Laman

Kamis, 30 Mei 2013

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 66 UUJN

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 66 UUJN DAN TINDAKAN YANG DAPAT KITA LAKUKAN KEDEPAN
Oleh : Alwesius, SH, MKn


1.         Pendahuluan

Selasa tanggal 23 Maret 2013 dengan Putusan nomor 49/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membuat suatu putusan yang mengagetkan para notaris di Indonesia. Saya katakan mengagetkan karena dengan keluarnya putusan tersebut banyak notaris merasa kehilangan “senjata pamungkas”  untuk melakukan penolakan dalam kaitan dengan pemanggilan dirinya sebagai saksi maupun tersangka.
Putusan tersebut mengagetkan karena putusan tersebut berkaitan dengan ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN yang mensyaratkan terlebih dahulu harus ada persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) jika penyidik, penuntut umum atau hakim akan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Bunyi ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut selngkapnya dalah sebagai berikut:

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a.  mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan   pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b.  memanggil  Notaris  untuk  hadir  dalam  pemeriksaan  yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Harus adanya persetujuan dari MPD memang dirasakan oleh banyak pihak  termasuk pihak kepolisian “menghambat” proses perkara yang berkaitan dengan notaris, termasuk yang dirasakan oleh Kant Kamal yang kemudian melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan frasa “ dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang terdapat dalam pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut, yag akhirnya melahirkan putusan tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi telah dikeluarkan, putusan tersebut sesuai ketentuan pasal 10 ayat 1 UU Mahkamah Konstitusi merupakan keputusan yang bersifat final. Karena keputusan tersebut bersifat final maka tidak terdapat lagi upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan tersebut baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Bagi notaris yang terikat pada sumpah jabatan notaris maka kita wajib menghormati dan mematuhi keputusan tersebut, namun demikian bagaimana kita dapat mematuhi keputusan tersebut dengan sekaligus pada saat yang sama kita dapat memenuhi kewajiban jabatan kita berdasarkan UUJN serta peraturan perundang-undangan yang berlaku,  bagaimana kita mematuhi putusan tersebut dan sekaligus tidak melanggar sumpah jabatan kita khususnya yang berkaitan dengan kalimat  “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut maka saya mencoba membuat tulisan ini agar dapat menjadi renungan kita bersama sehingga kita dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dan bijak sesuai harkat dan martabat jabatan kita, notaris Indonesia.

2.         Hak Ingkar atau Kewajiban Ingkar Notaris

Hak ingkar (verschoningsrecht) atau kewajiban ingkar (verschoning splicht) dari seorang notaris berkaitan dengan adanya ketentuan yang berkaitan dengan rahasia jabatan notaris. Ketentuan mengenai rahasia jabatan notaris dapat diketemukan di dalam pasal 4 UUJN yang mengatur mengenai sumpah jabatan notaris, yang berbunyi “Saya bersumpah/berjanji:...bahwa  saya  bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.”, pasal 16 ayat 1 huruf e yang berbunyi “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban ... merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan ...”,  dan pasal 54 UUJN  yang berbunyi “ Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”
Perihal hak ingkar (verschoningsrecht) maka seseorang baik karena pekerajaan, harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan untuk menyimpan rahasia dapat menggunakan haknya untuk minta dibebaskan sebagai sebagai saksi baik dalam suatu perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata diatur dalam  pasal 1909 KUHPerdata  yang menentukan “ Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, siharuskan memberikan kesaksian di muka hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian: ... segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasikan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.” Untuk perkara pidana  diatur dalam pasal 170 KUHAP yang menentukan :

“ 1)   Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan   menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka;
  2)     Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.”

Orang-orang yang mempunyai hak ingkar ini antara lain pendeta, dokter dan notaris. Orang-orang ini dapat menolak untuk memberikan kesaksiannya berdasarkan hak ingkar (verschoningsrecht) yang dimilikinya tersebut.  
Berkaitan dengan masalah rahasia jabatan notaris, dalam pembahasan mengenai pasal 17 dan 40 UUJN yang pada intinya berisikan kewajiban notaris merahasiakan isi akta, GHSL Tobing menyatakan sebagai berikut:

a.    Bahwa para notaris wajib untuk merahasiakan, tidak hanya apa yang dicantumkan dalam akta-aktanya, akan tetapi juga semua apa yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam akta-aktanya;
b.    Bahwa hak ingkar dari para notaris tidak hanya merupakan hak (verschoningsrecht), akan tetapi meruapakan kewajiban (verschoningspicht), notaris wajib untuk tidak bicara. Hal ini tidak didasarkan kepada pasal 1909n sub 3 KUHPerdata, yang hanay membeikan kepadanya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, akan tetapi didasarkan kepada pasal 17 dan pasal 40 PJN.
c.    Bahwa di dalam menentukan sampai seberapa jauh jangkauan hak ingkar dari para notaris, harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para notaris untuk tidak bicara mengenai isi akta-aktanya, dalam arti baik mengenai yang tercantum dalam akta-aktanya maupun mengenai yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun dimuka pengadilan, kecuali hal-hal dimana terdapat kepentingan yang lebih tinggi atau dalam hal-hal simana untuk itu notaris oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku membebaskannya secara tegas dari sumpah rahasia jabatannya.

Sehubungan dengan penjelasan GHSL Tobing tersebut maka jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 4, 16 dan 54 UUJN maka jelas bahwa untuk merahasiakan isi akta beserta hal-hal yang diberitahukan kepada notaris sehubungan dengan pembuatan akta tersebut adalah merupakan suatu kewajiban jabatan notaris, sehingga dengan demikian untuk mengundurkan diri sebagai saksi atau menolak untuk memebrikan keterangan sebagai saksi bukan hanya meruapakan hak tai juga meruapakan suatu kewajiban bagi notaris. Jadi notaris tidak hanya mempunyai hak ingkar (verschongsrecht) akan tetapi juga mempunyai kewajiban ingkar (verschoningssplicht).

3.         Akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap berlakunya pasal 66 UUJN

Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan gugatan yang diajukan oleh Kant Kamal yang diputus pada hari Selasa tanggal 23 Maret 2013 dengan Putusan nomor 49/PUU-X/2012 telah memutuskan :

“1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya:

1.1  Menyatakan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2  Menyatakan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;”

Putusan tersebut jelas menyatakan bahwa frasa “ dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 UUJN dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dengan putusan tersebut yang menjadi pertanyaan adalah apakah frasa “dengan  persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 UUJN tersebut dianggap tidak ada atau tidak tertulis atau frasa tersebut tetap dianggap ada sekalipun frasa tersebut dinayatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekauatan hukum mengikat.
Jika frasa “dengan persetujuan Pengawas Daerah” dianggap tidak ada atau dianggap tidak tertulis menurut saya, notaris wajib memenuhi panggilan penyidik, penuntut umum maupun hakim jika diminta untuk menjadi saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut. Notaris yang semula dapat menolak sebelum adanya persetujuan MPD tidak lagi dapat menolak hal tersebut karena hal tersebut menjadi kewajiban yang diatur dalam UUJN (dengan adanya putusan tersebut makna pasal 66 ayat 1 UUJN berubah 180 derajat dari maknanya semula). 
Jika frasa tersebut tetap dianggap ada sekalipun frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka dalam rangka pemanggilan terhadap notaris dalam suatu perkara  sekalipun tidak diperlukan adanya persetujuan dari MPD akan tetapi secara prosedur pemanggilan tersebut tetap harus diberitahukan kepada MPD sebagai pengawas Notaris. Untuk hal yang terkahir ini hendaknya segera dikeluarkan peraturan Menteri Hukum dan Ham perihal pemanggilan notaris sehubugan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut agar tidak terjadi kesemena-menaan dalam pemaggilan notaris.

4.         Tindakan yang dapat kita lakukan kedepan

Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal-hal yang dapat dilakukan kedepan untuk menjaga harkat martabat jabatan notaris adalah sebagi berikut:

a.         Meningkatkan profesionlisme notaris serta harkat martabat jabatan notaris;
b.         Meningkatkan kekuatan lembaga organisasi INI sebagai satu-satunya perkumpulan notaris, dengan menjaga kehormatan dan kewibawaan lemabag INI;
c.         Memperkuat lembaga pengayoman pada setiap tingkatan agar dapat melindungi semua anggota perkumpulan tanpa kecuali;
d.         Menjaga komunikasi dan hubungan yang lebih baik dengan semua instansi atau lembaga;
e.         Mendorong PP INI agar mendesak Menkumham segera menerbitkan peraturan mengenai tatacara pemanggilan notaris dengan memasukan produr pemanggilan dengan cara adanya pemberitahuan kepada MPD;
f.          Memasukan ketentuan dalam UUJN perihal pengawasan notaris dikembalikan kepada Mahkamah Agung dan pemanggilan terhadap notaris harus ada persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri;
g.         Jika huruf f tidak berhasil maka  dalam RUUJN dimasukan ketentuan bahwa  untuk pemanggilan Notaris harus diberitahukan kepada MPD.

Demikian sedikit tulisan yang memuat pemikiran saya, mohon masukan dari rekan-rekan.


Salam
Alwesius,SH,MKn








Tidak ada komentar:

Posting Komentar