Sabtu, 24 Desember 2011

SAAT MULAI BERLAKUNYA PENGANGKATAN ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS MENURUT UUPT

Perihal pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan Terbatas diatur dalam pasal 94 dan 95 UU No. 40 tahun 2007 (UUPT) untuk pengangkatan anggota  Direksi dan Pasal 111 dan 112 UUPT untuk pengangkatan angota Dewan Komisaris.

Pasal  94 ayat 1 dan pasal 111 ayat 1 UUPT menentukan anggota Direksi atau Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS. RUPS untuk melakukan pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris sah apabila dihadiri lebih dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS (Pasal 86 ayat 1 UUPT). Pengambilan keputusan untuk pengangkatan tersebut dilakukan secara musyawarah dan jika musyawarah tidak tercapai maka keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS (Pasal 87 UUPT).   

Keputusan RUPS mengenai pengangkatan anggota Direks atau Dewan komisaris tersebut sekaligus menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut.Apabila RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut maka pengangkatan anggota Direksi atau Dewan Komisaris tersebut MULAI BERLAKU SEJAK SAAT DITUTUPNYA RUPS (Pasal 94 ayat 5 dan ayat 6  dan Pasal 111 ayat 5 dan ayat 6 UUPT)

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa saat mulai berlakunya  pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan adalah SEJAK SAAT YANG DITENTUKAN DALAN RUPS atau jika RUPS tidak menentukan  SEJAK SAAT DITUTUPNYA RUPS.

Selanjutnya jika terjadi perubahan anggota Direksi maupun Dewan Komisaris Perseroan maka Direksi wajib memberitahukan perubahan anggota Direksi tersebut kepada Menteri (Menkumham) untuk dicatat dalam Daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)  hari  terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut (Pasal 94 ayat 7 dan pasal 111 ayat 7 UUPT).

Apa akibatnya jika Direksi tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan pemberitahuan tersebut ?

Jika Direksi tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan pemberitahuan tersebut maka akibatnya adalah Menteri akan menolak setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi yang belum tercatat dalam Daftar Perseroan (Pasal 94 ayat 8 UUPT) atau Menteri menolak satiap pemebritahuan perubahan anggota Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi (Pasal 111 ayat 8 UUPT) .     

Jadi jelas dalam hal terjadi perubahan anggota Direksi dan Dewan Komisaris dan perubahan tersebut tidak diberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,  akibatnya hanya sebatas penolakan oleh Menteri terhadap setiap permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar tertentu  serta  penolakan atas pemberitahuan atas perubahan anggaran dasar dan perubahan data perseroan yang disampaikan oleh Direksi yang belum tercatat dalam Daftar Perseroan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang tidak atau belum diberitahukan kepada Menteri tersebut tetap sah dan berwenang untuk melakukan perbuatan     hukum  ?

Melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 94 dan 111 UUPT tersebut diatas, tidak atau belum diberitahukannya perihal pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris kepada Menteri tidak  mengakibatkan tidak berlakunya pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris oleh RUPS. Pengangkatan tersebut tetap sah dan mulai berlaku sejak saat yang ditentukan dalam RUPS atau sejak ditutupnya RUPS (jika RUPS tidak menentukan mulai berlakunya pengangkatan) sekalipun belum ada pemberitahuan kepada Menteri. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut tetap sah dan berlaku dan berwenang menjalankann tugas dan jabatannya dan dapat melakukan perbuatan hukum sesuai kewenagannya.  

Anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang diangkat oleh RUPS tersebut, terhitung sejak saat mulai berlakunya pengangkatan tersebut (sejak saat yang ditetapkan dalam RUPS atau sejak saat ditutupnya RUPS jika RUPS tidak menetapkan hal tersebut) telah berwenang  untuk melakukan perbuatan hukum sesuai fungsi dan tugasnya yang ditetapkan dalam UUPT dan atau AD Perseroan. 

Jumat, 23 Desember 2011

PEMINDAHAN HAK ATAS KEKAYAAN YAYASAN


Pemindahan hak atas kekayaan Yayasan harus memperhatikan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 16 tahun 2001 yo UU Nomor 28 tahun 2004 ("UU Yayasan"). Prinsipnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Yayasan, pemindahan hak atas kekayaan Yayasan dilakukan oleh Pengurus Yayasan dengan persetujuan dari Pembina Yayasan.    Syarat dan ketentuan lainnya berkaitan dengan hal tersebut harus memperhatikan lebih lanjut ketentuan yang ada dalam AD Yayasan. misalnya siapa yang berwenang mewakili Pengurus dan bagaimana bentuk persetujuan yang diberikan oleh Pembina.

Pasal 5 UU Nomor 16 tahun 2001 menentukan "Kekayaan  Yayasan  baik  berupa  uang,  barang,  maupun  kekayaan  lain  yang  diperoleh  Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada  Pembina,  Pengurus,  Pengawas,  karyawan,  atau  pihak  lain  yang  mempunyai  kepentingan terhadap Yayasan". 

Ketentuan tersebut kemudian diubah berdasarkan UU No. 28 tahun 2004, sehingga ketentuan pasal 5 tersebut selanjutnya berbunyi:
 “Pasal 5
(1)  Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang     diperoleh Yayasaberdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, pengurus dan Pengawas.
(2) Pengecualian  atas  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  dapat  ditentukan  dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal pengurus Yayasan :
a.    bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan
b melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.
       (3Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat
             (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan."

Dengan melihat ketentuan pasal 5 UU Yayasan tersebut maka kekayaan Yayasan dalam bentuk apapun dilarang untuk dialihkan kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan. 

Dengan melihat bunyi Pasal 5 UU Yayasan tersebut, terdapat perubahan di dalamnya, dimana larangan pengalihan kekayaan Yayasan yang semula termasuk juga yang dilarang adalah mengalihkan kekayaan Yayasan kepada pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadapa Yayasan, kemudian larangan tersebut telah dihapus.

Dengan tidak terdapatnya ketentuan mengenai larangan pengalihan kekayaan Yayasan kepada pihak lain (khususnya pihak lain yang mempeunyai kepentingan terhadap Yayasan), apakah berarti kekayaan Yayasan boleh  dialihkan kepada pihak lain?

Menurut penulis karena tidak terdapat larangan untuk mengalihkan kekayaan Yayasan  kepada pihak lain maka pada prinsipnya hal tersebut boleh dilakukan.      Akan tetapi pengalihan kekayaan Yayasan kepada pihak lain tersebut disamping harus memperhatikan syarat formalitas yang ditetapkan dalam UU Yayasan dan AD Yayasan, misalnya harus meperoleh persetujuan dari Dewan Pembina, juga haruslah memperhatikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terdapat  di dalam UU Yayasan serta Anggaran Dasar.

Prinsip dan ketentuan utama yang harus diperhatikan adalah prinsip yang terdapat di dalam Pasal 26 ayat 4 UU Yayasan, yang menetukan "Kekayaan Yayasan ... dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan." 

Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 ayat 4 UU Yayasan tersebut, menurut penulis pengalihan kekayaan Yayasan kepada pihak lain hanya boleh dilakukan apabila pengalihan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. 

Pertanyaan selanjutnya, apakah boleh kekayaan Yayasan  dihibahkan kepada pihak lain?

Jika melihat prinsip yang tercantum dalam Pasal 26 ayat 4 UU Yayasan tersebut, menurut penulis kekayaan Yayasan tidak boleh dihibahkan kepada pihak lain, kecuali pemberian hibah tersebut dilakukan dalam rangka untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

Tks

Mohon masukan dan sarannya.
Smoga bermanfaat





                      


Sabtu, 10 Desember 2011

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA/HARTA GONO GINI

Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") maka segala harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinan (harta bawaan) dan segala harta yang diperoleh dari warisan atau hadiah berada dibawah pengusaan masing-masing pihak yang membawa atau memperoleh harta tersebut (merupakan harta pribadi pihak yang membawa atau memperoleh harta tersebut), sedangkan segala harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama atau harta gono gini para pihak.

Penyimpangan terhadap ketentuan mengenai harta benda perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan tersebut hanya dapat dilakukan dengan membuat perjanjian perkawinan.   

Pemisahan dan pembagian atas harta bersama (harta gono gini) tersebut dapat dilakukan selama perkawinan atau setelah bubarnya perkawinan.

Pemisahan dan pembagian atas harta bersama (harta gono gini) selama berlangsungnya perkawinan hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan hakim sesuai ketentuan pasal 186 - 198 KUHPerdata.

Pemisahan dan Pembagian atas harta bersama (harta gono gini) yang dilakukan berkaitan dengan bubarnya perkawinan, dilakukan dalam hal perkawinan bubar karena adanya percerian. Pemisahan dan pembagian tersebut  dilakukan setelah putusan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap.

Untuk melakukan pemisahan dan pembagian harta bersama (harta gono gini) tersebut dilakukan dengann membuat akta Pemisahan dan Pembagian Harta Perkawinan. Di dalam akta tersebut diuraikan semua harta benda yang terdapat dalam perkawinan dengan memerinci status masing-masing harta yang meliputi harta pribadi mantan suami, harta pribadi mantan isteri dan harta bersama (harta gono gini).

Harta Bersama (harta gono gini) dibagi dua diantara mantan suami dan mantan isteri masing-masing untuk 1/2 (setengah) bagian yang sama besarnya dan mereka menetapkan secara musyawarah harta-harta yang mana menjadi bagian mantan suami atau mantan isteri. 

Di dalam akta pemisahan dan pembagian tersebut juga dicantumkan pemberian kuasa dan persetujuan  dari mantan suami kepada mantan isteri atau sebaliknya untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan sehubungan dengan harta yang menjadi hak baginannya, misalnya untuk melakukan pembuatan akta pembagian hak bersama, untuk menjual dan lain-lain.  

Setelah dibuatnya akta pemisahan dan pembagian tersebut, sepanjang menyangkut harta beruapa tanah maka harus ditindaklanjuti dengan pembuatan akta Pembagian Hak Bersama (APHB) dihadapan PPAT agar tanah yang bersangkutan dapat dibalik nama ke atas nama pihak yang memperoleh tanah tersebut.

Untuk melakukan pemisahan dan pembagian harta bersama (harta gono gini)  tersebut, apabila mantan suami memiliki lebih dari seorang isteri maka pemisahan dan pembagian harta bersama (harta gono gini) tersebut  hanya dilakukan terhadap harta bersama (harta gono gini) antara mantan suami dengan seluruh isterinya serta harta bersama mantan suami dengan mantan isteri yang perkawinannya bubar karena perceraian. harta bersama antara mantan suami dan seluruh isterinya tersebut tentunnya menjadi hak mantan suami dan isteri-isterinya. Jadi dalam hal ini yang dikeluarkan menjadi hak bagian mantan isteri adalah yangb bersala dari hak isteri-isteri tersebut. 
Misalnya harta bersama antara mantan suamis dan isteri-isterinya sebesar 600 maka mantan suami  memperoleh 300 dan istrei-isteri memperoleh 300. Dari bagian isteri-isteri sebesar 300 ini  hak mantan isteri dikeluarkan misalnya terdapat 3 (tiga) isteri maka yang dikeluarkan adalah sebesar 100.
Dalam hal ini pemisahan dan pembagian tersebut harus turut disetujui oleh isteri-isteri yang lain.

Sering juga terjadi dalam praktek mantan suami menyerahkan sebagian besar harta yang termasuk dalam harta bersama  (harta gono gini ) tersebut kepada mantan isterinya. Apakah hal tersebut diperbolehkan?. 

Jika melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada memang tidak ada larangan atas hal tersebut. Karena tidak ada larangan maka menurut saya hal tersebut boleh saja dilakukan dan hal tersebut termasuk dalam perbuatan pemberian hibah dari mantan suami kepada mantan isteri. Karena hal tersebut termasuk dalam perbuatan pemberian hibah maka menurut saya sebaiknya di dalam melakukan hal tersebut turut disetujui oleh anak-anak mereka. Jika dalam perkawinan tersebut tidak ada anak maka sebaiknya turut disetujui oleh orang tua dan  saudara-saudara dari mantan suami tersebut. .