Minggu, 18 Mei 2014

PEDOMAN SEDERHANA BAGI NOTARIS DAN PPAT DI DALAM MENENTUKAN AHLI WARIS BAGI MEREKA YANG BERAGAMA ISLAM BAGIAN PERTAMA

PEDOMAN SEDERHANA BAGI NOTARIS DAN PPAT DI DALAM MENENTUKAN AHLI WARIS BAGI MEREKA YANG BERAGAMA ISLAM
BAGIAN PERTAMA

Didalam menentukan ahli waris yang berhak mewaris bagi mereka yang tunduk pada hukum kewarisan Islam maka kita harus dapat mengetahui secara pasti siapa-siapa yang selalu tampil sebagai ahli waris dalam hal adanya seorang yang meninggal dunia (Pewaris). Hal ini penting untuk diketahui agar kita sebagai Notaris-PPAT tidak salah di dalam melaksanakan tugas jabatan kita sebagai Notaris/PPAT di dalam hal diminta bantuannya oleh klien untuk pembuatan suatu akta atau di dalam memberikan penyuluhan hukum kepada klien sehubungan dengan masalah pewarisan yang mereka hadapi.
   Walaupun kita tidak memahami secara detail mengenai pewarisan menurut hukum Islam setidak-tidaknya kita dapat memahami prinsip-prinsip dasar di dalam hukum kewarisan Islam,  khusus di dalam menentukan siapa-siapa yang berhak tampil mewaris di dalam adanya peristiwa pewarisan.
Kelompok Keutamaan Pertama
Yang pertama kita harus pahami adalah siapa-siapa ahliwaris yang pasti tampil sebagai ahli waris apabila mereka ada (masih hidup), sepanjang mereka tidak terkena halangan untuk mewaris, misalnya tidak berhak mewaris karena telah membunuh Pewaris atau karena ia berbeda agama. Untuk  memudahkan penyebutan kita sebut saka mereka ini sebagai Kelompok Keutamaan Pertama sebagai ahli waris.[1]
 Sesuai ketentuan hukum kewarisan Islam yang telah ditentukan di dalam Al Qur’an, As-Sunnah maupun Ijtihad, yang termasuk kedalam kelompok keutamaan pertama  ini adalah :
1.           Duda atau Janda/Para Janda; dan/atau
2.           Anak-anak Pewaris baik anak laki-laki maupun anak perempuan;dan/atau
3.           Orang tua Pewaris (Bapak dan Ibu Pewaris).
Mereka-mereka ini tampil mewaris dan berhak mewaris atas hartab peninggalan Pewaris dengan bagian yang telah ditentukan. Jadi di dalam hal ada seorang meninggal dunia (Pewaris) dan kepada kita diminta bantuan oleh klien untuk mengurus balik nama waris di dalam rangka pembuatan akta, maka hal inilah yang utama harus kita perhatikan. Kita harus menanyakan kepada klien/ahli waris Pewaris, apakah para ahli waris dalam kelompok keutamaan pertama tersebut masih hidup/ada dan telah masuk sebagai ahli waris di dalam surat keterangan waris  (SKW)  yang mereka buat. Jika ada yang tidak atau belum masuk didalamnya maka kita harus tanyakan apa alasannya yang bersangkutan tidak masuk. Apabila alasan tersebut tidak berdasar maka kita wajib meminta kepada klien kita untuk dilakukan perubahan atas SKW tersebut.
Kapan Cucu tampil mewaris?
Jika kita mengikuti ketentuan yang diatur di dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam maka cucu akan bertindak sebagai pengganti dari orang tuanya (anak pewaris) yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari Pewaris.
Namun jika kita mengikuti hukum kewarisan Islam menurut ajaran/madzhab “Syafi’i” yang berhak mewaris hanya cucu melalui anak laki-laki. Cucu melalui anak perempuan merupakan dzawil arhaam, yang tidak berhak mewaris kecuali tidak ada lagi ahli waris dzawil furudh dan asabah.
Di dalam mazhab “Syafi’i” Cucu melalui anak laki-laki tertutup oleh anak laki-laki. Jadi dalam hal ini cucu melalui anak laki-laki hanya akan tampil mewaris apabila tidak ada anak laki-laki yang berhak mewaris. Disamping itu juga cucu perempuan melalui anak laki-laki apabila mewaris bersama 1 (satu) orang anak perempuan maka cucu perempuan tersebut memperoleh bagian sebesar 1/6 (satu perenam) dan apabila anak perempuan tersebut ada 2 orang atau lebih maka cucu perempuan tertutup kedudukannya sebagai ahli waris oleh anak perempuan tersebut.
Kapan Saudara Kandung Pewaris tampil sebagai Ahli Waris?
Pada prinsipnya saudara-saudara kandung Pewaris tampil mewaris apabila tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki melalui anak laki-laki dan Bapak Pewaris. Jadi di dalam hal Pewaris meninggal ketiga ahli waris tersebut maka saudara kandung Pewaris tidak tampil mewaris karena tertutup oleh ketiga ahli waris tersebut. Namun jika Pewaris hanya meninggalkan anak Perempuan saja atau cucu perempauan melalaui anak laki-laki saja, sedangkan bapak Pewaris sudah meninggal dunia terlebih dahulu maka  saudara kandung Pewaris akan tampil mewaris. Di dalam hal ini mereka akan tampil mewaris sebagai “Asabah”, yaitu ahli waris yang memperoleh bagian sisa dari harta waris Pewaris (setelah dikeluarkan bagian para ahli waris dzawil Furudh yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu, yang telah ditetapkan besarnya di dalam al Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad).
Jadi harus diingat jika Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki dan Bapak maka saudara kandung Pewaris tampil sebagai ahli waris. Dalam keadaan demikian  jika di dalam SKW saudara kandung Pewaris (jika ada/masih hidup dan tidak terhalang sebagai ahli waris)  tidak dicantumkan sebagai ahli waris maka kita wajib meminta kepada klien untuk melakukan perbaikan atas SKW tersebut.
Kapan Saudara sebapak dari Pewaris tampil mewaris?
Untuk memudahkan memahami mengenai kedudukan  saudara sebapak maka dapat dikatakan, apabila tidak ada saudara kandung Pewaris maka ketentuan yang berlaku bagi saudara kandung mutatis mutansis berlaku bagi saudara sebapak. Jadi semua orang yang mentup saudara kandung juga menutup saudara sebapak demikian seterusnya.
Apabila ada saudara kandung maka saudara kandung laki-laki juga menutup saudara sebapak. Jadi selama masih ada saudara kandung laki-laki maka saudara sebapak tidak tampil mewaris. Akan tetapi jika yang ada hanya saudara kandung perempuan maka pada prinsipnya saudara sebapak tampil mewaris sebagai asabah sepanjang saudara kandung perempuan tersebut tidak tampil mewaris sebagai asabah.
Kapan Saudara seibu dari Pewaris tampil mewaris?
Saudara seibu dari Pewaris tertutup oleh anak Pewaris, cucu Pewaris melalui anak laki-laki Pewaris, Bapak dan Kakek melalui bapak.  Jadi selama mereka ini masih ada/masih hidup maka saudara seibu tidak tampil mewaris. Jika saudara seibu tampil mewaris akrena tidak ada lagi orang yang mentupnya sebagai ahli waris maka saudara seiibu akan tampil mewarisw sebagai ahli waris dzawil furudh.
Kapan Kakek tampil mewaris?
Menurut madzhab “Syafi’i”, kakek disini adlah kakek melaui bapak, sedangkan kakek melalui ibu merupakan ahli waris dzawil arhaam. Kakek mewaris apabila Bapak Pewaris telah meinggal dunia terlebihb dahulu dari Pewaris. Pada prinsipnya kakek mewaris seperti bapak mewaris
Kapan Nenek tampil mewaris?.  
Nenek disini baik nenek melalui bapak maupun nenek melalui ibu. Nenek melakui bapak tertutup oleh bapak dan nenek melalui ibu tertutup oleh bapak dan ibu. Dengan demikian nenek melalui bapak akan tampil mewaris jika Bapak Pewaris sudah meninggal dunia lebih dahulu dari Pewaris, sedangkan nenek mellaui ibu akan tampil mewaris apabila bapak dan ibu Pewaris telah meninggal dunia ;lebih dahuklu dari Pewaris.
Demikian tulisan ringkas ini Penulis buat berdasarkan resume dari beberapa buku hukum kewarisan Islam yang penulis baca, agar dapat lebih mudah dipahami oleh para rekan notaris/PPAT guna dipakai sebagai pedoman di dalam menentukan siapa kira-kira yang akan tampil mewaris menurut hukum kewarisan Islam sehingga dapat menilai kebenaran isi SKW yang diserahkan kepadanya. Mudah-mudahan penulis tidak salah di dalam membuat rangkuman ini, mohon masukan dan koreksi dari yang lenbih memahami.
Jakarta, Mei 2014
Penulis
Alwesius, SH, M.Kn


[1] Meminjam istilah yang telah digunakan oleh Prof. Hazairin.i

PPJB TIDAK DAPAT DIPAKAI SEBAGAI DASAR UNTUK PEMBUATAN SKMHT

PPJB TIDAK DAPAT DIPAKAI SEBAGAI DASAR UNTUK PEMBUATAN SKMHT

      Walaupun sudah beberapa kali dibahas di dalam grup FBm masih saja banyak pertanyaan yang ditujukan kepada penulis, sehubungan dengan adanya permintaan bank untuk membuat akta jaminan (SKMHT) yang obyeknya masih didasarkan pada PPJB (belum AJB).  Pertanyaan tersebut telah beberapa kali diajukan kepada saya oleh rekan Notaris yang berbeda karena adanya permintaan dari bank yang berbeda.Rekan Notaris ybs menyatakan ketika ia ,menolak permintaan bank untuk membuat aktanya dan menyatkan bahwa PPJB tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk pengikatan jaminan maka dijawan oleh pihak bank “kenapa tidak bisa , kenapa di bank X itu bisa dibuat dan notarisnya mau membuat akta jaminan tersebut”.Atas pertanayan rekan Notaris tersebut penulis  tetap mengatakan tidak bisa dan tolak saja pembuatan aktanya.
Rekan-rekan memang ada rekan kita yang berpendapat bisa saja dibuat SKMHTnya walaupun obyeknya masih berdasarkan PPJB, yaitu dengan membuat SKMHT dengan syarat tangguh, dengan menambah kalimat kurang lebih berbunyi “ ... sekarang ini untuk nanatinya apabila jual beli sebagaimana dimaksud dalam akta Perjanjian pengikatan Jual beli tanggal .... nomor .... yang dibuat dihadapan ......, yang salinannya bermetari cukup diperlihatkan kepada saya, notaris, yang dibuat dan ditandatangani oleh dan diantara ........ dan ...............”.Pendapat rekan notaris tersebut dapat dibenarkan jika kita hanya melihat hal tersebut dari sudut hukum perjanjian semata-mata. Benar memang perjanjian (skmht) tersebut diperbolehkan, tidak bertentangan dengan hukum perjanjian. Perikatan dengan syarat tangguh memng diperbolehkan sebagaimana dimasksud dalam pasal 1253 KHUPerdata dan seterusnya. Demikian juga apabila dilihat dari obyek perjanjian, benar obyek perjanjian dapat berupa barang/benda yang akan ada sebagaimana ditentukan dalam pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan”.   
Berkaitan dengan hal tersebut menurut penulis sebaiknya untuk melihat sesuatu masalah kita tidak hanya memandangnya dari sudut yang sempit saja, kita harus melihat masalah tersebut dari segala aspek baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.Pertama; karena hal ini berkaitan dengan aspek pemberian kredit, maka mari kita lihat ketentuan yang diatur di dalam UU Perbankan (UU no. 7 tahun 1992 jo UU No 10 tahun 1998) yang mengatur hal tersebut:
Pasal 8 ayat 1 UU Perbankan menentukan:

(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan  kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Penjelasan pasal 8 ayaat 1 UU Perbankan menjelaskan:


Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah    yang  sehat.  Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam  arti  keyakinan atas  kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur  untuk melunasi  kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur....”

Berdasarkan ketentuan UU Perbankan tersebut sangat jelas bahwa kerdit yang diberikan oelh bank mengandung risiko dan untuk mengurangi risiko tersebut bank harus memperhatikan  asas-asas pemberian kredit yang sehar dalam arti harus ada keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dan untuk mmeperoleh hal tersebut sebelum memberi kredit, bank harus melalukan penilaian yang seksama antara lain terhadap agunan yang diberikan Debitur/Penjamin/pemberi Agunan.
Kedua; Di dalam pemberian kredit bank harus meperhatikan prinsip pemberian kredit, yang dikenal dengan istilah “5 C Principle”, yaitu  Character(karakter), Capacity (kemampuan mengembalikan utang), Collateral (jaminan), Capital (modal), dan Condition(situasi dan kondisi).Jadi salah satu primsip di dalam pemberian kredit tersebut adalah adanya Colateral (jaminan).  Collateral  atau jaminan adalah agunan atau jaminan berupa barang atau benda  yang mungkin bisa disita atau dijual apabila ternyata Debitur benar-benar tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pemberian jaminan ini harus sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam SK Direksi BI No. 23/69/Kep/Dir tanggal 28 Februari 1991.
Dengan melihat apa yang diuraikan diatas maka adanya jaminan atau agunan merupakan salah satu hal yang penting didalam pemberian kredit.Tanpa adanya jaminanyan dimaksud di dalam SK Direksi BI tersebut berarti telah terjadi pemberian kredit tanpa agunan, yang tentunya bertentangan dengan prinsip kehati-hatian di dalam pemberiann kredit, yang dapat menimbulkan kerugian dan risiko pada bank.Tidak dipenuhinya prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana bagi pihak Direksi, Dewan Komisaris atau pegawai bank yang bersangkutan karena telah melakukan tindak pidana perbankan sebagaiman ditentuan din dalam pasal 49 UU Perbankan. Di dalam kejadian tertentu hal tersebut dapat juga terkena kepada pihak-pihak yang turut membantu terjadinya peristiwa pidana tersebut (mungkin saja Notaris).  
Kita kembali kepada pemberian jaminan yang didasarkan pada PPJB, yang diikat dengan SKMHT, yang menjadi pertanyaan, apakah dengan dibuatnya SKMHT tersebut telah dipenuhinya prinsip pemberian kredit, antara lain mengharuskan adanya collateral (jaminan/agunan).Penulis berpendapat bahwa apabila SKMHT tersebut telah menjadi dasar bagi persyaratan pencairan atau penarikan kredit oleh debitur maka dalam hal ini belum ada pemberian jaminan.Kenapa demikian? Oleh karena dengan PPJB berarti hak kepemilikan atas obyek agunan/jaminan tersebut belum berada ditangan pemberi agunan/pemberi jaminan/pemnberi hak tanggungan.Obyek jaminan tersebut masih merupakan ,ilik pihak lain, dengan demikian ketikan SKMHT ditandataganai dan kemudian dipakai seewbgaia salah satu syarat pencioatan/penarikan kredit tidak ada jaminan/agunan yang diberikan oleh Debitur dan karennya bertentangan dengan ketentuan UU Perbankan dan Peraturan BI.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Notaris atau PPAT wajib menolak pembuatan akta SKMHT yang obyeknya belum menjadi milik pemberi agunan. Sekalipun pemebri agunan di dadalam pembelian obyek jaminan tersebut telah membayar lunas harga obyek jaminan tersebut dan mengikatnya dengan PPJB lunas, tetap saja menurut ketentuan hukum tanah kita, yang bersangkutan belum menjadi pemilik dari obyek jaminan, apalagi kita ketahui masih saja ada kemungkinan jual beli sebagaimana dimaksud di dalam PPJB tersebut dapat tidak terlaksana sebagaimana mestinya.

Salam Penulis
Alwesius, SH,MKn