengaturnya maka ketentuan yang lama tetap berlaku.

Berkaitan dengan hal tersebut maka kita harus melihat hukum apa yang berlaku bagi mereka, apakah mereka tunduk pada KUHPerdata atau tidak. bagi yang tidak tunduk pada KUHPerdata maka bagi mereka berlaku hukum islam atau hukum adatnya.

Bagi mereka yang tunduk pada ketentuan KUHPerdata tentunya untuk menjual tanah tersebut karena didalamnya tersangkut anak dibawah umur,  harus terlebih dahulu memperoleh izin dari hakim pengadilan negeri, sedangkan bagi mereka yang tidak tunduk pada ketentuan KUHPerdata menurut penulis untuk penjualan tanah tersebut tidak perlu memperoleh izin dari hakim, sepanjang penjualan tersebut dilakukan untuk kepetingan anak yang bersangkutan.

Dalam praktek kenyataannya terdapat perbedaan pemberlakukan atas ketentuan tersebut tergantung kepada kebijakan pejabat Kantor Pertanahan setempat. Ada yang mensyaratkan bahwa untuk penjualan tanah yang didalamnya tersangkut anak dibawah umur harus ada izin terlebih dahulu dari hakim pengadilan negeri setempat tanpa membedakan mereka tunduk pada KUHPerdata atau tidak, tapi ada pula yang tidak mensyaratkan hal tersebut apabila pihak penjual tidak tunduk pada KUHPerdata sepanjang dipenuhi sayarat yang ditentukan dalam Pasal 48 UU Perkawinan tersebut.   

Dengan adanya perbedaan penafsiran ketentuan  tersebut maka seharusnya ada kesepakatan di kalangan notaris dan PPAT yang mengatur mengenai kesatuan sikap dan tindak Noatrsi dan PPAT dalam menghadapi hal tersebut yang ditetapkan dalam kongres INI/IPPAT.

Tks.

Note:

Pelatihan calon peserta ujian PPAT Gel II, di "The Acacia Hotel", Jl Kramat Raya No 73-81, Jkt Pst, pd tgl 1 - 2 Oktober 2011, semua materi.(Dpt Modul). Biaya : Utk pendaftaran s.d tg 21/8 (Rp. 1.500.000.-,) tgl 22/8-18/9 ( Rp. 1.750.000.-), tgl 19 -28/9 (Rp. 2 jt.-). transfer ke Rek BCA No. 5735062449 a.n Alwesius.Hub. Herry (08161196555-telp 021-3100337).Bukti transfer fax ke 021-3142207 dan sms untuk informasi pendaftaran ke 0815-8825 - 748.

Asli bukti transfer harap dibawa pada saat pelaksanaan pelatihan untuk daftar ulang.

Atau hubungi Sekretariat "INP" Jakarta, Jl. Kramat Raya No. 23 J, Jakarta Pusat dengan Herry/Herman.

(Kami tidak memberikan sertipikat dan bukan sebagai syarat untuk untuk ujian PPAT.Kami hanya membantu anda memahami materi yang akan disajikan dalam ujian).

Tks.
Alwesius
0815 - 8825 - 748

Rabu, 17 Agustus 2011

PERMASALAHAN DALAM PEMBUATAN AKTA OLEH ANAK YANG TELAH MENCAPAI USIA 18 TAHUN AKAN TETAPI BELUM MENCAPAI USIA 21 TAHUN

Sejak lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sampai hari ini masih terdapat perbedaan  pendapat mengenai usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum.

Berdasarkan ketentuan KUHPerdata,  usia dewasa untuk melakukan perbuatan hukum  adalah mereka yang telah genap mencapai usia 21 tahun atau telah melangsungkan perkawinan sebelum mencapai usia 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata). Anak-anak yang belum mencapai usia 21 tahun berada dibawah kekuasaan orang tua atau perwalian (Pasal 299 jo 330 KUHPerdata). Anak yang belum mencapai usia 21 tahun (belum dewasa) akan diwakili oleh orang tua atau walinya untuk melakukan perbuatan hukum.   

Jadi berdasarkan KUHPerdata sangat jelas ditentukan bahwa mereka yang belum mencapai usia 21 tahun adalah belum dewasa dan mereka berada dibawah kekusaan orang tua atau walinya.

UU Perkawinan tidak mengatur mengenai usia dewasa untuk melakukan perbuatan hukum. Namun UU Perkawinan menentukan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun berada dibawah kekuasaan orang tua atau walinya (Pasal 48 dan 50 UU Perkawinan). 

Berdasarkan ketentuan UU Perkawinan tersebut, terdapat perbedaan pendapat diantara para sarjana menyangkut usia dewasa untuk melakukan perbuatan hukum setelah berlakunya UU Perkawinan tersebut. Ada pendapat yang menyatakan bahwa usia dewasa saat ini adalah 18 tahun, namun ada pula yang tetap berpendapat bahwa usia dewasa saat ini tetap 21 tahun seperti yang ditentukan dalam KUHPerdata.  

Batas usia dewasa yang mana yang kita pakai dalam menjalankan jabatan selaku Notaris atau PPAT? 

Permasalahan jika kita menganut usia dewasa adalah 18 tahun.

Bagi Notaris dengan adanya ketentuan Pasal 39 ayat 1 UUJN memang tidak diragukan lagi bahwa seseorang untuk dapat bertindak sebagai penghadap untuk membuat akta harus telah berusia 18 tahun. Akan tetapi apakah dengan adanya ketentuan Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut berarti UUJN menentukan bahwa usia dewasa bagi seseorang untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun.

Penulis berpendapat bahwa UUJN tidak menentukan bahwa usia dewasa untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Kenapa demikian? Disamping karena UUJN tidak menyatakan secara tegas hal tersebut, juga karena di dalam Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut disyaratkan bahwa disamping telah mencapai usia 18 tahun, seseorang untuk dapat bertindak sebagai penghadap harus memenuhi syarat lain yaitu cakap melakukan perbuatan hukum. 

Pendapat penulis tersebut didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, yang menentukan pada asasnya setiap orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian ("cakap untuk melakukan perbuatan hukum"), kecuali jika oleh UU dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata).Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian (tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum) antara lain adalah anak yang belum dewasa (Pasal 1330 KUHPerdata).

Disamping masalah tersebut,  masalah lain adalah masalah dalam praktek pembuatan akta PPAT. Masalah yang ada adalah masalah perbedaan pendapat di kalangan Badan Pertanahan Nasional berkaitan dengan batas usia dewasa tersebut. Hal tersebut berdampak ditolaknya pendaftaran atas akta-akta yang dibuat oleh mereka yang belum mencapai usia 21 tahun.

Permasalahan jika kita tetap menganut usia dewasa adalah 21 tahun

Jika kita tetap menganut usia dewasa adalah 21 tahun, akan timbul jika yang akan membuat akta tersebut adalah anak yang telah mencapai usia 18 tahun atau lebih tapi belum mencapai 21 tahun. Permasalahannya adalah menyangkut siapa yang berwenang melakukan perbuatan hukum tersebut. 

Pertanyaan tersebut timbul oleh karena bagi mereka yang telah berusia 18 tahun akan tetapi belum mencapai 21 tahun tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tua atau walinya. Jadi karena mereka belum dewasa maka mereka tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan, sedangkan orang tua mereka tidak dapat mewakili mereka karena mereka tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tua atau perwalian.Bagaimana dengan pembuatan akta yang bersangkutan? Apakah harus ditolak atau bagaimana? atau tetap berjalan  yang terjadi dalam praktek sekarang ini, dimana anak yang bersangkutan diwakili oleh orang tuanya (tanpa disadari oleh PPAT ybs bahwa orangtuanya tersebut bukan lagi sebagai walinya. Apa akibat hukum terhadap aktanya). 

Demikian tulisan ini penulis kemukakan agar kita bersama dapat mencari jalan keluarnya antara lain mudah-mudahan dapat ditampung didalam Revisi UUJN sebagai permasalahan yang harus mendapat perhatian.

Tks






    

Minggu, 14 Agustus 2011

PENULISAN OBYEK JUAL BELI ATAU HAK TANGGUNGAN DALAM SURAT KUASA UNTUK MENJUAL ATAU SKMHT DALAM HAL TERDAPAT PERUBAHAN HAK ATAS TANAH

Dalam praktek sering sekali kita bertemu dengan pembuatan akta yang berkaitan dengan tanah-tanah yang sedang atau akan diurus perubahan haknya, misalnya hak milik menjadi HGB atau sebaliknya HGB menjadi Hak Milik.

Oleh karena perubahan hak belum terjadi atau sedang dalam pengurusan atau masih akan dilakukan pengurusannya maka Para pihak yang bersangkutan belum dapat membuat akta jual beli dan karenanya terlebih dahulu membuat akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa Untuk Menjual (KUM). Atau dalam hal tanah tersebut hendak dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan maka Akta Pemberian hak Tanggungannya belum dapat dibuat dan karenanya terlebih dahulu dibuat Surat Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). 

Sehubungan dengan pembuatan PPJB atau akta KUM maupun SKMHT tersebut yang harus kita pahami  adalah bahwa jual beli maupun pembebanan Hak tangungan yang akan dilakukan adalah jual beli atau pembebanan hak tanggungan atas tanah hak hasil perubahan hak bukan tanah hak yang ada sekarang. Dan juag yang harus kita pahami bahwa dengan dilakukannya perubahan hak berarti hak atas tanah yang lama telah hapus diganti dengan hak atas tanah yang baru.

Oleh karena yang akan menjadi obyek jual beli maupun pembebanan Hak Tanggungan adalah tanah hak yang baru maka di dalam pembuatan PPJB dan KUM maupun SKMHT yang kita sebutkan sebagai obyek jual beli maupun obyek pembebanan hak tanggungannya  adalah tanah hak yang baru dan hal tersebut harus disebutkan secara tegas guna memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dimana kuasa untuk menjual maupun kuasa untuk pemberian jaminan harus bersifat khusus dan harus tegas.

Permasalahannya adalah hak yang akan menjadi obyek jual beli atau pembebanan hak tanggungan tersebut belum ada, lalau bagaimana menyebutkannya.

Memang benar hak atas tanah yang bersangkutan belum ada, untuk itu di dalam PPJB, KUM maupun SKMHT kita sebutkan misalnya "sebidang tanah Hak Guna Bangunan yang berasal dari perubahan Hak Milik Nomor 123/Cidodol, ....... dstnya".  

Jadi dalam penyebutannya kita tetap menyebutkan identitas tanah yang ada sekarang, akan tetapi didahuli dengan kata-kata yang menyebutkan hak yang baru.

Kenapa hal ini perlu menjadi perhatian kita karena saya khawatirkan jika dalam KUM atau SKMHT kita menyebutkan obyeknya dengan hanya menyebutkan identitas yang lama sementara dengan lahirnya hak yang baru, hak yang lama tersebut akan hapus, dengan hapusnya hak yang lama maka hapus juga obyek perjanjian ybs (hapus juga obyek KUM atau SKMHT), sehingga mengakibatkan KUM atau SKMHTnya batal demi hukum dan karenanya tidak dapat dipergunakan lagi. Hal tersebut akan merugikan bagi para pihak dan yang pada akhirnya akan berdampak kepada kita sebagai PPAT yang membjuat akta tersebut.

Tks. semoga bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian.Mohon masukannya apakah pendapat saya tersebut bisa diterima.  


SARAN UNTUK PERUBAHAN UUJN

Saya hanya hendak menyarankan hal kecil dalam perubahan UUJN yaitu masalah sistimatika berkaitan dengan materi muatan UUJN.

Saya menyarankan masalah ketentuan yang berkaitan dengan "Kewajiban" dan "Larangan" yang berlaku bagi Notaris tidak dikelompokan dalam pasal tertentu seperti dalam UUJN Pasal 16 dan 17.

Menurut saya sebaiknya Sistimatika UUJN disusun berdasarkan materi muatan yang akan diatur, misalnya mengenai Pembacaan dan Penandatanganan Akta, dalam kelompok tersebut sekaligus diatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan yang berhubungan dengan pembacaan dan penadatanganan akta. Atau misalnya mengenai "Wilayah Jabatan" dalam kelompok ini sekaligus pula diatur mengenai kewajiban dan larangan bagi notaris berkaitan dengan masalah wilayah jabatan notaris.

Demikian sedikit saran dari saya.

Tks    

Sabtu, 13 Agustus 2011

MASALAH PENGGUNAAN KUASA UNTUK MENJUAL DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI

Pendahuluan

Dalam praktek pembuatan akta Jual Beli sering terjadi pihak penjual diwakili oleh pihak lain dengan menggunakan Kuasa Untuk Menjual. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak penjual (pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan-alasan tertentu, misalnya pelaksanaan penjualan terjadi di luar kota atau ia tidak dapat meninggalkan pekerjaannya. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa berkembang sesuai dengan kebutuhan praktek.

Dan yang paling sering kita ketemukan adalah pemberian kuasa dalam kaitannya dengan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dimana Pihak Pembeli telah membayar lunas seluruh harga jual beli akan tetapi jual beli tersebut belum mungkin untuk dilaksanakan.

Disamping alasan tersebut ada pula Kuasa Untuk Menjual yang dibuat dengan alasan Tanah ybs akan dijual kembali kepada pihak lain. Hal ini biasanya dibuat oleh mereka yang bergerak dalam bidang jual beli tanah atau oleh para Makelar Tanah untuk menghindari pembayaran pajak.

Alasan pembuatan akta tersebut bukan masalah pokok yang akan penulis bahas disini. Yang menjadi perhatian penulis adalah apa yang harus diperhatikan oleh kita sebagai PPAT dalam menerima pembuatan akta Jual Beli berdasarkan Kuasa Untuk Menjual tersebut.

Hal-hal yang harus diperhatikan Notaris/PPAT dalam pembuatan akta dengan menggunakan Kuasa Untuk Menjual

a.     Bentuk Kuasa Untuk Menjual

Pasal 1796 KUHPerdata menentukan " Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan benda-benda ... hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik diperlukan suatu pemberian kuasa dfengan kata-kata yang tegas."

Berdasarkan ketentuan pasal 1796 KUHPerdata tersebut, Kuasa untuk menjual haruslah diberikan dalam bentuk kuasa khusus dan menggunakan kata-kata yang bersifat tegas. Kuasa untuk menjual tidak boleh menggunakan kuasa umum. 

Disamping itu kuasa untuk menjual haruslah sekurang-kurangnya diberikan dalam bentuk akta kuasa yang dilegalisai dihadapan notaris.Memang tidak ada ketentuan yang mengaturnya secara tegas, tapi dalam praktek kuasa untuk menjual dalam bentuk surat kuasa yang dibuat dibawah tangan sulit untuk diterima (bahkan tidak dapat dipergunakan karena menanggung risiko atas kebenarannya).

b.   Masih berlakunya Kuasa yang bersangkutan pada saat pembuatan akta

Berakhirnya pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813, 1814 dan pasal 1816 KUHPerdata.

Pasal 1813 KUHPerdata menentukan ""Pemberian kuasa bewrakhir: dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan mewninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa; ..."

Pasal 1814 KUHPerdata menentukan  "Sin pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya."

Pasal 1816 KUHPerdata menentukan" Pengangkatan kuasa baru, untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama, terhitung    mulai diberitahukannya kepada orang yang belakangan ini tentang pengangkatan tersebut."

Berdasarkan ketentuan tersebut maka suatu pemberian kuasa dapat beralhir karena ditariknya kuasa tersebut oleh si pemberi kuasa atau berakhir dengan pembuatan suatu kuasa baru yang diikuti dengan pemberitahuan mengenai hal tersebut kepada penerima kuasa. Pemberian kuasa juga berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa.

Pengecualian terhadap ketentuan mengenai berakhirnya kuasa biasanya dilakukan dengan mengenyampingkan ketentuan mengenai berakhirnya kuasa yang diatur dalam pasal 1813, 1814 dan 1816 KUHPerdata tersebut.

Kuasa yang berisikan klausul yang menyatakan kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak berakhir oleh karena sebab-sebab apapun juga termasuk sebab-sebann yang diatur dalam  pasal 1813, 1814 dan 1816 KUHPerdat disebut dengan "kuasa mutlak". 

Sesuai ketentuan yang tercantum dalam  Pasal 39 PP No. 24 tahun 1997, sebelumnya diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 tahun 1982, kuasa untuk menjual tidak boleh diberikan dalam bentuk kuasa mutlak.

Sehubungan dengan hal tersebut oleh karena kuasa untuk menjual tidak boleh diberikan dalam bentuk kuasa mutlak maka untuk kuasa yang tidak berkaitan dengan adanya perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberiannya, berlaku baginya ketentuan mengenai berakhirnya kuasa yang diatur dalam Pasal 1813, 1814 dan Pasal 1816 KUHPerdata. jadi kuasa untuk mernjual tersebut akan berakhir apabila:
1)  Pemberi kuasa meninggal dunia;
2)  Dicabut oleh Pemberi Kuasa;
3)  Adanya kuasa yang baru, yang mengatur mengenai hal yang sama;     

c.   Larangan menggunakan Kuasa Mutlak dalam pembuatan akta jual beli

Pasal 39 ayat (1)  huruf d PP No. 24 tahun 1997 menentukan bahwa PPAT menolak pembuatan akta, jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.

Larangan penggunaan surat kusa mutlak sebelumnya diatur di dalam Instruksi Mendagri no. 14 tahun 1982.

Apa yang dimaksud dengan surat kuasa mutlak?

Intruksi Mendagri tersebut menyatakan "Kuasa Mutlak yang dimaksud dalam Diktum Pertama adalah ...kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa...  Kuasa  Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas  tanah  adalah  Kuasa  Mutlak  yang  memberikan  kewenangan kepada        penerima                kuasa         untuk    menguasai                dan    menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya."

Selanjutnya Penjelasan Pasal 39 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 menyatakan bahwa "...surat kuasa mutlak adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberi kuasa, sehingga pada hakekatanya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak. 

Jadi pada hakekatnya kuasa mutlak adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberi kuasa. Juga termasuk dalam pengertian kuasa mutlak adalah kuasa yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang pada prinsipnya hanya dapat dilakukan oleh seorang pemegang hak atas tanah.

Kuasa mutlak yang tidak termasuk dalam larangan tersebut

Walaupun pada prinsipnya penggunaan kuasa mutlak dilarang untuk digunakan dalam pembuatan akta-akta pemindahan hak (akta jual beli dll), namun ada juga kuasa mutlak yang diperbolehkan dalam arti tidak termasuk dalam larangan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 39 PP No. 24 tahun 1997 maupun Instruksi Mendagri no. 14 tahun 1982. 

Yang tidak termasuk dalam larangan tersebut adalah kuasa-kuasa yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan atau merupakan satu kesatuan dari suatu perjanian (integrerend deel) yang mempunyai alas hukum yang sah atau kuasa yang diberikan untuki kepentingan penerima kuasa agar penerima kuasa tanpa bantuan pemberi kuasa dapat menjalankan hak-haknya untuk kepentingan dirinya sendiri.(Lihat hal 6 , Dr. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,2008)

Termasuk dalam pengecualian tersebut misalnya pemberian kuasa menjual untuk melaksanakan jual beli yang telah diatur di dalam suatu Pengikatan Jual Beli atau Perjanjian Kerjasama Untuk Membangun Proyek Perumahan.

d.   Pembuatan PPJB dan Kuasa Untuk Menjual untuk kepentingan para investor/calo tanah 

Di dalam praktek banyak terjadi pembuatan akta dilakukan untuk memenuhi permintaan para investor.

Hal ini terjadi misalnya pada saat Investor ybs membeli tanah maka akan dibuat PPJB (lunas) dan Kuasa Untuk Menjual (ada klausul dibolehkan juga untuk menjual kepada pihak lain yang ditentukan penerima kuasa).Pada saat pelaksanaan jual beli maka jual beli akan dilakukan antara Investor ybs dengan Pihak Ketiga sebagai pembeli. 

Untuk menghindari larangan oleh pihak BPN maka jual beli akan dilaksanakan di PPAT lain (bukan PPAT yang sama dengan PPAT yang membuat PPJB dan Kuasa Untuk Nenjual selaku notaris). Sebelum melaksanakan jual beli ybs biasanya PPJB yang telah dibuat dibatalkan terlebih dahulu. Pembatalan tersebut biasanya bertujuan agar Kuasa Untuk menjual tersebut menjadi kuasa yang berdiri sendiri sehingga penjualan tanah tersebut dapat dilakukan langsung dari Pemilik tanah awal kepada pihak ketiga dimama pemilik tanah diwakili oleh Investor. 

Dalam hal ini sering tidak disadari apakah kuasa tersebut masih berlaku atau tidak. Karena dengan dilakukannya pembatalaan PPJB ybs berarti Kuasa tersebut yang semula merupakan kuasa yang bersifat mutlak menjadi kuasa yang berakhir karena sebab-sebab yang diatur dalam pasal 1813, 1814 dan 1816 KUHPerdata.

e.   Pelaksanaan Praktek Notaris-PPAT

Berdasarkan pengamatan penulis,  masih ada Notaris-PPAT yang kurang memperhatikan hal-hal yang diuraikan diatas.. 

Hal tersebut dapat berakibat kemungkinan pada saat akta Jual beli dibuat ternyata pemberi kuasa telah meninggal dunia. Jika hal tersebut terjadi maka tentunya akta jual beli yang bersangkutan batal demi hukum (Kasus seperti ini pernah dikemukakan oleh salah seorang  rekan PPAT kepada penulis dan juga pernah dikemukakan dalam Milis Ikatan Notaris Indobesia).

Dalam praktek yang diperhatikan oleh PPAT biasanya hanya berkaitan dengan waktu pemberian kuasa tersebut, yaitu apakah kuasa tersebut telah lewat dari 1 (satu) tahun atau belum, sesuai yang diperbolehkan oleh pihak BPN. Tentunya hal ini sangat berisiko.

Sekalipun kuasa tersebut belum lewat 1 (satu) tahun kita tetap harus meneliti apakah kuasa tersebut masih berlaku atau tidak.Hal tersebut untuk menghindari permasalahan berkaitan dengan pembuatan akta yang kita lakukan.

Sekian, semoga bermanfaat bagi rekan-rekan semua.

Alwesius, SH,MKn.


Kamis, 11 Agustus 2011

PELATIHAN BAGI CALON PESERTA UJIAN PPAT

Pelatihan calon peserta ujian PPAT Gel II, di "The Acacia Hotel", Jl Kramat Raya No 73-81, Jkt Pst, pd tgl 1 - 2 Oktober 2011, semua materi.(Dpt Modul). Biaya : Utk pendaftaran s.d tg 21/8 (Rp. 1.500.000.-,) tgl 22/8-18/9 ( Rp. 1.750.000.-), tgl 19 -28/9 (Rp. 2 jt.-). transfer ke Rek BCA No. 5735062449 a.n Alwesius.Hub. Herry (08161196555-telp 021-3100337).Bukti transfer fax ke 021-3142207 dan sms untuk informasi pendaftaran ke 0815-8825748.Asli bukti transfer harap dibawa pada saat pelaksanaan pelatihan untuk daftar ulang.
Atau hubungi Sekretariat "INP" Jakarta, Jl. Kramat Raya No. 23 J, Jakarta Pusat dengan Herry/Herman.
Tks.
Alwesius
08158825748

ANAK LUAR KAWIN, MARGA ATAU HARTA AYAH

Di dalam masyarakat, khususnya masyarakat keturunan Tionghoa banyak kita jumpai perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut hukum adatnya atau perkawinan-perkawinan yang tidak dicatat menurut ketentuan UU Perkawinan. Dengan tidak dilangsungkannya perkawinan menurut ketentuan hukum yang berlaku mengakibatkan anak-anak yang dilahirkan di dalam perkawinan tersebut berstatus sebagai anak luar kawin.

Sesuai ketentuan KUHPerdata (Pasal 280 dan 862) anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan orang tua yang mengakuinya dan hanya berhak mewaris dari orang tua yang mengakuinya tersebut. Jadi sepanjang tidak terdapat pengakuan anak luar kawinan oleh ayah dan atau ibunya maka anak luar kawin tersebut tidak berhak mewaris dari orang tuanya.

UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974)  pasal 43 menentukan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Berdsasarkan ketentuan Pasal 43 UUPerkawinan maka seorang anak luar kawin demi hukum mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan karenanya juga berhak mewaris dari ibu dan keluarga ibunya. 

Jadi jelas seorang anak luar kawin yang tidak diakui oleh orang tuanya tidak berhak mewaris dari ayahnya.

Seorang anak luar kawin yang tidak diakui ayahnya akan menggunakan marga ibunya.Hal tersebut tercatat dalam akta kelahiran anak tersebut. Jika anak luar kawin tersebut hendak menggunakan marga ayahnya maka harus ada pengakuan ank oleh ayahnya tersebut.

Jadi jelas bahwa seorang anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya akan berhak menggunakan marga ayahnya dan juga berhak mewaris dari ayahnya tersebut.

Pengakuan anak luar kawin harus dilakukan dengan akta otentik (Pasal 281 KUHPerdata), antara lain dengan akta notaris  dan dilakukan atas izin ibu anak tersebut (Pasal 284 KUHPerdata).  

Sehubungan dengan pembuatan akta pengakuan anak tersebut kita sebagai notaris harus berhati-hati di dalam memenuhi permintaan seorang ayah yang hendak membuat akta pengakuan anak.

Di dalam membuat akta pengakuan anak kita harus meneliti apakah ayah tersebut sudah terikat perkawinan atau belum. Jika sudah terikat perkawinan, kita harus menanyakan apakah yang menjadi isterinya sekarang ini adalah ibu anak tersebut atau bukan. 

Jika yang menjadi isterinya adalah ibu anak luar kawin tersebut maka tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah jika yang menjadi istrinya sekarang ini adalah bukan ibu anak tersebut. Kenapa demikian? 

Karena adanya ketentuan pasal 285 KUHPerdata yang menentukan anak luar kawin yang dilahirkan dari hasil hubungan dengan wanita lain sebelum ia melangsungkan perkawinan dengan isterinya dan diakui di dalam perkawinan dengan isterinya tersebut maka anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan isteri dan anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Artinya apa? Artinya jika pengakuan anak luar kawin tersebut dilakukan maka anak luar kawin tersebut tidak akanb memperoleh bagian dari harta warisan ayahnya, ia hanya berhak atas marga ayahnya tersebut.

Dengan adanya akibat tersebut maka dalam memenuhi permintaan pembuatan akta pengakuan anak tersebut kita harus memgetahui keinginan yang sebenarnya dari ayah yang bersangkutan, apa maksud dan tujuan ia hendak membuat akta pengakuan anak tersebut? Apakah tujuannya HENDAK MEMBERI HARTA KEPADA ANAKNYA atau KEINGINAN AGAR SI ANAK MENGGUNAKAN MARGA AYAHNYA.

Jika keinginan sesungguhnya adalah agar si anak memperoleh harta warisan darinya maka jangan membuat pengakuan anak tetapi kita sarankan agar ia membuat surat wasiat yang bertujuan untuk memberi harta warisan kepada anaknya.  

Sebab jika ia membuat akta pengakuan anak maka si anak tidak akan dapat memperoleh harta warisan, karena ia juga tidak dapat membuat wasiat untuk memberikan harta kepada anaknya tersebut karena akan terkena ketentuan Pasal 908 KUHPerdata.   






ANAK ANGKAT DALAM KAITANNYA DENGAN PENJUALAN HARTA WARISAN

Dalam praktek pembuatan akta Jual Beli, khususnya yang berkaitan dengan jual beli tanah warisan ada kemungkinan didalamnya  terdapat  masalah  anak angkat.

Bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata masalah anak angkat tidak ada persoalan sebab sesuai ketentuan S.1917 No. 129 anak angkat (anak adopsi) mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah. Jadi hak bagiannya dalam pewarisan sama dengan anak sah. Sehingga dalam pembuatan akta berkaitan dengan jual beli tanah warisan kita lebih mudah untuk menentukan siapa-siapa yang terlibat atau berhak untuk melakukan penjualan tanah warisan yang bersangkutan. 

Misalnya A meninggal dunia meninggalkan isteri ny. B, seorang anak sah C dan seorang anak adopsi D. Dalam hal ini maka kita minta para pihak untuk melengkapi data antara lain beruapa bukti perkawinan (akta perkawinan A0, akta kematian A, Kartu Keluarga A, akta klehairan B dan C serta surat penetapan pengadilan mengeani adopsi C oleh A.  

Bagaimana jika yang hendak melakukan jual beli tanah tersebut ternayat tunduk pada hukum Islam?

Jika yang hendak melaksanakan penjualan tanah tersebut adalah mereka yang tunduk pada hukum Islam maka kita sebagai PPAT harus bertindak hati-hati dalam menghadapi pembauatn akta tersebut.

Dalam hukum Islam pada prinsipnya anak angkat tidak berhak mewaris. 

Berdasarkan hal tersebut dari pengamatan penulis dalam praktek pembuatan akta, ada Notaris atau PPAT yang berpendapat bahwa untuk pelaksanaan jual beli tanah warisan tersebut tidak perlu melibatkan anak angkat yang bersangkutan (anak angkat tidak perlu diminta persetujuannya untuk pelaksanaan penjualan tersebut) karena anak angkat tersebut bukan merupakan ahli waris dan karenanya tidak berhak atas harta warisan ayah angkatnya yang hendak dijual tersebut.  Pengabaian anak angkat tersebut lebi8h diperkuat dengan adanya Surat Ketrangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris yang dikuatkan oleh Lurah dan Camat yang tidak mencantumkan anak anagkat tersebut sebagai ahli waris. 

Pendapat tersebut ada benarnya, tapi menurut penulis dapat menimbulkan permasalahan berkaitan dengan pelaksanaan jual beli tanah tersebut. Kenapa demikian?

Penulis berpendapat demikian oleh karena adanya ketentuan Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menentukan bahwa terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya.  

Ketentuan pasal 209 ayat (2) KHI tersebut jelas memberikan hak bagi seorang anak angkat  atas harta warisan orang tua angkatnya. Jika hak tersebut diabaikan maka anak angkat yang bersangkutan dapat menuntut pelaksanaannya/pemenuhannya  melalui pengadilan.

Sehubungan dengan hal tersebut penulis menyarankan dalam pembutan akta jual beli berkaitan dengan tanah warisan, jika didalamnya terdapat anak angkat maka kita sebaiknya meminta anak angkat tersebut dilibatkan untuk melaksanakan penjualan tersebut, sekalipun misalnya dalam SKAW yang telah dibuat anak angkat tersebut ternyata tidak dimasukkan sebagai ahli waris.Masalah pembagian hasil penjualan tanah tersebut kita serahkian kepada para pihak untuk menyelesaikannya secara musyawarah. 






Selasa, 02 Agustus 2011

PENGGUNAAN SKAW YANG DIBUAT DIHADAPAN LURAH OLEH NOTARIS/PPAT

Dalam praktek pembuatan akta sering kita sebagai Notaris atau PPAT menggunakan dasar pembuatan akta dengan menggunakan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) yang dikuatkan oleh Lurah dan Camat.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah penggunaan SKAW tersebut telah cukup aman bagi kita Notaris/PPAT dan juga bagi produk yang kita hasilkan ? 

Pertanyaan tersebut timbul oleh karena prosedur  pembuatan SKAW tersebut berbeda dengan prosedur yang harus dipenuhi di dalam pembuatan SKAW yang dibuat oleh Notaris untuk mereka yang tunduk pada KUHPerdata. Di dalam pembuatan SKAW kita sebagai Notaris terlebih dahulu akan melakukan  pengecekan terhadap wasiat yang dibuat oleh Pewaris pada Pusat Daftar Wasiat di Kemenkumham.Pembuatan SKAW akan tergantung pada ada atau tidak adanya surat wasiat yang dibuat oleh Pewaris yang dapat kita ketahui dari hasil pengecekan wasiat tersebut.  

Pengecekan wasiat tersebut  sangat perlu karena sesuai ketentuan hukum yang berlaku baik sesuai KUHPerdata maupun sesuai ketentuan hukum pewarisan berdasarkan hukum Islam jika terdapat wasiat maka wasiat tersebut harus dijalankan/dilaksanakan terlebih dahulu (pelaksanaan wasiat tersebut tentunya harus memperhatikan pembatasan-pembatasan berkaitan dengan berlakunya wasiat sesuai masing-masing ketentuan hukum yang berlaku.  

Yang menjadi persoalan memang kemana harus dilakukannya pengecekan wasiat bagi mereka yang tunduk pada hukum Islam, jika wasiat tersebut tidak dibuat dihadapan Notaris.Hal tersebut menjadi permasalahan karena memang belum ada ketentuan mengenai pendaftaran wasiat bagi wasiat yang tidak dibuat dihadapan Notaris.

Sehubungan dengan hal tersebut, apakah kita sebagai Notaris/PPAT wajib melakukan pengecekan terhadap wasiat yang telah dibuat oleh Pewaris, jika kita membuat akta yang salah satu dasarnya adalah SKAW yang dikuatkan oleh lurah dan Camat ?

Dalam praktek sekarang ini menurut pengetahuan saya  mungkin hampir seluruh Notaris/PPAT tidak akan melakukan pengecekan wasiat terhadap penggunaan SKAW tersebut.Notaris/PPAT dengan berdasarkan SKAW akan langsung menerima pembuatan akta yang bersangkutan tanpa terlebih dahulu melakukan pengecekan atas wasiat Pewaris dan mungkin juga rata-rata menerima saja apa yang disebutkan dalam SKAW tersebut.

Permasalahan apa yang mungkin ada berkaitan dengan SKAW yang dikuatkan oleh Lurah dan Camat tersebut?

Permasalahan pertama adalah apakah Pewaris ada meninggalkan surat wasiat atau tidak. Jika Pewaris ada meninggalkan surat wasiat maka tentunya apa yang tercantum dalam SKAW tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada. Hal tersebut dapat mengakibatkan permasalahan dikemudian hari karena ada kemungkinan terjadinya gugatan dari penerima wasiat atau ahli warisnya.

Permasalahan kedua yang mungkin ada adalah penyebutan ahli waris yang berbeda dengan ahli waris yang sebenarnya berhak mewaris. Misalnya SKAW dibuat oleh Isteri Pertama maka ia tidak akan menyinggung masalah perkawinan kedua suaminya dan dengan sendirinya tidak memasukan isteri kedua dan anak-anaknya sebagai ahli waris.Hal ini juga akan menimbulkan kemingkinan adanya gugatan di kemudian hari. Demikian pula sebaliknya apabila SKAW tersebut dibuat oleh Isteri Kedua tentunya ia tidak akan memasukkan Isteri Pertama dan anak-anaknya sebagai ahli waris dari Pewaris.

Dengan adanya kemungkinan permasalahan tersebut maka kita sebagai notaris/PPAT harus berhati-hati di dalam menggunakan SKAW yang dikuatkan oleh Lurah dan Camat.Pengecekan mengenai wasiat tersebut perlu kita lakukan, demikian juga meneliti kebenaran akan ahli waris Pewaris yang sebenarnya dengan berbagai cara yang dimungkinkan oleh UU atau cara yang tidak melanggar UU untuk menunjukkan bahwa kita telah menjalankan kewajiban kita sebagai pejabat umum yaitu pejabat kepercayaan, yang dipercaya oleh masyarakat untuk membuat akta guna melayani kepentingan masyarakat tersebut.