Minggu, 22 April 2012

PEMILIKAN TANAH BERKAITAN DENGAN PERKAWINAN CAMPURAN

Pendahuluan

Pemilikan harta termasuk pemilikan tanah secara pribadi adalah merupakan salah satu hak dasar yang dijamin oleh konstitusi kita, sebagaimana dirumuskan di dalam pasal 28 huruf H ayat (4) yang menentukan " setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Disamping itu konstitusi kita melalui Pasal 28 B ayat (1) menyatakan "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah".   

Hak-hak tersebut kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Pasal 36 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 menyatkan "Setiap orang berhak mempunyai  milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat  dengan cara tidak melanggar hukum".

Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap warga negara Indonesia berhak untuk melangsungkan perkawinan dengan siapapun juga baik dengan sesama warga negara Indonesia maupun dengan warga negara asing, sepanjang perkawinan tersebut dilangsungkan sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Disamping itu juga setiap warga negara Indonesia berhak untuk mempunyai hak milik pribadi, baik berupa harta tidak bergerak maupun berupa harta bergerak. ia berhak untuk memiliki tanah pribadi, rumah tinggal pribadi, mobil pribadi, uang pribadi, perlengkapan pekerjaan pribadi dan lain-lain. Ia berhak memiliki harta pribadi baik yang dimiliki sendiri secara pribadi maupun yang dimiliki secara bersama-sama dengan orang lain.  Hak pribadi tersebut tidak dapat dihapus, dikurangi atau dibatasi  oleh pihak manapun juga selain karena berdasarkan hal-hal yang ditetapkan dalam UU.

Hak Warga Negara Indonesia di dalam UUPA

Sebelum dinyatakan dalam Konstitusi kita maupun di dalam UU no. 39 tahun 1999 ternyata UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) telah terlebih dahulu mengakui hak dari setiap WNI atas tanah di Indonesia.Pasal 9 ayat 2 UUPA secara tegas menyatakan bahwa " Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya".  

Jelas bahwa para pembentuk UUPA mempunyai pikiran yang sangat jahu ke depan, dengan memberikan kesempatan kepada seluruh WNI, tanpa membedakan status dan kedudukan, tanpa membedakan "gender" untuk memiliki tanah pribadi bagi pengembangan dirinya maupun keluarganya. Setiap WNI dapat memiliki tanah dengan status hak atas tanah apapun juga yang dimungkinkan oleh UUPA. Seorang WNI dapat memiliki tanah pribadi dengan status Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, tentunya semuanya dengan memperhatikan ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan dalam UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Jadi hubungan kepemilikan (milik) yang dimiliki oleh WNI dengan tanah yang dimiliki (secara pribadi) dapat berupa hubungan hukum yang disebut dengan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 UUPA yang berbeda konsepsinya dengan hubungan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 570 KUHPerdata. Hubungan kepemilikan tersebut dapat pula berupa hubungan hukum yang lain seperti HGU, HGB atau Hak Pakai, bahkan dalam praktek banyak pula terjadi hubungan pemilikan tersebut tidak dilandasai pada adanya suatu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA tapi didasari pada hubungan keperdataan tertentu, misalnya seseorang yang memiliki rumah di atas tanah negara dengan berbagai alas hak. Namun demikian walau tidak didasari oleh adanya suatu alas hak berupa hak atas tanah yang ditentukan dalam UUPA tetap saja rumah dan tanah dimana rumah tersebut didirikan merupakan milik (hak milik)  yang bersangkutan secara pribadi dan tentunya juga keneradaannya dilindungi oleh Pasal 28 huruf H UUD kita.

Asas Kebangsaan dalam UUPA

Pasal 9 ayat 1 UUPA menentukan "Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2".  Jika kita baca ketentuan Pasal 20 UUPA maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan "hubungan sepenuhnya" dengan tanah di Indonesia adalah "Hak Milik". Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka pada asasnya hanya WNI yang boleh mempunyai Hak Milik. Berkaitan dengan asas yang terkandung dalam pasal 9 ayat 1 UUPA tersebut maka Pasal 21 ayat 1 UUPA menentukan secara tegas bahwa yang dapat mempunyai hak milik atau yang dapat menjadi subyek hak milik hanyalah warga negara Indonesia.WNI disini adalah WNI yang tidak mempunyai kewarganegaraan lain.  Jadi jelas seorang Warga Negara Asing tidak boleh mempunyai hak milik.

Pengecualian terhadap hal tersebut ditentukan dalam Pasal 21 ayat 2 UUPA yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik dengan penetapan Pemerintah dalam suatu peraturan Pemerintah.Hal tersebut kemudian dituangkan dalam PP No. 38 tahun 1963. 

Pemilikan Tanah Oleh Orang Asing karena terjadinya Peristiwa hukum yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 3 UUPA  

Tanah hak milik yang tidak boleh dimiliki oleh orang asing masih mungkin menjadi milik orang asing karena terjadinya peristiwa hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 3 UUPA, yaitu karena terjadinya pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan atau karena peralihan kewaqrganegaraan dari WNI menjadi WNA.Jika peristiwa hukum tersebut terjadi maka demi hukum tanah hak milik tersebut dimiliki oleh orang asing. Dalam kejadian demikian maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau sejak terjadinya peralihan kewarganegaraan tersebut, tanah hak milik tersebut harus dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

Seandainya pemilik tanah tersebut ingin tetap menguasai tanah yang bersangkutan maka tanah hak Milik yang bersangkut harus diubah menjadi Hak Pakai dengan mengajukan permohonan perubahan hak kepada Kepala Kantor Pertanahan  Kabupaten/Kota setampat.  

Larangan melakukan Perbuatan Hukum yang mengakibatkan tanah hak Milik dimiliki oleh WNA atau Badan Hukum yang bukan merupakan subyek hak milik

Larangan untuk melakukan perbuatann hukum pemindahan hak yang mengakibatkan tanah hak milik beralih kepemilikannya kepada pihak yang bukan meruapakan subyek hak milik diatur secara tegas  dalam pasal 26 ayat 2 UUPA. Pasal 26 ayat 2 UUPA menentukan "Setiap jual beli ... perbuatn-perbuatan lain yang dimakusdkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangusng serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali."

Berdasarkan ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA jelas bahwa tidak boleh atau dilarang melakukan perbuatan hukum berupa apapun juga, baik secara langsung maupun tidak langung bermaksud untuk   memindahkan hak milik kepada orang asing, dengan akibat hukum seperti disebutkan di atas.

Termasuk yang dilarang dalam ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA tersebut adalah jika kita membuat kuasa atau perjanjian yang bersifat pemberian hak sepenuhnya kepada orang asing yang mengakibatkan ia mempunyai kewenangan seperti seorang pemilik atau membuat jual beli tanah yang diikuti pembuatan pernyataan pemilikan tanah (nominee).

Pasal 26 ayat 2 UUPA berlaku pula kepada WNI yang bersuami/beristeri WNA yang kawin tanpa Perjanjian Kawin (ada Percampuran harta)

Menurut ketentuan pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, segala harta yang diperoleh selama perkawinan kecuali yang berasal dari warisan atau hadiah menjadi harta bersama suami isteri yang bersangkutan.Sudah tentu termasuk di dalamnya jika harta yang diperoleh tersebut berupa harta tidak bergerak (tanah). Jika seorang suami atau isteri membeli tanah sepanjang perkawinan mereka maka tanah tersebut akan menjadi harta bersama/harta gono gini suami isteri yang bersangkutan.Termasuk juga jika perkawinan tersebut adalah merupakan perkawinan campuran yang dilangsungkan tanpa membuat perjanjian kawin harta terpisah. Tanah yang dibeli seorang suami/istri yang berkewarganegaraan Indonesia dengan sendirinya demi hukum juga menjadi milik istri/suaminya yang berkewarganegaraan asing.  

Oleh karena perbuatan hukum pembelian tanah yang dilakukan oleh suami/isteri  tersebut mengakibatkan tanah tersebut juga menjadi milik/hak milik isteri atau suami yang berkewarganegaraan asing maka menurut penulis ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA dengan segala akibat hukumnya juga berlaku terhadap perkawinan campuran yang dilangsungkan tanpa  membuat perjanjian kawin harta terpisah.

Permberlakuan Pasal 26 ayat 2 UUPA kepada WNI yang mempunyai suami/isteri WNA yang kawin tanpa perjanjian kawin harta terpisah tidak melanggar hak asasi manusia

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemberlakukan ketentuan Pasal 26 ayat 2 UUPA melanggar hak asasi manusia atau melanggar ketentuan konstitusi kita khususnya pasal 28 huruh H UUD atau melanggar UU No. 39 tahun 1999.

Menurut penulis hal tersebut tidak melanggar hak asasi manusia, tidak melanggar konstitusi kita dan tidak bertentangan dengan UU No. 39 tahun 1999. karena pemberlakuan Pasal 26 ayat 2 UUPA tersebut tidak menghapus hak dasar atau hak kontitusional seorang WNI  untuk mempunyai milik/hak milik pribadi atas harta kekayaan termasuk milik pribadi atas tanah. Ia tetap dapat memiliki tanah secara pribadi untuk dimiliki baik untuk rumah tinggal atau usaha dan pekerjaannya guna pengembangan dirinya dan keluarganya. Sudah tentu pemilikan tanah secara pribadi tersebut harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan juga tidak melanggar ketetuan hukum yang berlaku di Indonesia.Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ia dapat mempunyai milik/hak milik secara pribadi status tanah hak pakai bukan status tanah hak milik.Tanah hak pakai tersebut akan menjadi milik pribadinya, akan menjadi hak milik pribadinya dan keluarganya.

Penentuan bahwa yang bersangkutan dapat mempunyai milik/hak milik pribadi dalam konstitusi kita maupun dalam UU hak Asasi Manusia tersebut tidak dilanggar dengan dilarangnya WNI yang menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin untuk membeli tanah dengan status Hak Milik (juga HGU maupun HGB).  Menurut penulis hak milik pribadi atau milik pribadi yang dimaksud dalam konstitusi kita atau dalam UU Hak Asasi Manusia lebih pada perkataan "milik" atau "hak milik" yang kita kenal secara umum, yaitu  dalam arti "memiliki" atau "mempunyai"  terlepas dari status tanah yang bersangkutan, apakah dimiliki dengan suatu hak atas tanah sesuai UUPA atau tidak. Jadi  bukan hak milik dalam arti Pasal 20 UUPA atau Pasal 570 KUHPerdata.   


Salam
Alwesius,SH,MKn. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar