Laman

PENYEGARAN PENGETAHUAN HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPAT-AN

PENYEGARAN PENGETAHUAN HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPAT-AN
OLEH LP3H “INP JAKARTA” ALWESIUS, SH.MKn
Akan diadakan:
Pada Hari :Waktu : Sabtu (28 -10- 2017) dan Minggu (28-10-2017)
JAM O8.30 - 16.00
materi:HUKUM PERTANAHAN, PERATURAN JABATAN PPAT, PENDAFTARAN TANAH, PEMBUATAN AKTA PPAT, ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN BPN, KODE ETIK PPAT
PEMATERI: ALWESIUS, SH, MKn
BIAYA :
Rp. 1.750.000.- (SATU JUTA TUJUH RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH) (sampai dengan TANGGAL 10 OKTOBER 2017)
-PEMBAYARAN SETELAH TANGGAL 10 OKTOBER 2017 DIKENAKAN TAMBAHAN SEBESAR Rp. 350.000. (TIGA RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH).
PEMBAYARAN SETELAH TANGGAL 20 OKTOBERT 2017 SEBESAR: RP. 2.500.000 (DUA JUTA LIMA RATUS RIBU RUPIAH)
(KHUSUS PESERTA YANG SEBELUMNYA PERNAH MENGIKUTI ACARA SEJENIS (HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPAT-AN) YANG DISELENGGARAKAN OLEH INP “JAKARTA” , DENGAN MENGIRIM BUKTI TANDA PESERTA, DENGAN MENYEBUTKAN NO. PENDAFTARAN DAN TEMPAT PELAKSANAANNYA, DIKENAKAN BIAYA RP. 1.250.000.- ( SATU JUTA DUA RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH, (UNTUK PEMBAYARAN SEBELUM 10 OKTOBER 2017)
TEMPAT:
Jakarta, Hotel Sentral, Jln Pramuka No. 63-64, Jakarta Pusat, Telp: 021 -4257565 (Booking Hotel Hubungi: Yuni : 0821-2259-2136)
PESERTA MEMPEROLEH MATERI DAN CONTOH AKTA (MATERI DAN CONTOH AKTA AKAN DI EMAIL KEPADA PESERTA SEBELUM HARI PELAKSANAAN, TIDAK MENYEDIAKAN HARD COPY, hard copy silahkan di print sendiri) , SERTIPIKAT INP, MAKAN SIANG DAN 2 X COFFE BREAK
PENDAFTARAN
Kirim WA ke No. 081285725200 untuk memperoleh nomor pendaftaran dengan menyebutkan Nama Lengkap, Pekerjaan/Jabatan, Wilayah Jabatan, Nomor WA dan ALAMT EMAIL).
Lakukan pembayaran melalui transfer ke Rek. Bca no. 5735062449 a.n ALWESIUS. SH(BOLEH LEWAT ATM, DLL)
Konfirmasi pembayaran dengan mengirim bukti pembayaran melalui WA ke 081285725200. dengan menyebutkan Nama Lengkap, Pekerjaan/Jabatan, Wilayah Jabatan, Nomor WA dan ALAMT EMAIL.
Asli bukti transfer dibawa dan diserahkan ke panitia pada saat daftar ulang pada hari pelaksanaan.
PENDAFTARAN DITUTUP PADA TANGGAL 24 OKTOBER 2017 (ATAU SEBELUMNYA JIKA TELAH MEMENUHI KUOTA) === TEMPAT TERBATAS
Informasi lebih lanjut hubungi Alwesius (081310438333), Sekretariat INP Jakarta, Jalan Kramat Raya No. 23 J, Telp: 021-3100337 (Herry, Herman)
Note: PESERTA YG TELAH MENDAFTAR DAN MEMBAYAR TIDAK DAPAT DIBATALKAN DAN HANYA DAPAT DIGANTIKAN DENGAN PESERTA LAIN.
Salam,
ALWESIUS, SH, MKn

Jumat, 22 September 2017

CATATAN SINGKAT MENGENAI HARTA BERSAMA (HARTA GONO GINI) SUAMI DAN ISTERI

CATATAN SINGKAT MENGENAI HARTA BERSAMA (HARTA GONO GINI) SUAMI DAN ISTERI

1.            Macam-macam Harta Dalam Perkawinan
Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), menentukan:
1)           Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
2)           Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa di dalam perkawinan terdapat Harta Pribadi dan Harta Bersama.
Harta Pribadi terdiri dari Harta Bawaan yaitu harta yang dibawa masing-masing suami isteri keda lam perkawinan, dan harta yang diperoleh suami atau isteri dari warisan atau hadiah, termasuk didalamnya harta yang berasal dari hibah.
Sedangkan Harta Bersama (Harta Gono Gini) adalah harta yang diperoleh suami dan/atau isteri sepanjang perkawinan, kecuali harta yang berasal dari warisan atau hadiah.
Jadi siapapun yang memperoleh harta tersebut, dari manapun perolehannya, sebab apapun perolehannya (kecuali warisan atau hadiah), jika perolehan tersebut terjadi sepanjang perkawinan maka harta tersebut menjadi harta bersama suami isteri.

2.            Perbuatan hukum atas Harta Bersama
Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan menentukan “ Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.” Jadi apabila suami atau isteri hendak melakukan perbuatan hukum atas harta bersama maka pihak suami atau isteri harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.
Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan tidak membedakan apakah harta tersebut merupakan harta bergerak atau harta tidak bergerak.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan ini tidak   berlaku terhadap harta bergerak, karena terhadap harta bergerak berlaku asas “Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna” sebagaimana tercantum didalam Pasal 1977 KUHPerdata, yaitu siapa yang menguasai harta bergerak dianggap sebagai pemilik. Penulis tidak sependapat dengan pendapat tersebut. Menurut penulis,  asas tersebut berlaku terhadap harta bergerak pada umumnya (merupakan ketentuan umum), sedangkan terkait dengan harta bergerak yang terdapat di dalam perkawinan tunduk pada ketentuan hukum harta benda perkawinan (merupakan ketentuan khusus). Ketentuan hukum harta benda perkawinan yang diatur didalam pasal 35 UU Perkawinan berlaku untuk semua harta, baik harta bergerak maupun harta tidak bergerak. Seorang suami yang memegang harta tertentu yang merupakan harta bergerak tidak serta merta dapat menyatakan bahwa harta tersebut merupakan harta pribadinya, bukan merupakan harta bersama (harta gono gini). Ia harus membuktikan bahwa harta tersebut adalah merupakan harta pribadinya, apalagi jika harta tersebut diperoleh sepanjang perkawinan dengan isterinya. Hal yang sama juga berlaku bagi pihak isteri.
Sekalipun harta bergerak tersebut diperoleh suami atau isteri dari warisan atau hibah pihak suami atau isteri yang memperoleh harta tersebut harus membuktikan  bahwa harta tersebut merupakan harta miliknya, merupakan harta pribadinya. Suami atau isteri tidak dapat menyatakan harta tersebut sebagai miliknya hanya berdasarkan asas yang terkandung di dalam Pasal 1977 KUHPerdata sebagaimana disebutkan diatas. Hal ini bisa dilihat dari adanya ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 166 KUHPerdata yang mewajibkan pihak suami atau isteri yang memperoleh harta bergerak dari warisan atau hibah   sepanjang perkawinan untuk membuktikan  perolehan tersebut dalam suatu surat pertelaan. Apabila surat tersebut tidak ada maka pihak suami tidak dapat mengambil harta bergerak tersebut sebagai miliknya, sedangkan pihak isteri dapat menggunakan bukti dengan menggunakan saksi-saksi. Terkait dengan hal tersebut maka sebagai Notaris dalam hal terdapat harta bergerak, misalnya saham,  yang akan dipindahtangankan atau dijadikan jaminan utang maka Notaris harus terlebih dahulu menentukan apakah harta tersebut merupakan harta pribadi suami atau isteri,  atau merupakan harta bersama (harta gono gini) suami dan isteri. Jika termasuk harta bersama maka untuk melakukan perbuatan hukum pemindahan hak atau penjaminan harus ada persetujuan dari pihak lainnya, baik dengan hadir dihadapan Notaris maupun dengan memberikan persetujuan tertulis.

        
     Sekian,smoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada kesalahan. Mohon masukan rekan-rekan.
Salam, Alwesius, SH, Mkn

Jumat, 11 Agustus 2017

CATATAN MENGENAI HARTA BERSAMA DAN PERSETUJUAN PASANGAN KAWIN

CATATAN MENGENAI HARTA BERSAMA DAN PERSETUJUAN PASANGAN KAWIN
Oleh: Alwesius, SH, MKn

 Pasal 35 ayat 1  menentukan “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” . Dengan menggunakan kata-kata “Harta benda” menunjukkan pasal ini  tidak membedakan antara harta bergerak maupun harta tidak bergerak, harta berwujud maupun tidak berwujud dll. Selanjutnya Pasal 35 ayat 2 memnentukan “ Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiha atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.  Jadi jelas berdasarkann ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan tersebut di dalam setiap perkawinan terdapat Harta Bersama Suami dan Isteri dan Harta Pribadi masing-masing suami isteri.
Harta Bersama Suami dan Isteri adalah semua harta benda (bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh suami dan/atau isteri selama/di dalam perkawinan mereka, kecuali yang diperoleh dari hadiah atau warisan.  Harta Pribadi terdiri dari harta bawaan, yaitu yang dibawa masing-masing-masing pihak ke dalam perkawinan dan harta yang diperoelh dari hadiah, hibah atau warisan.
Selanjutnya mari kita lihat pernyataan yang menyatakan “Ada atau tidak adanya harta bersama baru akan ditentukan setelah perkawinan berakhir (baca penjelasan pasal 35 (1) dan ketentuan pasal 37 UU 1/1974).  Jadi  selama perkawinan masih berlangsung, tidak ada penentuan mana yang menjadi harta bersama dan mana yang bukan harta bersama.”  Terkait hal ini mari kita lihat Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan menentukan “Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Kata-kata awal dari Pasal 36 ayat 1 ini yaitu “Mengenai harta bersama” menunjukan bahwa status harta bersama tersebut telah ada sejak diperolehnya harta tersebut di dalam perkawinan. Keberadaan “harta bersama” tidak menungguh perkawinan tersebut berakhir.    Apabila keberadaan harta bersama baru dapat ditentukan atau baru ada pada saat perkawinan berakhir, tentunya Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan ini tidak diperlukan atau dapat dikatakan sebagai kata-kata mati. Demikian pula dalam kita menjalankan jabatan sebagai Notaris atau PPAT kita tidak perlu mengetahui atau melihat apakah yang dijual atau dijadikan jaminan utang itu masuk dalam harta bersama atau tidak. Kenapa demikian, karena hal itu tidak diperlukan sepanjang pasangan suami isteri tersebut masih terikat perkawinan, bukan begitu!. Jadi jika pasangan suami isteri tersebut masih terikat perkawinan maka kita tidak perlu menerylidiki apakah harta yang dijual atau dijaminkan itu masuk harta pribadi atau harta bersama dan karenanya tidak perlu kita meminta persetujuan pasangan kawin. Hal ini tentunya akan membawa permasalahan bagi para pihak yang menerima hak berdasarkan akta yang kita buat dan dapat menimbulkan persoalan hukum bagi kita.
Adanya harta bersama sepanjang perkawinan dan keberadaannya dimulai sejak saat diperolehnya harta tersebut juga diakui di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69 PUU-XIII/2015 dalam perkara gugatan Nyonya Ike Farida, terkait ditolaknya penandatanganan AJB oleh Nyonya Ike Farida oleh pihak pengembang dengan alasan bahwa Nyonya Farida bersuamikan orang asing sehingga melanggar ketentuan mengenai pemilikan tanah di dalam UUPA dan akhirnya membawa perubahan atas ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan.  
Mengenai Penjelasan Pasal 35 ayat 1 yang menentukan “Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing”.Kalimat ”... maka harta bersama tersebut” setelah kalimat “Abila perkawinan putus...” dalam   pasal ini sudah sangat jelas  dan tegas mengakui eksistensi harta bersama yang  telah ada sebelum perkawinan putus/berakhir. Jadi keberadaannya bukan pada saat perkawinan tersebut putus/berakhir. Tapi telah ada sebelumnya sepanjang perkawinan, yang dimulai pada saat harta itu diperoleh dan kemudian apabila perkawinan tersebutn putus/berakhir maka mengenai harta bersama tersebut diatur menuruit hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum mlainnya (Penjelasan Pasal 37)
Selanjutnya  terkait pernyataan persetujuan suami/isteri yang menyatakan menyatakan “Persoalan persetujuan dari suami atau isteri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 36 (1) UU 1/1974 adalah persoalan internal dari suami atau isteri tersebut. Dalam arti, tidak adanya persetujuan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan tidak sahnya suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pemilik objek tersebut. Tidak adanya persetujuan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk merugikan pihak lainnya yang beritikad baik dalam transaksi yang bersangkutan. Pertama-tama yag pasti disini adanya “persetujuan” pasangan kawin disini diperlukan terlepas apakah itu masalah internal atau eksternal atau sah atau tidak sahnya perbuatan hukum tersebut.   Adanya “persetujuan” tersebut diperlukan jika yang akan dijual atau dijadikan jaminan utang tersebut masuk dalam harta bersama sesuai ketentuan yang disebutkan di dalam Pasal 36 ayat 1 tersebut. Penentuan harta yang bersangkutan masuk sebagai harta bersama kita tentukan pada saat kita akan membuat akta pemindahan hak atau akta jaminan yang bersangkutan, tidak menungguh berakhirnya perkawinan pihak yang menjual atau menjaminkan. Jika tidak demikian bagaimana kita dapat menentukan diperlukannya persetujuan tersebut apabila kita sebelumnya tidak menentukan bahwa harta tersebut masuk di dalam harta bersama suami isteri.
Terkait diperlukannya persetujuan suami atau isteri jelas disyaratkan di dalam asal 36 ayat 1. Persetujuan tersebut bukan masalah internal suami isteri semata-mata tetapi merupakan masalah yang penting di dalam melakukan perbuatan hukum atas harta bersama.Tidak adanya persetujuan dapat membawa permasalahan hukum tersendiri dan akan merugikan pihak penerima hak, yang menerima hak berdasarkan akta yang kita buat.Perbuatan tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.Telah banyak putusan Mahkamah Agung terkait dengan hal ini. (Lihat Putusan MA RI No. 2690 K/Pdt/1985 tanggal 3 Nopember 1986,   Putusan MA RI No. 33 K/AG/1983 tanggal 7 Juni 1984, Putusan MA RI No. 681 K/Sip /1975,  Putusan MA RI No. 2691 K/Pdt/1996 tanggal 8 September 1998)..Sekian.Tks.Smoga Bermanfaat.Salam Alwesius.,

Jumat, 26 Mei 2017

KETENTUAN MENGENAI BATAS KEWAJARAN PEMBUATAN AKTA PERHARI BAGI NOTARIS, BUKAN MERUPAKAN PEMBATASAN PEMBUATAN AKTA BAGI NOTARIS

KETENTUAN MENGENAI BATAS KEWAJARAN PEMBUATAN AKTA PERHARI BAGI NOTARIS,  BUKAN MERUPAKAN PEMBATASAN PEMBUATAN AKTA BAGI NOTARIS
Oleh : Alwesius, SH, MKn
1.           Pendahuluan
Pada tanggal 28 Pebruari 2017, Dewan Kehormatan Pusat yang merupakan salah satu alat perlengkapan Ikatan  Notaris Indonesia (I.N.I), mengeluarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Jumlah Kewajaran Pembuatan Akta Perhari (Per.DKP No.1/2017). Terbitnya peraturan tersebut membawa pendapat dan komentar dari anggota Perkumpulan baik dalam bentuk tulisan maupun komentar-komentar yang bertebaran di media sosial (facebook dan grup-grup WA) serta secara lisan dalam berbagai perbincangan dan diskusi terbatas. Ada yang pro dan pula yang kontra atas terbitnya peraturan tersebut.
Menurut penulis komentar-komentar yang ada, baik yang pro maupun yang kontra tersebut sebagian besar diberikan tanpa memahami makna atau tujuan dikeluarkannya peraturan tersebut dan terlihat juga ada yang hanya bersifat sekedar memberi komentar tanpa membaca dan memahami Per.DKP No.1/2017 tersebut.
Dengan adanya pendapat yang pro dan kontra tersebut maka ada beberapa permasalahan yang perlu dibahas lebih lanjut terkait dengan terbitnya Per.DKP No. 1/2017 tersebut, yaitu antara lain:
a.            Apakah INI mempunyai kewenangan untuk menentukan batas kewajaran dalam pembuatan akta?
b.           Apakah DKP berwenang membuat Peraturan DKP yang menentukan batas kewajaran pembuatan akta?
c.            Apakah Per.DKP No. 1 tahun 2017 tersebut membatasi kewenangan Notaris di dalam pembuatan akta?
d.           Apakah Per.DKP No. 1 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan UUJN?
e.            Apakah pelanggaran terhadap Per. DKP No. 1/2017 tersebut merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris?
f.              Apakah Notaris yang tidak mematuhi ketentuan Per.No. 1 tahun 2017 tersebut dapat dikenakan sanksi menurut UUJN?  

2.           Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya Organisasi Notaris
Pasal 82 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahaun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menentukan “Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.”
 Selanjutnya Pasal 82 ayat 2 dan ayat 3 UUJN menentukan secara tegas bahwa Wadah Organisasai Notaris tersebut adalah Ikatan Notaris Indonesia dan Ikatan Notaris Indonesia adalah merupakan satu-satunya wadah bagi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk  dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas Notaris.

3.           Batasan kewajaran Pembuatan Akta Perhari merupakan Kode Etik Notaris yang disepakati oleh Kongres
Pasal 7 Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia menentukan bahwa tujuan perkumpulan adalah  tegaknya kebenaran dan keadilan serta terpeliharanya keluhuran martabat jabatan Notaris sebagai pejabat umum yang bermutu dalam rangka pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Negara agar terwujudnya kepastian hukum dan terbinanya persatuan dan kesatuan serta kesejahteraan anggotanya.
Pasal 13 ayat 1 Anggaran Dasar Perkumpulan menentukan bahwa untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan Notaris tersebut Perkumpulan mempunyai Kode Etik Notaris yang ditetapkan oleh Kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota Perkumpulan.
Keputusan kongres adalah merupakan kesepakatan bersama para anggota perkumpulan yang sah. Apa yang telah disepakati di dalam Kongres wajib dipatuhi oleh semua anggota perkumpulan.
Salah satu yang telah disepakati di dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia adalah mengenai batas kewajaran pembuatan akta. Hal ini tercantum di dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris, yang menentukan            “  Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) dilarang :  ... 16. Membuat akta melebihi batas kewajaran yang batas jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan;”
Dengan ditetapkannya ketentuan tersebut maka sangat jelas bahwa batasan kewajaran pembuatan akta adalah merupakan norma yang masuk dalam Kode Etik Notaris, yang wajib dipatuhi oleh semua notaris atau semua orang yang menjalankan jabatan Notaris.  

4.           Dewan Kehormatan mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan terkait penegakan kode etik notaris
Sebagaimana telah diuraikan diatas terbitnya Per.DKP No. 1/2017 menimbulkan pro dan kontra di kalangan Notaris. Pro dan kontra tersebut merupakan suatu yang wajar. Semua pendapat dapat disampaikan untuk memperkaya wawasan kita di dalam berorganisasi. Pro dan kontra membuat kita semakin dewasa di dalam memandang uatu permasalahan dan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada untuk memperoleh solusi yang terbaik bagi semua anggota dan perkumpulan.  
Yang pertanyaan adalah apakah Dewan Kehormatanh Pusat berwenang membuat peraturan terkait dengan penegakan kode etik notaris?
Pasal 12 ayat 1 anggaran dasar perkumpulan menentukan bahwa Dewan Kehormatan mewakili Perkumpulan dalam hal pembinaan, pengawasan dan pemberian sanksi dalam penegakan Kode Etik Notaris. Dalam rangka melakukan pembinaan, pengawasan dan pemberian sanski tersebut, Dewan Kehormatan mempunyai tugas dan kewenangan, antara lain  untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan Kode Etik Notaris dann membuat peraturan dalam rangka penegakan Kode Etik Notaris bersama-sama dengan Pengurus Pusat.
Jadi jelas bahwa pada prinsipnya sesuai ketentuan anggaran dasar perkumpulan, Dewan Kehormatan mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan dalam rangka penegakan Kode Etik Notaris. Pembuatan peraturan tersebut dilakukan bersama-sama oleh Dewan Kehormatan Pusat dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia. 

5.           Kewenangan Dewan Kehormatan membuat Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017  bersumber dari Keputusan Kongres
Diatas telah diuraikan bahwa sesuai ketentuan Pasal 12 anggaran dasar Perkumpulan, Dewan Kehormatan Pusat berwenang membuat pertauran terkait penegakan kode etik Notaris bersama-sama dengan Pengurus Pusat.
Yang menjadi pertanyaan apakah penerbitan Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari yang diterbitkan oleh Dewan Kehormatan Pusat tanpa melibatkan PP INI (tidak bersama-sama PP INI) melanggaran anggaran dasar Perkumpulan?
Menurut penulis jalan yang diambil oleh Dewan Kehormatan Pusat untuk menerbitkan peraturan mengenai batas kewajaran dalam pembuatan akta sudah tepat dan tidak melanggar anggaran dasar Perkumpulan, khususnya Pasal 12. Keweanangan yang dimiliki oleh   Dewan Kehormatan Pusat tersebut bersumber langusng dari Keputusan Kongres.
Sebagaimana telah diuraikan diatas Pasal 4 Kode Etik Notaris, angka 16 menentukan   bahwa  “  Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) dilarang :  ... 16. Membuat akta melebihi batas kewajaran ...”. elanjutnya pada akhir kalimat Pasal 4 angka 16 tersebut ditentukan bahwa “... batas jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan;”. Dengan adanya kalimat terakhir dari Pasal 4 angka 16 Kode Etik Notaris tersebut maka Kongres Ikatan Notaris Indonesia telah memberikan kewenangan secara khusus kepada Dewan Kehormatan untuk menentukan batas jumlah kewajaran pembuatan akta. Ketentuan tersebut menurt penulis merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 12 anggaran dasar perkumpulan, yang mengharuskan Dewan Kehormatan Pusat membauta peraturan bersama-sama dengan Pengurus Pusat.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan diatas maka menurt pendapat penulis Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari yang diterbitkan oleh Dewan Kehormatan Pusat tanpa melibatkan PP INI (tidak bersama-sama PP INI) tidak melanggar anggaran dasar Perkumpulan.

6.           Batasan kewajaran pembuatan akta tidak membatasi Notaris di dalam pelaksanaan jabatannya dalam pembuatan akta dan karenanya tidak melanggar UUJN
Terbitnya Per.DKP No. 1/2017 menimbulkan pertanyaan di kalangan Notaris yang menyatakan bahwa pearturan tersebut membatasi notaris di dalam pembuatan akta. Pembatasan tersebut melanggar UUJN karena UUJN tidak mengatur perihal pembatasan pembuatan akta, peraturan tersebut bertentangan dengan anggaran dasar Perkumpulan, pertauran tersebut bukan merupakan kode etik notaris. Dan ada yang menyatakan bahwa jika kita mau menjadi Peraturan DKP berlaku sebagai kode etik notaris maka harus terlebih dahulu melakukan perubahan anggaran dasar.
Pendapat-pendapat tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan notaris, khususnya notaris yang biasa melayani pembuatan akta Jaminan Fidusia dan akta-akta terkait dengan Kredit Pemilikan rumah (KPR), yang biasa melayani pembuatan akta lebih dari 20 (dua puluh) akta dalam satu kali pengikatan, bahkan ada sampai dengan 100 (seratus) akta dalam satu kali pengikatan.
Kegelisahan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila kita  memahami  hakekat pelaksanaan tugas jabatan kita selaku Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sesuai UUJN. peraturan perundang-undangan lainnya, anggaran dasar Perkumpulan, Kode Etik Notaris, kepatutan dan kepantasan serta tatacara pembuatan  akta notaris.
Yang harus kita pahami bersama adalah bahwa  Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari, TIDAK MEMBATASI NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA, TIDAK SEDIKITPUN MENGURANGI HAK DAN KEWENANGAN NOTARIS DI DALAM MENJALANKAN JABATANNYA SELAKU PEJABAT UMUM, KHUSUSNYA MEMBUAT AKTA, tidak, tidak ada yang dibatasi haknya, tidak, tidak ada yang dikurangi haknya. Ini yang terlebih dahulu harus dipahami oleh kita semua. Tidak perlu kita gelisah, galau bahkan marah dan benci, sehingga mengambil sikap yang “aneh-aneh”. 
Mari kita lihat isi ketentuan Peraturan tersebut. Pasal 2 ayat 1 menentukan “Batas Kewajaran dalam pembuatan akta oleh Notaris sebagai anggota Perkumpulan adalah 2O (dua puluh) akta perhari.” Dengan ditetapkannya ketentuan ayat 1 ini maka DKP memandang bahwa sebagai seorang manusia, maka berdasarkan kodrat manusia, didalam menjalankan jabatannya khususnya didalam melayani pembuatan akta mulai dari adanya permintaan bantuan dari masyarakat, mempelajari dokumen yang disampaikan, menyusun pembuatan akta, membacakan akta, memberikan penjelasan kepada para penghadap terkait dengan isi akta tersebut dan menandatangani akta serta, singkatnya membuat akta sesuai dengan ketentuan UUJN, pertauran perundang-undangan lainnya, Kode Etik Notaris, kepatutan dan kepantasan serta tatacara pembuatan akta notaris, ditambah dengan beban notaris didalam menjalankan jabatan selaku PPAT, maka ditetapkan bahwa batas kewajaran dalam pembuatan akta adalah 20 (dua puluh) akta perhari, yang sebelumnya ada wacana untuk menetapkan sebesar 15 (lima belas) akta perhari.
Pertanyaan selanjutnya adalah apabila pembatasan tersebut bukan merupakan pembatasan jumlah pembuatann akta, apakah Notaris boleh membuat lebih dari 20 (dua puluh) akta.
 Berkaitan dengan pertanyaan tersebut mari kita lihat ketentuan Pasal 2 ayat 2, yang menentukan:
  “Apabila Notaris akan membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta perhari dalam satu rangkaian perbuatan hukum yang memerlukan akta yang saling berkaitan, dan/atau akta-akta lainnya, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), tatacara pembuatan akta notaris, Kode Etik Notaris (KEN), kepatutan dan kepantasan serta peraturan perundang- undangan lainnya. “
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2, ternyata sangat jelas bahwa Notaris tetap boleh membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta perhari, apabila:
a.                 akta-akta yang dibuat tersebut merupakan satu rangkaian perbuatan hukum yang memerlukan akta yang saling berkaitan; dan/ atau
b.                akta-akta lainnya;
- sepanjang dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai dengan :
a.            Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN);
b.           tatacara pembuatan akta notaris;
c.            Kode Etik Notaris (KEN);
d.           kepatutan dan kepantasan; serta
e.            peraturan perundang- undangan lainnya. “
Jadi sudah sangat jelas bahwa Notaris dapat membuat akta berapapun jumlahnya, tanpa ada pembatasan jumlah, sepanjang pembuatan akta tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 Peraturan Per.DKP No. 1/2017 tersebut. Notaris boleh membuat akta kurang dari 20 (dua puluh) akta perhari atau membuat lebih dari 20 (dua puluh) akta perhari, notaris dapat membuat 15 (lima belas) akta perhari dan dapat membuat 50 (lima puluh) akta perhari.
Pertanyaan selanjutnya, apa akibatnya jika ada Notaris yang membuat akta  lebih dari 20 (dua puluh) akta perhari?
Sehubungan dengan pertanyaan ini, mari kita lihat ketentuan Pasal 2 ayat 3, yang menentukan:
“Anggota Perkumpulan yang melanggar ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini merupakan objek permeriksaan Dewan Kehormatan Notaris (Dewan Kehorrnatan Daerah (DKD), Dewan Kehormatan Wilayah (DKW), Dewan Kehormatan Pusat (DKP) yang dilakukan secara berjenjang.”
Rekan Dr. Pieter Latumeten, SH, MH, SpN, dalam ceramahnya di dalam seminar yang diadakan oleh Pengda Bekasi Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 24 Mei 2017, menyatakan bahwan Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari, bukan bertujuan untuk membatasi pembuatan akta, akan tetapi untuk membatasi perilaku Notaris di dalam pelaksanaan jabatannya, agar diperoleh notaris-notaris yang menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tetap menjaga harkat martabat jabatan notaris.
 Sejalan dengan pernyataan rekan Piter Latumenten tersebut dan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 tersebut, maka apabila terdapat Notaris yang membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta perhari, maka belum tentu terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris, adanya ketentuan pembatasan kewajaran pembuatan akta menjadi dasar bagi Dewan Kehormatan Notaris untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka penegakan kode etik Notaris terhadap Notaris yang bersangkutan, karena dengan adanya pembuatan akta melebihi batas kewajaran yang ditetapkan dalam satu hari maka Notaris yang bersangkutan menjadi “Objek Pemeriksaan Dewan Kehormatan Notaris”.
Apabila dari hasil pemeriksaaan Dewan Kehormatan Notaris ternyata pembuatan akta-akta yang bersangkutan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka sudah seharusnya Dewan Kehormatan Notaris menyatakan bahwa Notaris yang bersangkutan dinyatakan tidak bersalah, dan bilamana perlu apa yang dilakukan oleh Notaris tersebut dapat dijadikan contoh bagi rekan-rekan lainnya, dalam arti contoh yang positif dalan menjalankan jabatan khusunya pembuatan akta yang melebihi batas kewajaran yang ditetapkan, akan tetapi dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Dan disamping itu sudah seharusnya segala hak yang seharusnya menjadi haknya dapat diberikan sebagaimana mestinya, misalnya hak untuk memperoleh rekomendasi untuk pindah jabatan.
Namun demnikian apabila ternyata dari hasil pemeriksaan memang terdapat pelanggaran maka tentunya Dewan Kehormatan Notaris harus dapat memberikan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan. Dalam pemberian sanksi seperti yang juga disampaikan oleh Rekan Pieter latumenten, sansksi tersebut bukanlah bersifat menghukum, akan tetapi bersifat mendidik dan merupakan pembinaan    bagi Notaris yang bersaangkutan.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa ketentuan pembatasan yang tercantum didalam Per.DKP No. 1/2017 bukanlah pembatasan pembuatan akta, oleh karena itu tidak bertentangan dengan UUJN, melainkan merupakan pembatasan perilaku Notaris di dalam pembuatan akta, agar Dewan Kehormatan Notaris dapat melakukan pemanggilan dan pemeriksaan bagi Notaris yang bersangkutan karena adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris akibat telah melakukan pembuatan akta yang melebihi batasan kewajaran pembuatan akta perhari.

7.           Pelanggaran terhadap pembatasan kewajaran pembuatan akta yang diatur dalam Per.DKP No. 1/20017 merupakan pelanggaran kode etik notaris
Dalam uraian terdahulu telah diuraikan bahwa ketentuan mengenai pembatasan keqwajaran pembuatan akta perhari oleh Notaris yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Pusat merupakan pelaksanaan dari keputusan kongres yang dituangkan didalam Pasal 4 angka 16 Kode Etik Notaris.
Oleh karena pembatasan pembuatan akta ditetapkan didalam Kode Etik Notaris maka jelaslah bahwa pelangaran terhadap ketentuan yang ditaur didalam peraturan DKP tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap kode etik notaris.

8.           Pelanggaran terhadap ketentuan pembatasan kewajaran pembuatan akta perhari dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan UUJN
Notaris didalam menjalankan jabatannya terikat atas sumpah jabatan Notaris sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 4 UUJN. Didalam sumpah jabatan Notaris, Notaris menyatakan bahwa Notaris  akan menjalankan jabatan dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak serta akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. Dengan demikian apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik notaris maka ia telah melakukan pelanggaran terhadap sumpah jabatannya dan karenanya melanggar ketentuan UUJN.
Sesuai ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUJN, pelanggaran terhadap kode etik Notaris dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatannya. Oleh karena pelanggaran terhadap ketentuan batasan kewajaran pembuatan akta merupakan pelanggaran terhadap larangan yang diatur dalam Kode Etik Notaris maka atas pelanggaran tersebut juga dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan UUJN sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 9 ayat 1 UUJN.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 70, 73 dan Pasal 77 UUJN, Majelis Pengawas dapat melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran kode etik notaris, dan apabila terbukti maka atas pelnggran tersebut dapat dikenakan sanski berupa:
a.            peringatan lisan;
b.           pringatan tertulis;
c.            pemberhentian sementara 3 (tiag) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
d.           usulan pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Sekian. Tks. Semoga bermanfaat
Salam
Alwesius, SH, MKn

Kamis, 26 Januari 2017

Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Revisi)
Oleh : Alwesius, SH,Mkn

1.            Pendahuluan
Pada tanggal 21 Maret 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan   Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang terkait dengan  gugatan yang diajukan oleh Nyonya Ike Farida terhadap beberapa pasal di dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan Pasal 29 dan 35 UU Nomor 1 Tahun 1974. Dari gugatan-gugatan yang diajukan tersebut Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan salah satu guguatan yaitu yang terkait  Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan.
Mahkamah Konsitusi mengubah ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 tahun 1974, sehingga Pasal 29 tersebut yang semula berbunyi:
“(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
  (2)  Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  (3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
  (4)Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah  kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengrubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.”,
menjadi berbunyi sebagai berikut:
“(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
   (2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
   (3)Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
    (5)Selama perkawinan dilangsungkan, perjanjian dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan perubahan atau pencabutan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan adanya perubahan ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka terdapat beberapa perubahan yang terjadi terkair perjanjian perkawinan, yaitu:
a.            Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perjanjian perkawina, sekarang dapat juga dibuat sepanjang perkawinan;
b.            Perjanjian perkawinan yang semula berlaku terhitung sejaka perkawinan dilangsungkan, sekarang dapat juga berlaku mulai saat yang diperjanjikan oleh suami isteri;
c.             Perjanjian perkawinan  yang semula hanya dapat diubah oleh kedua belah pihak, sekarang disamping dapat dapat diubah, juga dapat dicabut oleh kedua belha pihak.
Namun demikian dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Notaris tidak serta merta dapat melayani permintaan pasangan suami isteri untuk membuat perjanjian perkawinan. Masih terdapat permasalahan yang memerlukan kejelasan dan kepastian sehubungan dengann pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berupa:
a.             Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan tersebut tidak merugikan pihak ketiga?
b.            Bagaimana tatacara pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan?
c.             Sejak kapan sebaiknya perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perekawinan mulai berlaku, apakah berlaku surut sejak tanggal perkawinan dilangusngkan atau mulai berlaku sejak saat dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut?

2.            Pengertian Perjanjian Perkawinan

Jika kita melihat ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan maka tidak terdapat pengertian yang jelas mengenai perjanjian perkawinan. Oleh karena itu banyak para ahli yang memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan.
Dari berbagai pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda/harta kekayaan mereka, dengan menyimpang dari prinsip harta benda perkawinan menurut undang-undang. Namun demikian walaupun perjanjian perkawinan pada prinsipnya berisikan pengaturan mengenai harta perkawinan, sesuai bunyi Pasal 29 ayat 4 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat juga berisikan hal lain selain mengenai harta perkawinan.

3.        Pembuatan Perjanjian Perkawinan Menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan

Ada perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan. Menurut ketetntuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan tersebut mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148 KUHPerdata menentukan bahwa sepanjang perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga perjanjian perkawinan tidak dapat diubah.  
UU Perkawinan mengatur perihal perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal yaitu Pasal 29. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangusng perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.  
Dengan demikian terlihat ada perbedaan ketentuan mengenai pembuatan perjanjian menurut KUHPerdata dan UUPerkawinan, yaitu:
1)         Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis, jadi bisa dibuat dengan akta notaris atau dibuat dibawah tangan;
2)           Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangusngkan, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan;
3)           Menurut KUHPerdata, sepanjang perkawinan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun juga, sedangkan menurut UU Perkawinan, prinsipnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah sepanjang perkawinana  kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.  

4.            Pencatatan Perjanjian Perkawinan

Setelah dibuatnya perjanjian perkawinan maka selanjutnya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri tersebut kemudian harus dicatat, agar perjanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat tidak mengikat pihak ketiga akan tetapi  hanya mengikat para pihak yang membuatnya.
Menurut 152 KUHPerdata, pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan tersebut dilangsungkan. Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negeri maka pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Paniteran Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat dimana perkawinan tersebut dicatat.   
Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Menurut penulis “disahkan” dalam kalimat ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak sisahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut tidak sah. Pengesahan tersebut dilakukan dengan melakukan pembukuan atau pencatatan perjanjian perkawinan tersebut di dalam buku daftar yang memng disediakan untuk melakukan pencatatan.
Pencatatan perjanjian perkawinan setelah berlakunya UU Perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) atau Kantor Urusan Agama.

5.            Pembuatan Perjanjian Perkawinan  Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

a.             Perjanjian Perkawinan Dapat Dibuat Sepanjang Perkawinan Suami Isteri

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, pada tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan.  Apabila sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka.
Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka pasangan suami isteri, yang sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan tidak membuat perjanjian perkawinan, jika mereka ingin membuat perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan mereka tidak lagi harus meminta penetapan pengadilan untuk keperluan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, seperti yang telah beberapa kali terjadi. Mereka yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut dihadapan Notaris.  

b.           Bentuk  Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan

Jika kita melihat ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata maupun pendapat para ahli, maka dapat kita ketahui ada beberapa bentuk perjanjian perkawinan, antara lain:
1)            Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau harta terpisah berupa apapun juga;
2)            Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi;
3)            Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan;
Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda dibuat dengan maksud agar dinatara suami isteri tidak terdapat harta persatuan berupa apapaun juga. Jadi semua harta yang dibawa kedalam perkawinan maupun semua harta atau penghasilan yang diperoleh sepanjang perkawinan, darimanapun harta tersebut berasal dan apapun sebab perolehannya merupakan milik pribadi/harta pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya.
Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi dibuat dengan maksud agar semua harta yang dibawa ke dalam perkawinan, demikian juga harta yang diperoleh dari warisan atau hibah tetap merupakan milik pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya, sementara segala keuntungan dan kerugian sepanjang perkawinan dibagi dua dinatara suami isteri masing-masing dengan bagian yang sama besarnya.
Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, hampir sama dengan perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi. Perbedaannya adalah bahwa didalam perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, yang dibagi dua diantara suami isteri adalah hasil dan pendapatannya saja (keuntungan), sedangkan apabila di dalam perkawinan tersebut terdapat kerugian (lebih besar utang/beban dari pada penghasilan) maka utang tersebyut ditanggung dan dibayar oleh suami.
Disamping bentuk-bentuk perjanjian perkawinan sebagaimana diuraikan diatas tentunya masih ada berbagai bentuk perjanjian perkawinan lain. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya bentuk perjanjian perkawinan yang mana yang akan dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka tergantung dari tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Namun apabila kita melihat latar belakang dari adanya tuntutan nonya Ike Farida yang menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya yang diinginkan untuk dibuat adalah perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau perjanjian perkawinan harta terpisah berupa apapun juga, agar Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing dapat tetap membeli tanah denganstatus Hak Milik atau Hak Guna Bangunan (HGB) di dalam perkawinan mereka.    
Dengan adanya berbagai bentuk perjanjian perkawinan maka didalam melayani permintaan pembautan akta perjanjian perkawinan, para notaris harus memahami dan mengetahui secara pasti keinginan dan tujuan para pihak untuk membuat perjanjian perkawinan tersebut. Isi akta perjanjian perkawinan yang dibuat harus sesuai dengan keinginan dan tujuan para pihak, bukan sesuai keinginan notaris.Misalnya apakah maksud mereka membuat perjanjian perkawinan tersebut agar semua harta yang kemudian diperoleh masing-masing suami isteri menjadi milik pribadi yang memperolehnya atau yang menjadi milik masing-maisng pihak yang memperoleh hanya yang berupa harta tidak bergerak (tanah) saja dan lain-lain.
   
c.         Pembuatan Perjanjian  Perkawinan Sepanjang Perkawinan Tidak Boleh Merugikan Pihak Ketiga

Oleh karena pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya kita dapat mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan.
Putusan Mahkamah konstitusi maupun UU Nomor 1 Tahun 1974  tidak mengatur hal tersebut. UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya menentukan bahwa apabila perjanjian perkawinan tersebut telah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga.
Untuk melindungi kepentingan pihak ketiga tersebut sudah seharusnya terdapat tatacara yang harus ditempuh agar pihak ketiga diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri   sepanjang perkawinan yang ternyata merugikan dirinya.
Berkaitan dengan hal tersebut menurut pendapat penulis, sepanjang belum diatur tatacara tersebut maka sebaiknya para notaris berhati-hati di dalam melayani permintaan pembuatan akta perjanjian perkawinan tersebut, agar jangan sampai akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya menimbulkan permasalahan atau sengketa dikemudian hari karena adanya gugatan dari pihak ketiga yang dirugikan atau dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut.

d.         Mulai Berlakunya Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan

Di atas telah diuraikan bahwa untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, sesuai  ketentuan Pasa 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.  Lalu bagaimana dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, apakah perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak pembuatan perjanjian perkawinan atau berlaku surut sejak tanggal perkawinan.
Jika kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas bahwa terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan juga berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut), kecuali ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Pasal 29 UU Perkawinan yang berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangusngkan.” menurut Mahkamah Konstitusi harus dimaknai bahwa  berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.”
Sehubungan dengan hal tersebut maka apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku maka perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut).
Permasalahan yang timbul apabila perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangusngkan adalah apakah perjanjian perkawinan tersebut demi hukum mengubah status hukum yang ada  sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut, apakah harta yang semula merupakan harta bersama (harta gono gini) sumai isteri, dengan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut berubah menjadi harta pribadi milik suami atau isteri yang memperoleh harta tersebut. Jika memang benar demikian maka akan timbul permasalahan, apakah suami isteri dapat melakukan pembagian dan pemidsahan harta dalam perkawinan tanpa terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan. Permasalahan berikutrnya terkait hal tersebut adalah apakah adanya perubahan status harta tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
Sehubungan dengan adanya permasalahan tersebut menurut penulis memang sebaiknya di dalam membuat perjanjian perkawinan, suami isteri bersepakat bahwa perjanjian perkawinan yang mereka buat mulai berlaku terhitung sejak saat dibuat perjanjian perkawinan atau hanya berlaku terhadap harta-harta yang mereka peroleh setelah dibuatnya perjanjian perkawinan, sehingga tidak mengubah staus hukum harta yang telah ada sebelumnya.
Sehubyungan dengan hal tersebut maka sebaiknya Notaris di dalam menerima permintaan pembuatan perjanjian perkawinan memberikan penyuluhan hukum kepada pasangan suami isteri tersebut mengenai mulai berlakunya perjanjian perkawinan serta permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga mereka dapat dengan sadar dapat memilih jangka waktu yang berkaitan mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut.

d.           Pencatatan Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan

Sebagaimana telah diuraikan diatas, dengan berlakunyan UU Nomor 1 Tahun 1974, pencatatan perjanjian perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri.  Pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Pegawai Pencatatan Perkawinan, yaitu di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, demikian pula halnya terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Berkaitan dengan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, apabila ternyata pegawai pencatat perkawinan (kantor catatan sipil/KUA) menolak untuk melakukan pencatatan perjanjian perkawinan tersebut maka pasangan suami isteri yang bersangfkutan dapat meminta penetapan pengadilan negeri untuk memerintahkan pegawai pencatatan perkawinan (Kantor Catatan Sipil/KUA) untuk mecatat perjanjian perkawinan tersebut.

6.    Contoh Premisse Akta dan Pasal tertentu dalam Perjanjian Perkawinan yang dibuta sepanjang perkawinan

a.      Premisse Akta   
        -Para penghadap menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut:
        -bahwa Para Pihak adalah merupakan suami isteri, yang perkawinannya dilangsungkan di .............., pada tanggal ......................
         sebagaimana ternyata dalam Akta Perkawinan nomor  .........yang kutipan resminya dikeluarkan oleh ............. pada tanggal ........................... diperlihatkan kepada saya, Notaris dan foto copi sesuai asalinya dilekatkan pada minuta akta ini;
        -bahwa perkawinan Para Pihak dilangsungkan tanpa membuat perjanjian perkawinan, sehingga terhadap harta benda mereka berlaku ketentuan harta benda perkawinan, yang diatur didalam peraturan perundang-undang yang berlaku;
        -bahwa oleh karena satu dan lain hal yang telah diketahui oleh Para Pihak, sehingga tidak perlu diuraikan di dalam akta ini, Para Pihak bermaksud membuat perjanjian perkawinan, dengan tujuan untuk mengenyampingkan ketentuan undang-undang yang mengatur harta benda perkawinan, dengan membuat perjanjian perkawinan (perjanjian perkawinan harta terpisah berupa apapun juga);
        -Sehubungan dengan apa yang diuraikan diatas selanjutnya para penghadap menerangkan bahwa Para Pihak dengan ini telah saling sepakat  kesepakatan untuk membuat perjanjian perkawinan (harta terpisah berupa apapun juga, dengan memakai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
b.     Bunyi pasal tertentu

Contoh Pasal terkait adanya harta terpisah

Pasal .....
Terhitung mulai hari ini, antara suami isteri tidak akan terdapat persekutuan harta benda, bukan hanya tidak adanya persekutuan menurut hukum, akan tetapi persekutuan untung dan rugi, persekutuan hasil dan pendapatan serta persekutuan berupa apapun juga secara tegas ditiadakan.

Contoh Pasal terkait barang yang telah ada sebelumnya
Pasal ....
1.            Bahwa barang-barang yang ada sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini, baik yang merupakan harta pribadi masing-masing pihak yang bersalal dari harta bawaan, warisan atau hadiha/hibah maupun harta bersama (harta gono gini Para Pihak adalah sebagaimana diuraikan di dalam Daftar Harta yang dibuat dibawah tangan, tertanggal hari ini, bermeterai cukup dan ditandatangani oleh Para Pihak, yang aslinya dilekatkan pada minuta akta ini.
2.            Terhadap barang-barang sebagaimana dimaksud di dalam ayat 1 Pasal ini tetap berlaku ketentuan hukum sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini dan merupakan pengecualian dari perjanjian perkawinan ini.

7.      Perjanjian perkawinan dapat diubah atau dicabut sewaktu-waktu

Pasal 29 ayat 4 UU Nomor 1 tahun 1974 memungkinkan perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan suami isteri diubah atau dicabut sewaktu-waktu berdasarkan kesepakatan suami isteri. Pembatasan yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 4 UU Nomor 1 tahun 1974, perubahan atau pencabutan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Dengan adanya kemungkinan dilakukannya perubahan sewaktu-waktu dan bahkan dapat diubah beberapa kali, hal ini akan membawa permasalahan tersendiri bagi notaris di dalam praktek karena belum adanya cara untuk mengetahui atau melakukan pengecekan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat suami isteri yang bersangkutan apakah merupakah perjanjian perkawinan satu-satunya, apakah pernah mengalami perubahan, jika ada sudah berapa kali diubah, apakah akta yang ditunjukkan kepada notaris merupakan perubahan yang terakhir kali dan apakah pernah dicabut atau tidak.

8.     Penutup

a.            Simpulan
Sehubungan dengan apa yang diuraikan diatas maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1)        Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan setelah perkawinan dilangsungkan;
2)          Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
3)        Perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, akan tetapi para pihak dapat menentukan di dalam perjanjian perkawinan tersebut saat mulai berlaku perjanjian perkawinan yang bersangkutan, misalnya mulai berlaku terhitung sejak tanggal pembuatan perjanjian perkawiann tersebut.
4)        Pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan masih menjadi persoalan karena belum adanya ketentuan mengenai pencatatannya. Oleh karena masih adanya permasalahan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan tersebut, dapat mengakibatkan tidak dapat dilakukannya pencatatan atas perjanjian perkawinan yang telah dibuat. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat mengakibatkan perjanjian perkawinan tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku diantara para pihak. Untuk itu agar perjanjian perkawinan tersebut dapat dicatat maka dapat diminta penetapan pengadilan.

Semoga bermanfaat
Salam
Alwesius,SH,MKn