Minggu, 29 April 2012

STATUS HUKUM YAYASAN YANG BELUM MENYESUAIKAN ANGGARAN DASARNYA DENGAN UU YAYASAN



a.    Pendahuluan

Dalam praktek kita masih banyak menemukan Yayasan yang didirikian sebelum berlakunya UU No. 16 tahun  2001 tentang Yayasan juncto UU No. 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan ("UU Yayasan"), yang belum melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai yang dikehendaki oleh UU Yayaasan.

Yang menjadi permasalahan dalam praktek adalah apakah yayasan tersebut secara yuridis masih tetap diakui keberadaannya dan apa yang harus dilakukan para pengurus berkaitan dengan status Yayasan tersebut?

b.  Kewajiban untuk melakukan penyesuaian Anggaran Dasar sesuai UU Yayasan

Dengan berlakunya UU Yayasan maka semua Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan  diwajibkan untuk menyesuaikan anggaran dasarnya. Untuk Yayasan yang telah berstatus sebagai badan hukum kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU Yayasan , sedangkan untuk Yayasan yang belum berstatus sebagai badan hukum kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU Yayasan. Hal tersebut berarti jangka waktu yang diberikan oleh UU Yayasan tersebut saat ini telah berakhir. 

Kewajiban tersebut dituangkan dalam Pasal 71 ayat (1)  dan ayat (2) yang selengkapnya berbumyi sebagai berikut:

"(1)Pada saat Undang-undang ni mulai berlaku, Yayasan yang:
a.     telah  didaftarkan  di  Pengadilan  Negeri  da diumumkan  dalam  Tambahan  Berita   Negara Republik Indonesia; atau
b.    telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan  kegiatan dari instansi terkait;
tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahu terhitun seja tanggal  Undang-undan in mulai  berlaku,  Yayasan  tersebut  wajimenyesuaikan Anggaran Dasarnya dengaketentuan Undang-undang ini.
(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),         dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-   undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka  waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang inmulai berlaku.

Selanjutnya setelah dilakukan melakukan penyuasaian Anggaran Dasar tersebut maka wajib diberitahukan kjepada Menteri dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitrung sejak dilakukannya penyesuaian tersebut dan b agi yang berstatus badan hokum jangka waktu yang sama berlaku untuk mengajukan permohonan status sebagai badan hukum.

c.   Status hukum Yayasan yang tidak  melakukan penyesuian Anggaran Dasar 

Jika dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut Yayasan yang bersangkutan tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan UU Yayasan, pasal 71 ayat 4 UU Yayasan menentukan yayasan yang bersangkutan tidak dapat menggunaka kata  Yayasan”  di  depan  namany dan  dapat  dibubarka berdasarka putusaPengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

Selengkapnya Pasal 71 ayat 4 UU Yayasan menentukan:


"Yayasan  yang  tidak  menyesuaikan  Anggaran  Dasarnya  dalam  jangka  waktu  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan  kata  Yayasan di  depan  namanya  dan  dapat  dibubarkan  berdasarkan  putusaPengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.”

Dengan melihat akibat hukum yang ditentukan dalam pasal 71 ayat 4 UU Yayasan berarti suatu Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan yaitu Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap sebagai sebuah "Yayasan" karena UU Yayasan dalam Pasal 71 ayat 4 tetap menyebuttnya sewbagai "Yayasan" dan karenanya tetap sebagai suatu badan hukum sampai adanya putusan pengadilan yang membubarkan Yayasan yang bersangkutan berdasarkan permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan, walaupun dalam kegiatannya tidak boleh menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya.


Sanksi yang diatur dalam Pasal 71 ayat 4 UU Yayasan tersebut lebih merupakan sansksi "administraf".

Sedangkan terhadap Yayasan yang belum berstatus badan hukum tentunya kedudukannya tetap sama seperti semula, yang hanya berlaku sebagai perkumpulan biasa.    

d.   Yayasan lama yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya harus dibubarkan 

Di dalam praktek ternyata Yayasan yang belum melakukan penyesuaian Anggaran Dasar (“Yayasan Lama”) banyak mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kegiatannya, sementara Yayasan yang bersangkutan terus berjalan dan telah memiliki kedgiatan usaha yang tetap berjalan dan memiliki  asset baik berupa harta tidak bergerak maupun harta bergerak.

Yang menjadi pertanyaan dapatkah yayasan lama tersebut tetap berjalan atau harus dibubarkan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut  mari kita lihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 39 PP No. 63 tahun 2008, yang mennetukan "yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimakusd dalam Pasal 71 ayat 3 Undang-undang tidak dapat menggunakan kata "Yayasan" didepan namanya ssebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 4 dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-undang."  .

Pasal 68 UU Yayasan menentukan:" 
  
(1)       Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar.
(2)       Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan  tujua yang  sama  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  sisa  kekayaan  tersebut diserahkan kepada  Negara dan penggunaannya  dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan tersebut.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut jelas bahwa yayasan lama yang telah diakui sebagai badan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat 1 UU Yayasan, jika tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam waktu yang ditentukan dalam UU Yayasan wajib melikuidasi kekayaannya. Hal tersebut sama saja artinya bahwa yayasan tersebut wajib dibubarkan dan selanjutnya dilakukan likuidasi.

Dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasai maka sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada YAYASAN LAIN yang mempunyai makusd dan tujuan yang sama dengan yayasan lama tersebut yang dibubarkan tersebut, dan jika inin tidak dilakukan maka sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada negara.

Apabila yayasan tersebut tidak dibubarkan secara sukarela maka berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat 4 UU Yayasan, yayasan tersebut dapat dibubarkan secara paksa berdasarkan putusan pengadilan.

e.   Pendirian Yayasan baru dengan nama dan maksud dan tujuan yang sama

Oleh karena yayasan yang lama yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan tidak lagi dapat menyesuaikan anggaran dasarnya maka di dalam praktek banyak dilakukan pendirian yayasan baru dengan menggunakan nama dan maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang lama.Hal ini dilakukan agar yayasan yang baru dapat "menggantikan" yayasan yang lama.

Yang menjadi masalah bagaimana caranya melakukan pendirian yayasan yang baru tersebut agar yayasan baru dapat "mengganti" yayasan lama tanpa suatu kendala apapun juga dan menghindari permasalahan yang timbul dikemudian hari.

Berkaitan dengan hal tersebut menurut penulis harus dibedakan cara yang akan ditempuh dalam pendirian yayasan baru untuk yayasan lama yang telah berstatus badan hukum dan yayasan yang belum berstatus badan hukum.

Untuk yayasan lama yang telah berstatus badan hukum, dengan berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam UU Yayasan serta peraturan pelaksanaannya sebagaimana telah disebutkan di atas yang telah berstatus badan hukum tentunya cara pengalihan hak dan kewajibannya dilakukan dengan melakukan pembubaran yayasan yang lama (dilakukan likuidasi)  kemudian segala hak dan kewajibannya (sisa hasil likuidasi) dialihkan kepada yayasan yang baru (tentunya setelah yayasan yang baru memperoleh status badan hukum). Pendirian yayasan yang baru dalam kasus ini dalam praktek biasanya disebut dengan “Pendirian Murni” artinya dalam premise akta pendirian yayasan tersebut tidak disebutkan riwayat pendirian yayasan yang lama dalam kaitannya dengan yayasan yang baru.


Jadi untuk yayasan yang lama terdapat tindakan-tindakan sebagai berikut:


1.    Pendirian yayasan yang baru dan proses pengesahannya sebagai badan hukum
2.    Pembubaran yayasan yang lama dan proses likuidasi
3.    Pengalihan kekayaan sisa hasil likuidasai yayasan yang lama kepada yayasan baru

Memang ada pihak-pihak atau juga notaris yang menyatakan bahwa dalam hal ini tidak perlu dilakukan pembubaran terhadap yayasan yang lama dan didalam yayasan yang baru disebutkan bahwa kekayaan yayasan yang baru berasal dari kekayaan yayasan yang lama dan peralihan tersebut terjadi demi hukum.


Menurut penulis pendapat ini kurang tepat  jika kita melihat ketentuan tersebut di atas dan disamping itu  yayasan yang lama maupun yayasan yang baru adalah merupakan badan hukum yang berdiri sendiri, jadi tidak bisa terjadi peralihan hak kekayaan yayasan yang lama kepada yayasan yang baru tanpa ada perbuatan hukum peralihan hak.Peralihan hak demi hukum atas kekayaan badan hukum yang satu ke badan hukum yang lain hanya dapat terjadi dalam hal dilakukannya merger atau konsolidasi tanpa likuidasai.

Terhadap yayasan yang belum berstatus badan hukum, pendirian yayasan yang baru dapat dilakukan untuk melanjutkan keberadaan yayasan yang lama.Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam premise yayasan yang baru dapat disebutkan riwayat pendirian yayasan yang bersangkutan sampai dengan dilakukannya pendirian yayasan yang baru dan selanjutnya yayasan tersebut akan disahkan sebagai badan hokum. Dalam hal ini hanya ada satu yayasan, sehingga semua kekayaan yayasan yang lama juga adalah merupakan kekayaan yayasan yang baru.

Salam, semoga bermanfaat
Alwesius,SH, MKn
08158825748

Rabu, 25 April 2012

KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASKAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi RI dengan putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012 berkaitan dengan permohonan uji materiil terhadap UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto memutuskan: "Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “

Putusan tersebut sedikit banyak telah membuat kaget sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk kalangan yang bergerak di dunia hukum, termasuk kalangan notaris. Banyak notaris yang mempertanyakan bagaimana akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap kedudukan anak luar kawin dalam masalah pewarisan, bagaimana kedudukan Akta/Surat Keterangan Waris (SKW) yang telah dibuat oleh notaris, apakah SKW tersebut dapat digugat oleh anak luar kawin yang bersangkutan, apa akibatnya terhadap notaris yang membuat SKW tersebut.Hal tersebut sedikit banyak membawa kepanikan tersendiri bagi beberapa kalangan notaris. Hal ini terlihat dari pertanyaan dan komentar-komentar yang diajukan di dalam grup atau milik yang terdapat didunia maya. Untuk menjawab pertanayan-pertanyaan tersebut maka mulai bertebaran seminar-seminar yang telah atau akan diadakan untuk membahas masalah yang masih hangat tersebut.

Kedudukan anak luar kawin

1.  Menurut KUHPerdata

Dalam arti luas anak luar kawin adalah semua anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah (termasuk disini anak zinah dan anak sumbang). Anak luar kawin menurut KUHPerdata terdiri dari :1) anak luar kawin (dalam arti sempit); 2) anak sumbang dan 3) anak zinah.

Anak luar kawin (dalam arti sempit) ("natuurlijk kind") selanjutnya disebut ALK adalah   anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah, yang tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak terkena larangan untuk melangusngkan perkawinan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah, dimana diantara mereka satu dengan yang lainnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Anak Zinah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah, dimana salah seorang di antara mereka atau kedua-duanya sedang terikat perkawinan dengan orang lain.

Pada prinsipnya menurut KUHPerdata seorang ALK hanya mempunyai hubungan hubungan biologis dengan orang tuanya tanpa adanya hubungan perdata dengan mereka. Pasal 280 KUHPerdata menentukan hubungan perdata di antara seorang ALK dengan orang tuanya hanya terjadi apabila ayah dan atau ibu  anak tersebut melakukan "pengakuan anak ("erkenning") ". Hubungan perdata timbul antara ALK dengan ayah dan atau ibu yang mengakuinya. Berdasarkan Pasal 282 KUHPerdata, pengakuan ALK harus dilakukan dengan suatu akta otentik.  Disamping dilakukannya pengakuan anak. Kedudukan ALK juga dapat ditingkatkan sehingga kedudukannya sama seperti anak sah. hal ini disebut dengan "pengesahan anak ("wettiging") . Pengesahan anak dapat dilakukan melalui perkawinan kedua orang tua yang telah mengakuinya (Pasal 272 KUHPerdata) atau melalui pengesahan dengan "surat pengesahan ("brieven van wettiging") yang diterbitkan oleh Presiden (Pasal 274 KUHPerdata).

Dengan adanya hubungan perdata antara ALK dengan orang tua yang mengakuinya maka ALK yang bersangkutan mempunyai hak untuk menjadi ahli waris orang tuanya tersebut, demikian ditentukan dalam Pasal 862 KUHPerdata. Jadi seorang ALK hanya berhak mewaris dari orang tuanya apabila orang tuanya melakukan pengakuan anak secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.Jika ALK tersebut tidak diakui secara sah oleh orang tuanya maka ia tidak berhak mewaris harta peninggalan orang tuanya, kecuali tidak terdapat lagi ahli waris yang berhak mewaris berdasarkan UU maka ia akan mewaris dengan mengenyampingkan negara (pasal 873 KUHPerdata)..

Pasal 283 KUHPerdata menetukan bahwa terhadap anak zinah maupun anak sumbang tidak dapat diakui, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 273 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan tersebut maka anak zinah dalam keadaan apapun tidak dapat ditingkatkan statusnya, sedangkan terhadap anak sumbang masih mungkin ditingkatkan status hukumnya apabila kedua orang tuanya memperoleh dispensasi untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 KUHPerdata.

Sehubungan dengan hal tersebut maka anak zinah maupun anak sumbang (selain yang dimaksud dalam Pasal 273 KUHPerdata)   menurut KUHPerdata tertutup peluangnya untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya mereka hanya berhak atas tunjang nafkah sesuai dengan kemampuan orang tuanya (Pasal 867 - 869 KUHPerdata). 

Bebeda dengan apa yang ditetapkan dalam KUHPerdata. di dalam pasal 43 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974  (UU Perkawinan) ditentukan bahwa ALK mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka semenjak berlakunya UU Perkawinan seorang ALK dengan sendirinya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, tanpa perlu adanya pengakuan anak yang dilakukan oleh seorang ibu. Adanya ketentuan tersebut mengakibatkan seorang ALK mempunyai hak mewaris dari ibunya, jika ibunya tersebut meninggal dunia. 

Terhadap kedudukan anak yang diatur dalam UU Perkawinan tersebut ada pula yang berpendapat lain . Pendapat lain  tersebut timbul karena adanya ketentuan Pasal 43 ayat 2 UU Perkawinan yang menentukan   " Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah." dan peraturan pemerintah tersebut sampai sekarang belum ada. Karena peraturan pemerintah yang dimaksud itu sampai sekarang belum ada maka untuk menimbulkan hubungan perdata ALK tersebut dengan ibunya masih tetap diperlukan adanya pengakuan anak. 

2.  Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam semua anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut sebagai anak zinah. Jadi ada perbedaan pengertian mengenai anak zinah dalam hukum Islam dan KUHPerdata. Menurut hukjum Islam seorang anak zinah tidak berhak mewaris dari ayah biologisnya. Ia hanya berhak mewaris dari ibu dan keluarga ibunya. 

Di dalam buku-buku maupun tulisan-tulisan yang membahas mengenai kedudukan anak zinah dalam Islam dinyatakan bahwa terdapat sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dijelaskan lebih lanjut bahwa seorang anak hanya bernasab kepada suami sah dari ibu kandungnya artinya seorang anak hanya bernasab kepada ayah kandungnya, sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman.

Berkaitan dengan hal tersebut maka jika pernikahan seseorang tersebut sah maka anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, sedangkan jika tidak terdapat perkawinan yang sah maka anak hanya bernasab dengan ibunya.


Kedudukan anak zinah dalam Islam tersebut kembali ditegaskan 
 dalam fatwa MUI pada tanggal 10 Maret 2012, yang antara lain menyatakan : 1. anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, nikaah, waris dan nafaqah (nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya; 2. anak hasil zina hanyah mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya. 

Kedudukan anak luar kawin paskah Putusan Mahkamah Konstitusi

Di atas telah disebutkan bahwa putusan mahkamah konstitusi menyabutkan bahwa Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “

Dengan adanya putusan MK tersebut maka jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain mengenai adanya hubungan biologis antara seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah maka anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah dengan adanya hubungan perdata tersebut berarti anak tersebut berhak mewaris dari ayah dan keluarga ayahnya, apakah ketentuan tersebut juga berlaku untuk anak sumbang dan anak zinah,  bagaimana jika ada keberatan dari anak-anak sah orang tuanya ?

Menurut penulis jika kita kaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata maka sepanjang menyangkut ALK  keputusan MK tersebut mungkin untuk dilaksanakan karena tidak akan terdapat pertentangan dengan pasal-pasal yang ada di dalam KUHPerdata mengenai pewarisan, dimana kedudukan yang bersangkutan disamakan dengan ALK yang diakui sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 862 KUHPerdata.Akan tetapi jika anak tersebut merupakan anak zinah atau anak sumbang terdapat permasalahan untuk melaksanakannya karena Pasal 867 KUHPerdata menyatakan secara tegas bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 862 sampai dengan Pasal 866 KUHPerdata tidak berlaku bagi anak zinah dan anak sumbang.  Disamping hal tersebut putusan MK juga sulit untuk dilaksanakan jika terdapat keberatan dari para ahli waris yang sah dari ayahnya.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka menurut penulis diperlukan adanya penetapan pengadilan untuk menentukan apakah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tersebut berhak mewaris dari ayah biologis dan keluarga ayahnya tersebut.

Selanjutnya jika dikaitkan dengan hukum Islam maka putusan MK tersebut menurut penulis tidak akan menimbulkan perubahan berkaitan dengan hak mewaris seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah karena sangat jelas bahwa dalam hukum Islam seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan nasab dari ibu dan keluarga ibunya, seperti yang dinyatakan dalam fatwa MUI tersebut. 

Berkaitan dengan hal tersebut paskah adanya putusan MK tersebut hal yang utama terlebih dahulu dapat dituntut oleh seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, jika ia telah berhasil membuktikan adanya hubungan biologis antara dirinya dan ayah biologisnya tersebut adalah menuntut pertanggungjawaban ayahnya tersebut atas pemeliharaan dan pendidikannya sama seperti anak-anaknya yang lain.


Sekian
Alwesius,SH,MKn.



Minggu, 22 April 2012

PEMILIKAN TANAH BERKAITAN DENGAN PERKAWINAN CAMPURAN

Pendahuluan

Pemilikan harta termasuk pemilikan tanah secara pribadi adalah merupakan salah satu hak dasar yang dijamin oleh konstitusi kita, sebagaimana dirumuskan di dalam pasal 28 huruf H ayat (4) yang menentukan " setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Disamping itu konstitusi kita melalui Pasal 28 B ayat (1) menyatakan "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah".   

Hak-hak tersebut kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Pasal 36 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 menyatkan "Setiap orang berhak mempunyai  milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat  dengan cara tidak melanggar hukum".

Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap warga negara Indonesia berhak untuk melangsungkan perkawinan dengan siapapun juga baik dengan sesama warga negara Indonesia maupun dengan warga negara asing, sepanjang perkawinan tersebut dilangsungkan sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Disamping itu juga setiap warga negara Indonesia berhak untuk mempunyai hak milik pribadi, baik berupa harta tidak bergerak maupun berupa harta bergerak. ia berhak untuk memiliki tanah pribadi, rumah tinggal pribadi, mobil pribadi, uang pribadi, perlengkapan pekerjaan pribadi dan lain-lain. Ia berhak memiliki harta pribadi baik yang dimiliki sendiri secara pribadi maupun yang dimiliki secara bersama-sama dengan orang lain.  Hak pribadi tersebut tidak dapat dihapus, dikurangi atau dibatasi  oleh pihak manapun juga selain karena berdasarkan hal-hal yang ditetapkan dalam UU.

Hak Warga Negara Indonesia di dalam UUPA

Sebelum dinyatakan dalam Konstitusi kita maupun di dalam UU no. 39 tahun 1999 ternyata UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) telah terlebih dahulu mengakui hak dari setiap WNI atas tanah di Indonesia.Pasal 9 ayat 2 UUPA secara tegas menyatakan bahwa " Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya".  

Jelas bahwa para pembentuk UUPA mempunyai pikiran yang sangat jahu ke depan, dengan memberikan kesempatan kepada seluruh WNI, tanpa membedakan status dan kedudukan, tanpa membedakan "gender" untuk memiliki tanah pribadi bagi pengembangan dirinya maupun keluarganya. Setiap WNI dapat memiliki tanah dengan status hak atas tanah apapun juga yang dimungkinkan oleh UUPA. Seorang WNI dapat memiliki tanah pribadi dengan status Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, tentunya semuanya dengan memperhatikan ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan dalam UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Jadi hubungan kepemilikan (milik) yang dimiliki oleh WNI dengan tanah yang dimiliki (secara pribadi) dapat berupa hubungan hukum yang disebut dengan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 UUPA yang berbeda konsepsinya dengan hubungan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 570 KUHPerdata. Hubungan kepemilikan tersebut dapat pula berupa hubungan hukum yang lain seperti HGU, HGB atau Hak Pakai, bahkan dalam praktek banyak pula terjadi hubungan pemilikan tersebut tidak dilandasai pada adanya suatu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA tapi didasari pada hubungan keperdataan tertentu, misalnya seseorang yang memiliki rumah di atas tanah negara dengan berbagai alas hak. Namun demikian walau tidak didasari oleh adanya suatu alas hak berupa hak atas tanah yang ditentukan dalam UUPA tetap saja rumah dan tanah dimana rumah tersebut didirikan merupakan milik (hak milik)  yang bersangkutan secara pribadi dan tentunya juga keneradaannya dilindungi oleh Pasal 28 huruf H UUD kita.

Asas Kebangsaan dalam UUPA

Pasal 9 ayat 1 UUPA menentukan "Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2".  Jika kita baca ketentuan Pasal 20 UUPA maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan "hubungan sepenuhnya" dengan tanah di Indonesia adalah "Hak Milik". Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka pada asasnya hanya WNI yang boleh mempunyai Hak Milik. Berkaitan dengan asas yang terkandung dalam pasal 9 ayat 1 UUPA tersebut maka Pasal 21 ayat 1 UUPA menentukan secara tegas bahwa yang dapat mempunyai hak milik atau yang dapat menjadi subyek hak milik hanyalah warga negara Indonesia.WNI disini adalah WNI yang tidak mempunyai kewarganegaraan lain.  Jadi jelas seorang Warga Negara Asing tidak boleh mempunyai hak milik.

Pengecualian terhadap hal tersebut ditentukan dalam Pasal 21 ayat 2 UUPA yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik dengan penetapan Pemerintah dalam suatu peraturan Pemerintah.Hal tersebut kemudian dituangkan dalam PP No. 38 tahun 1963. 

Pemilikan Tanah Oleh Orang Asing karena terjadinya Peristiwa hukum yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 3 UUPA  

Tanah hak milik yang tidak boleh dimiliki oleh orang asing masih mungkin menjadi milik orang asing karena terjadinya peristiwa hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 3 UUPA, yaitu karena terjadinya pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan atau karena peralihan kewaqrganegaraan dari WNI menjadi WNA.Jika peristiwa hukum tersebut terjadi maka demi hukum tanah hak milik tersebut dimiliki oleh orang asing. Dalam kejadian demikian maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau sejak terjadinya peralihan kewarganegaraan tersebut, tanah hak milik tersebut harus dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

Seandainya pemilik tanah tersebut ingin tetap menguasai tanah yang bersangkutan maka tanah hak Milik yang bersangkut harus diubah menjadi Hak Pakai dengan mengajukan permohonan perubahan hak kepada Kepala Kantor Pertanahan  Kabupaten/Kota setampat.  

Larangan melakukan Perbuatan Hukum yang mengakibatkan tanah hak Milik dimiliki oleh WNA atau Badan Hukum yang bukan merupakan subyek hak milik

Larangan untuk melakukan perbuatann hukum pemindahan hak yang mengakibatkan tanah hak milik beralih kepemilikannya kepada pihak yang bukan meruapakan subyek hak milik diatur secara tegas  dalam pasal 26 ayat 2 UUPA. Pasal 26 ayat 2 UUPA menentukan "Setiap jual beli ... perbuatn-perbuatan lain yang dimakusdkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangusng serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali."

Berdasarkan ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA jelas bahwa tidak boleh atau dilarang melakukan perbuatan hukum berupa apapun juga, baik secara langsung maupun tidak langung bermaksud untuk   memindahkan hak milik kepada orang asing, dengan akibat hukum seperti disebutkan di atas.

Termasuk yang dilarang dalam ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA tersebut adalah jika kita membuat kuasa atau perjanjian yang bersifat pemberian hak sepenuhnya kepada orang asing yang mengakibatkan ia mempunyai kewenangan seperti seorang pemilik atau membuat jual beli tanah yang diikuti pembuatan pernyataan pemilikan tanah (nominee).

Pasal 26 ayat 2 UUPA berlaku pula kepada WNI yang bersuami/beristeri WNA yang kawin tanpa Perjanjian Kawin (ada Percampuran harta)

Menurut ketentuan pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, segala harta yang diperoleh selama perkawinan kecuali yang berasal dari warisan atau hadiah menjadi harta bersama suami isteri yang bersangkutan.Sudah tentu termasuk di dalamnya jika harta yang diperoleh tersebut berupa harta tidak bergerak (tanah). Jika seorang suami atau isteri membeli tanah sepanjang perkawinan mereka maka tanah tersebut akan menjadi harta bersama/harta gono gini suami isteri yang bersangkutan.Termasuk juga jika perkawinan tersebut adalah merupakan perkawinan campuran yang dilangsungkan tanpa membuat perjanjian kawin harta terpisah. Tanah yang dibeli seorang suami/istri yang berkewarganegaraan Indonesia dengan sendirinya demi hukum juga menjadi milik istri/suaminya yang berkewarganegaraan asing.  

Oleh karena perbuatan hukum pembelian tanah yang dilakukan oleh suami/isteri  tersebut mengakibatkan tanah tersebut juga menjadi milik/hak milik isteri atau suami yang berkewarganegaraan asing maka menurut penulis ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA dengan segala akibat hukumnya juga berlaku terhadap perkawinan campuran yang dilangsungkan tanpa  membuat perjanjian kawin harta terpisah.

Permberlakuan Pasal 26 ayat 2 UUPA kepada WNI yang mempunyai suami/isteri WNA yang kawin tanpa perjanjian kawin harta terpisah tidak melanggar hak asasi manusia

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemberlakukan ketentuan Pasal 26 ayat 2 UUPA melanggar hak asasi manusia atau melanggar ketentuan konstitusi kita khususnya pasal 28 huruh H UUD atau melanggar UU No. 39 tahun 1999.

Menurut penulis hal tersebut tidak melanggar hak asasi manusia, tidak melanggar konstitusi kita dan tidak bertentangan dengan UU No. 39 tahun 1999. karena pemberlakuan Pasal 26 ayat 2 UUPA tersebut tidak menghapus hak dasar atau hak kontitusional seorang WNI  untuk mempunyai milik/hak milik pribadi atas harta kekayaan termasuk milik pribadi atas tanah. Ia tetap dapat memiliki tanah secara pribadi untuk dimiliki baik untuk rumah tinggal atau usaha dan pekerjaannya guna pengembangan dirinya dan keluarganya. Sudah tentu pemilikan tanah secara pribadi tersebut harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan juga tidak melanggar ketetuan hukum yang berlaku di Indonesia.Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ia dapat mempunyai milik/hak milik secara pribadi status tanah hak pakai bukan status tanah hak milik.Tanah hak pakai tersebut akan menjadi milik pribadinya, akan menjadi hak milik pribadinya dan keluarganya.

Penentuan bahwa yang bersangkutan dapat mempunyai milik/hak milik pribadi dalam konstitusi kita maupun dalam UU hak Asasi Manusia tersebut tidak dilanggar dengan dilarangnya WNI yang menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin untuk membeli tanah dengan status Hak Milik (juga HGU maupun HGB).  Menurut penulis hak milik pribadi atau milik pribadi yang dimaksud dalam konstitusi kita atau dalam UU Hak Asasi Manusia lebih pada perkataan "milik" atau "hak milik" yang kita kenal secara umum, yaitu  dalam arti "memiliki" atau "mempunyai"  terlepas dari status tanah yang bersangkutan, apakah dimiliki dengan suatu hak atas tanah sesuai UUPA atau tidak. Jadi  bukan hak milik dalam arti Pasal 20 UUPA atau Pasal 570 KUHPerdata.   


Salam
Alwesius,SH,MKn. 


PELAKSANAAN BALIK NAMA SERTIPIKAT KE ATAS NAMA SALAH SEORANG AHLI WARIS DAN PERMASALAHANNYA

Pendahuluan
Sesuai ketentuan hukum waris  apabila salah seorang Pewaris meninggal dunia maka segala hak dan kewajibannya di bidang hukum harta kekayaan akan beralih kepada sekalian ahli waris. Hal tersebut dikenal dengan "asas Saisine" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 833 KUHPerdata . Jadi dengan demikian dengan meninggalnya seseorang segala harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia beralih menjadi hak milik para ahli waris yang ditinggalkannya.

Asas umum dalam pewarisan tersebut hanya dapat dikesampingkan apabila Pewaris pada saat meninggalnya meniggalkan surat wasiat.

Untuk membuktikan siapa-siapa yang menjadi ahli waris Pewaris maka akan dibuat "Surat Keterangan Waris" atau "Akta Keterangan Sebagai Ahli Waris". 

Balik Nama Sertipikat Tanah ke atas nama Para Ahli Waris

Apabila Pewaris meninggalkan harta kekayaan berupa tanah yang telah bersertipikat maka selanjutnya dengan meninggalnya Pewaris, sertipikat tanah tersebut dapat dibalik nama ke atas nama semua ahli waris dengan mengajukan permohonan kepada Kepala kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan antara lain "Surat Keterangan Waris" atau "Akta Keterangan Sebagai Ahli Waris". Misalnya ahliwaris terdiri dari 4 (empat) orang anak B. C, D dan E maka Sertipikat tanah tersebut selanjutnya terdaftar atas nama "B,C,D dan E". 

Balik Nama Seripikat Tanah ke atas nama Salah seorang Ahli Waris

Jika ternyata para ahli waris menghendaki tanah yang ditinggalkan Pewaris tersebut dibagikan kepada salah seorang ahli waris saja.Misalnya BCDE sepakat bahwa tanah tersebut akan dibagikan kepada B saja maka mereka dapat membuat "akta pembagian waris" baik yang dibuat dengan akta Notaris maupun akta dibawah tangan. Selanjutnya berdasarkan "Surat Keterangan Waris" dilengkapai dengan "Akta Pembagian Waris" tersebut  sertipikat tanah atas nama Pewaris dapat langsung dibalik nama ke atas nama salah seorang ahli waris yaitu B.Kemungkinan tersebut dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 42 ayat 4 PP no. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 111 ayat 5 PMNA/ka.BPN No. 3 tahun 1997.

Dimungkinkannya pendaftaran atau balik nama sertipikat tanah tersebut kepada salah seorang ahli waris disamping memang telah sesuai dengan prinsip pewarisan juga sangat membantu para ahli waris dan juga sangat membantu di dalam praktek Notaris dan PPAT, sekurang-kurangnya membantu di dalam menghemat waktu dalam pelaksanaan pendaftaran tersebut, sehingga jika akan dilakukannya perbuatan hukum selanjutnya atas tanah tersebut maka hal tersebut dapat segera dilakukan.

Namun kenyataannya di dalam praktek banyak Kantor Pertanahan tidak mau melaksanakan hal tersebut dengan alasan adanya masalah di bidang perpajakan.Alasan yang menurut penulis sangat kurang tepat, karena pendapat manapun yang dianut berkaitan dengan pajak yang harus dibayar, secara yuridis maupun teknis administratif ketentuan Pasal 42 ayat 4 PP No. 24 tahun 1997 tersebut tetap dapat dijalankan.

Salah seorang Ahli Waris Berkewarganegaran Asing

Jika salah sorang ahli waris yang ditinggalkan berkewarganegaraan asing (misalnya dalam kasus di atas D merupakan WN Australia) dan tanah tersebut berstatus Hak Milik, HGU atau HGB maka berlaku ketantuan pasal 21 ayat 3, 30 ayat 2 atau pasal 36 ayat 2 UUPA. Ahli waris tersebut tetap berhak untuk mewarisi tanah tersebut, namun dalam jangka waktu 1 (satu) tahun ia wajib mengalihkan hak bagiannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. 

Menghadapi permasalahan tersebut maka memang sebaiknya  D yang WNA tidak  memperoleh bagian atas tanah ybs, jadi tanah tersebut dibagikan kepada B, C dan E sedangkan D memperoleh bagian harta yang lain.Jadi dalam hal ini dapat dibuat "akta pembagian waris" yang membagikan tanah tersebut kepada B,C dan E, sehingga selanjutnya sertipikat tanah tersebut dibalik nama ke atas nama B,C dan E.  

Di dalam praktek ada penyelesaian lain yang disarankan oleh rekan Notaris-PPAT kepada klien yaitu dengan membuat Penolakan harta Peninggalan.Satu hal yng kurang disadari oleh para ahli waris yang bersangkutan, mungkin tidak diberikan penjelasan yang cukup oleh rekan Notaris tersebut adalah akibat hukum dari penolakan tersebut. Hal tersebut penulis kemukakan karena pernah seseorang berkonsultasi kepada penulis melalui rekan Notaris yang lain perihal penolakan yang pernah dilakukannya, apakah ahli waris yang menolak tersebut masih dapat menuntut tabungan dan deposito serta tanah yang masih ada milik Pewaris sementara ia pernah melakukan penolakan, namun si ahli tersebut menyatakan bahwa penolakan tersebut dilakukan atas saran Notaris dan penolakan yang ia lakukan hanya semata-mata agar tanah warisan tersebut dapat dibalik nama ke atas nama ahli waris yang lain dan segera dapat dijual.

Berdasarkan ketentuan pasal 1058 KUHPerdata, seseorang yang telah menolak harta peninggalan Pewaris dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Jadi ia tidak lagi berhak apapun atas harta peninggalan Pewaris.Ia tidak hanya tidak berhak atas tanah tersebut, akan tetapi juga tidak berhak atas harta Pewaris yang lainnya.  Inilah yang sering terjadi dalam praktek dimana ia menyangka bahwa ia hanya tidak berhak atas tanah yang bersangkutan saja, akan tetapi ia tetap berhak atas harta yang lain.Berkaitan dengan hal tersebut maka kita sebagai Notaris-PPAT tentunya harus sangat hati-hati untuk menyarankan digunakannya "lembaga penolakan" untuk mengatasi masalah pewarisan dalam hal terdapat ahli waris yang berkewarganegaraan asing tersebut.

Pemisahan dan Pembagian Hak Bersama yang berasal dari Warisan

Di atas telah disebutkan bahwa dengan meninggalnya seseorang maka segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. jadi disini timbul kepemilikan bersama para ahli waris terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan Pewaris, termasuk pemilikan bersama atas tanah yang ditinggalkan Pewaris, tanpa dikehendaki oleh ahli waris karena terjadi dengan terjadinya peristiwa hukum berupa kematian Pewaris bukan karena suatu perbuatan hukum.

Pemilikan bersama yang terjadi karena pewarisan adalah merupakan Pemilikan Bersama yang Terikat (gebonden mede-eigendom). Jika para ahli waris hendak mengakhiri pemilikan bersama yang terikat tersebut maka mereka dapat melakukan pemisahan dan pembagian warisan dengan membuat akta pemisahan dan pembagian waris. Di dalam akta pemisahan dan pembagian waris tersebut mereka dapat bersepakat untuk melakukan pembagian sebidang tanah tertentu hanya dibagikan kepada salah seorang ahli waris saja misalnya B saja yang memperoleh tanah tersebut atau tanah tersebut dibagikan kepada 2 (dua) orang ahli waris dengan menyebutkan secara tegas bagiannya masing-masing. Ahli waris atau para ahli waris yang memperoleh hak atas tanah tersebut bukan berasal dari para ahli waris lainnya, akan tetapi langsung dari Pewaris, demikian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1083 KUHPerdata. Perolehan hak tersebut bukan terjadi mulai saat dibuatnya akta tersebut tetapi terjadi terhitung sejak meninggalnya Pewaris.Pemisahan dan pembagian dalam pemilikan bersama yang terikat ini BERSIFAT DEKLARATIF DAN MEMPUNYAI DAYA BERLAKU SURUT. Jadi disini peralihan hak terjadi dari Pewaris kepada Ahli waris yang memperoleh tanah tersebut bukan dari Para Ahli waris kepada Ahli waris yang memperoleh tanah tersebut. Hal ini yang mungkin kurang dipahami oleh sebagian "pejabat BPN" , pejabat yang berkaitan dengan pelaksanana pembayaran BPHTB atau juga rekan-rekan Notaris dan PPAT .

Masalah BPHTB berkaitan dengan Pemisahan dan Pembagian Hak Bersama yang berasal dari Warisan

Salah satu obyek pajak BPHTB menurut Pasal 85 ayat (2) a angka 7 UU No. 28 tahun 2009 tentang PDRD adalah "Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan". UU ini tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan "pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan", didalam penjelasannya hanya dikatakan "cukup jelas". Akan tetapi jika kita lihat ke dalam UU sebelumnya ( UU No. 20 tahun 2000) maksud dari "pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan" adalah "Pemindahan hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama".

Berdasarkan pengertian tersebut maka jika kita lihat dari hakekat pemisahan dan pembagian hak bersama yang berasal dari warisan maka jelas bahwa pemisahan dan pembagian hak bersama yang berasal dari warisan tersebut bukan merupakan objek pajak BPHTB karena dalam hal tersebut tidak terdapat peralihan hak dari ahli waris yang satu kepada ahli waris yang lainnya, yang ada di dalamnya adalah peralihan hak dari Pewaris langsung kepada ahli waris yang memperoleh tanah tersebut.

Oleh karena itu maka adalah sangat tepat jika apa yang dinyatakan dalam Surat Kepala BPN No. 600-1561 tanggal 21 April 1999 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Indonesia untuk tetap dipatuhi dan dilaksanakan dalam praktek pendaftaran peralihan hak kepada salah seorang ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 4 PP No. 24 tahun 1997 atau Kepala BPN mengeluarkan surat baru yang menegaskan hal tersebut dengan berkoordinasi dengan pihak Kemendagri, sehingga tidak terdapat lagi perbedaan-perbedaan dalam praktek antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, dan akhirnya agar menimbulkan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Pembagian Hak Bersama dengan Pembuatan APHB

Akta APHB adalah akta yang dibuat untuk melakukan pembagian hak bersama milik beberapa pemegang hak. Dengan dilakukannya pembuatan akta APHB maka terjadi peralihan hak salah seorang atau beberapa orang diantara pemegang hak bersama tersebut kepada salah seseorang atau beberapa orang lainnya dari para pemegang hak bersama yang bersangkutan. Dengan dibuatnya APHB maka jelas disini pemisahan atau pembagian yang dilakukan berdasarkan APHB merupakan objek BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal   Pasal 85 ayat (2) a angka 7 UU No. 28 tahun 2009 tersebut dan karenanya terutang BPHTB, yang harus dilunasi sebelum dibuatnya akta APHB tersebut.

Didalam perolehan hak karena warisan, pembuatan APHB ini dilakukan jika sertipikat tanah hak bersama tersebut telah dibalik nama ke atas nama semua ahli waris misalnya ke atas nama BCDE akan tetapi kemudian B,C dan E bermaksud menyerahkan haknya kepada D. Penyerahan hak dari BCE kepada D tersebut dikenakan PPh maupun BPHTB.

Cara inilah yang banyak digunakan dalam praktek PPAT dan bahkan di beberapa daerah diminta oleh "oknum BPN" atau "Instansi terkait di daerah" untuk ditempuh oleh PPAT. Instansi daerah meminta hal tersebut untuk dilakukan karena jelas lebih meningkatkan pemasukan dari sudut pajak daerah.PPAT menempuh cara tersebut (walaupun dari awal telah diminta oleh para ahli waris agar tanahnya dibalik nama hanya ke atas nama D saja) karena memang cara ini yang lebih "mudah atau memudahkan" untuk ditempuh dalam praktek.

Salam
Alwesius.SH,MKn.