Laman

Selasa, 18 Februari 2020

KEPEMILIKAN APARTEMEN BAGI WARGA NEGARA ASING DAN PENGATURANNYA DALAM RUU CIPTA KERJA



KEPEMILIKAN APARTEMEN BAGI WARGA NEGARA ASING DAN PENGATURANNYA DALAM RUU CIPTA KERJA[1]    
Oleh: Alwesius, S.H., M.Kn[2]


A.             Pendahuluan

Pada prinsipnya hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional kita bagi Warga Negara Asing (WNA) untuk menguasai dan memiliki tanah di Indonesia adalah “Hak Pakai”.  Ketentuan penguasaan dan pemilikan tanah oleh WNA untuk keperluan rumah tinggal saat ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Untuk Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia (PP 103/2015)[3] pengganti dari   Peraturan Pemerintah  Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.(PP 41/1996), dan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 29 tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelapasan, Atau Pengalihan Hak atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang  berkedudukan di Indonesia (Permen 29/2016).[4]
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu adanya pembatasan terhadap rumah tempat tinggal atau hunian yang akan diberikan kepada Orang Asing.  
Oleh karena WNA hanay dapat memiliki tanah dengan status hak pakai maka WNA hanya dapat memiliki Rumah atau Satuan Rumah Susun/Apartemen  yang berada atau dibangun  diatas tanah Hak Pakai, baik hak pakai atas tanah negara maupun hak pakai atas tanah hak pengelolaan. Hak Pengelolaan adalah  hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.[5] Jadi pada prinsipnya tanah hak pengelolaan sama dengan tanah negara, namun dikelola oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan, dimana pemegang hak pengelolaan tersebut mempunyai kewenangan :
a.                   merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
b.                   menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;
c.                    menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[6]

Di dalam RUU Cipta Kerja, ditentukan bahwa kewenangan pemegang hak Pengelolaan adalah:
a.                   menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana tata ruang; 
b.                   menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah Hak Pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan
c.                    menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian. [7]

Pada prinsipnya keweanagan pemegang Hak Pengelolaan yang disebutkan dalam PMDN No. 1 Tahun 1977 dan RUU Cipta Kerja. Di dalam RUU Cipta Kerja adanya penegasan kewenagan dari pemegang Hak Pengelolaan untuk menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian
Yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana kepemilikan Apartemen bagi WNA di atas tanah Hak Pengelolaan?


B.             Macam hak atas tanah dan hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh orang asing untuk keperluan bangunan

Hak atas tanah yang dapat diberikan di atas tanah negara menurut UUPA, adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai. Dari macam ha katas tanah tersebut, ha katas tanah   yang disediakan untuk keperluan atau sebagai wadah bangunan adalah Hak Milik, HGB dan Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) jo Pasal 9 ayat (1) ,  Hak Milik pada prinsipnya hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun demikian berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA, Warga Negara Asing dapat juga memperoleh tanah dengan status hak milik, jika diperoleh karena terjadinya peristiwa hukum berupa pewarisan berdasarkan UU, perkawinan campur dengan persekutuan harta benda dan peralihan kewarganegaraan dari WNI menjadi WNA. Namun kebolehan tersebut bersyarat, yaitu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak terjadinya peristiwa tersebut, tanah hak milik yang bersangkutan wajib dialihkan kerpada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan.[8]
Berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (2) UUPA jo Pasal 19 PP No. 40 tahun 1996, pada prinsipnya HGB hanya dapat dimiliki oleh WNI dan Badan Hukum Indonesia. Apabila karena suatu peristiwa hukum subyek HGB tersebut tidak lagi memenuhi syarat, misalnya karena pewarisan tanah HGB tewrsebut berlaih kepada WNA,  maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun HGB tersebut harus dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan.[9]
Hak Pakai merupakan hak atas tanah yang peruntukannya dapat untuk bangunan maupun pertanian. Hak Pakai dapat dimiliki oleh WNI, WNA maupun Badan Hukum Asing, bahkan dapat digunakan untuk keperluan khusus oleh Instansi Pemerintah, Badan Sosial, Badan Keagamaan, Perwakilan Negara Asing, Badan-Badan Internasional.  Berdasarkan ketentuan Pasal 40 PP No. 40 Tahun 1996, apabila pemegang Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi syarat, misalnya tanah WNA pemegang Hak Pakai tersebut meninggal dunia, sementara ahli warisnya juga merupakan WNA yang tidak memenuhgi syarat sebagai subyek Hak Pakai (tidak berkedudukan di Indonesia) maka dalam waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas maka pada pada prinsipnya WNA hanya dapat memiliki tanah di Indonesia dengan status Hak Pakai, dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-unadangan.

C.                  Pemilikan Apartemen[10] di Indonesia

Apartemen dapat didirikan diatas tanah HGB atau Hak Pakai di atas Tanah Negara dan diatas tanah HGB atau Hak Pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan. Secara yuridis lembaga kepemilikan Apartemen tersebut adalah merupakan pemilikan atas Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (“HM Sarusun”), yang merupakan pemilikan  atas unit satuan rumah susun (bagian-bagian dari suatu bangunan Rumah Susun), yang dapat dimiliki secara terpisah dan individual, yang pemilikannya meliputi pula pemilikan atas “kepemilikan bersama” atas bagian bersama (misalnya dinding, lantai, lorong/selasar), benda bersama (misalnya gedung pertemuan, lapangan tennis, kolam renang) dan tanah bersama (tanah dimana bangunan Rusun tersebut didirikan), yang pemilikannya ditetapkan berdasarkan Nilai Perbandingan Proposional.[11]
Bukti kepemilikan atas Apartemen atau HM Sarusun tersebut adalah Sertipikat HM Sarusun, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas:
a.                   salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.                   gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangkutan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan
c.                    pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.[12]
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (2) UURS,  menentukan: “SHM sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.” Hal ini berarti bahwa pada prinsipnya orang yang dapat memiliki  HM Sarusun adalah orang yang memenuhi syarat  sebagai pemegang hak atas tanah dimana Rumah Susun tersebut berdiri.
Pemilikan Apartemen dilakukan dengan menandatangani akta jual beli dihadapan PPAT, setelah terbitnya Sertifikat HM Sarusun.  Pembelian tersebut dapat dilakukan dari tangan pertama (Pengembang) atau  dari tangan kedua, dengan memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembelian dari tangan pertama (pengembang) dapat juga dilakukan sebelum Apartemen tersebut selesai dibangun, dengan membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris.[13]
Semua pemilik dan penghuni Apartemen wajib berhimpun dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satus Rumah Susun (P3SRS), yang merupakan nadan hukum, yang anggaran dasarnya disahkan oleh Bupati/Walikota dan khusus untuk DKI Jakarta oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur.[14]


D.                  WNA yang dapat memiliki Apartemen di Indonesia

Saat ini pemilikan Apartemen oleh WNA diatur di dalam PP No. 103 Tahun 2015 dan diatur lebih lanjut dalam Permen ATR No. 29 Tahun 2016. PP No. 103 Tahun 2015 membatasi  pemilikan tanah bagi WNA, dimana  WNA hanya dapat memiliki tanah di Indonesia hanya untuk keperluan rumah tinggal atau hunian. 
WNA yang dapat mempunyai rumah tinggal atau hunian tersebut adalah WNA yang berkedudukan di Indonesia.[15]  WNA yang berkedudukan di Indonesia menurut PP No. 103 Tahun 2015 adalah   orang yang bukan WNI yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. dan merupakan pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Izin tinggal terdiri atas izin tinggal diplomatik, izin tinggal dinas, izin tinggal kunjungan, izin tinggal terbatas, dan izin tinggal tetap.[16]
Dalam hal WNA meninggal dunia, Apartemen yang dimilikinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya juga merupakan WNA, ahli warisnya tersebut harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[17]
Apabila WNA atau ahli waris yang merupakan WNA yang memiliki Apartemen yang dibangun di atas tanah Hak Pakai tidak lagi berkedudukan di Indonesia, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut Apartemennya tersebut belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat:
a.                   rumah di lelang oleh Negara, dalam hal dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara;
b.                   rumah menjadi milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dalam hal rumah tersebut dibangun di atas tanah berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 1 huruf b.
Hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menjadi hak dari bekas pemegang hak.[18] 

E.             Ketentuan mengenai Apartemen yang dapat dimiliki oleh WNA yang berlaku saat ini

Apartemen yang dapat dimiliki oleh WNA adalah Apartemen yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atau berasal dari perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang berasal dari pembelian unit       baru, [19]yang dibeli langsung dari pengembang dan bukan berasal dari tangan kedua.[20]

Batasan harga minimal yang dapat dibeli oleh WNA adalah batasan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Permen ATR No. 29 Tahun 2016, sebagai berikut:

No.
Lokasi/Provinsi
Harga Minimal
(Rupiah)
1
DKI Jakarta
3 Milyar
2
 Banten 2 Milyar
2 Milyar
3
Jawa Barat 1 Milyar
1 Milyar
4
Jawa Tengah 1 Milyar
1 Milyar
5
DI Yogyakarta
1 Milyar
6
Jawa Timur
1,5 Milyar
7
Bali
2 Milyar
8
NTB
1 Milyar
9
Sumatera Utara
1 Milyar
10
Kalimantan Timur
1 Milyar
11
Sulawesi Selatan
1 Milyar
12
Daerah/Provinsi Lainnya

750 Juta
.


F.              Cara Memperoleh Rumah Tinggal Oleh Asing

Sebagaimana telah diuraikan diatas, apabila Apartemen tersebut berdiri diatas tanah Hak Pakai maka WNA dapat memperoleh Apatemen tersebut dengan  PEMBELIAN LANGSUNG unit baru dari PENGEMBANG, dengan menandatangani akta jual beli dihadapan PPAT yang berwenang, dengan atau tanpa didahului dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris.[21]
Oleh karena WNA hanya boleh memiliki Apartemen yang didirikann diatas tanah dengan status  Hak Pakai maka jika yang tersedia adalah Apartemen yang dibanguan di atas tanah HGB tentunya pada prinsipnya perolehan Apartemen tersebut tidak dapat dilakukan melalui jual beli. Perolehan Apartemen tersebut melalui jual beli hanya dapat dilakukan apabila HGB dimana Apartemen tersebut dibangun telah diubah menjadi Hak Pakai. Namun cara ini dalam praktik tidak akan dilakukan oleh Pengembang karena berbagai faktor, antara lain kurangnya peminat atas tanah dengan status Hak Pakai dan juga pihak perbankan belum mau memberikan kredit dengan tanah hak pakai sebagai agunan.Jadi kurang marketable dan bankable
Namun walaupun pada prinsipnya secara yuridis Apartemen yang didirikan diatas HGB tidak dapat dibeli oleh WNA, namun  Pasal 6 ayat (2) Permen ATR No. 29 Tahun 2016 memungkinkan dilaksanakannya jual beli dihadapan PPAT,  sekalipun Apartemen yang bersangkutan dibangun diatas tanah HGB atas Tanah Negara atau HGB di atas Tanah Hak Pengelolaan. Dan pada saat dilakukannya pendaftaran peralihan hak karena jual beli tersebut Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (Apartemena) langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun kepada WNA.
Pasal 10 ayat (2) Permen ATR No. 29 Tahun 2016 menentukan bahwa perubahan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun tersebut demi hukum terjadi langsung sesuai dengan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Permen ATR No. 29 Tahun 2016, yang berbunyi:

“Pemberian, pelepasan, dan pengalihan hak atas pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian yang dimiliki oleh Orang Asing berdasarkan pada asas bahwa macam hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang mengikuti status subyek hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”

Pendaftaran perubahan hak merupakan proses administrasi dan tidak mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara subyek hak dengan haknya.
Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun yang diperoleh pertama kali dari unit Hak Milik atas Satuan Rumah Susun baru diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, serta dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun[22]  
 Permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun menjadi Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun sebagaimana diajukan oleh yang bersangkutan, atau kuasanya, kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat, dengan disertai:
a.              blanko permohonan yang sudah diisi lengkap dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah, yang berlaku sebagai keterangan melepaskan hak atas tanah semula;
b.              Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun  yang dimohon perubahan haknya; 
c.               Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang, apabila hak yang bersangkutan dimenangkan oleh Orang Asing dalam suatu pelelangan umum;
d.              surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila Hak Milik atas Rumah Susun tersebut  dibebani Hak Tanggungan;
e.               bukti sah pembayaran Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan
f.              bukti identitas pemohon.
Pendaftaran perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun tersebut dilakukan dengan cara:
a.                   mencoret kata-kata dan nomor Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan berikut seluruh daftar-daftar dan peta-peta hak tanah dan bidang tanah terkait, dan menggantikannya dengan kata-kata dan nomor Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun;
b.                   dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dituliskan kata-kata: “Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor: ... /.................  ini berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, dilepaskan dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun Nomor: ... /...................... ”.
c.                    Perubahan tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan yang           bersangkutan. [23]
Tanah Bersama, Bagian Bersama, dan Benda Bersama di mana Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun ini berada, tetap dan tidak perlu dilakukan perubahan pencatatannya pada Buku Tanah dan Sertifikat serta daftar-daftar dan peta-peta yang bersangkutan, karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Permen ATYR No. 29 Tahun 2016 mutatis mutandis berlaku bagi pemegang Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.
Dalam hal kepemilikan seluruh Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun dalam suatu bangunan gedung bertingkat beralih atau dialihkan kepada WNA, maka Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai.  Dalam hal Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat tersebut merupakan Hak Guna Bangunan, maka di dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Guna Bangunan dituliskan kata-kata: “Hak Guna Bangunan Nomor: ... /................. ini berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Nomor: ... /...................”.
Dalam hal Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat tersebut  merupakan Hak Pengelolaan, maka di dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Pengelolaan dituliskan kata-kata: “Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor ... Tahun ... tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, maka atas Hak Pengelolaan Nomor: ... / ........... dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Nomor: ... /...................... ”.
Jangka waktu berlakunya Hak Pakai tersebut adalah sisa jangka  waktu berlakunya Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.[24]
Menurut Penulis ketentuan yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka.BPN No. 29 Tahun 2015 tersebut, secara yuridis tidak dapat diterapkan karena mengandung permasalahan hokum terkait dengan kepemilikan Apartemen tersebut. Perubahan lembaga HM Sarusun menjadi Hak Pakai Sarusun tidak mempunyai cantolan hukum dalam UURS maupun PP diatasnya, termasuk PP No. 103 Tahun2015. Seandainyapun diperbolehkan untuk dilakukannya  perubahan   HM Sarusun menjadi Hak Pakai Sarusun, namun karena kepemilikan Apartemen tersebut juga meliputi kepemilikan hak bersama atas tanah HGB dimana Apartemen tersebut didirikan tentunya telah terjadi pelanggaran syarat untuk dapat menjadi subyek HGB. Dalam hal ini subyek HGB tersebut tidak lagi memenuhi syarat sebagai subyek HGB, sehingga dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperoleh, Apartemen tersebut wajib dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat, sebagaimana telah diuraikan dalam uraian terdahulu mengenai sunyek HGB. Permasalahan lanjutan juga akan timbul seandainya suatu saat Apartemen tersebut hendak dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, tentunya ini tidak dapat dilakukan. Terkait dengan hal tersebut Penulis mengusulkan agar Apartemen yang memang disediakan untuk WNA, dibangun diatas tanah hak pakai atau apabila tanahnya berstatus HGB terlebih dahulu diubah menjadi HGB serta  dilakukannya perubahan atas ketentuan mengenai Hak Pakai agar Hak Pakai juga marketable dan bankable  seperti halnya dengan HGB.

G.             Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang dibangun diatas Tanah HGB/Hak Pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan

Pada prinsipnya HMSRS yang dibangun  diatas HGB di atas tanah Hak Pengelolaan, sama seperti HM Sarusun yang dibangun  diatas HGB di atas tanah Hak Negara. Perbedaannya jika dibangun diatas tanah HPL berarti penguasan peruntukan tanahnya berada di tangan pemegang HPL. Dan ada persyaratan khusus yang ditentukan oleh Pemegang HPL terkait penggunaan peruntukan tanahnya. Hal tersebut dituang dalam PP No. 40 Tahun 1996 dan Surat Perjanjian Penyerahan Penggunaan Tanahnya.
 Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (6) PP No. 40 Tahun 1996, peralihan HGB diatas tanah HPL harus memperoleh persetujuan dari pemegang HPL. Hal ini juga berlaku bagi pembebanan Hak Tanggungan atas HGB yang berada diatas HPL.[25] Dengan demikian untuk peralihan HM Sarusun dan pemebebanan Hak Tanggungan atas HM Sarusun harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan pemegang HPL. Hal tersebut juga berlaku apabila tanahnya berstatus Hak Pakai.[26]
Untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas pemilikan tanah  HGB atau Hak Pakai diatas tanah HPL, perlu diatur dalam suatu UU dan Peraturan pelaksanaannya. Hal ini telah dimuat dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 129 – 135. Dan nantinya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja (jika telah disahkan sebagai UU)  tersebut, dapat diatur lebih lanjut ketentuan yang lebih mendetail dalam Peraturan Pemerintah maupun  Peraturan Menteri.Misalnya ketentuan mengenai pemberian rekomendasi atas perpanjangan dan   pembaharuan HGB atau Hak Pakai yang lebih tegas, agar masing-masing pihak (Pemegang HPL dan Pemegang HGB/Hak Pakai) dapat mengetahui secara pasti hak dan kewajibannya masing-masing, serta mengetahui bahwa jika pemegang HGB atau Hak Pakai memeuhi semua kewajibannya maka pemegang HPL pasti akan menrbitkan rekomendasi perpanjangan atau pembaharuan hak tersebut. Terkait persetujuan yang diperlukan untuk mengalihkan HGB atau Hak Pakai diatas HPL sebaiknya diubah menjadi “pemberitahuan kepada pemegang HPL”, dengan ketentuan calon pembeli harus memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang bersangkutan.  


H.             Permasalahan hukum terkait terjadinya Hak Pakai menurut Pasal 6 Permen ATR No. 29 Tahun 2016

Terkait dengan pelaksanaan jual beli Hak Milik atas Sarusun di atas HGB dan kemudian pada saat dilakukannya pendaftaran Hak Milik atas Sarusun tersebut diberikan kepada WNA dengan Hak Pakai atas Sarusun, terdapat permasalahan sebagai berikut:
a.              Apakah dimungkinkan suatu peraturan Menteri menerbitkan lembaga baru berupa Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun?
b.              Pemilikan Hak Pakai atas Sarusun tersebut meliputi juga pemilikan bersama atas Tanah Bersama yang berstatus Hak Guna Bangunan, apakah dimungkin orang asing memiliki tanah HGB ?

Dengan adanya permasalahan tersebut maka para Notaris/PPAT harus berhati-hati di dalam melaksanakan pembuatan akta-akta terkait dengan perlihan HM Sarusun kepada WNA dan juga akta-akta terkait pemberian agunan dengan obyek Sarusun yang bersangkutan yang akan  dijadikan jaminan utang kepada Kreditor/Bank.


Sekian, semoga bermanfaat
Salam
Alwesius, SH, MKn


[1] RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang apabila disetujui oleh DPR akan menjadi salah satu Omnibus Law yang diberlaku di Indonesia. Omnibus Law merupakan UU yang memuat perubahan atas beberapa UU sekaligus. Hal ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indoinesia, karena sebelumnya juga pernah ada UU yang sekaligus menguvbah beberapa ketentuan UU sekaligus, misalnya    Perppu AEoI yang disahkan menjadi UU No.9 Tahun 2017 oleh DPR membatalkan pasal-pasal di beberapa undang-undang. Antara lain Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta perubahannya, Pasal 40 dan Pasal 41 UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya, Pasal 47 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 UU No.32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi beserta perubahannya, serta Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.Lihat www.hukumonline.com, Menelusuri Asal Usul Konsep Omni Bus Law

[2] Penulis saat ini merupakan Pengajar Mata Kuliah Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris di Program Magister Kenotariatan FHUI dan Program Magister Kenotaritan Universitas Jayabaya serta Pengajar Mata Kuliah Hukum Agraria pada Pasca Program Magister Kenotariatan UNS Solo
[3] Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 103 Tahun 2015 , LNRI No, 325 Tahun 2015, TLN No. 5793 (PP No. 103 Tahun 2015)
[4] Indonesia,  Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang   Tata Cara Pemberian, Pelapasan, Atau Pengalihan Hak atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang  berkedudukan di Indonesia, Permen ATR/Ka.BPN No. 29 Tahun 2019, BNRI No. 1442 Tahun 2016 (Permen ATR No. 29 Tahun 2019)
[5] Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, PP No. 40 Tahun 1996, LNRI Nomor 58 Tahun1996, TLN No. 3643 (PP No. 40 Tahun 1996). Lihat juga RUU Cipta Kerja, Pasal 129
[6] Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolan Serta Pendaftarannya, Pasal 1 ayat (1) (PMDN No. 1 Tahun 1977). Peraturan ini saat ini sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999.  

[7] Lihat RUU Cipta Kerja, Pasal 130 ayat (2)
[8] Oleh karena hak milik tersebut hapus karena hukum maka sekalipun sertipikat hak milik tersebut masih dipegang oleh bekas pemegang haknya dan di dalam sertipikat status tanahnya masih tertulsi hak milik serta tidak adanya SK Menteri menegnai hapusnya hak milik tersebut, namun hak milik tersebut telah berakhir dan status tanahnya secara yuridis adalah tanah negara. Seandainyapun atas hapusnya hak tersebut harus diikuti dengan terbit SK Menteri, namun SK tersebut hanya berisi keputusan yang bersifat deklaratoir, yang artinya hanya menegaskan mengenai telah hapusnya hak miklik tersebut bukan bersifat konstitutif, yang menentukan hapusnya hak milik tersebut.
[9] Lihat Pasal 36 ayat (2) UUPA jo Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996
[10] Apartemen adalah meryupakan kepemilikan atas Hak Milik atas satuan Rumah Susun yang bersifat komersial, yang dibangun untuk keperluan bisnis, baik untuk sewa maupun untuk milik.
[11] Lihat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UURS), Pasal 1 dan Pasal 46, serta Lihat Arie S. Hutagalung, Kondominium dan Pewrmasalahannya, Edisi Revisi, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 9 - 15
[12] Lihat UURS, Pasal 47 ayat (3)
[13] Kewajiban membuat akta PPJB dengan akta yang dibuat dihadapan Notaris dinyatakan dalam UURS, Pasal 43 dan Permen PUPR No. 11 Tahun 2019, Pasal 12 ayat (2) dan ditegaskan kembali dalam RUU Cipta Kerja. Adanya kewajiban ini  PPJB dibuat dihadapan Notaris sudah tepat karena untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak pembeli terhadap hak dan kewajibannya yang dimuat dalam PPJB tersebut.    Dengan dibuatnya PPJB dihadapan Notaris maka terdapat pihak ketiga yang memantau perihal hak dan kewajiban para pihak, karena akta tersebut dibacakan dan dijelaskan kepada para pihak, khususnya pembeli, sehingga pihak pembeli memahami haka pa yang akan ia terima dan kewajigban apa yang harus ia penuhi sebagai pembeli dana pa akibat hukumnya apabila ia tidak memeunhi kewajibannya. Dan apa yang ia dapat lakukan seandainya ia telah memenuhi mkewajibannya sementara ia tidak memperoleh hak-haknya sebagai pembeli. Hal ini sulit untuk dipenuhi dalam hal PPJB tersebut dibuat dibawah tangan.
[14] Lihat PP No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun (PP No. 4 Tahun 1988), Pasal 54 ayat (2). Dalam praktek ternyata ada P3SRS yang dibuat dalam bentuk Perkumpulan yang dibuat dengan akta yang dibuat dihadapan Notaris dan pengesahannya sebagai Badan Hukum diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM. Hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya dualisme P3SRS dan menimbulkan perselisihan diantara keduanya.
[15] Syarat bagi WNA untuk memiliki properti di Indonesia, yaitu WNA yang berkedudukan di Indonesia memang dipandang oleh kalangan bisnis khususnya para pengembang membuat properti di Indonesia tidak marketable dibandingkan dengan pemilikan properti di negara-negara lain, seperti Singapura, yang hanya mensyaratkan Passport sebagai syarat untuk pembelian properti. Menurut penulis bisa saja syarat tersebut lebih dipermudah, namun harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan bangsa di Indonesia, jangan sampai masyaratkat dan bangsa di Indonesia jadi penonton di negaranya sendiri dalam hal  kepemilikan yang properti. Syarat tersebut memang perlu dipermudah agar orang asing dapat dengan mudah memiliki properti di Indonesia, sehingga dapat merangsang pertumbuhan bisnis properti di Indonesia, tapi sekaligus dibuat pembatasan dan syarat-syarat yang ketat untuk kepemilikannya, dimana apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, diberikan sanksi yang keras dan tegas. Pembatasan dan syarat-syarat apa yang akan ditentukan tentunya dapat dibicarakan oleh semua pengampu kepentingan termasuk para akademisi. Misalnya untuk pembelian tersebut dikenakan pajak yang cukup tinggi, adanya pembatasan jangka waktu untuk menjual kembali Apartemen tersebut dalam waktu tertentu, agar tidak dijadikan obyek spekulasi, dan adanya kewajiban untuk memnafaatkan Apartemen tersebut sesuai peruntukkannya, dengan larangan menelantarkan Apartemen tersebut dalam keadaan kosiong tanpa penghuni.    Perlindungan terhadap kepentingan dan masyarakat dan bangsa Indonesia disatu sisi, dan menggairahkan perkembangan pembangunan dan bisnis properti disisi lain haruslah berjalan seimbang untuk kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu dalam Peraturan Pemerintah yang akan menjadi pelaksanaan UU Cipta Kerja (jika telah diundangkan) serta UURS haruslah mengatur hal tersebut dengan baik untuk tercapainya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum  dalam pembangunan di Indonesia yang berkeadilan.
[16] Lihat, PP No. 103 tahun 2015, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
[17] Lihat, PP No. 103 tahun 2015, Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3)
[18] Lihat, PP No. 103 tahun 2015, Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3)
[19] Lihat, PP No. 103 tahun 2015, Pasal 4 dan Pasal 5 jo Permen ATR No. 29 Tahun 2016. Ketentuan ini dirasakan oleh para pengembang mempersulit penjualan Apartemen di Indonesia. Misalnya seorang WNA yang telah memiliki Apartemen kemudian hendak menjual Apartemen miliknya tersebut kepada rekannya seorang WNA maka hal tersebut tidak dapat dilakukan. Para pengembang menginginkan agar syarat harus membali apartemn yang baru dari pengembang ini ditiadakan.
[20]Lihat Permen ATR No. 29 Tahun 2016, Pasal 2
[21] Lihat, PP No. 103 tahun 2015, Pasal 5
[22] Lihat, Permen No. 29 Tahun 2016, Pasal 9 ayat (1)
[23] Lihat, Permen No. 29 Tahun 2016, Pasal 14
[24] Lihat, Permen No. 29 Tahun 2016, Pasal 15

[25] Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan No. 630.1-3430 tanggal 17 September 1998  menyatakan bahwa : karena eksekusi Hak Tanggungan mengakibatkan HGB beralih kepada pihak lain maka pembebanan Hak Tanggungan diperlukan persetujuan tertulis dari pemegang HPL yang akan berlaku sebagai persetujuan untuk pengalihan hak tersebut dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan.”
[26] Lihat Pasal 54 ayat (9) PP No. 40 Tahun 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar