Laman

Kamis, 03 Desember 2009

ALWESIUS BICARA MENGENAI KEDUDUKAN ANAK DARI PERKAWINAN YANG TIDAK DICATAT

Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") menentukan " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Selanjutnya Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan menentukan " Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan menyatakan " ... Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan."
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 6 ayat 2 ditentukan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dan pasal 7 ayat 1 KHI menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Berkaitan dengan ketentuan tersebut maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ahli mengenai sahnya suatu perkawinan. Namun yang pasti adalah bahwa jika suatu perkawinan dilangsungkan tanpa adanya pencatatan maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh Negara (Hukum Negara). Hal ini dapat dilihat dari akta kelahiran anak tersebut yang menyebutkan anak tersebut sebagai "anak luar nikah" dari ibunya tanpa ada penyebutan siapa yang menjadi ayah anak tersebut.
Jika suatu perkawinan tidak dilangsungkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka membawa akibat anak tersebut secara yuridis hanya berkedudukan sebagai anak luar nikah. Berdasarkan ketentuan pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan seorang anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Jadi ia hanya berhak mewaris dari ibunya saja jika ibunya meninggal dunia. Seandainya ayahnya yang meninggal dunia maka ia tidak berhak mewaris dari ayahnya.
Bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), seorang anak luar nikah dapat mewaris dari ayahnya, jika ayahnya meninggal dunia, apabila si ayah melakukan pengakuan atas anaknya tersebut sesuai ketentuan pasal 281, 282 dan 284 KUHPerdata, yaitu dilakukan dengan pembuatan akta Pengakuan Anak dihadapan Notaris atau dengan melakukan pengakuan anak dihadapan pegawai catatan sipl. Dengan adanya pengakuan anak tersebut maka si anak tersebut berhak mewaris dari ayahnya dengan hak bagian sebesar apa yang ditentukan dalam Pasal 863 KUHPerdata, yaitu sebesar sepertiga dari bagian yang seharusnya ia terima jika ia berkedudukan sebagai anak sah, dalam hal ia mewaris bersama ahli waris golongan pertama. Bahkan dapat pula meningkatkan status anaknya menjadi anak sah lewat perkawianan kedua orang tuanya menurut ketentuan hukum yang berlaku atau mengajukan permohonan pengesahan anak kepada pejabat yang berwenang.
Bagi mereka yang beragama Islam kedudukan anak luar nikah tersebut dapat ditingkatkan statusnya menjadi anak sah, sehingga ia akan memperoleh hak mewaris dari harta warisan ayahnya jika ayahnya meninggal dunia yaitu dengan mengajukan permohonan itsbat nikah. Permohonan tersebut dapat dilakukan oleh suami atau isteri, anak-anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan.



Salam
Alwesius



Tidak ada komentar:

Posting Komentar