BEBERAPA
CATATAN BERKAITAN DENGAN BEBERAPA KETENTUAN DALAM UUJN DAN PERUBAHANNYA
(REVISI)
Oleh:
Alwesius, S.H.,M.Kn
Sehubungan dengan
berlakunya Perubahan UUJN pada tanggal 17 Jnauari 2014 dengan ini saya hendak
memberikan beberapa catatan berkaitan dengan UUJN dan Perubahannya tersebut
untuk menjadi bahhan diskusi bagia kita Notaris dan pihak-pihak yang
berkomnpeten untruk menjadi masukan agar jabatan Notaris kedepannya dapat
kembali menjadi jabatan yang terhormat dan mulai. Asdapun catatan-catan
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Jangka
waktu Magang
Salah
satu syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah telah menjalani magang
atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling
singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor notaris setelah
lulus strata dua kenotariatan, demikian sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3
huruf f UUJN.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, berkaitan dengan magang tersebut maka ada 3 (tiga) hal yang
harus dipenuhi, yaitu:
a.
Jangka waktu magang adalah 24 (dua
puluh) empat bulan;
b.
Jangka waktu magang tersebut dihitung
mulai setelah seorang calon notaris
lulus strata dua kenotariatan;
c.
Jangka waktu magang tersebut harus
dijalankan oleh seorang calon notaris secara “berturut-turut”.
Ketiga
syarat tersebut harus dipenuhi barulah seorang calon notaris dapat dikalatakan
memenuhi syarat magang sebagaimana ditetapkan dalam UUJN.
Berbeda
dengan sebelumnya dimana masa magang hanya 12 (dua belas) bulan dengan berlakunya perubahan UUJN maka masa
magang menjadi 24 (dua puluh empat) bulan setelah seorang calon notaris lulus
strata dua kenotaritan dan masa magang tersebut tidak boleh terputus, harus
berturut-turut. Misalnya A telah magang pada kantor notaris X selama 1,5 tahun
pada tahun 2010 sampai tahun 2011, kemudia ya bekerja ditempat lain (bidang
lain) dan selanjutnya pada tahun 2013 ia kembali bekerja di kantor notaris
selama 1 tahun. Jika dilihat jumlahnya memang ia telah memenuhi syarat karena
telah mempunyai masa magang atau bekerja di kantor notaris selama 2, 5
tahun.Akan tetapi karena tidak dijalankan secara berturut-turut maka hal
tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan di dalam pasal 3 UUJN.
Berkaitan
dengan hal tersebut banyak timbul pertanyaan yang diajukan oleh para calon
notaris yang oleh karena belum memenuhi syarat tertentu misalnya belum
mengikuti SABH atau belum lulus ujian Kode Etik Notaris sehingga mengkibatkan
mereka terhambat untuk mengajukan permohonan pengangkatan sebagai notaris,
apakah bagi mereka ini jangka waktu magang yang berlaku 1 (satu) tahun atau 2
(dua) tahun ?
Berkaitan
dengan pertanyaan tersebut mari kita lihat ketentuan pasal 88 UUJN 9hasil
perubahan) yang menentukan:
“Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.
Pengajuan
permohonan sebagai Notaris yang sedang diproses, tetap diproses berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
b.
Masa magang yang
telah dijalani calon notaris tetap diperhitungkan berdasarkan persyaratan yang
diatur dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan
ketantuan Pasal 88 UUJN tersebut jelas bahwa proses pengkatan Notaris yang
telah diajukan sebelum berlakunya Perubahan UUJN tetap diproses berdasarkan
ketantuan yang lama akan tetapi khusus untuk masa magang tetap berlaku masa
magang yang telah ditentukan di dalam pasal 3 UUJN yaitu 2 (dua) tahun setelah calon Notaris ybs lulus dari strata
dua kenotariatan, tanpa ada pengecualian. Dengan demikian dengan berlakunya
Perubahan UUJN (17 Januari 2014) semua proses pengkatan yang belum diterbitkan
Sknya pada tanggal berlakunya Perubahan UUJN, harus memenuhi syarat masa magang
2 (dua) tahun tersebut dan untuk itu tidak dapat dibuat kebijakan pengangkatan
yang mengakomodir masa magang yang kurang dari 2 (dua) tahun setelah lulus
starat dua kenotariatan dengan alasan apapaun juga karena hal tersebut berrati
melanggar UU.
2.
Kewenangan
notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau membuat akta
risalah lelang
Pasal
15 ayat 1 UUJN sudah sangat jelas menentukan “Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan ...
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Jadi prinsipnya Notaris adalah merupakan satu-satunya pejabat umum yang
berwenanag untuk membuat semua akta otentik, kecuali undang-undang menetapkan
pejabat lain juga berwenanag untuk mebuat akta otentik yang bersangkutan atau
kecuali Undang-undang menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk membuat akta
otentik tersebut.
Berkaitan
dengan hal tersebut maka menurut penulis memasukan ketentuan Notaris berwenang
untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau membuat akta risalah
lelang di dalam pasal 15 ayat 2 huruf f
dan g UUJN adalah berlebihan atau mengurangi makna kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang kepada notaris untuk membuat akta otentik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 UUJN.
Memasukkan
ketentuan tersebut didalam pasal 15 ayat 2 huruf f dan g UUJN lebih menurut
penulis lebih bernuansa persaingan “kelompok” yang tergambar dari adanya kelompok yang pro dan
kontra berkaitan dengan penghapusan jabatan PPAT.
3.
Kewajiban
Notaris Untuk melekatkan surat atau dokumen pada Minuta Akta
Pasal
16 ayat (1) huruf c menentukan “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris
wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap
pada Minuta Akta;”
Pasal
ini demikian juga penjelasannya, tidak menjelaskan surat atau dokumen apa yang
dimaksud di dalamnya. Sepanjang berkaitan dengan surat kuasa di bawah tangan
maka hal tersebut telah diatur secara tegas di dalam Pasal 47 UUJN.
Dalam kesimpulan Rapat PP INI pada tanggal 15 Januari 2014, yang disampaikan oleh rekan
Habib Adji dikatakan “Pengertian surat dan dokumen adalah surat
dan dokumen yang berhubungan dengan identitas diri Penghadap;”
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya
surat atau dokumen yang wajib dilekatkan tersebut, yang dilekatkan itu asli
surat atau dokumen atau boleh fotokopinya. Pasal 16 ayat 1 huruf c tersebut
tidak menjelaskannya. Jika kita berpegang pada pengertian surat atau dokuemn
tentunya seharusnya yang wajib dilekatkan pada minuta akta ada asli
surat/dokumen bukan fotokopi dari surat/dokumen ybs.
Seandainya yang wajib dilekatkan pada
minuta akta tersebut adalah asli surat/dokumen maka kesimpulan yang diambil
dalam rapat PP INI tidak dapat diterapkan, karena tidak akan mungkin untuk
melekatkan dokumen yang berhubungan dengan identitas diri Penghadap seperti KTP
atau kartu Keluarga.
Sehubungan dengan hal tersebut maka
harus ada ketentuan lebih kanjut yang menjelaskan hal ini.
4.
Kewajiban
melekatkan sidik jari penghadap pada Minuta Akta
Pasal
16 ayat (1) huruf c menentukan “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris
wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta;”
Ketentuan
ini menurut penulis telah mengurangi hakekat notaris sebagai pejabat umum, yang
merupakan jabatan kepercayaan. Dengan
adanya kewajiban tersebut maka jelas terlihat bahwa pembentuk UU sudah tidak
mempercayai lagi notaris sebagai jabatan kepercayaan. Kata-kata atau keterangan
notaris yang menyebutkan adanya penghadap yang hadir dihadapan Notaris dengan
menggunakan kata-kata “Berhadapan dengan saya ... atau Hadir dihadapan
saya, ..... atau Menghadap kepada saya, .....” sudah tidak
dipercaya lagi, sudah kehilangan maknanya dan karenanya akta yang dibuat oleh
atau dihadapannya sebagai akta autentik juga sudah diragukan kekuatan
pembuktiannya sebagai alat bukti yang sempurna.
Adanya uraian penandatanganan oleh penghadap dihadapan saksi-saklsi dan
notaris pada akhir akta juga telah diragukan sehingga masih memerlukan bukti
kehadiran fisik penghadap dihadapan notaris dengan kewajiban melekatkan sidik
jari penghadap pada minuta akta notaris.
Namun
demikian oleh karena hal tersebut telah menjadi UU maka Notaris yang
berkewajiban untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai
bunyi sumpah jabatannya wajib mematuhi ketentuan tersebut.
Penulis
semula berpendapat bahwa kewajiban
notaris untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta wajib dilakukan oleh
Notaris apabila di dalam pembuatan suatu akta ada digunakan sidik jari.
Misalnya dalam hal penghadap tidak dapat menandatangani akta maka disamping surrogat
tandatangan apabila Notaris menggunakan sidik jari sebagai pelengkap untuk
menggantikan tandatangan penghadap maka sidik jari tersebut wajib dilekatkan
pada minuta akta. Namun kini sudah menjadi jelas bahwa kewajiban tersebut
berlaku untuk setiap pembuatan akta notaris yang dibuat dalam bentuk minuta
akta.
Selanjutnya
yang menjadi pertanyaan adalah sidik
jari yang mana yang wajib dilekatkan pada minuta akta tersebut, apakah sidik
jari tangan kanan dan tangan kiri atau sidik jari cap jempol kanan atau jempol
kiri atau sidik jari dari 3 (tiga) jari tengah.
Karena
belum ada peraturan yang jelas sehubungan dengan hal tersebut menurut penulis
hal tersebut dikembalikan saja kepada Notaris yang membuat akta tersebut,
karena pembutan akta merupakan tanggung jawab Notaris ybs. Notaris boleh saja menggunakan pedoman yang dihasilkan dalam
rapat INI yaitu dengan menggunakan cap
jempol kanan atau mengguankan cara lain.
Kemudian
apakah adanya pelekatan lembar sidik jari tersebut perliu diuraikan pada minuta
akta?
Menurut
penulis hal tersebut sangat diperlukan. Kenapa demikian? Hal tersebut tentunya
sangat berkaitan dengan latar belakang dibuatnya ketentuan tersebut. Kewajiban
melekatkan sidik jari tersebut untuk memperkuat pembuktian mengenai pembuatan
suatu akta agar penghadap tidak mudah lagi untuki membantah adanya pembautan
dan penandatanganan akta tersebut dihadapan Notaris . Jika ini latar
belakangnya maka untuk tercapainya maksud tersebut menurut penulis harus ada 4
(empat) hal yang harus dipastikan berkaitan dengan pelekatan sidik jari tersebut, yatiu:
1.
Sdik jari tersebut benar beralas dari
jari penghadap yang bersangkutan;
2.
Sidik jari tersebut bersumber langsung
dari jari tangan penghadap, dalam arti tidak melalui prantara media lainnya;
3.
Sidik jari tersebut diambil berkaitan
dengan pembuatan akta tertentu;
4.
Sidik jari tersebut diambil pada saat
mulai berlangsungnya proses pembuatan akta dan sebelum penandatangan akta.
Nah
siapa yang dapat menerangkan bahwa keempat hal tersebut telah dipenuhi.Tentunya
Notaris karena kewajiban pelekatan tersebut berlaitan dengan pembuatan akta
notaris. Keterangan tersebut menurut penulis akan menjadi alat bukti yang kuat
jika diterangkan didalam minuta akta, khususnya pada bagian akhir akta.
Memang
ada yang berpendapat hal tersebut tidak perlu diterangkan pada minuta akta, ya
semua kita kembalikan kepada rekan-rekan Notaris.
Sehubungan
dengan pendapat penulis tersebut, penulis telah membuat contoh akhir akta
sebagai mana diuraikan dibawah ini agar dapat mendapat masukan dari rekan-rekan
sekalin:
CONTOH
AKHIR AKTA DENGAN ADANYA KETENTUAN PASAL 16 AYAT 1 C UUJN
a)
CONTOH (PARA) PENGHADAP BISA TANDATANGAN AKTA
DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di .................., pada hari, tanggal, serta pada pukul
seperti disebutkan pada bagian
awal akta ini dengan dihadiri oleh:
1.
..........
2.............
- sebagai saksi-saksi.
- Segera setelah saya, Notaris
membacakan akta ini kepada para
penghadap dan saksi-saksi, dan para penghadap membubuhkan sidik
jari jempol kanannya pada lembaran tersendiri dihadapan saya, Notaris
dan saksi-saksi, yang dilekatkan pada minuta akta ini, maka seketika itu juga akta
ini ditandatangani oleh para
penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris;.
- Dilangsungkan dengan .....
b)
CONTOH
ADA PENGHADAP YANG TIDAK DAPAT MENANDATANGANI AKTA
DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di ...................., pada hari, tanggal, serta pada pukul
seperti disebutkan pada bagian
awal akta ini dengan dihadiri oleh:
1. ...................
2. .....................
- sebagai saksi-saksi.
- Segera setelah saya, Notaris
membacakan akta ini kepada para
penghadap dan saksi-saksi, dan para penghadap membubuhkan sidik
jari jempol kanannya. pada lembaran tersendiri dihadapan saya, Notaris
dan saksi-saksi, yang dilekatkan pada minuta akta ini maka akta ini ditandatangani oleh penghadap tuan ALI, saksi-saksi
dan saya, Notaris, sedangkan penghadap tuan HASAN menurut keterangannya ingin turut
menandatangani akta ini akan tetapi tidak dapat
menandatangani akta ini karena tangan kanannya keseleo;
- Dilangsungkan dengan ............
ATAU
DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di ...................., pada hari, tanggal, serta pada pukul
seperti disebutkan pada bagian
awal akta ini dengan dihadiri oleh:
1. ...................
2. .....................
- sebagai saksi-saksi.
- Segera setelah saya, Notaris
membacakan akta ini kepada para
penghadap dan saksi-saksi, dan para penghadap membubuhkan sidik
jari kem[ol kanannya pada lembaran tersendiri, yang dilekatkan pada
minuta akta ini maka
akta
ini ditandatangani oleh penghadap
tuan ALI, saksi-saksi
dan saya, Notaris, sedangkan penghadap tuan HASAN menurut keterangannya ingin turut
menandatangani akta ini akan tetapi tidak dapat
menandatangani akta ini karena tangan kanannya keseleo dan untuk itu
penghadap tuan HASAN membubuhkan cap ibu jari kirinya pada minuta akta ini
dihadapan saya, Notaris dan saksi-saksi;.
- Dilangsungkan dengan............
5.
Kewajiban
Notaris untuk membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri 4 (empat) orang
saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat dibawa tangan
Pasal
16 ayat (1) huruf m menentukan:
“Dalam menjalankan jabatannya,
Notaris wajib: m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri
oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus
untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan...”
Pasal
ini juga serta menimbulkan pertanyaan, apa makudnya, apakah notaris mempunyai
kewenangan membuat akta wasiat dibawah tangan? Bukankah setiap akta yang dibuat
oleh atau dihadapan notaris merupakan akta otentik.Akta yang mana yang dibuat
oleh atau dihadapan notaris tapi kedudukannya hanya sebagi akta dibawah tangan
selain akta-akta yang tidak memenuhi sayarat otentisitas atau akta-akta yang
pembuatannya melanggar ketentuan pasal tertentu dalam UUJN sehingga hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta yang dibuat di bawah tangan.
Jika
melihat redaksi pasal 16 ayat (1) huruf m tersebut dimana kehadiran 4 (empat)
orang saksi dikaitkan dengan akta wasiat, menurut saya sebenarnya maksud dari
pembuatan UU bukanlan pembuatan akta wasiat dibawah tangan akan tetapi pembuatann
akta pengalamatan surat wasiat rahasia (acte van supersciptie) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 940 KUHPerdata.Pasal 940 KUHPerdata menentukan bahwa dalam
pembuatan surat wasiat tertutup atau rahasia, surat wasiat tersebut diserahkan
kepada notaris dan kemudian Notaris membuat akta penyimpanan surat wasiat
tersebut dengan dihadiri oleh 4 (empat) orang saksi. Inilah yang munghkin
dimaksud oleh pembuat UU. Menurut saya terdapat kekeliruan redaksi di dalam
pasal 16 ayat 1 huruf m tersebut, yang seharusnya bisa diperbaiki sebelum UU
tersebut disahkan.Kekeliruhan tersebut hisa terjadi karena mereke terburu-buru
di dalam merumuskan pasal tersebut atau kurang paham terhadap masalah pembuatan
surat wasiat.
6.
Tempat
kedudukan Notaris sebagai PPAT wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris
Pasal
19 ayat (2) menentukan “Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris.”
Ada
beberapa cataan yang hendak penulis kemukakan berkaitan dengan ketentuan ini:
1)
Pasal ini berlebihan karena sebenarnya
di dalam pasal 17 ayat (1) huruf g telah mengatur larangan bagi Notaris untuk
merangkap jabatan sebagai PPAT di luar tempat kedudukan Notaris;
2)
Ketentuan ini tidak tepat karena
mengatur perihal jabatan lain di luar notaris.Pasal ini mewajibkan PPAT
untuk mempunyai berkantor di kantor Notaris.
7.
Notaris
dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk persekutuan
Pasal
20 menentukan:
“(1) Notaris dapat menjalankan
jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan
kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.
(2) Bentuk
persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan
ketentuan Pasal 20 tersebut maka dengan demikian untuk Notaris yang hendak
membentuk suatu persekutuan dapat langsung mengadakan hal tersebut tanpa perlu
lagi menunggu persyaratan yang ditetapkan di dalam peraturan menteri. Notaris
dapat membentuk persekutuan perdata di dalam menjalankan prakteknya dengan
memperhatikan ketentuan mengenai pembentukan persekutuan perdata yang diatur di
dalam KUHPerdata dan sekaligus memperhatikan rambu-rambu yang ada di dalam
UUJN.
8.
Redaksi
pasal 35 ayat 1 UUJN
Pasal
35 ayat 1 berbunyi:
” Apabila Notaris meninggal
dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan
semenda sampai derajat keduawajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas
Daerah.”
Jika
kita perhatikan bunyi redaksi pasal 35 ayat 1 UUJN tersebut seolah-olah ada
kata atau kalimat yang hilang. Kenapa demikian coba kita lihat penggalan
kalimat ini :“Apabila Notaris meninggal
dunia, suami/istri atau keluarga
sedarah dalam garis lurus keturunan
semenda sampai derajat kedua...”. Siapa yang dimaksud dengan
“keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua
tersebut.
Sebelumnya
di dalam UUJN Pasal 35 ayat 1 berbunyi: “Apabila Notaris meninggal dunia,
suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda
dua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.” Rupanya
sebelumnya sudah disadari adanya kesalahan redaksi di dalam pasal 35 ayat (1)
UUJN tersebut, hal mana pernah penulis sampaikan kepada salah seorang yang
terlibat di dalam penyusunan UUJN pada saat pertama kali UUJN disahkan.
Namun
ternyata perbaikan yang ada di dalam RUU juga tetap tidak membuat redaksi pasal
tersebut dapat dipahami.
Berkaitan
dengan redajsi tersebut menurut penulis seharusnya redaksi pasal tersebut
berbunyi : Apabila Notaris meninggal
dunia, suami/istri atau keluarga sedarah atau
keluarga semenda Notaris sampai derajat kedua wajib
memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.”
9.
Bahasa
yang digunakan dalam pembuatan akta
Pasal
43 UUJN menentukan:
“(1) Akta
wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam
hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta,
Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa
yang dimengerti oleh penghadap.
(3) Jika
para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4) Dalam
hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
(5) Apabila
Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, Akta tersebut
diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah resmi.
(6) Dalam
hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Terhadap
Pasal 43 ini saya mempunyai catatan sebagai berikut:
1) Pasal
ini tidak menentukan secar tegas bahwa akta wajib dibuat di dalam bahasa yang
dimengerti oleh notaris. Hal tersebut berbeda dengan apa yang ditentukan di
dalam Pasal 43 ayat (4) UUJN sebelumnya yang menentukan:” Akta dapat dibuat
dalam bahasa lain yang dipahami oleh notaris dan saksi ...”.Demikian juga di
dalam Pasal 27 ayat (1) PJN yang mennetukan “ Akta dapat di buat dalam bahasa yang dikehandaki oleh para pihak, asal
saja dimngerti oleh notaris”.Sudah seharusnya suatu akta yang dibuat oleh
atau dihadapan notaris wajib dibuat di dalam bahasa yang dimengerti oleh
notaris. Bagaimana Notaris dapat mengetahui keinginan para pihak, bagaimana
notaris mengetahui bahwa akta yang dibuatnya telah sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh para pihak jika notaris tidak mengerti bahsa yang digunakan di
dalam pembuatan akta tersebut.
2) Berdasarkan
bunyi pasal 43 ayat (6) UUJN tersirat bahwa jika Notaris dibuat dalam bahasa
lain selain bahsa Indonesia maka akta notaris tersebut dibuat dalam
2 (dua) bahasa (bilingual). Akan tetapi jika kita perhatikan bunyi pasal 43
ayat (6) yang menunjuk kepada pasal 43 ayat (2) maka kita lihat bahwa di dalam
pasal 43 ayat (2) tidak terdapat ketentuan untuk membuat akta di dalam 2 (dua)
bahasa. Pasal 43 ayat (2) menentukan:” Dalam hal penghadap tidak mengerti
bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau
menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.”Jadi
pasal 43 ayat (2) hanya mewajibkan kepada notaris untuk menerjemahkan atau
menjelaskan isi akta ybs kepada penghadap dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap. Tidak terdapat ketentuan adanya kewajiban untuk pembuatan akta dalam
2 (dua) bahasa.
10.
Pembetulan
kesalahan pada akta
Pasal
51 UUJN menentukan:
(1) Notaris
berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang
terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
(2) Pembetulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap,
saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan
catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal
dan nomor Akta berita acara pembetulan.
(3) Salinan Akta
berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para
pihak.
(4) Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan suatuAkta
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Kewenangan
untuk melakukan pembetulan pada suatu akta akibat adanya kesalahan tulis
dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta dapat dilakukan oleh
notaris dengan membuat berita acara pembetulan. Namun terdapat perbedaan
ketentuan yang diatur didalam UUJN sebelumnya dengan yang ada di dalam UUJN sekarang
ini.
Di
dalam UUJN yang lama pembetulan tersebut dapat dilakukan oleh Notaris tanpa
perlu adanya kehadiran dari para penghadap. Namun sekarang kewenangan untuk
melakukan pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan oleh notaris apabila
pembetulan itu dilakukan dengan kehadiran penghadap.
Menurut
penulis dengan adanya kewajiban hadirnya penghadap di dalam pelaksanaan
pembetulan tersebut maka sebenarnya ketentuan ini sudah kehilangan maknanya,
jadi sebenarnyab tidak perlu dimuat di dalam UUJN karena jika pembetulan
tersebut harus dihadiri oleh penghadap maka pembetulan atau perbaikan tersebut
tidak dilakukan oleh Notaris atapi dilakukan oleh penghadap dengan membuat akta
perbaikan.
11.
Majelis
Kehormatan Notaris
Di
dalam UUJN sekarang ini terdapat satu lembaga baru yaitu Majelis Kehormatan
Notaris. Namun sangat disayangkan di dalam pasal 1 UUJN tidak disebutkan apa yang dimaksud
dengan Majelis Kehormatan tersebut, seperti pasal 1 menjelaskan lembaga-lembaga
lainnya antara lain majelis pengawas. Mungkin hal ini merupakan kealfaan dari
para perumus UUJN, sehingga seolah-olah lembaga baru ini hanya merupakan suatu
tempelan belaka.
Adanya
Majelis Kehormatan Notaris dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 66 ayat 1
UUJN dalam RUU yang menentukan:
“Untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuanmajelis kehormatan Notaris berwenang:...”
Dan
selanjutnya diatur di dalam pasal 66 A yang berbunyi:
“(1) Dalam
melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris.
(2) Majelis kehormatan
Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur:
a. Notaris
sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Pemerintah
sebanyak 2 (dua) orang; dan
c. ahli
atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan
dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran
majelis kehormatan Notaris diaturdengan Peraturan Menteri.”
Pasal-pasal
tersebut tidak mengatur kewenangan apa yang dimiliki oleh MKN. Karena
kewenangan MKN tidak diatur di dalam UU maka menurut saya sangat sulit bagi MKN
ungtuk menjalankan tugasnya kelak yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri.
Demikian sedikit catatan
dari saya, semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua.
Salam
Alwesius, S.H., M.Kn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar