Minggu, 27 Mei 2012

UJIAN MASUK UI (BIMBEL)

Kami "INP" Jakarta, mengadakan bimbingan belajar untuk menghadapi ujian masuk Program 
Magister Kenotariatan/MH FHUI dengan materi Tes Potensi Akademik (TPA), pada Hari Minggu,
 tanggal 24 Juni   2012, pkl 09.00- 15.00. di Gdg Nyi Ageng Serang Lt 2. Jl HR.Rasuna Said Jak-
Sel (Sebelah/Belakang Pasar Festival). Hubungi HP : 0815-8825-748(Alwesius) atau Sekretariat . "INP"Jakarta, Jl.  Kramat Raya no. 23 J, Jak-Pus, Telp : 021-3100337,08161196555 (Herry).
Biaya Rp. 400.000.-ditransfer ke Rek  BCA No. 6870326112 a.n Alwesius.
Bukti transfer di fax ke021-3142207.tulis nama & no hp yang jelas dan sms  ke no : 0815-8825-748 untuk konfirmasi pendaftaran .Asli bukti transfer harap dibawah pada pelaksanaan bimbel.PENDAFTARAN SAMPAI DENGAN TANGGAL 20 JUNI 2012.TEMPAT TERBATAS. 

Tks.
ALWESIUS, SH, MKn.

PEMBEBANAN HAK TANGUNGAN ATAS HGB ATAU HAK PAKAI DI ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN HARUS DENGAN PERSETUJUAN TERTULIS PEMEGANG HAK PENGELOLAAN



1.             Pendahuluan

Di dalam praktek masih sering terjadi perbedaan pendapat di antara Kreditur/Bank  dan Debitur , termasuk di kalangan Notaris/PPAT perihal perlu atau tidaknya persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan (HPL) terhadap pembebanan hak tanggungan atas tanah HGB atau Hak Pakai  yang berada di atas tanah HPL.
Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan secara tegas perihal tersebut.Peraturan perundang-undangan hanya mengatur mengenai kewajiban pemegang HGB atau Hak Pakai untuk memperoleh persetujuan dari pemegang HPL jika hendak mengalihkan tanahnya kepada pihak lain, sebagaimana ditentukan dalam pasal 34 ayat 7 dan pasal 54 ayat 9 PP no. 40 tahun 1996.
Karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang menentukan bahwa untuk pembebanan HT harus memperoleh persetujuan dari pemegang HPL maka hal tersebut sering tidak disyaratkan atau bahkan jika disyaratkan oleh Bank  sering terjadi Debitur menolak untuk memenuhi hal tersebut dengan berbagai alasan, hal mana kadangkala mengakibatkan batalnya pemberian kredit yang bersangkutan, akan tetapi sering juga Bank akhirnya tidak mensyaratkan hal tersebut.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut penulis mencoba untuk membuat tulisan ini berkaitan dengan permasalahan, apakah diperlukan persetujuan pemegang HPL untuk memebebankan HT atas tanah HGB atau Hak Pakai di atas tanah HPL?

2.             Tanah Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Subyek HPL adalah instansi pemerintah atau badan-badan usaha milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat (BUMN) maupun Pemerintah Daerah (BUMD). Menurut Profesor Budi Harsono, HPL tidak termasuk ke dalam hak-hak pengusaaan atas tanah (HPAN), tetapi meruapakan “gempilan” dari hak mengusai negara.Walaupun HPL tidak termasuk ke dalam pengelompokan HPAN, namun ada juga yang mengangapnya termasuk ke dalam kelompok hak atas tanah.
Proses pemberian HPL adalah sama dengan proses pemberian hak-hak atas tanah (Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai), yaitu didahului dengan permohonan HPL, penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) dan selanjutnya setelah semua syarat dipenuhi dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan dilanjutkan dengan penerbitan sertipikat HPL sebagai surat tanda bukti hak yang bersangkutan.
Sebagai suatu hak yang bertujuan untuk memberikan tanah bagi kepentingan pihak lain maka selanjutnya bagian-bagian dari tanah HPL tersebut akan diserahkan kepada pihak lain/pihak ketiga sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang diatur di dalam Surat Perjanian Penyerahan Penggunaan Tanah (SP3T) yang ditandatangani oleh pemegang HPL dengan pihak ketiga yang membutuhkan tanah tersebut.SP3T tersebut ditandatangani sebelum dilakukannya permohonan HGB/Hak Pakai diatas tanah HPL yang bersangkutan. Setelah ditandatanganinya SP3T tersebut selanjutnya permohonan HGB dilakukan atas nama pihak ketiga yang membutuhkan tanah tersebut melalui pemegang HPL.Proses permohonan hak tersebut sama seperti permohonan hak atas tanah pada umumnya yang berada di atas Tanah Negara, yang diatur di dalam Peraturam MNA/Ka.BPN no. 9 tahun 1999.
Salah satu dokumen yang terpenting yang harus diperhatikan berkaitan dengan pengalihan atau pemberian jaminan atas Tanah HGB atau Hak Pakai yang berada di atas   tanah HPL adalah SP3T. Semua ketentuan yang terdapat di dalam SP3T tersebut harus dipatuhi oleh pemegang HPL, pemegang HGB/Hak Pakai yang betsangkutan, pihak bank maupun Notaris/PPAT di dalam melakukan perbuatan hukum atas tanah HGB atau Hak Pakai tersebut, baik perbuatan hukum peralihan hak atau pembeban hak.       

3.             Pemindahan HGB atau Hak Pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan

Pemindahan HGB atau Hak Pakai atas tanah di atas HPL pada prinsipnya tidak berbeda dengan pemindahann HGB atau Hak Pakai pada umumnya yang berada langsung di atas Tanah Negara. Yang berbeda adalah adanya syarat bahwa untuk melakukan pemindahan hak atas tanah HGB atau Hak Pakai di atas tanah HPL harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang HPL dan syarat-syarat lain yang ditentukan secara khusus di dalam SP3T (jika ditentukan).
Persetujuan tertulis tersebut diperlukan untuk semua perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah HGB/Hak Pakai tersebut, seperti jual beli, tukar menukar, hibahm pemasukan ke adalam perusahaan maupun penjualan di  muka umum (lelang).
Dalam hal tidak ada atau belum diperolehnya persetujuan tertulis tersebut maka PPAT di larang untuk membuat akta jual beli yang bersangkutan.
Berkaitan dengan persetujuan tertulis tersebut, yang harus diperhatikan adalah siapa pejabat yang berwenang  untuk memberikan atau menandatangani surat persetujuan tersebut. Jika pemegang HPL tersebut berbentu perseroan terbatas (PT Persero) memang kita mudah untuk menetukan siapa pejabat yang berwenang untuk memberikan persetujuan tertulis tersebut dengan melihat anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.Akan tetapi disamping ketentuan anggaran dasar PT yang bersangkutan, kita juga harus memperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam SP3T yang bersangkutan. Di dalam SP3T biasanya ditentukan pejabat mana yang berwenang untuk memberikan persetujuan tertulis tersebut.   

4.             Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah HGB dan Hak Pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan

HGB atau Hak Pakai di atas tanah HPL juga meruapakan objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 4 jo 27 UU No. 4 tahun 1996 (UU Hak Tanggungan).
Proses atau prosedur pembebanan HT atas tanah tanah HGB atau Hak Pakai yang berada di atas tanah HPL pada prinsipnya tidak berbeda dengan proses pembenana HT atas tanah-tanah hak lainnya.Namun oleh karena untuk pengalihan HT diharuskan adanya persetujuan tertulis dari pemegang HPL maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah persetujuan tertulis tersebut  harus ada untuk dilakukannyan pembebanan HT tersebut, jika harus ada, apakah persetujuan tertulis tersebut harus sudah ada sebelum dilaksanakannya pembebanan HT ?  
Menurut penulis walaupun adanya persetujuan tertulis tersebut diperlukan pada saat akan dilaksanakannya eksekusi HT yang bersangkutan jika Debitur wanprestasi dan Bank hendak melaksanakan hak atau hak-hak istimewanya, namun sebaiknya persyaratan mengenai adanya persetujuan tertulis  dari pemegang HPL tersebut harus telah dipenuhi oleh pemilik HGB/Hak Pakai yang bersangkutan sebelum dilakukannya pembebanan HT.  Adanya persetujuan tertulis sebelum dilakukannya pembebanan HT  lebih memberikan jaminan kepastian hukum kepada bank sebagai pemegang HT dan tanah tersewbut telah memenuhi syarat sebgai jaminan utang. Dengan adanya persetujuan tertulis tersebut berarti telah dipenuhinya salah syarat tanah sebagai jaminan utang yaitu tanah yang bersangkutan dapat dipindahtangankan.
Apa yang penulis kemukakan tersebut sejalan dengan surat Edaran MNA/Ka.BPN No.630.1-3430 tanggal 17 September 1998, sebagaimana dimuat dalam buku Profesor Arie Sukanti Hutagalung, S.H., M.LI. dan DR. Oloan Sitorus, S.H., M.S.,Seputar Hak Pengelolaan,STPN Press Yogjakarta, 2011.yang pada intinya menyetakan: ”karena eksekusi HT mengakibatkan HGB atau Hak Pakai tersebut  beralih kepada pihak lain maka untuk pembebanan HT tersebut diperlukan adanya persetujuan tertulis dari pemegang HPL yang akan berlaku sebagai persetujuan pengalihan hak tersebut sebagai akibat eksekusi HT”.  

5.             Kesimpulan  

Untuk pembebanan HT atas tanah HGB atau hak Pakai yang berada di atas tanah HPL harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang HPL karena salah satu syarat tanah sebagai jaminan utang adalah tanah tersebut harus dapat dipindahtangankan, sehingga dengan adanya persetujuan tersebut tanahnya telah memenuhi syarat untuk dijadikan jaminan utang dengan dibebani HT.Disamping itu pula karena eksekusi HT mengakibatkan HGB atau Hak Pakai tersebut  beralih kepada pihak lain maka untuk pembebanan HT tersebut diperlukan adanya persetujuan tertulis dari pemegang HPL yang akan berlaku sebagai persetujuan pengalihan hak tersebut sebagai akibat eksekusi HT.  

Sekian
Semoga bermanfaat bagi kita senua.

Salam

Alwesius,SH,MKn.

Kamis, 24 Mei 2012

UJIAN MASUK UI (BIMBEL)

Kami "INP" Jakarta, mengadakan bimbingan belajar untuk menghadapi ujian masuk Program 

Magister Kenotariatan/MH FHUI dengan materi Tes Potensi Akademik (TPA), pada Hari Minggu,

 tanggal 24 Juni   2012, pkl 09.00- 15.00. di Gdg Nyi Ageng Serang Lt 2. Jl HR.Rasuna Said Jak-

Sel (Sebelah/Belakang Pasar Festival). Hubungi HP : 0815-8825-748(Alwesius) atau Sekretsriat . "INP" 

Jakarta, Jl.  Kramat Raya no. 23 J, Jak-Pus, Telp : 021-3100337,08161196555 (Herry).

Biaya Rp. 400.000.-ditransfer ke Rek  BCA No. 6870326112 a.n Alwesius.

Bukti transfer di fax ke021-3142207.tulis nama & no hp yang jelas dan sms  ke no : 0815-8825-748 untuk 

konfirmasi pendaftaran .Asli bukti transfer harap dibawah pada pelaksanaan bimbel.PENDAFTARAN 

SAMPAI DENGAN TANGGAL 20 JUNI 2012.TEMPAT TERBATAS. Tks.

Jumat, 04 Mei 2012

PENBAYARAN BPHTB DALAM PEMBAGIAN HARTA GONO GINI YANG TERDAFTAR ATAS NAMA SUAMI ATAU ISTERI SAJA

1.             Pendahuluan

Terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) berlakulah ketentuan UU Perkawinan bagi suami isteri tersebut. Prinsip harta benda perkawinan menurut UU Perkawinan adalah harta terpisah artinya harta yang dibawa oleh masing-masing suami atau isteri ke dalam perkawinan tetap menjadi hak milik suami atau isteri yang membawanya dan tetap berada dibawa kekuasaan dan pengurusan pemiliknya tersebut. Harta tersebut disebut “Harta Bawaan”. Harta yang diperoleh suami atau isteri  sepanjang perkawinanm kecuali karena warisan atau hadiah merupakan harta bersama atau harta gono gini suami isteri tersebut.

Prinsip tersebut berbeda dengan prinsip harta benda perkawinan menurut KUHPerdata. Di dalam KUHPerdata pada prinsipnya terdapat harta campur bulat atau percampuran harta sepenuhnyan artinya segala harta yang dibawa masing-masing suami atau isteri ke dalam perkawinan   atau diperoleh suami dan/atau isteri sepanjuang perkawinan termasuk yang diperoleh dari warisan maupun hadiah atau hibah masuk dalam harta campur suami isteri tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 119 KUHPerdata.

Pengecualian atas prinsip harta benda perkawinan dalam UU Perkawinan maupun dalam KUHPerdata dapat dilakukan dengan membuat Perjanjian Perkawinan.

Atas harta yang masuk dalam harta gono gini tersebut hanya dapat dilakukan pembagian diantara suami isteri tersebut apabila perkawinan mereka telah berakhir karena perceraian, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 186 sampai dengan Pasal 198 KUHperdata.

Demikian juga untuk melakukan jual beli diantara suami isteri, karena adanya larangan jual beli di antara suami isteri maka jual beli diantara suami isteri hanya dapat dilakukan jika perkawinan mereka telah berakhir karena perceraian (jadi mereka tidak lagi sebagai suami isteri tetapi mantan suami dan mantan isteri).

Didalam pembagian harta gono gini  yang berupa  tanah, di dalam praktek selalu timbul permasalahan di dalam perhitungan BPHTB dalam hal harta gono gini tersebut dibagikan kepada salah satu pihak. Permasalahan tersebut berkaitan dengan berapa besar BPHTB yang harus dibayar?

2.             Harta gono gini/harta bersama berupa tanah dan Pendaftarannya

Sebagaimana telah diuarikan di atas bahwa harta yang diperoleh oleh suami atau isteri sepanjang perkawinan mereka, kecuali yang berasal dari warisan atau hadiah merupakan harta gono gini suami isteri yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka jika suami isteri memperoleh tanah sepanjang perkawinan, kecuali yang berasal dari warisan atau hadiah maka tanah tersebut adalah merupakan harta gono gini suami isteri yang bersangkutan. Jadi secara yuridis formil yang perlu diperhatikan disini adalah saat perolehan harta tersebut dan sebab perolehannya. Sebagai Notaris/PPAT  itulah yang harus kita perhatikan jika suami isteri tersebut melangsungkan perkawinan menurut UU Perkawinan dan tanpa membuat perjanjian perkawinan.

Dana yang digunakan untuk memperoleh tanah tersebut bukan menjadi pusat perhatian kita sebagai Notaris/PPAT. Jika suami atau isteri tersebut menyatakan tanah tersebut merupakan milik pribadinya walaupun dibeli sepanjang perkawinannya akan tetapi dengan menggunakan uang pribadi yang berasal dari warisan atau yang berasal dari penjualan harta bawaan atau hartanya yang berasal dari warisan (“penanaman kembali”) maka hal tersebut hanya dapat kita benarkan apabila terdapat putusan hakim yang menegaskan hal tersebut.

Tanah yang merupakan harta gono gini tersebut dapat terdaftar atau memiliki sertipikat atas nama salah satu pihak diantara suami isteri tersebut atau terdaftar atau memiliki sertipikat atas nama berdua.Hal tersebut tergantung pada siapa yang bertindak sebagai pembeli pada saat menandatangani akta jual belinya. Jika dalam jual beli yang bertindak sebagai pembeli adalah suami maka tanah tersebut akan terdaftar atas nama suami (sertipikat tanah tersebut akan tertulis atas nama suami saja),  Jika dalam jual beli yang bertindak sebagai pembeli adalah siteri maka tanah tersebut akan terdaftar atas nama isteri  (sertipikat tanah tersebut akan tertulis atas nama isteri saja),   Jika dalam jual beli yang bertindak sebagai pembeli adalah suami dan isteri bersama-sama maka tanah tersebut akan terdaftar atas nama suami dan isteri (sertipikat tanah tersebut akan tertulis atas nama suami dann isteri),   

3.             Pembagian harta gono gini karena berakhirnya perkawinan karena perceraian

Pasal 37 UU Perkawinan menentukan”Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Sehubungan dengan ketentuan tersebut maka jelas berdasarkan ketentuan KUHPerdata (pasal 128) maupun berdasarkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 197) harta gono gini tersebut dibagi dua diantara mantan suami isteri tersebut masing-masing untuk ½ (setengah) bagian yang sama besarnya.

Di dalam pelaksanaan pembagiannya tanah atau tanah-tanah yang masuk dalam harta bersama tersebut dapat dibagi kepada salah seorang diantara mereka, dapat pula tanah tersebut secara fisik dibagi dua (dilakukan pemecahan sertipikat terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pembagian). Ada pula yang melakukan pembagian dengan cara tanah tersebut dijual dan kemudian hasil penjualannya dibagi dua diantara mereka.\

Pembagian atas tanah tersebut biasanya dilakukan dengan cara tanah yang sertipikatnya  terdaftar atas nama mantan suami dibagikan kepada mantan suami, sedangkan tanah yang sertipikatnya  terdaftar atas nama mantan isteri dibagikan kepada mantan isteri. Namun ada juga yang membagikan tanah yang sertipikatnya terdaftar atas nama suami tapi dibagikan kepada isteri atau sebaliknya. Pembagian tersebut dilakukan dengan membuat Akta Pembagian Hak Bersama yang dibuat dihadapan PPAT, yang biasanya didahuli dengan pembuatan akta Pemisahan dan Pembagian Harta Perkawinan dihadapan Notaris atau dibuat dibawah tangan dan kemudian dilegalisasi oleh Notaris.
Untuk  tanah yang sertipikatnya  terdaftar atas nama berdua dibagi berdasarkan kesepakatan mereka, ada yang dijual dan hasilnya dibagi dan ada juga dilakukan pembagian dalam bentuk lain.

Dengan dilakukan pembagian harta gono gini tersebut maka mantan suami atau mantan isteri yang dalam pembagian tersebut memperoleh tanah tersebut, memperoleh hak bagian yang berasal dari mantan isteri atau mantan suaminya artinya ia yang telah memiliki hak bagian sebesar ½ (setengah) bagian yang tak terpisahkan atas tanah tersebut, dengan memperoleh tanah tersebut dari pembagian tersebut, memperoleh tambahan sebesar ½ (setengah) bagian yang tak terpisahkan dari mantan suami atau mantan isterinya, tanpa melihat atas nama siapa sertipikat tersebut terdaftar.  
  
4.             Pembayaran BPHTB  di  dalam  pembagian harta gono gini yang terdaftar atas nama suami atau isteri  

Apabila tanah terdaftar atas nama suami dan isteri maka tidak terdapat permasalahan dalam pembagian harta gono gini beruapa tanah tersebut. Pembagian tersebut dapat langusng dilakukan dengan membuat akta pembagian hak bersama (APHB) dihadapa PPAT setelah sebelumnya dilakukna pembayaran terhadap BPHTB sebesar ½ (setengah) bagian dari BPHTB yang dikenakan terhadap peroelhan seluruhan tanh yang bersangkutan.

Permasalahan timbul jika kita hendak diulakukan pembagian harta gono gini yang hanya terdaftra atas nama salah satu pihak.Permasalahan tersebut menyangkut masalah pembayaran BPHTB,  baik berupa ada atau tidak ada kewajiban membayar BPHTB maupun menyangkut perhitungan besar pembayarannya yang wajib dilakukan.?

Menyangkut perhitungan pembayaran terjadi dalam hal sertipikat tanah tersebut terdaftar atas nama mantan suami atau mantan isteri saja. Misalnya tanah gono gini tersebut terdaftar atas nama mantan suami kemudian  tanah tersebut dibagikan kepada mantan isteri  atau sebaliknya tanah terdaftar atas nama mantan isteri kemudian dibagikan kepada mantan suami, berapa BPHTB yang harus dibayar?

Karena tanah tersebut menrupakan tanah gono gini maka masing-masing mantan isteri maupun mantan suami yang memperoleh tanah dalam pembagian tersebut, sebagaimana telah diuraikan di atas memperoleh tambahan hak sebesar ½ (setengah) bagian yang tak terpisahkan. Karena yang diperoleh hanya sebesar ½ (setengah) bagian maka BPHTB yang harus dibayar adalah sebesar ½ (setengah) bagian dari BPHTB yang dikenakan terhadap keseluruhan bidang tanah.

Masalah ada atau tidak adanya pembayaran BPHTB menjadi pertanyaan dalam hal terjadinya pembagian tanah yang terdaftar nama suami dibagikan kepada suami dan  atas tanah yang terdaftar atas nama isteri dibagikann kepada isteri, apakah dalam hal tersebut harus dilakukan pembayaran BPHTB?

Sehubungan dengan hal tersebut mari kita lihat bersama-sama ketentuan-ketentuan dalam UU PDRD  yang berkaitan dengan hal tersebut sbb :

i)        Pasal 85 ayat (1) yang menentukan bahwa Objek Pajak Bea Perolehan hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah PEROLEHAN HAK hak tanah dan/atau bangunan.  

ii)         Pasal 86 ayat (1) yang menentukan bahwa Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau badan  YANG MEMPEROLEH hak atas tanah dan/atau bangunan.

iii)           Pasal 86 ayat (2) yang  menentukan  Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau badan YANG MEMPEROLEH hak atas tanah dan/atau bangunan.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut hal penting dalam menentukan ada atau tidak adanya, terutang atau tidak terutangnya BPHTB, wajib atau tidak wajib dibayarnya BPHTB sangat tergantung pada ADANYA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.

Jadi jika tidak terdapat perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan maka tidak ada BPHTB dan karenanya tidak ada kewajiban untuk membayar BPHTB.

Kenapa adanya “Perolehan Hak” penting ?

Karena dengan adanya peristiwa perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan maka akan ada Objek Pajak BPHTB dan ada Subjek Pajak BPHTB yaitu pihak yang bertanggungjawab untuk menanggung dan membayar BPHTB tersebut sebagai Wajib Pajak BPHTB.  

Selanjutnya kita lihat ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf a dan huruf g UU PDRD yang mentukan bahwa saat terhutangnya pajak BPHTB untuk jual beli dan pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

Jadi pada prinsipnya BPHTB dalam kaitannya dengan pembagian atau jual beli wajib dibayar apabila terdapat unsur-unsur  sbb:

1)             Adanya pihak yang mengalihkan hak;
2)            Adanya perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
3)             Adanya pihak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan;
4)             Adanya akta yang membuktikan adanya perbuatan hukum tersebut.

Selanjutnya mari kita lihat hal-hal yang terdapat di dalam kasus tersebut:

1)             Adanya pihak yang mengalihkan haknya yaitu suami mengalihkan hak bagiannya kepada isteri atau sebaliknya;
2)             Adanya perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pengalihan hak yaitu  hak bagian dari mantan suami sebesar ½ (setengah) bagian yang tak terpisahkan dialihkan kepada isteri atau sebaliknya, akibat adanya perbuatan hukum pembagian (disini timbul pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak );
3)             Adanya pihak yang memperoleh hak sebesar ½ (setengah) bagian yang tak terpisahkan dari pihak lainnya akibat perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1);
4)             Adanya akta yang membuktikan perbuatan hukum yang dimakud dalam angka 1).

Dengan dipenuhinya atau adanya hal-hal tersebut dalam pelaksanana pembagian tersebut mengakibatkan perbuatan hukum pembagian harta gono gini  tersebut terkena kewajiban untuk membayar BPHTB  walau dalam kasus tersebut tidak dibuat akta APHB dihadapan PPAT.

Adapun BPHTB yang wajib dibayar adalah sebesar ½ (setengah) dari perhitungan BPHTB atas perolehan keseluruhan bidang tanah yang bersangkutan harena hak bagian yang diterima hanya sebesar ½ (setengah) bagian.   

Namun demikian hal tersebut jarang dipenuhi di dalam praktek karena di dalamnya tidak tersangkut pembuatan akta oleh PPAT dan tidak adanya proses balik nama ke kantor Pertanahan.

5.             Kesimpulan

Pembagian harta gono gini yang terdaftar atas nama suami atau isteri saja maupun yang terdaftar atas nama bersama/berdua terhutang BPHTB dan karenaya wajib membayar BPHTB sekalipun sertipikat atas tanah tersebut telah terdaftar atas nama pihak yang memperoleh hak dalam pembagian tersebut.  


Catatan:

Jika kasus tersebut dilakukan bukan melalui pembagian harta gono gini, tapi melalui perbuatan hukum lain baik berupa jual beli atau hibah tetap akan terhutang BPHTB yang besarnya sama.Walau tidak semua mempunyai pendapat yang sama dengan penulis.

Tks. Semoga bermanfaat.

Alwesius, SH. MKn
0815-8825-748

ALWESIUS BICARA SEGALANYA TENTANG NOTARIS DAN PPAT: PENGENAAN BPHTB TERHADAP HIBAH WASIAT MENURUT UU NO. 28 TAHUN 2009

ALWESIUS BICARA SEGALANYA TENTANG NOTARIS DAN PPAT: PENGENAAN BPHTB TERHADAP HIBAH WASIAT MENURUT UU NO. 28 TAHUN 2009