Selasa, 17 Februari 2015

BEBERAPA CATATAN BERKAITIAN DENGAN PUTUSAN PRAPERADILAN “BG”

BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN  PUTUSAN PRAPERADILAN “BG”
Oleh : Alwesius, SH, MKn

1.     Pendahuluan
Putusan pra peradilan berkaitan dengan gugatan “BG”  berkaitan dengan status tersangka yang doberikannya telah dibacakan oleh hakim Sarpin pada hari Senin tanggal 16 Pebruari 2015.
Dengan dibacakannya putusan tersebut maka bagi mereka yang berpihak kepada “BG” langusng meluapkan kegembiraannya atas kemenagan mereka, sedangkan bagian mereka yang berpihak kepada ‘KPK” hal ini dianggap sebagai awal dari suatu serangan balik oleh para koruptor.  
Terlepas dari masalah pro kontra tersebut, putusan telah dibacakan dan tentunya kita harus menghormati kepeutusan tersebut, sebab biar bagaimanapun juga hal tersebut merupakan sutau keputusan hakim yang bebas dan mandiri. Bagi pihak KPK yang meresa keberatan atas keputusan hukum tersebut tentunya dapat melakukan keberatan-keneratan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. KPK dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung atas keputusan tersebut dengan menyampaikan dalil-dalil hukum yang kuat agar keberatannya dapat diterima.
Walaupun keputusan hakim tersebut harus kita hormati, namun kita dapat saja melakukan penilaian atas keputusan dalam kasus BG tersebut. Tentunya penilaian yang kita ilakukan harus mepunyai alasan yang cukup berdasarr, jika tidak mau dikatakan asal jeplak.    
2.     Ketentuan mengenai Pra Peradilan di dalam KUHAP
Di dalam KUHAP ketentuan mengenai pra peradilan ini diatur di dalam pasal 10 KUHAP, yang menyebutkan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.            sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.            sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.              permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan asas Legalitas yang kita anut sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 KUHP dan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP tersebut serta dikaitkan dengan ketentuan pasal 3 KUHAP yang  mementukan “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” maka jelas bahwa apa yang ditentukan didalam pasal 10 mengenai pra peradilan tersebut bersifat limitatif. Jadi terhadap alasan untuk diajukannya pra peradilan menurut penulis tidak dapat dilakukan penambahan lain untuk mengajukan pra peradilan.Seandainya pun hendak ditambah tentunya harus melalui perubahan UU.
3.     Bebarapa catatan berkaitan dengan putusan pra peradilan “BG”
Walaupun penulis belum membaca secara lengkap putusan yang telah dicakan oleh hakim Sarpin, namun dari apa yang penulis dengan melalui siaran di televisi, penulis henadk memberi bberapa catan berkaitan dengan putusan tersebut, yang sekurang-kurang menggelitik penulis untuk mengungkapkan pikiran penulis dalam tulisan ini.
Adapun catatan  penulis berkaitan dengan tulisan tersebut adalah:
a.            Alasan untuk mengajukan pra peradilan bersifat limitatif

Pasal 1 angka 10 KUHAP telah mengatur secara tegas mengenai maksud atau pengertian atau definisi dari  “pra peradilan”, yang didalamnya mengatur hak-hak yang menjadi alsan atau dasar diajukannya pra peradilan.  Apa yang dimaksud pra peradilan dicantumklan didalam pasal 1 yang mengtur mengenai pengertian atau definisi dari suatu istilah yang dipakai di dalam KUHAP. Hal ini lazim diketemukan di dalam semua undang-undang maupun  di dalam suatu perjanjian/kontrak.

Dengan melihat pada tempat pengaturannya, yaitu pada ketentuan yang mengatur mengenai “difinis/isitilah/pengertian,   hal tersebut tentunya dimaksudkan untuk memberikan pengertian yang bersifat membatasi agar tercapainya suatu kepastian mengenai arti atau makna dari sitilah itu. Istilah yang dimasukan didalam ketentuan umum yang mengatur mengenai difisi atau istilah atau pengertian dimaksudkan agar hal tersebut mejadi acuan atau pegangan didalam mengartikan atau menggunakan istilah tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut maka dipeoleh suatu kepastian atau kepastian hukum bahwa istilah itu tidak akan diperluas melebihi dari apa yanbg telah ditentukan didalamnya, kecuali ketentuan itu sendiri yang membolehkannya untuk diperluas.( Definisi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas id.wikipedia.org/wiki/Definisi)

Disamping itu tentunya kita berpegang pada asas Legalitas sebagaimana telah penulis sebutkan di atas.

Bersasarkan hal tersebut maka menurut penulis tidak tepat jika hakim memperluas makna ketentuan pasal 1 angka 10 KUAP tersebut.

  

b.           Pra peradilan merupakan “hak tersangka”
Para sarjana hukum tentunya sepakat bahwa mengajukan pra peradilan merupakan hak tersangka.  Orang yang tidak berstatus tersangka tentunya tidak dapat mengajukan pra peradilan. Pra peradilan dapat diajukan oleh keurga tersangka maupun pihak lain yang telah mendapat kuasa dari tersangka.   
Karena pra peradilan merupakan “hak tersangka” maka orang yang mengajukan pra peradilan haruslah berstatus “tersangka” (dan mengakui statusnya tersebut) dan karenanya ia harus menerima statusnya tersebut. Jika ia tidak mengakui statusnya tentu akibatnya ia tidak dapat menggunakan hak-hak yang melekat pada tersangka. Seandainya ada keberatan berkaitan dengan statusnya sebagai tersangka maka keberatan itu hanya dapat diajukan pada proses pengadilan  bukan dalam proses pra peradilan.
c.             Polisi adalah merupalan aparat penegak hukum
Hakim sarpin dalam putusannya menyatkan bahwa BG bukan penegak hukum dengan alasan-alsan yang tersusun secara sistimatis untuk mendukung alasannya. Mendengar hal tersebut penulis sempta terperangah sejenak, apakah benar demikian, apakah benar hanya polisi yang bertindak sebagai penyelidik dan penyidik yang dapat masuk sebagai “penegak hukum”.
Secara sosiolgis tidak ada seorangpun yang akan membantah bahwa kepolisian adalah lembaga penegang hukum, oleh karenea itu semua orang berdimas sebagai polisi adalah merupakan aparat penegak hukum.
Secara yuridis apakah polisi merupakan penegak hukum atau bukan, tentunya kita harus melihat pada peraturan perundang-undangan yang mengatur menegnai kepolisian serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pegak hukum.
Yang pertama kita lihat tentunyan UU yang mangtaiurb mengenai kepolisian, yaitu UU Nomor 2 tahun 2002 (UU Kepolisian).
Pasal 1 angka 1 UU Kepolisian menenetkan bahwa “  Kepolisian  adalah  segala  hal ihwal  yang  berkaitan  dengan  fungsi  dan  lembaga  polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Dan selanjutnya kita melihat ketentuan pasal 2 nya yang menentukan “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dari pengertian kepolisian sebagaimana imakusd di dalam ketentuan pasal 1 angka 1 dikaitkan dengan  pasal 2 UU Kepolisian jelas bahwa kepolisian aa;lah merupakan lembaga penegak hukum. Hal tersebut juga ditentukan dio dalam Pasal 3 yang berbunyi:
KepolisiaNegarRepubliIndonesibertujuauntumewujudkakeamanadalam negeri  yang   meliputi   terpeliharanya   keamanan   dan   ketertiban   masyarakat,   tertib   dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,  serta  terbinanya  ketenteraman  masyarakat  dengan  menjunjung  tinggi  hak asasi manusia.

Dan pasal 5 UU Kepolisian yang menentukan:
(1) Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  merupakan  alat  negara  yang  berperan  dalammemeliharkeamanadaketertibamasyarakatmenegakkahukumserta memberikaperlindunganpengayomandapelayanakepadmasyarakadalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) KepolisiaNegarRepubliIndonesiadalaKepolisiaNasionayanmerupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Dan selanjutnyan dapat kita lihat didalam pasal 1 ayat 3 UU Kepolisian yang menentukan “Pejabat  Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  adalah  anggota  Kepolisian  Negara Republik       Indonesi yan berdasarka undang-undan memilik wewenan umum Kepolisian.” Serta juga tugas pokok Kepolkisian Negara Republik Indomesia, yang diatur di dalam Pasal 13 UU Kepolisian yang menentukan “
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.   menegakkan hukum; dan
c memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Nerdasarkan uraian diatas menuerut penulis  tidak dapat lagi disangkal bahwa kepolisian Negara Republik Indonesia adalah merupakan lembaga penegak hukum, dengan demikian semua anggota kepolisian Negara Republik Indonesia adalah merupakan aparat penegak hukum, termasuk tentunya “BG” sebagai seorang polisi beliau adalah seorang penegak hukum, tanpa melihat jabatan apa yang diembannnya di internal kepolisian.  
Tks
Alwesius.SH, MKn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar