Minggu, 22 April 2012

PELAKSANAAN BALIK NAMA SERTIPIKAT KE ATAS NAMA SALAH SEORANG AHLI WARIS DAN PERMASALAHANNYA

Pendahuluan
Sesuai ketentuan hukum waris  apabila salah seorang Pewaris meninggal dunia maka segala hak dan kewajibannya di bidang hukum harta kekayaan akan beralih kepada sekalian ahli waris. Hal tersebut dikenal dengan "asas Saisine" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 833 KUHPerdata . Jadi dengan demikian dengan meninggalnya seseorang segala harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia beralih menjadi hak milik para ahli waris yang ditinggalkannya.

Asas umum dalam pewarisan tersebut hanya dapat dikesampingkan apabila Pewaris pada saat meninggalnya meniggalkan surat wasiat.

Untuk membuktikan siapa-siapa yang menjadi ahli waris Pewaris maka akan dibuat "Surat Keterangan Waris" atau "Akta Keterangan Sebagai Ahli Waris". 

Balik Nama Sertipikat Tanah ke atas nama Para Ahli Waris

Apabila Pewaris meninggalkan harta kekayaan berupa tanah yang telah bersertipikat maka selanjutnya dengan meninggalnya Pewaris, sertipikat tanah tersebut dapat dibalik nama ke atas nama semua ahli waris dengan mengajukan permohonan kepada Kepala kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan antara lain "Surat Keterangan Waris" atau "Akta Keterangan Sebagai Ahli Waris". Misalnya ahliwaris terdiri dari 4 (empat) orang anak B. C, D dan E maka Sertipikat tanah tersebut selanjutnya terdaftar atas nama "B,C,D dan E". 

Balik Nama Seripikat Tanah ke atas nama Salah seorang Ahli Waris

Jika ternyata para ahli waris menghendaki tanah yang ditinggalkan Pewaris tersebut dibagikan kepada salah seorang ahli waris saja.Misalnya BCDE sepakat bahwa tanah tersebut akan dibagikan kepada B saja maka mereka dapat membuat "akta pembagian waris" baik yang dibuat dengan akta Notaris maupun akta dibawah tangan. Selanjutnya berdasarkan "Surat Keterangan Waris" dilengkapai dengan "Akta Pembagian Waris" tersebut  sertipikat tanah atas nama Pewaris dapat langsung dibalik nama ke atas nama salah seorang ahli waris yaitu B.Kemungkinan tersebut dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 42 ayat 4 PP no. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 111 ayat 5 PMNA/ka.BPN No. 3 tahun 1997.

Dimungkinkannya pendaftaran atau balik nama sertipikat tanah tersebut kepada salah seorang ahli waris disamping memang telah sesuai dengan prinsip pewarisan juga sangat membantu para ahli waris dan juga sangat membantu di dalam praktek Notaris dan PPAT, sekurang-kurangnya membantu di dalam menghemat waktu dalam pelaksanaan pendaftaran tersebut, sehingga jika akan dilakukannya perbuatan hukum selanjutnya atas tanah tersebut maka hal tersebut dapat segera dilakukan.

Namun kenyataannya di dalam praktek banyak Kantor Pertanahan tidak mau melaksanakan hal tersebut dengan alasan adanya masalah di bidang perpajakan.Alasan yang menurut penulis sangat kurang tepat, karena pendapat manapun yang dianut berkaitan dengan pajak yang harus dibayar, secara yuridis maupun teknis administratif ketentuan Pasal 42 ayat 4 PP No. 24 tahun 1997 tersebut tetap dapat dijalankan.

Salah seorang Ahli Waris Berkewarganegaran Asing

Jika salah sorang ahli waris yang ditinggalkan berkewarganegaraan asing (misalnya dalam kasus di atas D merupakan WN Australia) dan tanah tersebut berstatus Hak Milik, HGU atau HGB maka berlaku ketantuan pasal 21 ayat 3, 30 ayat 2 atau pasal 36 ayat 2 UUPA. Ahli waris tersebut tetap berhak untuk mewarisi tanah tersebut, namun dalam jangka waktu 1 (satu) tahun ia wajib mengalihkan hak bagiannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. 

Menghadapi permasalahan tersebut maka memang sebaiknya  D yang WNA tidak  memperoleh bagian atas tanah ybs, jadi tanah tersebut dibagikan kepada B, C dan E sedangkan D memperoleh bagian harta yang lain.Jadi dalam hal ini dapat dibuat "akta pembagian waris" yang membagikan tanah tersebut kepada B,C dan E, sehingga selanjutnya sertipikat tanah tersebut dibalik nama ke atas nama B,C dan E.  

Di dalam praktek ada penyelesaian lain yang disarankan oleh rekan Notaris-PPAT kepada klien yaitu dengan membuat Penolakan harta Peninggalan.Satu hal yng kurang disadari oleh para ahli waris yang bersangkutan, mungkin tidak diberikan penjelasan yang cukup oleh rekan Notaris tersebut adalah akibat hukum dari penolakan tersebut. Hal tersebut penulis kemukakan karena pernah seseorang berkonsultasi kepada penulis melalui rekan Notaris yang lain perihal penolakan yang pernah dilakukannya, apakah ahli waris yang menolak tersebut masih dapat menuntut tabungan dan deposito serta tanah yang masih ada milik Pewaris sementara ia pernah melakukan penolakan, namun si ahli tersebut menyatakan bahwa penolakan tersebut dilakukan atas saran Notaris dan penolakan yang ia lakukan hanya semata-mata agar tanah warisan tersebut dapat dibalik nama ke atas nama ahli waris yang lain dan segera dapat dijual.

Berdasarkan ketentuan pasal 1058 KUHPerdata, seseorang yang telah menolak harta peninggalan Pewaris dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Jadi ia tidak lagi berhak apapun atas harta peninggalan Pewaris.Ia tidak hanya tidak berhak atas tanah tersebut, akan tetapi juga tidak berhak atas harta Pewaris yang lainnya.  Inilah yang sering terjadi dalam praktek dimana ia menyangka bahwa ia hanya tidak berhak atas tanah yang bersangkutan saja, akan tetapi ia tetap berhak atas harta yang lain.Berkaitan dengan hal tersebut maka kita sebagai Notaris-PPAT tentunya harus sangat hati-hati untuk menyarankan digunakannya "lembaga penolakan" untuk mengatasi masalah pewarisan dalam hal terdapat ahli waris yang berkewarganegaraan asing tersebut.

Pemisahan dan Pembagian Hak Bersama yang berasal dari Warisan

Di atas telah disebutkan bahwa dengan meninggalnya seseorang maka segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. jadi disini timbul kepemilikan bersama para ahli waris terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan Pewaris, termasuk pemilikan bersama atas tanah yang ditinggalkan Pewaris, tanpa dikehendaki oleh ahli waris karena terjadi dengan terjadinya peristiwa hukum berupa kematian Pewaris bukan karena suatu perbuatan hukum.

Pemilikan bersama yang terjadi karena pewarisan adalah merupakan Pemilikan Bersama yang Terikat (gebonden mede-eigendom). Jika para ahli waris hendak mengakhiri pemilikan bersama yang terikat tersebut maka mereka dapat melakukan pemisahan dan pembagian warisan dengan membuat akta pemisahan dan pembagian waris. Di dalam akta pemisahan dan pembagian waris tersebut mereka dapat bersepakat untuk melakukan pembagian sebidang tanah tertentu hanya dibagikan kepada salah seorang ahli waris saja misalnya B saja yang memperoleh tanah tersebut atau tanah tersebut dibagikan kepada 2 (dua) orang ahli waris dengan menyebutkan secara tegas bagiannya masing-masing. Ahli waris atau para ahli waris yang memperoleh hak atas tanah tersebut bukan berasal dari para ahli waris lainnya, akan tetapi langsung dari Pewaris, demikian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1083 KUHPerdata. Perolehan hak tersebut bukan terjadi mulai saat dibuatnya akta tersebut tetapi terjadi terhitung sejak meninggalnya Pewaris.Pemisahan dan pembagian dalam pemilikan bersama yang terikat ini BERSIFAT DEKLARATIF DAN MEMPUNYAI DAYA BERLAKU SURUT. Jadi disini peralihan hak terjadi dari Pewaris kepada Ahli waris yang memperoleh tanah tersebut bukan dari Para Ahli waris kepada Ahli waris yang memperoleh tanah tersebut. Hal ini yang mungkin kurang dipahami oleh sebagian "pejabat BPN" , pejabat yang berkaitan dengan pelaksanana pembayaran BPHTB atau juga rekan-rekan Notaris dan PPAT .

Masalah BPHTB berkaitan dengan Pemisahan dan Pembagian Hak Bersama yang berasal dari Warisan

Salah satu obyek pajak BPHTB menurut Pasal 85 ayat (2) a angka 7 UU No. 28 tahun 2009 tentang PDRD adalah "Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan". UU ini tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan "pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan", didalam penjelasannya hanya dikatakan "cukup jelas". Akan tetapi jika kita lihat ke dalam UU sebelumnya ( UU No. 20 tahun 2000) maksud dari "pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan" adalah "Pemindahan hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama".

Berdasarkan pengertian tersebut maka jika kita lihat dari hakekat pemisahan dan pembagian hak bersama yang berasal dari warisan maka jelas bahwa pemisahan dan pembagian hak bersama yang berasal dari warisan tersebut bukan merupakan objek pajak BPHTB karena dalam hal tersebut tidak terdapat peralihan hak dari ahli waris yang satu kepada ahli waris yang lainnya, yang ada di dalamnya adalah peralihan hak dari Pewaris langsung kepada ahli waris yang memperoleh tanah tersebut.

Oleh karena itu maka adalah sangat tepat jika apa yang dinyatakan dalam Surat Kepala BPN No. 600-1561 tanggal 21 April 1999 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se Indonesia untuk tetap dipatuhi dan dilaksanakan dalam praktek pendaftaran peralihan hak kepada salah seorang ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 4 PP No. 24 tahun 1997 atau Kepala BPN mengeluarkan surat baru yang menegaskan hal tersebut dengan berkoordinasi dengan pihak Kemendagri, sehingga tidak terdapat lagi perbedaan-perbedaan dalam praktek antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, dan akhirnya agar menimbulkan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Pembagian Hak Bersama dengan Pembuatan APHB

Akta APHB adalah akta yang dibuat untuk melakukan pembagian hak bersama milik beberapa pemegang hak. Dengan dilakukannya pembuatan akta APHB maka terjadi peralihan hak salah seorang atau beberapa orang diantara pemegang hak bersama tersebut kepada salah seseorang atau beberapa orang lainnya dari para pemegang hak bersama yang bersangkutan. Dengan dibuatnya APHB maka jelas disini pemisahan atau pembagian yang dilakukan berdasarkan APHB merupakan objek BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal   Pasal 85 ayat (2) a angka 7 UU No. 28 tahun 2009 tersebut dan karenanya terutang BPHTB, yang harus dilunasi sebelum dibuatnya akta APHB tersebut.

Didalam perolehan hak karena warisan, pembuatan APHB ini dilakukan jika sertipikat tanah hak bersama tersebut telah dibalik nama ke atas nama semua ahli waris misalnya ke atas nama BCDE akan tetapi kemudian B,C dan E bermaksud menyerahkan haknya kepada D. Penyerahan hak dari BCE kepada D tersebut dikenakan PPh maupun BPHTB.

Cara inilah yang banyak digunakan dalam praktek PPAT dan bahkan di beberapa daerah diminta oleh "oknum BPN" atau "Instansi terkait di daerah" untuk ditempuh oleh PPAT. Instansi daerah meminta hal tersebut untuk dilakukan karena jelas lebih meningkatkan pemasukan dari sudut pajak daerah.PPAT menempuh cara tersebut (walaupun dari awal telah diminta oleh para ahli waris agar tanahnya dibalik nama hanya ke atas nama D saja) karena memang cara ini yang lebih "mudah atau memudahkan" untuk ditempuh dalam praktek.

Salam
Alwesius.SH,MKn.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar