Laman

PENGAMBILALIHAN SAHAM PERSEROAN TERBATAS (AKUISISI)

PENGAMBILALIHAN SAHAM PERSEROAN TERBATAS (AKUISISI)
Oleh : Alwesius, SH, MKn
Notaris - PPAT


A.           Pendahuluan

Pasal 1 angka 11 UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyatakan : “Pengambilihan  adalah perbuatan hukum yang dilakukan  oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa suatu perbuatan pengalihan saham baru dapat dikatakan sebagai pengambilalihan, apabila  perbuatan pengalihan saham tersebut mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan terbatas yang bersangkutan, yaitu dari pemegang saham yang lama kepada pemegang saham yang baru. Pada prinsipnya terjadinya pengendalian saham tersebut terjadi apabila pemegang saham memiliki lebih dari 50 % (lima puluh persen) saham yang telah ditempatkan oleh oleh Perseroan.  Sehubungan dengna hal tersebut maka pengambilalihan terjadi apabila dengan dilakukan pengalihan saham tersebut mengakibatkan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak yang menerima pengalihan saham menjadi lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang telah ditempatkan, yang memupunyai hak suara yang sah.  


B.     Cara pengambilalihan

Pasal 125 ayatb 1 UUPT mementukan bahwa pengambialihan dapat dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan, melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham.
Jadi saham-saham yang akan diambilalih dapat merupakan saham-saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan, yaitu saham-saham yang telah menjadi milik para pemegang saham atau saham-saham yang masih dalam simpanan atau saham-saham yang akan dikeluarkan oleh Perseroan.
Jika saham-saham yang akan diambilalih adalah saham-saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan maka mekanisme yang dilakukan tentunya memlalui pemindahan hak atas saham, baik berupa jual beli saham atau penyerahan hak atas saham. Jika saham-saham yang akan diabil alih adalah saham-saham yang masih dalam simpanan tentunya dilakukan pengeluaran saham baru melalui mekanisme peningkatan modal yang ditempatkan/disetor melalui rapat umum para pemagang saham atau keputusan para pemegang saham di luar rapat (sirkuler), dimana pihak yang akan mengambilalih tersebut mengambil bagian dari saham yang dikeluarkan tersebut. Jika modal dasar dam modal ditempatkan/disetor telah sama besarnya maka tentunya terlebih dahulu dilakukan peningkatann modal dasar dan modal ditempatkan/modal disetor.
Pengambilalihan dapat dilakukan melalui Direksi Perseroan dan bisa juga silakukan secara langsung dari pemegang saham yang bersangkutan, sesuai dengan mekanisme yang ditentukan di dalam UUPT. Jika pengambilalihan dilakukan melalui Direksi, pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambilalihan kepada Direksi Perseroan yang akan diambil alih.
Pasal 125 ayat 2 UUPT menentukan bahwa Pengambilalihan dapat dilakukan oleh Badan hukum atau Orang Perseorangan. Pasal 125 ayat 4 UUPT menentukan bahwa dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh Badan Hukum berbentuk Perseroan, Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum  Pengambilalihan harus berdasarkan keputusan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaiman dimaksud dalam pasal 89 UUPT (jadi kuorum untuk pengambilaiahan sama dengan kuorum untuk menguabha anggaran dasar Perseroan)


C.           Tahapan/Proses Pengambilalihan yang dilakukan melalaui Direksi Perseroan

Jika Pengambilalihan dilakukan melalui Diresksi perseroan, maka tahpan Pengambilalihan tersebut ada;lah sebagai berikut:
1.          Pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambialihan kepada Direksi Perseroan yang akan diambil alih (pasal 125 ayat 5);
2.             Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih  dengan persetujuan Dewan Komisaris menyurun RANCANGAN PENGAMBIL ALIHAN  yang berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagaimana disebutkan dalam pasal 125 ayat 6..
3.             Direksi Perseroan yang akan melakukan Pengambil alihan  wajib mengumumkan RINGKASAN RANCANGAN PENGGABUNGAN  paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan ybs dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.(pasal 127 ayat 2). Pengumuman tersebut memuat juga pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh Rancangan tersebut di Kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan.(pasal 127 ayat 3)
4.             KREDITOR dapat mengajukan keberatan kepada perseroan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman tersebut mengenai Pengambilalihan sesuai dengan rancangan tersebut. (pasal 127 ayat 4). Jika dalam jangka waktu tersebuyt Kreditor tidak mengajukan keberatan maka Kreditor dianggap menyetujui Penggabungan. (pasal 127 ayat 5)
5.             Penyelesaian keberatan yang diajukan oleh Kreditor. Jika sampai pada hari RUPS keberatan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh Direksi maka  keberatan tersebut disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. (pasal 127 ayat 6).Selama peneylesaian belum tercapai maka penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan tidak dapat dilaksanakan. (Pasal 127 ayat 7)  
6.             RANCANGAN PENGAMBIL ALIHAN  diajukan kepada RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan. (pasal 127 ayat 1)
7.             RANCANGAN PENGAMBIL ALIHAN  yang telah disetujui oleh RUPS dituangkan dalam AKTA PENGAMBIL ALIHAN  oleh Notaris dalam Bahasa Indonesia. (pasal 128 ayat 1)
8.             Salinan Akta penggabungan Perseroan dilampirkan pada penyampaian peberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 2. (pasal 131 ayat 1)

D.           Pengambilalihan yang dilakukan langusng kepada para pemegang saham

Pasal 125 ayat 7 UUPT menentukan bahwa ketentuan pasal 125 ayat 5 dan ayat 6 UUPT tidak berlaku bagi  pengambil alihan yang dilakukan langsung dari pemegang saham.  Jadi disini tidak perlu ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada Direksi Perseroan dan pembuatan Rancangan Pengambil alihan.

Pasal 125 ayat 8 UUPT menentukan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud  pasal 127 ayat 2, 4, 5, 6 dan ayat 7 UUPT mutatis mutandis berlaku bagi pengumuman dalam rangka pengambilalihan saham yang dilakukan langsung kepada pemegang saham dalam Perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal 125.Jadi sebelum dilakukannya pengambilalihan maka terlebih dahulu harus diumumkan secara tertulis kepada karyawan Perseroan, yang wajib dilakukan dalam jangka waktu 30 hari sebelum dilakukannya RUPS.

Pengambil alihan dalam hal ini dilakukan dengan memperhatikan ketentuan AD Perseroan yang diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain. (pasal 125 ayat 8 UUPT)

Salinan Akta Pemindahan Hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham.            (pasal 131 ayat 2 UUPT)


Tks, smoga bermanfaat
Salam

Note:
Diskusi dan pertanyan lebih lanjut dapat dilakukan pada saat [elatihan yang akan kami adakan .



PELATIHAN PRAKTEK PEMBUATAN AKTA NOTARIS DAN AKTA PPAT SERTA STRATEGI NOTARIS/PPAT MENGHADAPI GUGATAN PERDATA
Menyambung pengumuman terdahulu, kami LP3H “INP Jakarta”, akan mengadakan PELATIHAN PRAKTEK PEMBUATAN AKTA NOTARIS DAN PPAT SERTA STRATEGI NOTARIS/PPAT MENGHADAPI GUGATAN PERDATA, yang akan kami laksanakan pada hari Sabtu (tanggal 7 Maret 2015) dan hari Minggu (tanggal 8 Maret 2015), pukul 09.00 – 15.30, biaya Rp. 1.500.000.- , Bertempat di Hotel Sentral, Jln Pramuka, Jakarta Pusat, pendaftaran peserta mulai 12 Pebruari 2015 sampai dengan tanggal 1 Maret 2015, dengan cara transfer biaya pendaftaran ke rekening Bank BCA KCP Pondok Gede no. Rek: 6870326112 atas nama Alwesius SH, dan kirim bukti transfer ke alwesius_notaris@yahoo.co.id, atau bbm (pin BB 5188269C) dengan menyebut NAMA LENGKAP PESERTA (SEBUTKAN JUGA NAMA PEMEGANG REKENING YG MEMBAYAR), dan asli bukti transfer wajib dibawa pada saat pelaksanaan. .


BEBERAPA CATATAN BERKAITIAN DENGAN PUTUSAN PRAPERADILAN “BG”

BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN  PUTUSAN PRAPERADILAN “BG”
Oleh : Alwesius, SH, MKn

1.     Pendahuluan
Putusan pra peradilan berkaitan dengan gugatan “BG”  berkaitan dengan status tersangka yang doberikannya telah dibacakan oleh hakim Sarpin pada hari Senin tanggal 16 Pebruari 2015.
Dengan dibacakannya putusan tersebut maka bagi mereka yang berpihak kepada “BG” langusng meluapkan kegembiraannya atas kemenagan mereka, sedangkan bagian mereka yang berpihak kepada ‘KPK” hal ini dianggap sebagai awal dari suatu serangan balik oleh para koruptor.  
Terlepas dari masalah pro kontra tersebut, putusan telah dibacakan dan tentunya kita harus menghormati kepeutusan tersebut, sebab biar bagaimanapun juga hal tersebut merupakan sutau keputusan hakim yang bebas dan mandiri. Bagi pihak KPK yang meresa keberatan atas keputusan hukum tersebut tentunya dapat melakukan keberatan-keneratan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. KPK dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung atas keputusan tersebut dengan menyampaikan dalil-dalil hukum yang kuat agar keberatannya dapat diterima.
Walaupun keputusan hakim tersebut harus kita hormati, namun kita dapat saja melakukan penilaian atas keputusan dalam kasus BG tersebut. Tentunya penilaian yang kita ilakukan harus mepunyai alasan yang cukup berdasarr, jika tidak mau dikatakan asal jeplak.    
2.     Ketentuan mengenai Pra Peradilan di dalam KUHAP
Di dalam KUHAP ketentuan mengenai pra peradilan ini diatur di dalam pasal 10 KUHAP, yang menyebutkan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.            sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.            sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.              permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan asas Legalitas yang kita anut sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 KUHP dan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP tersebut serta dikaitkan dengan ketentuan pasal 3 KUHAP yang  mementukan “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” maka jelas bahwa apa yang ditentukan didalam pasal 10 mengenai pra peradilan tersebut bersifat limitatif. Jadi terhadap alasan untuk diajukannya pra peradilan menurut penulis tidak dapat dilakukan penambahan lain untuk mengajukan pra peradilan.Seandainya pun hendak ditambah tentunya harus melalui perubahan UU.
3.     Bebarapa catatan berkaitan dengan putusan pra peradilan “BG”
Walaupun penulis belum membaca secara lengkap putusan yang telah dicakan oleh hakim Sarpin, namun dari apa yang penulis dengan melalui siaran di televisi, penulis henadk memberi bberapa catan berkaitan dengan putusan tersebut, yang sekurang-kurang menggelitik penulis untuk mengungkapkan pikiran penulis dalam tulisan ini.
Adapun catatan  penulis berkaitan dengan tulisan tersebut adalah:
a.            Alasan untuk mengajukan pra peradilan bersifat limitatif

Pasal 1 angka 10 KUHAP telah mengatur secara tegas mengenai maksud atau pengertian atau definisi dari  “pra peradilan”, yang didalamnya mengatur hak-hak yang menjadi alsan atau dasar diajukannya pra peradilan.  Apa yang dimaksud pra peradilan dicantumklan didalam pasal 1 yang mengtur mengenai pengertian atau definisi dari suatu istilah yang dipakai di dalam KUHAP. Hal ini lazim diketemukan di dalam semua undang-undang maupun  di dalam suatu perjanjian/kontrak.

Dengan melihat pada tempat pengaturannya, yaitu pada ketentuan yang mengatur mengenai “difinis/isitilah/pengertian,   hal tersebut tentunya dimaksudkan untuk memberikan pengertian yang bersifat membatasi agar tercapainya suatu kepastian mengenai arti atau makna dari sitilah itu. Istilah yang dimasukan didalam ketentuan umum yang mengatur mengenai difisi atau istilah atau pengertian dimaksudkan agar hal tersebut mejadi acuan atau pegangan didalam mengartikan atau menggunakan istilah tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut maka dipeoleh suatu kepastian atau kepastian hukum bahwa istilah itu tidak akan diperluas melebihi dari apa yanbg telah ditentukan didalamnya, kecuali ketentuan itu sendiri yang membolehkannya untuk diperluas.( Definisi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas id.wikipedia.org/wiki/Definisi)

Disamping itu tentunya kita berpegang pada asas Legalitas sebagaimana telah penulis sebutkan di atas.

Bersasarkan hal tersebut maka menurut penulis tidak tepat jika hakim memperluas makna ketentuan pasal 1 angka 10 KUAP tersebut.

  

b.           Pra peradilan merupakan “hak tersangka”
Para sarjana hukum tentunya sepakat bahwa mengajukan pra peradilan merupakan hak tersangka.  Orang yang tidak berstatus tersangka tentunya tidak dapat mengajukan pra peradilan. Pra peradilan dapat diajukan oleh keurga tersangka maupun pihak lain yang telah mendapat kuasa dari tersangka.   
Karena pra peradilan merupakan “hak tersangka” maka orang yang mengajukan pra peradilan haruslah berstatus “tersangka” (dan mengakui statusnya tersebut) dan karenanya ia harus menerima statusnya tersebut. Jika ia tidak mengakui statusnya tentu akibatnya ia tidak dapat menggunakan hak-hak yang melekat pada tersangka. Seandainya ada keberatan berkaitan dengan statusnya sebagai tersangka maka keberatan itu hanya dapat diajukan pada proses pengadilan  bukan dalam proses pra peradilan.
c.             Polisi adalah merupalan aparat penegak hukum
Hakim sarpin dalam putusannya menyatkan bahwa BG bukan penegak hukum dengan alasan-alsan yang tersusun secara sistimatis untuk mendukung alasannya. Mendengar hal tersebut penulis sempta terperangah sejenak, apakah benar demikian, apakah benar hanya polisi yang bertindak sebagai penyelidik dan penyidik yang dapat masuk sebagai “penegak hukum”.
Secara sosiolgis tidak ada seorangpun yang akan membantah bahwa kepolisian adalah lembaga penegang hukum, oleh karenea itu semua orang berdimas sebagai polisi adalah merupakan aparat penegak hukum.
Secara yuridis apakah polisi merupakan penegak hukum atau bukan, tentunya kita harus melihat pada peraturan perundang-undangan yang mengatur menegnai kepolisian serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pegak hukum.
Yang pertama kita lihat tentunyan UU yang mangtaiurb mengenai kepolisian, yaitu UU Nomor 2 tahun 2002 (UU Kepolisian).
Pasal 1 angka 1 UU Kepolisian menenetkan bahwa “  Kepolisian  adalah  segala  hal ihwal  yang  berkaitan  dengan  fungsi  dan  lembaga  polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Dan selanjutnya kita melihat ketentuan pasal 2 nya yang menentukan “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dari pengertian kepolisian sebagaimana imakusd di dalam ketentuan pasal 1 angka 1 dikaitkan dengan  pasal 2 UU Kepolisian jelas bahwa kepolisian aa;lah merupakan lembaga penegak hukum. Hal tersebut juga ditentukan dio dalam Pasal 3 yang berbunyi:
KepolisiaNegarRepubliIndonesibertujuauntumewujudkakeamanadalam negeri  yang   meliputi   terpeliharanya   keamanan   dan   ketertiban   masyarakat,   tertib   dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,  serta  terbinanya  ketenteraman  masyarakat  dengan  menjunjung  tinggi  hak asasi manusia.

Dan pasal 5 UU Kepolisian yang menentukan:
(1) Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  merupakan  alat  negara  yang  berperan  dalammemeliharkeamanadaketertibamasyarakatmenegakkahukumserta memberikaperlindunganpengayomandapelayanakepadmasyarakadalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) KepolisiaNegarRepubliIndonesiadalaKepolisiaNasionayanmerupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Dan selanjutnyan dapat kita lihat didalam pasal 1 ayat 3 UU Kepolisian yang menentukan “Pejabat  Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  adalah  anggota  Kepolisian  Negara Republik       Indonesi yan berdasarka undang-undan memilik wewenan umum Kepolisian.” Serta juga tugas pokok Kepolkisian Negara Republik Indomesia, yang diatur di dalam Pasal 13 UU Kepolisian yang menentukan “
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.   menegakkan hukum; dan
c memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Nerdasarkan uraian diatas menuerut penulis  tidak dapat lagi disangkal bahwa kepolisian Negara Republik Indonesia adalah merupakan lembaga penegak hukum, dengan demikian semua anggota kepolisian Negara Republik Indonesia adalah merupakan aparat penegak hukum, termasuk tentunya “BG” sebagai seorang polisi beliau adalah seorang penegak hukum, tanpa melihat jabatan apa yang diembannnya di internal kepolisian.  
Tks
Alwesius.SH, MKn

PELATIHAN PRAKTEK PEMBUATAN AKTA NOTARIS DAN AKTA PPAT SERTA STRATEGI NOTARIS/PPAT MENGHADAPI GUGATAN PERDATA

PELATIHAN PRAKTEK PEMBUATAN AKTA NOTARIS DAN AKTA PPAT SERTA STRATEGI 

NOTARIS/PPAT MENGHADAPI GUGATAN PERDATA


Menyambung pengumuman terdahulu, kami LP3H “INP Jakarta”, akan mengadakan PELATIHAN 

PRAKTEK PEMBUATAN AKTA NOTARIS DAN PPAT SERTA STRATEGI NOTARIS/PPAT 

MENGHADAPI GUGATAN PERDATA, yang akan kami laksanakan pada hari Sabtu (tanggal 7 Maret 

2015) dan hari Minggu (tanggal 8 Maret 2015), pukul 09.00 – 15.30, biaya Rp. 1.500.000.- , Bertempat di 

Hotel Sentral, Jln Pramuka, Jakarta Pusat, pendaftaran peserta mulai 12 Pebruari 2015 sampai dengan

 tanggal 1 Maret 2015, dengan cara transfer biaya pendaftaran ke rekening Bank BCA KCP Pondok 

Gede no. Rek: 6870326112 atas nama Alwesius SH, dan kirim bukti transfer ke 

alwesius_notaris@yahoo.co.id, atau bbm (pin BB 5188269C) dengan menyebut NAMA LENGKAP 


PESERTA (SEBUTKAN JUGA NAMA PEMEGANG REKENING YG MEMBAYAR), dan asli bukti 

transfer wajib dibawa pada saat pelaksanaan. .


Pengajar:


- Irma Devita, SH, MKn


-DR. Habib Adjie, SH


-Alwesius, SH. MKn.


Peserta memperoleh :


- bahan pelatihan (Hard Copi dan Soft Copi)


- 2 x coffee break dan makan siang.


-sertifikat


Informasi: Sekretariat "INP" Jakarta, Kantor Notaris R.Suryawan B. Prasetio. SH, Jln.Kramat Raya No. 

23 J, Jakarta Pusat, Telp:021-3100337 (Sdr. Herry)


Tks.Tempat terbatas.


MATERI PELATIHAN :


1. Pembuatan akta berkaitan dengan jaminan utang/kredit dan permasalahannya.


2. Pembuatan akta PPAT dan permasalahannya


3. Masalah penjaminan tanah yang masih dalam tahapan PPJB


4. Permasalahan hukum di dalam praktek Notaris/PPAT dan cara mengeatasi permasalahan yang ada

.
5. Strategi bagi Notaris/PPAT didalam menghadapi gugatan perdata


NB: Yang sudah membayar tidak dapat dibatalkan tapi dapat diganti dengan peserta lain.

Salam.Alwesius.SH,MKn.

PEMBUBARAN, LIKUIDASI DAN BERAKHIRNYA STATUS BADAN HUKUM.
Oleh : Alwesius SH, MKn
Notaris - PPAT Kabuapten Tangerang


1.        SEBAB-SEBAB PEMBUBARAN

Pembubaran Perseroan terjadi:

a.       berdasarkan keputusan RUPS;
b.      karena jangka waktu berdirinya yag ditetapkan dalam AD telah berakhir;
c.       berdasarkan penetapan pengadilan;
d.      dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaqga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailitPerseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e.       karena harata pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalamn keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU;
f.       karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (pasal 142 ayat 1 UUPT)

2.        AKIBAT PEMBUBARAN.

Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan :

a.      wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh Likuidator atau kurator;(pasal 142 ayat 2 huruf a UUPT)
b.     Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecxuali diperlukan untuk pembereesan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.(pasal 142 ayat 2 b UUPT)

Jika dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini maka anggota Direksi, anggota Dewan komisaris dan Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng. (pasal 142 ayat 5 UUPT)

Sejak saat pembubran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan. (pasal 143 ayat 2 UUPT)

3.        BERAKHIRNYA STATUS BADAN HUKUM.

Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau Pengadilan. (pasal 143 ayat 1 UUPT)

4.        PEMBUBARAN BERDASARKAN KEPUTUSAN RUPS.

Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.

Keputusan RUPS tentang pembubaran sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 ayat 1 (putusan secara musyawarah) dan pasal 89 (RUPS untuk Penggabungan = kuorum 3/4) (pasal 144 ayat 2 UUPT). 

Pembubaran Perseroan tersebut dimuali SEJAK SAAT YANG DITETAPKAN DALAM KEPUTUSAN RUPS. (pasal 144 ayat 3 UUPT)


5.    TAHAPAN/PROSES PEMBUBARAN MELALUI RUPS SAMPAI BERAKHIRNYA STATUS BADAN HUKUM

1.      RUPS pembubaran PT.
2.      Likuidator dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung tanggal pembubaran wajib memberitahukan :


a.    kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan BNRI; dan
b.        pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi;
(pasal 147 ayat 1 UUPT)

3.      Pemberesan oleh Likuidator;(pasal 149 UUPT)
4.      Likuidator menyampaikan pertanggungjawabannya kepada RUPS. (pasal 152 UUPT)
5.      Likuidator dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban likuidator diterima RUPS,  menyampaikan pemberitahuan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam Surat kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada Likuidator. (pasal 152 ayat 3 jo ayat 7 UUPT)
6.   Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan.(pasal 153 ayat 5 UUPT)
7.      Menteri mengumumkan dalam BNRI. (pasal 152 ayat 8 UUPT) 

CATATAN: Dalam hal ini ada 2 (dua) kali akses ke sistem AHU : Pertama perihal pembubarannnya dan kedua setelah selesai dilakukannya likuidasi, masing-masing dengan memperhatikan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari) tersebut. 

6.        PEMBERITAHUAN KEPADA KREDITOR

Pemberitahuan kepada Kreditor tersebut memuat:

a.       pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya;
b.      nama dan alamat likuidator;
c.       tata cara pengajuan tagihan; dan
d.      jangka waktu pengajuan tagihan.(pasal 147 ayat 2 UUPT)

Jangka waktu pengajuan tagihan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman tersebut. (pasal 147 ayat 3 UUPT)

Kreditor yang mengajukan tagihan dalam jangka waktu tersebut, kemudian ditolak oleh Likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. (pasal 150 ayat 1 UUPT)

Kreditor yang belum mengajukan tagihan dapat mengajukan tagiahnnya melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan dalam Surat kabar dan BNRI. (pasal 150 ayat 2 UUPT)

 Tagihan tersebut dapat dilakukan dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan bagi pemegang saham. (pasal 150 ayat 3 UUPT)   

Jika sisa kekeyaan tersebut tel;ah dibagaikan kepada pemegang saham maka PN t memerintahkan kepada Likuidator untuk menarik kembali sisa hasil kekayaan tersebut. (pasal 150 ayat 4 UUPT)

Pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan tersebut secara proporsional. (pasal 150 ayat 5 UUPT)


7.        PEMBERITAHUAN KEPADA MENTERI

Pemberitahuan nkepada Menteri wajib dilengkapi dengan bukti:

a.          dasar hukum Pembubaran Perseroan;
b.          pemberitahuan kepada Kreditor dalam Surat Kabar.
(pasal 147 ayat 4 UUPT)

8      AKIBAT TIDAK DILAKUKANNYA PEMBERITAHUAN KEPADA KREDITOR DAN MENTERI

Dalam hal pemberitahuan kepada Kreditor dan Menteri belum dilakukan,maka pembubaran Perseroan TIDAK BERLAKU BAGI PIHAK KETIGA. (pasal 148 ayat 1 UUPT)

Dalam hal likuidator lalai melakukan pemberitahuan tersebut, likuidator secara tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga. (pasal 148 ayat 2 UUPT)


Smoga bermanfaat

Tks
Alwesius