Laman

Kamis, 19 Desember 2013

BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UUJN


BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UUJN
Oleh: Alwesius, S.H.,M.Kn


Pada tanggal 17 Desember 2013 Rapat paripurna DPR telah menyetujui RUU Tentang Perubahan UU No. 30 tahun 2004 tengtang Jabatan Notaris. Rancangan UU ini merupakan hak inisiatif DPR. Berkaitan dengan hal tersebut maka dengan ini saya hendak memberikan beberapa catatan berkaitan dengan RUU tersebut sebagai berikut:

1.        Kewajiban Notaris Untuk melekatkan sidik jari penghadap pada Minuta Akta
Pasal 16 ayat (1) huruf c menentukan “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

Ketentuan ini serta menimbulkan pertanyaan bagi kita Notaris, apakah maksud dari ketentuan ini. Apakah dengan adanya ketentuan tersebut berarti bahwa dalam setiap pembuatan akta dalam bentuk minuta akta maka Notaris wajib meminta sidik jari dari semua penghadap dan sidik jari tersebut dilekatkan pada minuta akta atau bagaimana.Adanya pertanayan tersebut karena penjelasan RUU tersebut tidak memberikan penjelasan terhadap hal tersebut.

Ada yang berpendapat demikian yaitu setiapa pembuatan akta dalam bentuk minuta maka Notaris wajib meminta sidik jari para penghadap dan melekatkannya pada minuta akta dan ada pula yang berpendapat tidak demikian, Notaris tidak wajib meminta kepsada penghadap untuk meberikan sidik jarinya dan kemudian dilekatkan pada minuta akta. Pendapat yang kedua ini didasaekan pada ketentuan pasal 44 UUJN yang tidak mewajibkan bagi notaris untuk meminta membubuhkan sidik jarinya disampinbg kewajibna untuk membubuhkan tandatangannya.

Saya lebih setuju dengan pendapat yang kedua ini, disamping memng pasal 44 UUJN tidak mewajibkan hal; tersebut, juga berdasarkan bunyi pasal 16 ayat 1 huruf c UUJN tersebut. Pasal 16 ayat 1 UUJN menempatkan kewajiban untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta satu nafas dengan kewajiban untuk melekatkan surat dan dokuemn. Kewajiban untuk melekatkan surat dan dokumen pada minuta akta wajib dilakukan apabila memng ada surat atau dokumen yang dijadikan dasar untuk pembjuatan akta. Sehubungan dengan hal tersebjut maka menurut saya demikian juga yang berlaku bagi  “sidik jari”. Kewajiban untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta wajib dilakukan oleh Notaris apabila di dalam pembuatan suatu akta ada digunakan sidik jari. Misalnya dalam hal penghadap tidak dapat menandatangani akta maka disamping surrogat tandatangan apabila Notaris menggunakan sidik jari sebagai pelngkap untuk menggantikan tandatangan penghadap maka sidik jari tersebut wajib dilekatkan pada minuta akta, apakah dengan membubuhi ibu jari kiri penghadap pada minuta akta atau menempelkan sdidik jari penghadap pada lembar tersendiri dan kemudian dilekatkan pada minuta akta.

2.        Kewajiban Notaris untuk membackan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat dibawa tangan
Pasal 16 ayat (1) huruf m menentukan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan...”

Pasal ini juga serta menimbulkan pertanyaan, apakah disamping berwenang, Notaris juga berwenag untuk membuat akta dibawah tangan, bukankah setiap akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris merupakan akta otentik.Akta yang mana yang dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi kedudukannya hanya sebagi akta dibawah tangan selain akt-akatb yng tidak memenuhi sayarat otentisitas atau akta-akta yang pembuatannya melaqnggar ketentuan pasal tertentu dalam UUJN sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagi akta yang dibuat di bawah tangan.

Jika melihat redaksi pasal 16 ayat (1) huruf m tersebut dimana kehadiran 4 (empat) orang saksi dikaitkan dengan akta wasiat, menurut saya sebenarnya maksud dari pembuatan UU bgukanlan pembuatan akta wasiat dibawah tangan akan tetapi pembjatan akta penyimpanan surat wasiar rahasia (acte van supersciptie) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 940 KUHPerdata.Pasal 940 KUHPerdata menentukan bahwa dalam pembuatan surat wasiat tertutup atau rahasia, surat wasiat tersebut diserahkan kepada notaris dan kemudian Notaris membuat akta penyimpanan surat wasiat tersebut dengan dihadiri oleh 4 (empat) orang saksi. Inilah yang munghkin dimaksud oleh pembuat UU. Menurut saya terdapat kekeliruan redaksi di dalam pasal 16 ayat 1 huruf m tersebut, yang seharusnya bisa diperbaiki sebelum UU tersebut disahkan.Kekeliruhan tersebut hisa terjadi karena mereke terburu-buru di dalam merumuskan pasal tersebut atau kurang paham terhadap masalah pembuatan surat wasiat.   



3.        Tempat kedudukan Notaris sebagai PPAT wajib mengikuti tempat kedudukan
Notaris

Pasal 19 ayat (2) di dalam RUU menentukan “Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris.”

Ada beberapa cataan yang hendak saya kemukakan berkaitan dengan ketentuan ini:

1)        Pasal ini berlebihan karena sebenarnya di dalam pasal 17 ayat (1) huruf g telah mengatur larangan bagi Notaris untuk merangkap jabatan sebagai PPAT  di luar tempat kedudukan Notaris;
2)        Ketentuan ini tidak tepat karena mengatur perihal jabatan lain di luar notaris.Pasal ini mewajibkan PPAT  untuk mempunyai berkantor di kantor Notaris.
3)        Redaksi pasal ini juga kurang tepat dengan menyatakan “... Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta tanah..”. Jabatan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta tanah adalah dua jabatan yang terpisah sekalipun dapat dijabat oleh orang yang sama sekaligus (rangkap jabatan).

4.         Notaris dapat menjalankan jabatnnya dalam bentuk persekutuan
Pasal 20 di dalam RUU menentukan:
“(1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.
(2) Bentuk persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 tersebut maka dengan demikian untuk Nlotaris yang henadk membentuk suatu persekutuan dapat langsung mengadakan hal tersebut tanpa perlu lagi menunggu persyaratan yang ditetapkan di dalam peraturan menteri. Notaris dapat membentuk persekutuan perdata di dalam menjalankan prakteknya dengan memperhatikan ketentuan mengenai pembentukan persekutuan perdata yang diatur di dalam KUHPerdata dan sekaligus memperhatikan rambu-rambu yang ada di dalam UUJN.

5.        Redaksi pasal 35 ayat 1 UUJN
Pasal 35 ayat 1 dalam RUU berbunyi:” Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.

Jika kita perhatikan bunyi redaksi pasal 35 ayat 1 UUJN tersebut seolah-olah ada kata atau kalimat yang hilang. Kenapa demikian coba kita lihat penggalan kalimat ini : Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua...”. Siapa yang dimaksud dengan “keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua tersebut.

Sebelumnya di dalam UUJN Pasal 35 ayat 1 berbunyi: “Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda dua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.” Rupanya sebelumnya sudah disadari adanay kesalah redaksi di dalam pasal 35 ayat (1) UUJN tersebut, hal mana pernah saya sampaikan kepada salah seorang yang terlibat di dalam penyususnan UUJN pada saat pertama kali UUJN disahkan.

Namun ternyat perbaikan yang ada di dalam RUU juga tetap tidak membuat redaksi pasal tersebut dapat dipahami.

Berkaitan dengan redajsi tersebut menurut say seharusnya redaksi pasal tersebut berbunyi : Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah atau keluarga  semenda Notaris sampai derajat kedua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.


6.         Bahasa yang digunakan dalam pembuatan akta
Pasal 43 di dalam RUU menentukan:

(1)        Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2)                    Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3)        Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4)                    Dalam hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
(5)           Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, Akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah resmi.
(6)                    Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Terhadap Pasal 43 ini saya mempunyai catatan sebagai berikut:

1)        Pasal ini tidak menentukan secar tegas bahwa akta wajib dibuat di dalam bahasa yang dimengerti oleh notaris. Hal tersebut berbeda dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 43 ayat (4) yang menentukan:” Akta dapat dibuat dalam bahsa lain yang dipahami oleh notaris dan saksi ...”.Demikian juga di dalam Pasal 27 ayat (1) PJN yang mennetukan “ Akta dapat di buat dalam bahasa yang dikehandaki oleh para pihak, asal saja dimngerti oleh notaris”.Sudah seharusnya suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris wajib dibuat didalam bahasa yang dimengerti oleh notaris. Bagaimana Notaris dapat mengetahui keinginanpara pihak, bagaimana notaris mengetahui bahwa akta yang dibautnya telah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para pihak jika notaris tidak mengerti bahsa yang digunakan di dalam pembuatan akta tersebut.
2)        Berdasarkan bunyi pasal 43 ayat (6) RUU tersirat bahwa jika Notaris dibuat dalam bahasa lain selain bahsa Indonesia maka  akta notaris  tersebut dibuat dalam 2 (dua) bahasa (bilingual). Akan tetapi jika kita perhatikan bunyi pasal 43 ayat (6) yang menunjuk kepada pasal 43 ayat (2) maka kita lihat bahwa di dalam pasal 43 ayat (2) tidak terdapat ketentuan untuk membuat akta di dalam 2 (dua) bahasa. Pasal 43 ayat (2) menentukan:” Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.”Jadi pasal 43 ayat (2) hanya mewajibkan kepada notaris untuk menerjemahkan atau menjelaskan isi akta ybs kepada penghadap dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Tidak terdapat ketentuan adanya kewajiban untuk pembuatan akta dalam 2 (dua) bahasa.

7.        Pembetulan kesalahan pada akta
Pasal 51 di dalam RUU menentukan:
(1)      Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
(2)      Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan.
(3)      Salinan Akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para pihak.
(4)      Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Kewenangan untuk melakukan pembetulan pada suatu akta akibat adanya kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta dapat dilakukan oleh notaris dengam membuat berita acar pembetulam. Namun terdapat perbedaan ketentuan yang diatur didalam UUJN dengan yang ada di dalam RUU.
Di dalam UUJN pembetulan tersebut dapat dilakukan oleh Notaris tanpa perlu adanya kehadiran dari para penghadap. Namun di dalam RUU kewenangan untuk melakukan pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan oleh notaris apanila pembetulan itu dilakukan dengan kehadiran penghadap.

Terhadap ketentuan ini saya mempunyai catatan sebagai berikut:

1)        Pasal 51 ayat 2 RUU menentukan :” Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan.” Adanya ketentuan yang menyatakan bahwa “Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara ...” seolah-olah menunjukkan bahwa pembetulan itu bukan dilakukan oleh Notaris akan tetapi dilakukan oleh pihak lain dihadapan penghadap, saksi dan Notaris.
2)        Pasal 51 tidak menyebutkan siap yang wajib menandatangani akta berita acara tersebut, apakah akta tersebut ditandatangabni oelh notarius dan saksi-saksi saja atau ditandatangani penghadap, saksi dan notaris.
3)        Dengan adanya kewajiban hadirnya penghadap di dalam pelaksanaan pembetulan tersebut maka sebenarnya ketentuan ini sudah kehilangan maknanya, jadi sebenarnyab tidak perlu dimuat di dalam UUJN karena jika pembetulan tersebut harus dihadiri oleh penghadap maka pembetulan atau perbaikan tersebut tidak dilakukan oleh Notaris atapi dilakukan oleh penghadap dengan membuat akta perbaikan.

8.         Majelis Kehormatan Notaris

Di dalam RUU terdapat satu lembaga baru yaitu Majelis Kehornatan Notaris. Namun sangat disayangkan di dalam pasal 1 UUJN di dalam RUU tidak disebutkan  apoa yang dimaksud dengan Majerlis Kehornatan tersebut, seperti pasal 1 menjelaskan lembaga-lembaga lainnya antara lain majelis pengawas. Mungkin hal ini merupakan kealfaan dari para perumus RUU, sehingga seolah-olah lembaga baru ini hanya merupakan suatu tempelan belaka.

Adanya Majelis Kehormatan Notaris daqpat dilihat di dalam ketentuan Pasal 66 ayat 1 UUJN dalam RUU yang menentukan:
Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:...”

Dan selanjutnya diatur di dalam pasal 66 A yang berbunyi:

(1)   Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris.
(2)   Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur:
a.        Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
b.        Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
c.        ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal-pasal tersebut tidak mengatur kewenangan apa yang dimiliki oleh MKN. Karena kewenangan MKN tidak diatur di dalam UU maka menurut saya sangat sulit bagi MKN ungtuk menjalankan tugasnya kelak yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri.

9.        Pengaturan sanski atas pelanggaran ketentuan di dalam UUJN
Pengaturan sanksi terhadap pelanggaran yang ada di dalam UUJN sudah cukup lengkap akan tetapi penempatan ketentuan-ketentuan mengenai sanksi tersebut kurang dilihat dari sistimatika pembautan UU.

Ada sanksi yang diatur di dalam ayat-ayat pasal-pasal UUJN yang bersangkutan seperti ayat (2) Pasal 7, ayat (11) pasal 16, ayat (2) pasal 17 dan ada sanksi yang diatur dalam pasal tersendiri dengan menunjuk pasal yang dilanggar, seperti sansk terhadap pelanggaran pasal 58 dan 59 UUJN yang diatur di dalam pasal 65 A.

Menurut saya alangkah lebih baik jika sanksi tersebut diatur didalam pasal tersendir dengan menyebutkan pasal-pasal yang dilanggar, dengan mengelompokkannya sesuai jenis sanksinya.

Misalnya pelanggaran yang mengakibatkan akta notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sepeti akta yang dibuat dibawah tangan  dikelompokkan dalam pasal tersendiri dengan menyebutkan pasal-pasal yang  bersangkutan, demikian juga pelanggaran yang mengakibatkan dikenakannya sanksi administratif berupa peringatan tertulsi sanpai dengan pemberhentian dengan tidak hormat dikelompokkan dalam pasal tersendiri dengan menyebutkan pasal-pasal yng bnesangkutan.

Demikian sedikit catan dari saya, semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua.

Salam
Alwesius, S.H., M.Kn