Laman

Minggu, 18 Mei 2014

PPJB TIDAK DAPAT DIPAKAI SEBAGAI DASAR UNTUK PEMBUATAN SKMHT

PPJB TIDAK DAPAT DIPAKAI SEBAGAI DASAR UNTUK PEMBUATAN SKMHT

      Walaupun sudah beberapa kali dibahas di dalam grup FBm masih saja banyak pertanyaan yang ditujukan kepada penulis, sehubungan dengan adanya permintaan bank untuk membuat akta jaminan (SKMHT) yang obyeknya masih didasarkan pada PPJB (belum AJB).  Pertanyaan tersebut telah beberapa kali diajukan kepada saya oleh rekan Notaris yang berbeda karena adanya permintaan dari bank yang berbeda.Rekan Notaris ybs menyatakan ketika ia ,menolak permintaan bank untuk membuat aktanya dan menyatkan bahwa PPJB tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk pengikatan jaminan maka dijawan oleh pihak bank “kenapa tidak bisa , kenapa di bank X itu bisa dibuat dan notarisnya mau membuat akta jaminan tersebut”.Atas pertanayan rekan Notaris tersebut penulis  tetap mengatakan tidak bisa dan tolak saja pembuatan aktanya.
Rekan-rekan memang ada rekan kita yang berpendapat bisa saja dibuat SKMHTnya walaupun obyeknya masih berdasarkan PPJB, yaitu dengan membuat SKMHT dengan syarat tangguh, dengan menambah kalimat kurang lebih berbunyi “ ... sekarang ini untuk nanatinya apabila jual beli sebagaimana dimaksud dalam akta Perjanjian pengikatan Jual beli tanggal .... nomor .... yang dibuat dihadapan ......, yang salinannya bermetari cukup diperlihatkan kepada saya, notaris, yang dibuat dan ditandatangani oleh dan diantara ........ dan ...............”.Pendapat rekan notaris tersebut dapat dibenarkan jika kita hanya melihat hal tersebut dari sudut hukum perjanjian semata-mata. Benar memang perjanjian (skmht) tersebut diperbolehkan, tidak bertentangan dengan hukum perjanjian. Perikatan dengan syarat tangguh memng diperbolehkan sebagaimana dimasksud dalam pasal 1253 KHUPerdata dan seterusnya. Demikian juga apabila dilihat dari obyek perjanjian, benar obyek perjanjian dapat berupa barang/benda yang akan ada sebagaimana ditentukan dalam pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan”.   
Berkaitan dengan hal tersebut menurut penulis sebaiknya untuk melihat sesuatu masalah kita tidak hanya memandangnya dari sudut yang sempit saja, kita harus melihat masalah tersebut dari segala aspek baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.Pertama; karena hal ini berkaitan dengan aspek pemberian kredit, maka mari kita lihat ketentuan yang diatur di dalam UU Perbankan (UU no. 7 tahun 1992 jo UU No 10 tahun 1998) yang mengatur hal tersebut:
Pasal 8 ayat 1 UU Perbankan menentukan:

(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan  kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Penjelasan pasal 8 ayaat 1 UU Perbankan menjelaskan:


Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah    yang  sehat.  Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam  arti  keyakinan atas  kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur  untuk melunasi  kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur....”

Berdasarkan ketentuan UU Perbankan tersebut sangat jelas bahwa kerdit yang diberikan oelh bank mengandung risiko dan untuk mengurangi risiko tersebut bank harus memperhatikan  asas-asas pemberian kredit yang sehar dalam arti harus ada keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dan untuk mmeperoleh hal tersebut sebelum memberi kredit, bank harus melalukan penilaian yang seksama antara lain terhadap agunan yang diberikan Debitur/Penjamin/pemberi Agunan.
Kedua; Di dalam pemberian kredit bank harus meperhatikan prinsip pemberian kredit, yang dikenal dengan istilah “5 C Principle”, yaitu  Character(karakter), Capacity (kemampuan mengembalikan utang), Collateral (jaminan), Capital (modal), dan Condition(situasi dan kondisi).Jadi salah satu primsip di dalam pemberian kredit tersebut adalah adanya Colateral (jaminan).  Collateral  atau jaminan adalah agunan atau jaminan berupa barang atau benda  yang mungkin bisa disita atau dijual apabila ternyata Debitur benar-benar tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pemberian jaminan ini harus sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam SK Direksi BI No. 23/69/Kep/Dir tanggal 28 Februari 1991.
Dengan melihat apa yang diuraikan diatas maka adanya jaminan atau agunan merupakan salah satu hal yang penting didalam pemberian kredit.Tanpa adanya jaminanyan dimaksud di dalam SK Direksi BI tersebut berarti telah terjadi pemberian kredit tanpa agunan, yang tentunya bertentangan dengan prinsip kehati-hatian di dalam pemberiann kredit, yang dapat menimbulkan kerugian dan risiko pada bank.Tidak dipenuhinya prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana bagi pihak Direksi, Dewan Komisaris atau pegawai bank yang bersangkutan karena telah melakukan tindak pidana perbankan sebagaiman ditentuan din dalam pasal 49 UU Perbankan. Di dalam kejadian tertentu hal tersebut dapat juga terkena kepada pihak-pihak yang turut membantu terjadinya peristiwa pidana tersebut (mungkin saja Notaris).  
Kita kembali kepada pemberian jaminan yang didasarkan pada PPJB, yang diikat dengan SKMHT, yang menjadi pertanyaan, apakah dengan dibuatnya SKMHT tersebut telah dipenuhinya prinsip pemberian kredit, antara lain mengharuskan adanya collateral (jaminan/agunan).Penulis berpendapat bahwa apabila SKMHT tersebut telah menjadi dasar bagi persyaratan pencairan atau penarikan kredit oleh debitur maka dalam hal ini belum ada pemberian jaminan.Kenapa demikian? Oleh karena dengan PPJB berarti hak kepemilikan atas obyek agunan/jaminan tersebut belum berada ditangan pemberi agunan/pemberi jaminan/pemnberi hak tanggungan.Obyek jaminan tersebut masih merupakan ,ilik pihak lain, dengan demikian ketikan SKMHT ditandataganai dan kemudian dipakai seewbgaia salah satu syarat pencioatan/penarikan kredit tidak ada jaminan/agunan yang diberikan oleh Debitur dan karennya bertentangan dengan ketentuan UU Perbankan dan Peraturan BI.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Notaris atau PPAT wajib menolak pembuatan akta SKMHT yang obyeknya belum menjadi milik pemberi agunan. Sekalipun pemebri agunan di dadalam pembelian obyek jaminan tersebut telah membayar lunas harga obyek jaminan tersebut dan mengikatnya dengan PPJB lunas, tetap saja menurut ketentuan hukum tanah kita, yang bersangkutan belum menjadi pemilik dari obyek jaminan, apalagi kita ketahui masih saja ada kemungkinan jual beli sebagaimana dimaksud di dalam PPJB tersebut dapat tidak terlaksana sebagaimana mestinya.

Salam Penulis
Alwesius, SH,MKn


Tidak ada komentar:

Posting Komentar