Kamis, 17 November 2016

PEMILIKAN, PENGUASAAN DAN PEROLEHAN TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING PASCA TERBITNYA PP NOMOR 103 TAHUN 2015 DAN PERMEN ATR/KA.BPN NO. 29 TAHUN 2016

PEMILIKAN, PENGUASAAN DAN PEROLEHAN TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING PASCA TERBITNYA PP NOMOR 103 TAHUN 2015                                                                                   DAN PERMEN  ATR/KA.BPN NO. 29 TAHUN 2016
Oleh: Alwesius, S.H., M.Kn


A.          Pendahuluan

Pada prinsipnya hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional kita bagai orang asing untuk menguasai dan memiliki tanah di Indonesia adalah “Hak Pakai”.  Ketentuan penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang asing untuk keperluan rumah tinggal saat ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan R7umah Tinggal atau Hunian Untuk Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia (PP 103,2015) pengganti dari   Peraturan Pemerintah  Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.(PP 41/1996), dan sel;anjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 29 tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelapasan, Atau Pengalihan Hak atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang  berkedudukan di Indonesia (Permen 29/2016).

Yang menjadi pokok permasalahan adalah orang asing yang bagaimana yang dapat memiliki rumah tinggal atau hunian di Indonesia?  Apakah ada ketentuan atau persyaratan mengenai rumah tinggal yang dapat dimilikinya dan bagaimana cara memperoleh rumah tinggal tersebut?


B.          Orang asing yang dapat memiliki rumah tinggal di Indonesia

Menurut UUPA dan PP No. 40 tahun 1996, orang asing yang berkedudukan di Indonesia     dapat mempunyai tanah di Indonesia dengan Hak Pakai.
PP 103/2015 membatasi  pemilikan tanah bagi orang asing. Orang asing hanya dapat memiliki tanah di Indonesia hanya untuk keperluan rumah tinggal atau hunian. 
Orang asing yang dapat mempunyai rumah tinggal atau hunian tersebut adalah orang asing yang berkedudukan di Indonesia.  Orang asing yang berkedudukan di Indonesia menurut PP 103/2015 adalah   orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. dan merupakan pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C.          Rumah Tinggal yang dapat dimiliki oleh orang asing

Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing adalah :
a.            Rumah Tunggal, di atas tanah:

1)           Hak Pakai; 
2)           Hak Pakai atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau
3)           Hak Pakai yang berasal dari perubahan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan.

b.            Sarusun yang:
1)           dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai;
2)           berasal dari perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
(Pasal 4 PP 103/2015 jo Permen 29/2016)

Rumah tinggal atau hunian yang dapat dimiliki adalah Rumah Tunggal pembelian baru dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun pembelian unit baru  (Pasal 5 PP 103/2015), yang dibeli langsung dari pengembang atau pemilik tanah dan bukan berasal dari tangan kedua (Pasal 2 Permen 29/2016) .
Rumah Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.(Pasal 1 angka 2 PP 103/2015)

Rumah tempat tinggal atau hunian tersebut diberikan dengan batasan harga minimal sebagaimana tercantum dalam Lampiran Permen 29/2016). Selain batasan harga minimal, untuk rumah tempat tinggal juga dibatasi dengan ketentuan:
a.            1 (satu) bidang tanah per orang/keluarga; dan
b.            tanahnya paling luas 2.000 (dua ribu) meter persegi.
 (Pasal 5 Permen 29/2016)

Dalam keadaan tertentu yang mempunyai dampak positif luar biasa terhadap ekonomi, maka pemberian rumah tempat tinggal dapat diberikan dengan luas lebih dari 2.000 (dua ribu) meter persegi, dengan izin Menteri. (Pasal 5 ayat 3 Permen 29/2016)

D.          Cara Memperoleh Rumah Tinggal Oleh Asing

Apabila rumah tinggal atau sarusun tersebut berdiri diatas tanah hak pakai maka orang asing dapat memperoleh rumah tinggal atau sarusun melalui PEMBELIAN LANGSUNG  dari PENGEMBANG  atau PEMILIK TANAH, dengan menandatangani akta jual beli dihadapan PPAT yang berwenang, dengan atau tanpa didahului dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris.
Apabila rumah tinggal tersebut berdiri di atas Hak Pakai atas tanah hak Milik maka pemilikan rumah tinggal tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik dihadapan PPAT yang berwenang, dengan memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

E.          Perolehan tanah oleh orang asing jika yang tersedia Tanah Hak Milik atau Tanah Hak Guna Bangunan (HGB)

Oleh karena orang asing hanya boleh memiliki tanah dengan status  Hak Pakai maka jika yang tersedia adalah tanah Hak Milik atau HGB tentunya sebelum dilakukan jual beli atas tanah tersebut terlebih dahulu dilakukan Perubahan hak atas tanah Hak Milik atau HGB tersebut menjadi Hak Pakai dengan mengajukan permohonan perubahan hak kepada pejabat yang berwenang (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat). Setelah Hak Milik atau HGB tersebut diubah menjadi Hak Pakai baru kemudian dilakukan jual beli dihadapan PPAT yang berwenang.
Untuk menjamin kepastian bagi para pihak agar jual beli tersebut benar-benar terlaksana maka terlebih dahulu dibuat Perjanjian Untuk Melakukan Jual Beli antara Penjual (Pemilik Tanah) dengan Pembeli (Orang asing), yang didalamnya tentunya mengatur perihal perubahan hak tersebut dan pelksanaan jual belinya.
  
F.           Terjadinya Hak Pakai dalam  Perolehan Tanah oleh Orang Asing atas Rumah Tinggal yang berdiri di atas Tanah Hak Milik atau HGB menurut Permen ATR No. 29 Tahun 2016 dan

Pasal 6 ayat 1 Permen ATR No. 29 Tahun 2016 memungkinkan dilaksanakannya jual beli dihadapan PPAT,  sekalipun tanah yang tersedia yang akan dibeli oleh orang asing masih berstatus tanah Hak Milik atau HGB. Dan selanjutnya setelah dilakukannya pembuatan AJB dalam kedaan tanahnya masih berstatus Hak Milik atau HGB, pada saat dilakukannyan pendaftaran atas peralihan hak karena jual beli tersebut,  Tanh Hak Milik atau HGB tersebut menjadi Tanah Negara yang langusng diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai kepada Orang Asing yang bersangkutan.

Perubahan Hak Milik dan HGB menjadi Hak Pakai, demi hukum terjadi langsung sesuai dengan asas  bahwa macam hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang mengikuti status subyek hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Permen ATR No. 29 Tahun 2016. Pendaftaran perubahan hak tersebut  merupakan proses administrasi dan tidak mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara subyek hak dengan haknya. (Pasal 10 Permen ATR No. 29 Tahun 2016)

Pasal 11  Permen ATR No. 29 Tahun 2016 menentukan permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik dan HGB menjadi Hak Pakai diajukan oleh yang bersangkutan, atau kuasanya, kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat, dengan disertai:
a.            blanko permohonan yang sudah diisi lengkap dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah, yang berlaku sebagai keterangan melepaskan hak atas tanah semula;
b.            Sertipikat Hak Milik atau  HGB yang dimohon perubahan haknya; 
c.             Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang, apabila hak yang bersangkutan dimenangkan oleh Orang Asing dalam suatu pelelangan umum;
d.            surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila Hak Milik atau HGB tersebut dibebani Hak Tanggungan;
e.             bukti sah pembayaran Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan
f.              bukti identitas pemohon.

Berdasarkan permohonan pendaftaran perubahan hak tersebut, Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan perintah setor biaya pendaftaran sesuai dengan tarif  PNBP yang berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Setelah diterima tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran tersebut Kepala Kantor Pertanahan mendaftar perubahan Hak Milik atau HGB menjadi Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 12 Permen ATR No. 29 tahun 2016)

Pendaftaran perubahan Hak Milik atau HGB menjadi Hak Pakai  dilakukan dengan cara:
a.            mencoret kata-kata dan nomor Hak Milik atau Hak Guna Bangunan dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Atas Tanah yang bersangkutan berikut seluruh daftar-daftar dan peta-peta hak tanah dan bidang tanah terkait, dan menggantikannya dengan katakata dan nomor Hak Pakai;
b.            dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Atas Tanah dituliskan kata-kata: “Hak Milik/Hak Guna Bangunan Nomor: ... /................. ini berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Nomor: ... /...................... ”;
c.             Perubahan tersebut  ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan.
(Pasal 13 Permen ATR No. 29 Tahun 2016)

G.         Terjadinya Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun dalam  Perolehan Unit Hunian berupa Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah HGB atau Tanah Hak Pengelolaan menurut Permen ATR No. 29 Tahun 2016 dan


Pasal 6 ayat 2 Permen ATR No. 29 Tahaun 2016 memungkinkan dilaksanakannnya jual beli di hadapan PPAT atas Sarusun yang dibangun di atas HGB atau Hak Pengelolaan. Dan selanjutnya setelah dilakukannya pembuatan AJB, pada saat dilakukannya pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan,  Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun kepada Orang Asing yang bersangkutan.

Pendaftaran perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun tersebut dilakukan dengan cara:
a.            mencoret kata-kata dan nomor Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan berikut seluruh daftar-daftar dan peta-peta hak tanah dan bidang tanah terkait, dan menggantikannya dengan kata-kata dan nomor Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun;
b.            dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dituliskan kata-kata: “Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor: ... /.................  ini berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, dilepaskan dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun Nomor: ... /...................... ”.
c.             Perubahan tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan.
(Pasal 14 Permen ATR No. 29 Tahun 2016)

Tanah Bersama, Bagian Bersama, dan Benda Bersama di mana Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun ini berada, tetap dan tidak perlu dilakukan perubahan pencatatannya pada Buku Tanah dan Sertifikat serta daftar-daftar dan peta-peta yang bersangkutan, karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) mutatis mutandis berlaku bagi pemegang Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.
Dalam hal kepemilikan seluruh Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun dalam suatu bangunan gedung bertingkat beralih atau dialihkan kepada Orang Asing, maka Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai.
Dalam hal Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat tersebut merupakan Hak Guna Bangunan, maka di dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Guna Bangunan dituliskan kata-kata: “Hak Guna Bangunan Nomor: ... /................. ini berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Nomor: ... /...................... ”.
Dalam hal Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat tersebut  merupakan Hak Pengelolaan, maka di dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Pengelolaan dituliskan kata-kata: “Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor ... Tahun ... tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, maka atas Hak Pengelolaan Nomor: ... / ........... dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Nomor: ... /...................... ”.
Jangka waktu berlakunya Hak Pakai tersebut adalah sisa jangka  waktu berlakunya Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.
(Pasal 15 Permen ATR No. 29 Tahun 2016)  


H.         Permasalahan hukum terkait terjadinya Hak Pakai menurut Pasal 6 Permen ATR No. 29 Tahun 2016






1.            Terjadinya Hak Pakai yang didahului dengan pelaksanana jual beli tanah Hak Milik kepada Orang Asing

Sebagaimana telah diuraikan di dalam huruf  F, Pasal 6 Permen ATR no. 29 Tahun 2016 memungkinkan dilaksanakannya jual beli tanah dihadapan PPAT dalam pembelian tanah oleh orang asing, sekalipun tanah tersebut masih berstatus tanah Hak Milik. Dan selanjutnya pada saat pendaftaran peralihan haknya di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, tanah hak milik tersebut menjadi Tanah Negara dan langusng diubah haknya menjadi Hak Pakai yang diberikan kepada orang asing.

Permasalahan terkait hal tersebut adalah berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat 2 UUPA, apabila tanah Hak Milik dipindahtangankan kepada orang asing maka akan mengakibatkan jual belinya batal demi hukum, tanahnya jatuh pada negara dan semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat diminta kembali. Selengkapnya Pasal 26 ayat 2 UUPA menentukan:
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”

Apabila jual belinya batal demi hukum, apakah dimungkinkan dilakukannya pemberian hak kepada pihak pembeli (orang asing)?


2.            Terjadinya Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun dari perubahan Hak Milik atas satuan Rumah Susun di atas Tanah HGB 

Terkait dengan pelksanana jual beli Hak Milik atas Sarusun di atas HGB dan kemudian pada saat dilakukannya pendaftaran Hak Milik atas Sarusun tersebut diubah menjadi Hak Pakai atas Sarusun, terdapat permasalahan sebagai berikut:
a.            Apakah dimungkinkan suatu peraturan Menteri menerbitkan lembaga baru berupa Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun?
b.            Pemilikan Hak Pakai atas Sarusun tersebut meliputi juga pemilikan bersama atas Tanah Bersama yang berstatus Hak Guna Bangunan, apakah dimungkin orang asing memiliki tanah HGB ?

Dengan adanya permasalahan tersebut maka para PPAT harus berhati-hati di dalam melaksanakan pembuatan akta jual beli tersebut karena hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari, apalagi apabila jika tanah dan banguna rumah tinggal atau Hak pakai atas sarusn tersebut dijadikan jaminan utang kepada Kreditor/Bank.

Sekian, semoga bermanfaat
Salam
Alwesius, SH, MKn

Selasa, 15 November 2016

PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Revisi)
Oleh : Alwesius, SH,Mkn

1.            Pendahuluan
Pada tanggal 21 Maret 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan   Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang terkait dengan  gugatan yang diajukan oleh Nyonya Ike Farida terhadap beberapa pasal di dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan Pasal 29 dan 35 UU Nomor 1 Tahun 1974. Dari gugatan-gugatan yang diajukan tersebut Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan salah satu guguatan yaitu yang terkait  Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan.
Mahkamah Konsitusi mengubah ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 tahun 1974, sehingga Pasal 29 tersebut yang semula berbunyi:
“(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
  (2)  Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  (3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
  (4)Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah  kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengrubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.”,
menjadi berbunyi sebagai berikut:
“(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
   (2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
   (3)Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
    (5)Selama perkawinan dilangsungkan, perjanjian dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan perubahan atau pencabutan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan adanya perubahan ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka terdapat beberapa perubahan yang terjadi terkair perjanjian perkawinan, yaitu:
a.            Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perjanjian perkawina, sekarang dapat juga dibuat sepanjang perkawinan;
b.            Perjanjian perkawinan yang semula berlaku terhitung sejaka perkawinan dilangsungkan, sekarang dapat juga berlaku mulai saat yang diperjanjikan oleh suami isteri;
c.             Perjanjian perkawinan  yang semula hanya dapat diubah oleh kedua belah pihak, sekarang disamping dapat dapat diubah, juga dapat dicabut oleh kedua belha pihak.
Namun demikian dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Notaris tidak serta merta dapat melayani permintaan pasangan suami isteri untuk membuat perjanjian perkawinan. Masih terdapat permasalahan yang memerlukan kejelasan dan kepastian sehubungan dengann pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berupa:
a.             Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan tersebut tidak merugikan pihak ketiga?
b.            Bagaimana tatacara pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan?
c.             Sejak kapan sebaiknya perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perekawinan mulai berlaku, apakah berlaku surut sejak tanggal perkawinan dilangusngkan atau mulai berlaku sejak saat dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut?

2.            Pengertian Perjanjian Perkawinan

Jika kita melihat ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan maka tidak terdapat pengertian yang jelas mengenai perjanjian perkawinan. Oleh karena itu banyak para ahli yang memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan.
Dari berbagai pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda/harta kekayaan mereka, dengan menyimpang dari prinsip harta benda perkawinan menurut undang-undang. Namun demikian walaupun perjanjian perkawinan pada prinsipnya berisikan pengaturan mengenai harta perkawinan, sesuai bunyi Pasal 29 ayat 4 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat juga berisikan hal lain selain mengenai harta perkawinan.

3.        Pembuatan Perjanjian Perkawinan Menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan

Ada perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan. Menurut ketetntuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan tersebut mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148 KUHPerdata menentukan bahwa sepanjang perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga perjanjian perkawinan tidak dapat diubah.  
UU Perkawinan mengatur perihal perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal yaitu Pasal 29. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangusng perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.  
Dengan demikian terlihat ada perbedaan ketentuan mengenai pembuatan perjanjian menurut KUHPerdata dan UUPerkawinan, yaitu:
1)         Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis, jadi bisa dibuat dengan akta notaris atau dibuat dibawah tangan;
2)           Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangusngkan, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan;
3)           Menurut KUHPerdata, sepanjang perkawinan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun juga, sedangkan menurut UU Perkawinan, prinsipnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah sepanjang perkawinana  kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.  

4.            Pencatatan Perjanjian Perkawinan

Setelah dibuatnya perjanjian perkawinan maka selanjutnya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri tersebut kemudian harus dicatat, agar perjanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat tidak mengikat pihak ketiga akan tetapi  hanya mengikat para pihak yang membuatnya.
Menurut 152 KUHPerdata, pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan tersebut dilangsungkan. Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negeri maka pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Paniteran Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat dimana perkawinan tersebut dicatat.   
Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Menurut penulis “disahkan” dalam kalimat ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak sisahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut tidak sah. Pengesahan tersebut dilakukan dengan melakukan pembukuan atau pencatatan perjanjian perkawinan tersebut di dalam buku daftar yang memng disediakan untuk melakukan pencatatan.
Pencatatan perjanjian perkawinan setelah berlakunya UU Perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) atau Kantor Urusan Agama.

5.            Pembuatan Perjanjian Perkawinan  Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

a.             Perjanjian Perkawinan Dapat Dibuat Sepanjang Perkawinan Suami Isteri

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, pada tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan.  Apabila sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka.
Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka pasangan suami isteri, yang sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan tidak membuat perjanjian perkawinan, jika mereka ingin membuat perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan mereka tidak lagi harus meminta penetapan pengadilan untuk keperluan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, seperti yang telah beberapa kali terjadi. Mereka yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut dihadapan Notaris.  

b.           Bentuk  Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan

Jika kita melihat ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata maupun pendapat para ahli, maka dapat kita ketahui ada beberapa bentuk perjanjian perkawinan, antara lain:
1)            Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau harta terpisah berupa apapun juga;
2)            Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi;
3)            Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan;
Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda dibuat dengan maksud agar dinatara suami isteri tidak terdapat harta persatuan berupa apapaun juga. Jadi semua harta yang dibawa kedalam perkawinan maupun semua harta atau penghasilan yang diperoleh sepanjang perkawinan, darimanapun harta tersebut berasal dan apapun sebab perolehannya merupakan milik pribadi/harta pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya.
Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi dibuat dengan maksud agar semua harta yang dibawa ke dalam perkawinan, demikian juga harta yang diperoleh dari warisan atau hibah tetap merupakan milik pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya, sementara segala keuntungan dan kerugian sepanjang perkawinan dibagi dua dinatara suami isteri masing-masing dengan bagian yang sama besarnya.
Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, hampir sama dengan perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi. Perbedaannya adalah bahwa didalam perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, yang dibagi dua diantara suami isteri adalah hasil dan pendapatannya saja (keuntungan), sedangkan apabila di dalam perkawinan tersebut terdapat kerugian (lebih besar utang/beban dari pada penghasilan) maka utang tersebyut ditanggung dan dibayar oleh suami.
Disamping bentuk-bentuk perjanjian perkawinan sebagaimana diuraikan diatas tentunya masih ada berbagai bentuk perjanjian perkawinan lain. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya bentuk perjanjian perkawinan yang mana yang akan dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka tergantung dari tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Namun apabila kita melihat latar belakang dari adanya tuntutan nonya Ike Farida yang menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya yang diinginkan untuk dibuat adalah perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau perjanjian perkawinan harta terpisah berupa apapun juga, agar Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing dapat tetap membeli tanah denganstatus Hak Milik atau Hak Guna Bangunan (HGB) di dalam perkawinan mereka.    
Dengan adanya berbagai bentuk perjanjian perkawinan maka didalam melayani permintaan pembautan akta perjanjian perkawinan, para notaris harus memahami dan mengetahui secara pasti keinginan dan tujuan para pihak untuk membuat perjanjian perkawinan tersebut. Isi akta perjanjian perkawinan yang dibuat harus sesuai dengan keinginan dan tujuan para pihak, bukan sesuai keinginan notaris.Misalnya apakah maksud mereka membuat perjanjian perkawinan tersebut agar semua harta yang kemudian diperoleh masing-masing suami isteri menjadi milik pribadi yang memperolehnya atau yang menjadi milik masing-maisng pihak yang memperoleh hanya yang berupa harta tidak bergerak (tanah) saja dan lain-lain.
   
c.         Pembuatan Perjanjian  Perkawinan Sepanjang Perkawinan Tidak Boleh Merugikan Pihak Ketiga

Oleh karena pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya kita dapat mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan.
Putusan Mahkamah konstitusi maupun UU Nomor 1 Tahun 1974  tidak mengatur hal tersebut. UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya menentukan bahwa apabila perjanjian perkawinan tersebut telah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga.
Untuk melindungi kepentingan pihak ketiga tersebut sudah seharusnya terdapat tatacara yang harus ditempuh agar pihak ketiga diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri   sepanjang perkawinan yang ternyata merugikan dirinya.
Berkaitan dengan hal tersebut menurut pendapat penulis, sepanjang belum diatur tatacara tersebut maka sebaiknya para notaris berhati-hati di dalam melayani permintaan pembuatan akta perjanjian perkawinan tersebut, agar jangan sampai akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya menimbulkan permasalahan atau sengketa dikemudian hari karena adanya gugatan dari pihak ketiga yang dirugikan atau dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut.

d.         Mulai Berlakunya Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan

Di atas telah diuraikan bahwa untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, sesuai  ketentuan Pasa 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.  Lalu bagaimana dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, apakah perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak pembuatan perjanjian perkawinan atau berlaku surut sejak tanggal perkawinan.
Jika kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas bahwa terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan juga berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut), kecuali ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Pasal 29 UU Perkawinan yang berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangusngkan.” menurut Mahkamah Konstitusi harus dimaknai bahwa  berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.”
Sehubungan dengan hal tersebut maka apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku maka perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut).
Permasalahan yang timbul apabila perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangusngkan adalah apakah perjanjian perkawinan tersebut demi hukum mengubah status hukum yang ada  sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut, apakah harta yang semula merupakan harta bersama (harta gono gini) sumai isteri, dengan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut berubah menjadi harta pribadi milik suami atau isteri yang memperoleh harta tersebut. Jika memang benar demikian maka akan timbul permasalahan, apakah suami isteri dapat melakukan pembagian dan pemidsahan harta dalam perkawinan tanpa terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan. Permasalahan berikutrnya terkait hal tersebut adalah apakah adanya perubahan status harta tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
Sehubungan dengan adanya permasalahan tersebut menurut penulis memang sebaiknya di dalam membuat perjanjian perkawinan, suami isteri bersepakat bahwa perjanjian perkawinan yang mereka buat mulai berlaku terhitung sejak saat dibuat perjanjian perkawinan atau hanya berlaku terhadap harta-harta yang mereka peroleh setelah dibuatnya perjanjian perkawinan, sehingga tidak mengubah staus hukum harta yang telah ada sebelumnya.
Sehubyungan dengan hal tersebut maka sebaiknya Notaris di dalam menerima permintaan pembuatan perjanjian perkawinan memberikan penyuluhan hukum kepada pasangan suami isteri tersebut mengenai mulai berlakunya perjanjian perkawinan serta permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga mereka dapat dengan sadar dapat memilih jangka waktu yang berkaitan mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut.

d.           Pencatatan Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan

Sebagaimana telah diuraikan diatas, dengan berlakunyan UU Nomor 1 Tahun 1974, pencatatan perjanjian perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri.  Pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Pegawai Pencatatan Perkawinan, yaitu di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, demikian pula halnya terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Berkaitan dengan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, apabila ternyata pegawai pencatat perkawinan (kantor catatan sipil/KUA) menolak untuk melakukan pencatatan perjanjian perkawinan tersebut maka pasangan suami isteri yang bersangfkutan dapat meminta penetapan pengadilan negeri untuk memerintahkan pegawai pencatatan perkawinan (Kantor Catatan Sipil/KUA) untuk mecatat perjanjian perkawinan tersebut.

6.    Contoh Premisse Akta dan Pasal tertentu dalam Perjanjian Perkawinan yang dibuta sepanjang perkawinan

a.      Premisse Akta   
        -Para penghadap menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut:
        -bahwa Para Pihak adalah merupakan suami isteri, yang perkawinannya dilangsungkan di .............., pada tanggal ......................
         sebagaimana ternyata dalam Akta Perkawinan nomor  .........yang kutipan resminya dikeluarkan oleh ............. pada tanggal ........................... diperlihatkan kepada saya, Notaris dan foto copi sesuai asalinya dilekatkan pada minuta akta ini;
        -bahwa perkawinan Para Pihak dilangsungkan tanpa membuat perjanjian perkawinan, sehingga terhadap harta benda mereka berlaku ketentuan harta benda perkawinan, yang diatur didalam peraturan perundang-undang yang berlaku;
        -bahwa oleh karena satu dan lain hal yang telah diketahui oleh Para Pihak, sehingga tidak perlu diuraikan di dalam akta ini, Para Pihak bermaksud membuat perjanjian perkawinan, dengan tujuan untuk mengenyampingkan ketentuan undang-undang yang mengatur harta benda perkawinan, dengan membuat perjanjian perkawinan (perjanjian perkawinan harta terpisah berupa apapun juga);
        -Sehubungan dengan apa yang diuraikan diatas selanjutnya para penghadap menerangkan bahwa Para Pihak dengan ini telah saling sepakat  kesepakatan untuk membuat perjanjian perkawinan (harta terpisah berupa apapun juga, dengan memakai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
b.     Bunyi pasal tertentu

Contoh Pasal terkait adanya harta terpisah

Pasal .....
Terhitung mulai hari ini, antara suami isteri tidak akan terdapat persekutuan harta benda, bukan hanya tidak adanya persekutuan menurut hukum, akan tetapi persekutuan untung dan rugi, persekutuan hasil dan pendapatan serta persekutuan berupa apapun juga secara tegas ditiadakan.

Contoh Pasal terkait barang yang telah ada sebelumnya
Pasal ....
1.            Bahwa barang-barang yang ada sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini, baik yang merupakan harta pribadi masing-masing pihak yang bersalal dari harta bawaan, warisan atau hadiha/hibah maupun harta bersama (harta gono gini Para Pihak adalah sebagaimana diuraikan di dalam Daftar Harta yang dibuat dibawah tangan, tertanggal hari ini, bermeterai cukup dan ditandatangani oleh Para Pihak, yang aslinya dilekatkan pada minuta akta ini.
2.            Terhadap barang-barang sebagaimana dimaksud di dalam ayat 1 Pasal ini tetap berlaku ketentuan hukum sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini dan merupakan pengecualian dari perjanjian perkawinan ini.

7.      Perjanjian perkawinan dapat diubah atau dicabut sewaktu-waktu

Pasal 29 ayat 4 UU Nomor 1 tahun 1974 memungkinkan perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan suami isteri diubah atau dicabut sewaktu-waktu berdasarkan kesepakatan suami isteri. Pembatasan yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 4 UU Nomor 1 tahun 1974, perubahan atau pencabutan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Dengan adanya kemungkinan dilakukannya perubahan sewaktu-waktu dan bahkan dapat diubah beberapa kali, hal ini akan membawa permasalahan tersendiri bagi notaris di dalam praktek karena belum adanya cara untuk mengetahui atau melakukan pengecekan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat suami isteri yang bersangkutan apakah merupakah perjanjian perkawinan satu-satunya, apakah pernah mengalami perubahan, jika ada sudah berapa kali diubah, apakah akta yang ditunjukkan kepada notaris merupakan perubahan yang terakhir kali dan apakah pernah dicabut atau tidak.

8.     Penutup

a.            Simpulan
Sehubungan dengan apa yang diuraikan diatas maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1)        Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan setelah perkawinan dilangsungkan;
2)          Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
3)        Perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, akan tetapi para pihak dapat menentukan di dalam perjanjian perkawinan tersebut saat mulai berlaku perjanjian perkawinan yang bersangkutan, misalnya mulai berlaku terhitung sejak tanggal pembuatan perjanjian perkawiann tersebut.
4)        Pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan masih menjadi persoalan karena belum adanya ketentuan mengenai pencatatannya. Oleh karena masih adanya permasalahan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan tersebut, dapat mengakibatkan tidak dapat dilakukannya pencatatan atas perjanjian perkawinan yang telah dibuat. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat mengakibatkan perjanjian perkawinan tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku diantara para pihak. Untuk itu agar perjanjian perkawinan tersebut dapat dicatat maka dapat diminta penetapan pengadilan.

Semoga bermanfaat
Salam
Alwesius,SH,MKn