Jumat, 24 Januari 2014

BEBERAPA CATATAN TERHADAP UUJN YANG BARU


BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN BEBERAPA KETENTUAN DALAM UUJN DAN PERUBAHANNYA
(REVISI)
Oleh: Alwesius, S.H.,M.Kn


Sehubungan dengan berlakunya Perubahan UUJN pada tanggal  17 Jnauari 2014 dengan ini saya hendak memberikan beberapa catatan berkaitan dengan UUJN dan Perubahannya tersebut untuk menjadi bahhan diskusi bagia kita Notaris dan pihak-pihak yang berkomnpeten untruk menjadi masukan agar jabatan Notaris kedepannya dapat kembali menjadi jabatan yang terhormat dan mulai. Asdapun catatan-catan tersebut adalah sebagai berikut:

1.            Jangka waktu Magang
Salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, demikian sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 huruf f UUJN.
Berdasarkan ketentuan tersebut, berkaitan dengan    magang tersebut maka ada 3 (tiga) hal yang harus dipenuhi, yaitu:
a.            Jangka waktu magang adalah 24 (dua puluh) empat bulan;
b.            Jangka waktu magang tersebut dihitung mulai setelah   seorang calon notaris lulus strata dua kenotariatan;
c.             Jangka waktu magang tersebut harus dijalankan oleh seorang calon notaris secara “berturut-turut”.
Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi barulah seorang calon notaris dapat dikalatakan memenuhi syarat magang sebagaimana ditetapkan dalam UUJN.

Berbeda dengan sebelumnya dimana masa magang hanya 12 (dua belas) bulan  dengan berlakunya perubahan UUJN maka masa magang menjadi 24 (dua puluh empat) bulan setelah seorang calon notaris lulus strata dua kenotaritan dan masa magang tersebut tidak boleh terputus, harus berturut-turut. Misalnya A telah magang pada kantor notaris X selama 1,5 tahun pada tahun 2010 sampai tahun 2011, kemudia ya bekerja ditempat lain (bidang lain) dan selanjutnya pada tahun 2013 ia kembali bekerja di kantor notaris selama 1 tahun. Jika dilihat jumlahnya memang ia telah memenuhi syarat karena telah mempunyai masa magang atau bekerja di kantor notaris selama 2, 5 tahun.Akan tetapi karena tidak dijalankan secara berturut-turut maka hal tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan di dalam pasal 3 UUJN.
Berkaitan dengan hal tersebut banyak timbul pertanyaan yang diajukan oleh para calon notaris yang oleh karena belum memenuhi syarat tertentu misalnya belum mengikuti SABH atau belum lulus ujian Kode Etik Notaris sehingga mengkibatkan mereka terhambat untuk mengajukan permohonan pengangkatan sebagai notaris, apakah bagi mereka ini jangka waktu magang yang berlaku 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun ?
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut mari kita lihat ketentuan pasal 88 UUJN 9hasil perubahan) yang menentukan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.     Pengajuan permohonan sebagai Notaris yang sedang diproses, tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
b.     Masa magang yang telah dijalani calon notaris tetap diperhitungkan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan ketantuan Pasal 88 UUJN tersebut jelas bahwa proses pengkatan Notaris yang telah diajukan sebelum berlakunya Perubahan UUJN tetap diproses berdasarkan ketantuan yang lama akan tetapi khusus untuk masa magang tetap berlaku masa magang yang telah ditentukan di dalam pasal 3 UUJN yaitu 2 (dua) tahun  setelah calon Notaris ybs lulus dari strata dua kenotariatan, tanpa ada pengecualian. Dengan demikian dengan berlakunya Perubahan UUJN (17 Januari 2014) semua proses pengkatan yang belum diterbitkan Sknya pada tanggal berlakunya Perubahan UUJN, harus memenuhi syarat masa magang 2 (dua) tahun tersebut dan untuk itu tidak dapat dibuat kebijakan pengangkatan yang mengakomodir masa magang yang kurang dari 2 (dua) tahun setelah lulus starat dua kenotariatan dengan alasan apapaun juga karena hal tersebut berrati melanggar UU.

2.            Kewenangan notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau membuat akta risalah lelang
Pasal 15 ayat 1 UUJN sudah sangat jelas menentukan “Notaris berwenang   membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan ...  semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Jadi prinsipnya Notaris adalah merupakan satu-satunya pejabat umum yang berwenanag untuk membuat semua akta otentik, kecuali undang-undang menetapkan pejabat lain juga berwenanag untuk mebuat akta otentik yang bersangkutan atau kecuali Undang-undang menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk membuat akta otentik tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut maka menurut penulis memasukan ketentuan Notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau membuat akta risalah lelang di dalam pasal 15 ayat 2 huruf  f dan g UUJN adalah berlebihan atau mengurangi makna kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada notaris untuk membuat akta otentik sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 UUJN.
Memasukkan ketentuan tersebut didalam pasal 15 ayat 2 huruf f dan g UUJN lebih menurut penulis lebih  bernuansa persaingan  “kelompok” yang  tergambar dari adanya kelompok yang pro dan kontra berkaitan dengan penghapusan jabatan PPAT.



3.            Kewajiban Notaris Untuk melekatkan surat atau dokumen pada Minuta Akta
Pasal 16 ayat (1) huruf c menentukan “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;”
Pasal ini demikian juga penjelasannya, tidak menjelaskan surat atau dokumen apa yang dimaksud di dalamnya. Sepanjang berkaitan dengan surat kuasa di bawah tangan maka hal tersebut telah diatur secara tegas di dalam Pasal 47 UUJN.
Dalam kesimpulan Rapat  PP INI pada tanggal  15 Januari 2014, yang disampaikan oleh rekan Habib Adji dikatakan  “Pengertian surat dan dokumen adalah surat dan dokumen yang berhubungan dengan identitas diri Penghadap;”
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya surat atau dokumen yang wajib dilekatkan tersebut, yang dilekatkan itu asli surat atau dokumen atau boleh fotokopinya. Pasal 16 ayat 1 huruf c tersebut tidak menjelaskannya. Jika kita berpegang pada pengertian surat atau dokuemn tentunya seharusnya yang wajib dilekatkan pada minuta akta ada asli surat/dokumen bukan fotokopi dari surat/dokumen ybs.
Seandainya yang wajib dilekatkan pada minuta akta tersebut adalah asli surat/dokumen maka kesimpulan yang diambil dalam rapat PP INI tidak dapat diterapkan, karena tidak akan mungkin untuk melekatkan dokumen yang berhubungan dengan identitas diri Penghadap seperti KTP atau kartu Keluarga.
Sehubungan dengan hal tersebut maka harus ada ketentuan lebih kanjut yang menjelaskan hal ini.   

4.            Kewajiban melekatkan sidik jari penghadap pada Minuta Akta
Pasal 16 ayat (1) huruf c menentukan “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;”
Ketentuan ini menurut penulis telah mengurangi hakekat notaris sebagai pejabat umum, yang merupakan  jabatan kepercayaan. Dengan adanya kewajiban tersebut maka jelas terlihat bahwa pembentuk UU sudah tidak mempercayai lagi notaris sebagai jabatan kepercayaan. Kata-kata atau keterangan notaris yang menyebutkan adanya penghadap yang hadir dihadapan Notaris dengan menggunakan kata-kata “Berhadapan dengan saya ... atau Hadir dihadapan saya,  ..... atau  Menghadap kepada saya, .....” sudah tidak dipercaya lagi, sudah kehilangan maknanya dan karenanya akta yang dibuat oleh atau dihadapannya sebagai akta autentik juga sudah diragukan kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti yang sempurna.  Adanya uraian penandatanganan oleh penghadap dihadapan saksi-saklsi dan notaris pada akhir akta juga telah diragukan sehingga masih memerlukan bukti kehadiran fisik penghadap dihadapan notaris dengan kewajiban melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta notaris. 
Namun demikian oleh karena hal tersebut telah menjadi UU maka Notaris yang berkewajiban untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai bunyi sumpah jabatannya wajib mematuhi ketentuan tersebut.
Penulis semula berpendapat  bahwa kewajiban notaris untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta wajib dilakukan oleh Notaris apabila di dalam pembuatan suatu akta ada digunakan sidik jari. Misalnya dalam hal penghadap tidak dapat menandatangani akta maka disamping surrogat tandatangan apabila Notaris menggunakan sidik jari sebagai pelengkap untuk menggantikan tandatangan penghadap maka sidik jari tersebut wajib dilekatkan pada minuta akta. Namun kini sudah menjadi jelas bahwa kewajiban tersebut berlaku untuk setiap pembuatan akta notaris yang dibuat dalam bentuk minuta akta.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan  adalah sidik jari yang mana yang wajib dilekatkan pada minuta akta tersebut, apakah sidik jari tangan kanan dan tangan kiri atau sidik jari cap jempol kanan atau jempol kiri atau sidik jari dari 3 (tiga) jari tengah.
Karena belum ada peraturan yang jelas sehubungan dengan hal tersebut menurut penulis hal tersebut dikembalikan saja kepada Notaris yang membuat akta tersebut, karena pembutan akta merupakan tanggung jawab Notaris ybs. Notaris boleh saja  menggunakan pedoman yang dihasilkan dalam rapat INI  yaitu dengan menggunakan cap jempol kanan atau mengguankan cara lain.
Kemudian apakah adanya pelekatan lembar sidik jari tersebut perliu diuraikan pada minuta akta?
Menurut penulis hal tersebut sangat diperlukan. Kenapa demikian? Hal tersebut tentunya sangat berkaitan dengan latar belakang dibuatnya ketentuan tersebut. Kewajiban melekatkan sidik jari tersebut untuk memperkuat pembuktian mengenai pembuatan suatu akta agar penghadap tidak mudah lagi untuki membantah adanya pembautan dan penandatanganan akta tersebut dihadapan Notaris . Jika ini latar belakangnya maka untuk tercapainya maksud tersebut menurut penulis harus ada 4 (empat) hal yang harus dipastikan berkaitan dengan  pelekatan sidik jari tersebut, yatiu:
1.            Sdik jari tersebut benar beralas dari jari penghadap yang bersangkutan;
2.            Sidik jari tersebut bersumber langsung dari jari tangan penghadap, dalam arti tidak melalui prantara media lainnya;
3.            Sidik jari tersebut diambil berkaitan dengan pembuatan akta tertentu;
4.            Sidik jari tersebut diambil pada saat mulai berlangsungnya proses pembuatan akta dan sebelum penandatangan akta. 
Nah siapa yang dapat menerangkan bahwa keempat hal tersebut telah dipenuhi.Tentunya Notaris karena kewajiban pelekatan tersebut berlaitan dengan pembuatan akta notaris. Keterangan tersebut menurut penulis akan menjadi alat bukti yang kuat jika diterangkan didalam minuta akta, khususnya pada bagian akhir akta. 
Memang ada yang berpendapat hal tersebut tidak perlu diterangkan pada minuta akta, ya semua kita kembalikan kepada rekan-rekan Notaris.
Sehubungan dengan pendapat penulis tersebut, penulis telah membuat contoh akhir akta sebagai mana diuraikan dibawah ini agar dapat mendapat masukan dari rekan-rekan sekalin:




CONTOH AKHIR AKTA DENGAN ADANYA KETENTUAN PASAL 16 AYAT 1 C UUJN

a)         CONTOH (PARA) PENGHADAP BISA TANDATANGAN AKTA
DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di .................., pada hari, tanggal, serta pada pukul seperti disebutkan pada bagian awal akta ini dengan dihadiri oleh:
1. ..........
2.............
-  sebagai saksi-saksi.
-  Segera setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada para penghadap dan saksi-saksi, dan para penghadap membubuhkan sidik jari jempol kanannya pada lembaran tersendiri dihadapan saya, Notaris dan saksi-saksi, yang dilekatkan pada minuta akta ini, maka seketika itu juga akta ini ditandatangani oleh para penghadap,  saksi-saksi dan saya, Notaris;.
-  Dilangsungkan dengan .....












b)        CONTOH ADA PENGHADAP YANG TIDAK DAPAT MENANDATANGANI AKTA
DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di ...................., pada hari, tanggal, serta pada pukul seperti disebutkan pada bagian awal akta ini dengan dihadiri oleh:
1.            ...................
2.            .....................
-  sebagai saksi-saksi.
-  Segera setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada para penghadap dan saksi-saksi, dan para penghadap membubuhkan sidik jari jempol kanannya. pada lembaran tersendiri dihadapan saya, Notaris dan saksi-saksi, yang dilekatkan pada minuta akta ini maka akta ini ditandatangani oleh penghadap tuan ALI,  saksi-saksi dan saya, Notaris, sedangkan penghadap tuan HASAN  menurut keterangannya ingin turut menandatangani akta ini akan tetapi tidak dapat  menandatangani akta ini karena tangan kanannya keseleo;
-  Dilangsungkan dengan ............
ATAU
DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di ...................., pada hari, tanggal, serta pada pukul seperti disebutkan pada bagian awal akta ini dengan dihadiri oleh:
1.            ...................
2.            .....................
-  sebagai saksi-saksi.
-  Segera setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada para penghadap dan saksi-saksi, dan para penghadap membubuhkan sidik jari kem[ol kanannya pada lembaran tersendiri, yang dilekatkan pada minuta akta ini maka akta ini ditandatangani oleh penghadap tuan ALI,  saksi-saksi dan saya, Notaris, sedangkan penghadap tuan HASAN  menurut keterangannya ingin turut menandatangani akta ini akan tetapi tidak dapat  menandatangani akta ini karena tangan kanannya keseleo dan untuk itu penghadap tuan HASAN membubuhkan cap ibu jari kirinya pada minuta akta ini dihadapan saya, Notaris dan saksi-saksi;.
-  Dilangsungkan dengan............

5.            Kewajiban Notaris untuk membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat dibawa tangan
Pasal 16 ayat (1) huruf  m menentukan: 
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan...”

Pasal ini juga serta menimbulkan pertanyaan, apa makudnya, apakah notaris mempunyai kewenangan membuat akta wasiat dibawah tangan? Bukankah setiap akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris merupakan akta otentik.Akta yang mana yang dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi kedudukannya hanya sebagi akta dibawah tangan selain akta-akta yang tidak memenuhi sayarat otentisitas atau akta-akta yang pembuatannya melanggar ketentuan pasal tertentu dalam UUJN sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta yang dibuat di bawah tangan.
Jika melihat redaksi pasal 16 ayat (1) huruf m tersebut dimana kehadiran 4 (empat) orang saksi dikaitkan dengan akta wasiat, menurut saya sebenarnya maksud dari pembuatan UU bukanlan pembuatan akta wasiat dibawah tangan akan tetapi pembuatann akta pengalamatan surat wasiat rahasia (acte van supersciptie) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 940 KUHPerdata.Pasal 940 KUHPerdata menentukan bahwa dalam pembuatan surat wasiat tertutup atau rahasia, surat wasiat tersebut diserahkan kepada notaris dan kemudian Notaris membuat akta penyimpanan surat wasiat tersebut dengan dihadiri oleh 4 (empat) orang saksi. Inilah yang munghkin dimaksud oleh pembuat UU. Menurut saya terdapat kekeliruan redaksi di dalam pasal 16 ayat 1 huruf m tersebut, yang seharusnya bisa diperbaiki sebelum UU tersebut disahkan.Kekeliruhan tersebut hisa terjadi karena mereke terburu-buru di dalam merumuskan pasal tersebut atau kurang paham terhadap masalah pembuatan surat wasiat.   

6.            Tempat kedudukan Notaris sebagai PPAT wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris

Pasal 19 ayat (2)  menentukan “Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris.”

Ada beberapa cataan yang hendak penulis kemukakan berkaitan dengan ketentuan ini:

1)           Pasal ini berlebihan karena sebenarnya di dalam pasal 17 ayat (1) huruf g telah mengatur larangan bagi Notaris untuk merangkap jabatan sebagai PPAT  di luar tempat kedudukan Notaris;
2)           Ketentuan ini tidak tepat karena mengatur perihal jabatan lain di luar notaris.Pasal ini mewajibkan PPAT  untuk mempunyai berkantor di kantor Notaris.

7.            Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk persekutuan
Pasal 20 menentukan:
“(1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.
(2) Bentuk persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 tersebut maka dengan demikian untuk Notaris yang hendak membentuk suatu persekutuan dapat langsung mengadakan hal tersebut tanpa perlu lagi menunggu persyaratan yang ditetapkan di dalam peraturan menteri. Notaris dapat membentuk persekutuan perdata di dalam menjalankan prakteknya dengan memperhatikan ketentuan mengenai pembentukan persekutuan perdata yang diatur di dalam KUHPerdata dan sekaligus memperhatikan rambu-rambu yang ada di dalam UUJN.

8.            Redaksi pasal 35 ayat 1 UUJN
Pasal 35 ayat 1 berbunyi:
” Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat keduawajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.”

Jika kita perhatikan bunyi redaksi pasal 35 ayat 1 UUJN tersebut seolah-olah ada kata atau kalimat yang hilang. Kenapa demikian coba kita lihat penggalan kalimat ini :“Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua...”. Siapa yang dimaksud dengan “keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua tersebut.
Sebelumnya di dalam UUJN Pasal 35 ayat 1 berbunyi: “Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda dua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.” Rupanya sebelumnya sudah disadari adanya kesalahan redaksi di dalam pasal 35 ayat (1) UUJN tersebut, hal mana pernah penulis sampaikan kepada salah seorang yang terlibat di dalam penyusunan UUJN pada saat pertama kali UUJN disahkan.

Namun ternyata perbaikan yang ada di dalam RUU juga tetap tidak membuat redaksi pasal tersebut dapat dipahami.

Berkaitan dengan redajsi tersebut menurut penulis seharusnya redaksi pasal tersebut berbunyi : Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah atau keluarga semenda Notaris sampai derajat kedua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.”

9.            Bahasa yang digunakan dalam pembuatan akta
Pasal 43 UUJN menentukan:

“(1)   Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2)    Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3)    Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4)    Dalam hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
(5)  Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, Akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah resmi.
(6)    Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Terhadap Pasal 43 ini saya mempunyai catatan sebagai berikut:

1)      Pasal ini tidak menentukan secar tegas bahwa akta wajib dibuat di dalam bahasa yang dimengerti oleh notaris. Hal tersebut berbeda dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 43 ayat (4) UUJN sebelumnya yang menentukan:” Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh notaris dan saksi ...”.Demikian juga di dalam Pasal 27 ayat (1) PJN yang mennetukan “ Akta dapat di buat dalam bahasa yang dikehandaki oleh para pihak, asal saja dimngerti oleh notaris”.Sudah seharusnya suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris wajib dibuat di dalam bahasa yang dimengerti oleh notaris. Bagaimana Notaris dapat mengetahui keinginan para pihak, bagaimana notaris mengetahui bahwa akta yang dibuatnya telah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para pihak jika notaris tidak mengerti bahsa yang digunakan di dalam pembuatan akta tersebut.
2)     Berdasarkan bunyi pasal 43 ayat (6) UUJN tersirat bahwa jika Notaris dibuat dalam bahasa lain selain bahsa Indonesia maka  akta notaris  tersebut dibuat dalam 2 (dua) bahasa (bilingual). Akan tetapi jika kita perhatikan bunyi pasal 43 ayat (6) yang menunjuk kepada pasal 43 ayat (2) maka kita lihat bahwa di dalam pasal 43 ayat (2) tidak terdapat ketentuan untuk membuat akta di dalam 2 (dua) bahasa. Pasal 43 ayat (2) menentukan:” Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.”Jadi pasal 43 ayat (2) hanya mewajibkan kepada notaris untuk menerjemahkan atau menjelaskan isi akta ybs kepada penghadap dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Tidak terdapat ketentuan adanya kewajiban untuk pembuatan akta dalam 2 (dua) bahasa.
10.       Pembetulan kesalahan pada akta
Pasal 51 UUJN menentukan:
(1)   Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
(2)   Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan.
(3)    Salinan Akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para pihak.
(4)    Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan suatuAkta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Kewenangan untuk melakukan pembetulan pada suatu akta akibat adanya kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta dapat dilakukan oleh notaris dengan membuat berita acara pembetulan. Namun terdapat perbedaan ketentuan yang diatur didalam UUJN sebelumnya dengan yang ada di dalam UUJN sekarang ini.
Di dalam UUJN yang lama pembetulan tersebut dapat dilakukan oleh Notaris tanpa perlu adanya kehadiran dari para penghadap. Namun sekarang kewenangan untuk melakukan pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan oleh notaris apabila pembetulan itu dilakukan dengan kehadiran penghadap.
Menurut penulis dengan adanya kewajiban hadirnya penghadap di dalam pelaksanaan pembetulan tersebut maka sebenarnya ketentuan ini sudah kehilangan maknanya, jadi sebenarnyab tidak perlu dimuat di dalam UUJN karena jika pembetulan tersebut harus dihadiri oleh penghadap maka pembetulan atau perbaikan tersebut tidak dilakukan oleh Notaris atapi dilakukan oleh penghadap dengan membuat akta perbaikan.

11.       Majelis Kehormatan Notaris

Di dalam UUJN sekarang ini terdapat satu lembaga baru yaitu Majelis Kehormatan Notaris. Namun sangat disayangkan di dalam pasal 1 UUJN  tidak disebutkan  apa yang dimaksud dengan Majelis Kehormatan tersebut, seperti pasal 1 menjelaskan lembaga-lembaga lainnya antara lain majelis pengawas. Mungkin hal ini merupakan kealfaan dari para perumus UUJN, sehingga seolah-olah lembaga baru ini hanya merupakan suatu tempelan belaka.

Adanya Majelis Kehormatan Notaris dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 66 ayat 1 UUJN dalam RUU yang menentukan:
“Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuanmajelis kehormatan Notaris berwenang:...”

Dan selanjutnya diatur di dalam pasal 66 A yang berbunyi:

“(1)   Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris.
(2)   Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur:
a.        Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
b.        Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
c.        ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diaturdengan Peraturan Menteri.”

Pasal-pasal tersebut tidak mengatur kewenangan apa yang dimiliki oleh MKN. Karena kewenangan MKN tidak diatur di dalam UU maka menurut saya sangat sulit bagi MKN ungtuk menjalankan tugasnya kelak yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri.
Demikian sedikit catatan dari saya, semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua.

Salam
Alwesius, S.H., M.Kn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar