Laman

Jumat, 13 Desember 2019

           BAHASA YANG DIGUNAKAN DI DALAM AKTA
DAN PENERJEMAHAN AKTA

Oleh : Alwesius, SH, MKn


Terkait dengan bahasa yang digunakan di dalam pembuatan akta notaris, kita dapat melihat ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUJN, yang menentukan “Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.” Selanjutnya kita melihat ketentuan Pasal 31 Undang-Undang nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,  yang menentukan :”
(1)               Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2)               Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.”
Jadi jelas berdasarkan ketentuan tersebut diatas pada prinsipnya akta notaris wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.

2.                 Di dalam praktik memang banyak permintaan pembuatan akta dalam bahasa asing. Yang menjadi pertanyaan, apakah akta dapat dibuat dalam bahasa asing? Untuk itu mari kita membaca ketentuan yang diatur di dalam Pasal 43 ayat (3) UUJN, yang menentukan bahwa “Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing.”.

3.                           Berbeda dengan ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) maupun Pasal 43 UUJN (lama) yang dimuat dalam UU Nomor 30 tahun 2004, yang menentukan secara tegas bahwa akta dapat dibuat dalam bahasa asing, sepanjang notaris mengerti atau memahami  bahasa asing yang bersangkutan. Pasal 43 UUJN (baru) yang dimuat dalam UU Nomor 2 tahun 2014 tidak menentukan syarat “notaris mengerti bahasa asing yang bersangkutan”.
Untuk lebih jelasnya berikut ini isi Pasal 43 lama dan baru :
Pasal 43 UU Nomor 30 tahun 2004, menentukan:”
(1)                Akta dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2)               Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan   dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3)               Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
(4)               Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.
(5)               Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Pasal 43 (baru), yang dimuat di dalam UU Nomor 2 Tahun 2014:
(1)               Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2)               Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3)               Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4)               Dalam hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
(5)               Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, Akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
(6)               Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Tidak adanya ketentuan atau dihilangkannya ketentuan bahwa notaris harus mengerti atau memahami bahasa asing yang digunakan di dalam akta yang bersangkutan, apakah Notaris wajib mengerti atau memahami bahasa tersebut?
Jika kita melihat ketentuan yang ada di dalam Pasal 43 ayat (5) UUJN, memang terlihat seolah-olah diperbolehkan untuk membuat akta dalam bahasa asing, sekalipun Notaris tidak mengerti bahasa yang bersangkutan.  Jika akta dibuat dalam bahasa asing maka Pasal 43 ayat (4) UUJN menentukan bahwa Notaris wajib menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia dan Pasal 43 ayat (5)  UUJN menentukan apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah resmi.
Menurut penulis, walaupun syarat bahwa Notaris harus mengerti atau memahami bahasa yang digunakan di dalam akta tidak lagi ditentukan secara tegas di dalam UUJN, karena sejak dilakukannya perubahan atas UU No. 30 tahun 2004 dengan UU No. 2 tahun 2014 ketentuan tersebut telah ditiadakan, penulis berpendapat syarat tersebut tetaplah berlaku, kenapa demikian?
Alasan yang dapat penulis kemukakan terkait pendapat penulis tersebut, yaitu: Pertama, Notaris adalah merupakan pejabat umum, yang merupakan pejabat kepercayaan, sehingga Notaris wajib memahami dan mengerti akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, agar ia dapat memahami apa yang dikehendaki oleh para pihak untuk dituangkan di dalam akta tersebut, dan wajib  menjelaskan isi akta tersebut kepada para pihak sesuai dengan apa yang tertuang didalam akta. Tanpa memahami bahasa yang digunakan di dalam akta tentunya hal tersebut tidak dapat tercapai; Kedua, Notaris wajib membacakan sendiri akta yang bersangkutan kepada penghadap. Pembacaan akta merupakan bagian dari “verlijden” dari akta. Oleh karena akta itu dibuat oleh Notaris, maka pembacaan itu juga dilakukan oleh Notaris sendiri, disamping pembacaan merupakan bagian dari kewajiban Notaris selaku pejabat umum. Notaris tidak mungkin membacakan akta tersebut jika ia tidak mengerti atau memahami bahasa asing tersebut. Pembacaan akta tersebut tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat dilakukan oleh penterjemah.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut penulis, seandainya Notaris tidak mengerti bahasa asing tersebut, Notaris wajib membuat akta tersebut dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain yang ia mengerti dan kemudian menterjemahkan akta tersebut ke dalam bahasa yang dimengerti penghadap dan apabila Notaris tidak dapat menerjemahkannya maka akta tersebut diterjemahkan oleh penterjemah resmi.

4.                  Sesuai ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUJN, dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta maka Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap dan apabila Notaris tidak dapat melakukan hal tersebut maka penerjemahan dan penjelasan tersebut dapat dilakukan oleh penterjemah resmi.Tks. Semoga Bermanfaat.
             
             Salam 
             Alwesius

Sa




NOTARIS YANG SEDANG MENJALANKAN TUGAS NEGARA 
Oleh: Alwesius, SH, Mkn 


Seorang Notaris yang menjalankan tugas negara, seperti diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Gubernur, Bupati/Walikota wajib mengajukan permohonan cuti. Cuti tersebut berlangsung selama Notaris tersebut memangku jabatan sebagai pejabat negara. Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 11 UUJN (yang baru) , yang berbunyi sebagai berikut:”
(1)               Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.
(2)              Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara.
(3)         Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Protokol Notaris yang sedang menjalankan cuti karena menjalankan tugas Negara tersebut diserahkan kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). Hal ini ditentukan dalam Pasal 64 ayat (1) UUJN, yang berbunyi:
Protokol Notaris dari Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara diserahkan kepada Notaris yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah.
Protokol Notaris yang sedang cuti karena menjalankan tugas  negara diserahkan kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh MPD bukan kepada Notaris Pengganti. Ketentuan Pasal 11 UUJN (yang baru) dan Pasal 64 UUJN tersebut menunjukkan bahwa Notaris yang diangkat penjadi pejabat negara, yang sedang menjalankan cuti tidak digantikan oleh seorang Notaris Pengganti. Ketentuan tersebut sudah tepat oleh karena Notaris dilarang untuk merangkap jabatan, antara lain sebagai pejabat negara, sebagaimana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 (1) huruf d UUJN.
Notaris yang sedang menjalankan cuti karena  diangkat sebagai pejabat negara tidak digantikan oleh Notaris Pengganti, dapat dilihat dari perbandingan bunyi Pasal 11 UUJN (yang lama), dengan bunyi Pasal 11 UUJN (yang baru).
Pasal 11 UUJN (yang lama) yang berbunyi sebegai berikut:”
(1)               Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti. 
(2)              Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara. 
(3)               Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjuk Notaris Pengganti.
(4)               Apabila Notaris tidak menunjuk Notaris Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Majelis Pengawas Daerah menunjuk Notaris lain untuk menerima Protokol Notaris yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara.
(5)        Notaris yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemegang sementara Protokol Notaris. 
(6)            Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali kepadanya.”

Pasal 11 UUJN (yang baru) , yang berbunyi sebagai berikut:”
(1)               Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.
(2)               Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara.
(3)               Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 11 UUJN (yang lama) mewajibkan kepada Notaris tersebut untuk menunjuk Notaris Pengganti dan dalam hal ia tidak menunjuk Notaris Pengganti maka MPD menunjuk Notaris lain untuk menerima protokol Notaris yang sedang menjalankan cuti karena menjalankan tugas negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UUJN (yang lama) tersebut maka Notaris Pengganti hanya ada apabila Notaris yang sedang menjalankan tugas negara tersebut menunjuk seorang Notaris Pengganti. Selanjutnya Pasal 11 UUJN (yang baru) menghilangkan ketentuan mengenai kewajiban Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara tersebut untuk menunjuk  Notaris Pengganti. Jadi berdasarkan ketentuan pasal 11 UUJN (yang baru), Notaris yang  diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti, tanpa menunjuk Notaris Pengganti dan selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 64 UUJN, Protokol Notaris dari Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara tersebut  diserahkan kepada Notaris yang ditunjuk oleh MPD. Dengan dihilangkannya kewajiban penunjukkan Notaris Pengganti dalam Pasal 11 UUJN (yang baru) dan adanya ketentuan pasal 64 UUJN tersebut, menurut Penulis, jelaslah bahwa Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara, yang menjalankan cuti sebagai Notaris tidak dapat digantikan oleh seorang Notaris Pengganti. Jika pengangkatan Notaris Pengganti tersebut dilakukan maka melanggar ketentuan Pasal 11 jo Pasal 64 UUJN,  serta terjadi pelanggaran larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 (1) huruf d UUJN.

Terima Kasih
Smoga Bermanfaat

Salam
Alwesius