a.
Pendahuluan
Pada tanggal 15 September 2009 diundangkan UU No. 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Berdasarkann ketentuan
Pasal 185 UU PDRD, UU tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2010.
Dengan berlakunya UU tersebut timbul permasalahan
baru di kalangan Notaris yaitu berkaitan dengan pembuatan Akta Wasiat yang
berisikan Hibah Wasiat.Permasalahan tersebut terjadi berkaitan dengan ketentuan
Pasal 90 yang berbunyi:
"(1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
a. ...
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
e. ..."
Berdasarkan ketentuan tersebut ada pejabat instansi yang berwenang
maupun kalanagn Notaris menafsirkan bahwa saat
terutangnya BPHTB untuk hibah wasiat adalah pada saat dibuat dan
ditandatanganinya akta Wasiat. Berdasarkan penafsiran tersebut maka dianggap bahwa
jika Notaris hendak membuat akta wasiat sebelum akta tersebut
dibuat harus terlebih dahulu dilakukan pembayaran BPHTB dan kepada Notaris
ditunjukkan surat bukti pelunasan BPHTB (SSB) tersebut. Penafsiran tersebut mengakibatkan banyak rekan notaris
tidak berani atau tidak mau lagi melayani pembuatan akta Wasiat yang berisikan
hibah wasiat.
b.
Hibah wasiat atas tanah
dan pelaksanaannya
1)
Pengertian hibah wasiat
Secara umum hibah wasiat
adalah merupakan pemberian barang atau barang-barang
tertentu oleh Pewaris kepada orang atau
orang-orang tertentu yang disebutkan atau ditetapkan oleh Pewaris dalam surat wasiat
yang dibuatnya.
Pasal 957 KUHPerdata
menyatakan, hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana
si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya
dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barangnya yang
bergerak atau tak bergerak atau memebrikan hak pakai hasil atasc seluruh atau
sebagaian harta peninggalannya.
2)
Objek hibah wasiat
Objek hibah wasiat dapat
meliputi semua benda, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak, benda
berujud maupun tak berujud. Yang
terpenting dalam pembuatan hibah wasiat adalah barang-barang tersebut harus disebutkan
secara khusus dan harus ada atau masih ada pada saat Pewaris meninggal dunia.
3)
Pembuatan akta hibah
wasiat
Bagi mereka yng tunduk
pada KUHPerdata maka pembautan hibah wasiat dapat dilakukan dengan suatu akta
yang dibuat dihadapan Notaris atau dengan surat wasiat yang dibuat di bawah tangan
yang ditulis sendiri atau ditulis oleh orang lain atau diketik kemudian
ditandatanganinya dan selanjutnya diserahkan kepada Notaris untuk disimpan dan
selanjutnya untuk penyimpanan tersebut Notaris akan membuat akta Penyimpanan.
Pembuatan wasiat tersebut atau akta penyimpanan tersebut harus sesuai dengan tertib acara yang diatur di
dalam KUHPerdata pasal 839 dan seterusnya.
Bagi mereka yang
beragama Islam sesuai ketentuan oasal 195 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI),
wasiat dilakukan secara lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi, atau tertulis
dihadapan 2 (dua) orang saksi, atau dihadapan Notaris. Selanjutnya pasal 196 KHI
menentukan bahwa dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus
disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk
akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Apabila wasiat dibuat dalam keadaan
tertutup (rahasia) maka wasiat tersebut dapat disimpan di tempat Notaris yang
membuatnya atau ditempat lain, demikian ditentukan dalam Pasal 203 ayat (1)
KHI.
4)
Pelaksanaan hibah wasiat
atas tanah
Pemberian hibah wasiat
baru berlaku setelah Pewaris atau pembuat wasiat tersebut meninggal dunia. Dengan meninggalnya Pewaris
atau pembuatan wasiat tersebut maka selanjutnya hibah wasiat tersebut dapat
dilaksanakan dan para penerima hibah wasiat tersebut mempunyai hak untuk
menuntut kepada ahli waris atau pihak-pihak yang menguasai barang-barang yang
dihibahkan tersebut untuk diserahkan kepadanya. Hak untuk menuntut tersebut
menurun kepada para ahli waris mereka, demikian ditentukan dalam Pasal 858
KUHPerdata.
Dalam hal hibah wasiat
tersebut berupa tanah hak, pelaksanaan hibah wasiat tersebut dilakukan dengan
pembuatan akta hibah dihadapan PPAT, dimana Pelaksana Wasiat atau seluruh ahli
waris bertindak sebagai pemberi hibah dan penerima hibah wasiat sebagai pihak
yang menerima hibah atau hibah wasiat tersebut dapat juga dilaksanakan dengan
dibuatnya akta Pembagian waris (akta Pemisahan dan Pembagian harta Peninggalan)
baik yang dibuat dihadapan notaris atau yang dibuat dibawah tangan.
Pelaksanaan wasiat
tersebut tentunya dilakukan dengan memperhatikan tertib acara yang diatur dalam
KUHPerdata bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata atau tertib acara yang
diatur dalam hukum Islam bagi mereka yng tunduk pada hokum Islam.
Dengan dibuatnya akta
hibah atau akta pembagian waris tersebut maka selanjutnya peralihan hak karena
hibah wasiat tersebut dapat didaftar di Kantor Pertanahan kabupaten/kota
setempat.
c.
Permasalahan yang ada
sehubungan dengan penafsiran bahwa BPHTB harus dibayar sebelum pembuatan akta
wasiat/hibah wasiat
Penafsiran bahwa BPHTB harus dibayar sebelum dibuatnya akta hibah
wasiat menurut penulis sangat
"ngawur", kenapa demikian?
Karena jika kita mengikuti penafsiran
tersebut akan terdapat beberapa permasalahan hukum.
Permasalahan tersebut antara lain:
i)
Pada saat dibuatnya akta wasiat belum
terjadi perolehan hak. Akta wasiat bukan merupakan dasar perolehan hak;
ii)
Dengan dibuatnya akta wasiat tersebut,
belum tentu wasiat tersebut dapat dilaksanakan, bisa saja wasiatnya batal demi
hukum karena penerima hibah wasiat telah meninggal dunia lebih dahulu dari
Pembuat Wasiat/Pemberi Hibah wasiat atau pada saat pembuat wasiat meninggal dunia
ternyata barang yang dihibahkan tidak ada atau sudah tidak ada lagi;
iii)
Jika BPHTB harus dibayar, siapa yang
harus menanggung dan membayar BPHTB tersebut. Jika pihak yang akan
memperoleh hak yang harus membayarnya, tentunya ia tidak akan mau membayarnya,
karena ia belum menjadi pemilik tanah dan atau bangunan ybs. Belum lagi jika
wasiat tersebut dibuat dalam bentuk surat wasiat rahasia yang diserahkan kepada
Notaris dalam keadaan tertutup, sehingga tidak diketahui adanya hibah wasiat
tersebut dan siapa yang harus membayarnya;
iv)
Wasiat dapat dicabut sewaktu-waktu oleh
Pemberi Hibah Wasiat dan seandainya hal tersebut terjadi dan sudah dilakukan
pembayaran atas BPHTB tersebut, bagaimana status BPHTB tersebut dan bagimana
pula jika setelah dicabut kemudian dibuat wasiat baru dengan penerima
hibah wasiat yang baru, apakah harus dilakukan pembayaran
BPHTB lagi.
d.
BPHTB wajib dilunasi
sebelum dibuatnya akta yang menjadi dasar terjadinya perolehan hak
Sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU PDRD, pada prinsipnya BPHTB wajib dibayar oleh setiap orang atau
badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Yang menjadi
permasalahan berkaitan dengan tulisan ini adalah kapan terjadinya perolehan hak
dalam hal adanya hibah wasiat?
Sehubungan dengan hal tersebut mari kita lihat bersama-sama
ketentuan-ketentuan dalam UU PDRD yang berkaitan dengan hal tersebut sbb
:
i)
Pasal 85 ayat (1) yang menentukan bahwa
“Objek Pajak Bea Perolehan hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah PEROLEHAN HAK hak tanah dan/atau bangunan”.
ii)
Pasal 86 ayat (1) yang menentukan bahwa
“Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau badan YANG MEMPEROLEH hak
atas tanah dan/atau bangunan.”
iii)
Pasal 86 ayat (2) yang menentukan
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau badan YANG MEMPEROLEH hak atas tanah
dan/atau bangunan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut hal penting dalam menentukan ada atau tidak adanya, terutang
atau tidak terutangnya BPHTB, wajib atau tidak wajib dibayarnya BPHTB sangat
tergantung pada ADANYA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.
Jadi jika tidak terdapat perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan maka tidak ada BPHTB dan karenanya tidak ada kewajiban untuk membayar
BPHTB.
Kenapa adanya “Perolehan Hak” penting
?
Karena dengan adanya peristiwa perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan maka akan ada Objek Pajak BPHTB dan ada Subjek Pajak BPHTB
yaitu pihak yang bertanggungjawab untuk menanggung dan membayar BPHTB tersebut
sebagai Wajib Pajak BPHTB.
Selanjutnya kita lihat ketentuan Pasal 90 ayat 1 UU PDRD
yang telah kita sebutkan diatas yang menjadi pangkal timbulnya masalah dalam
pembuatan hibah wasiat.
Kita lihat ketentuan Pasal 90 ayat 1 huruf a, b dan c yang
menentukan saat terutangnya pajak BPHTB untuk jual beli, tukar menukar dan
hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya "akta". Akta
yang dimaksud dalam ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan lain selain AKTA
JUAL BELI, AKTA TUKAR MENUKAR dan AKTA HIBAH.
Kenapa demikian?
Karena akta-akta tersebut merupakan BUKTI TELAH TERJADINYA
PERALIHAN HAK DAN KARENANYA SEBAGAI BUKTI TERJADINYA PEROLEHAN HAK.
Menurut Hukum Tanah Nasional kita dalam perbuatan hukum
pemindahan hak atas tanah, peralihan hak terjadi dengan seketika dengan
selesainya perbuatan hukum ybs, yang dibuktikan dengan ditandatanganinya akta
pemindahan hak ybs.Jadi dengan ditandatanganinya akta maka akta ybs sekaligus
menjadi bukti perolehan haknya bagi Penerima Hak. Jadi sekaligus sebagai dasar
terutangnya BPHTB yang bersangkutan.
Berkaitan dengan Hibah Wasiat, Pasal 90 ayat 1 huruf d
menentukan bahwa saat terutangnya pajak BPHTB untuk hibah wasiat adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya "akta".
“Akta” yang dimaksud
dalam Pasal 90 ayat 1 huruf d tersebut?
Apakah yang
dimaksud dengan "akta" dalam Pasal 90 ayat 1 huruh d tersebut adalah
Akta Wasiat/akta
hibah wasiat” atau akta lain.
Menurut penulis yang dimaksud dengan "akta"
didalam Pasal 90 ayat 1 huruf d tersebut bukanlah akta wasiat karena akta
wasiat bukan sebagai bukti telah terjadinya peralihan hak dan karenanya tidak
terdapat perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, sehingga dalam pembuatan
akta wasiat KARENA
TIDAK TERDAPAT PERALIHAN HAK DAN PEROLEHAN HAK maka dalam akta wasiat yang berisikan hibah wasiat TIDAK TERDAPAT OBJEK BPHTB,
TIDAK TERDAPAT SUBJEK BPHTB DAN JUGA TIDAK TERDAPAT WAJIB PAJAK BPHTB, sehinga
tidaklah mungkin terutang BPHTB.
Penafsiran penulis tersebut sangat jelas jika kita kaitkan
dengan Pasal 90 ayat 2 UU PDRD yang menentukan bahwa Pajak yang terjutang harus
dilunasi PADA SAAT TERJADINYA PEROLEHAN HAK sebagaimana
dimaksud pada ayat 1.
Jelas yang menentukan disini adalah "TERJADINYA
PEROLEHAN HAK". Di dalam jual beli, tukar
menukar dan hibah saat terjadinya perolehan hak adalah saat selesai
dilakukannya Akta Pemindahan Haknya (akta jual beli, akta tukar menukar dan
akta hibah), jadi redaksi pasal 90 ayat 1 huruf a,b dan c sangat tepat dan
tidak dapat ditafsir lain.
Akan tetapi untuk Pasal 90 ayat 1 hurud d menyangkut “hibah wasiat”, yang harus
ditentukan adalah kapan terjadinya perolehan hak dalam hal adanya hibah wasiat,
apakah pada saat dibuatnya akta wasiat atau pada saat dibuatnya akta lain?
Menurut penulis dalam suatu hibah wasiat, perolehan hak
terjadi pada saat dilaksanakanya wasiat tersebut dan diterimanya hibah wasiat
tersebut oleh si Penerima Hibah.Kapan hal tersebjut terjadi?
Untuk hibah wasiat pelaksanaan hibah wasiat dibuktikan
dengan ditandatanganinya AKTA HIBAH oleh Pelaksana wasiat dan Penerima Hibah
wasiat atau
pada saat dibuatnya akta pembagian warisan baik yang dibuat dihadapan notaris
atau yang dibuat dibawah tangan. Akta hibah atau akta pembagian
warisan inilah sebagai bukti perolehan haknya dan
merupakan salah satu dokumen penting untuk pendaftaran peralihan hak karena
hibah wasiat tersebut.(Lihat PMNA No. 3 tahun 1997 Pasal 112).Karena akta hibah
atau akta
pembagian warisan tersebut merupakan bukti pelaksanaan
hibah wasiat dan bukti perolehan haknya maka sebelum dibuatnya akta hibah atau pembagian warisan tersebut
terlebih dahulu harus dilakukan pembayaran BPHTB.
Inilah menurut penulis maksud kata-kata "akta" dalam pasal 90 ayat (1) huruf d tersebut.
e.
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang
diuraikan diatas maka jelas bahwa BPHTB dalam hal terdapatnya hibah wasiat
wajib dibayar sebelum dibuatnya akta yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hibah
wasiat tersebut yaitu akta hibah atau akta pembagian warisan karena akta-akta
tersebut merupakan dasar atau bukti terjadinya peralihan hak dan sekaligus
perolehan hak berkaitan dengan hibah wasiat tersebut.
Tks. Semoga bermanfaat .
Alwesius,SH,MKn
HP: 0815 - 8825 - 748
Tidak ada komentar:
Posting Komentar