BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN RUU TENTANG PERUBAHAN
ATAS UUJN
Oleh: Alwesius, S.H.,M.Kn
Pada tanggal 17 Desember 2013 Rapat paripurna DPR telah menyetujui
RUU Tentang Perubahan UU No. 30 tahun 2004 tengtang Jabatan Notaris. Rancangan
UU ini merupakan hak inisiatif DPR. Berkaitan dengan hal tersebut maka dengan
ini saya hendak memberikan beberapa catatan berkaitan dengan RUU tersebut sebagai
berikut:
1.
Kewajiban Notaris Untuk melekatkan sidik jari penghadap pada
Minuta Akta
Pasal 16 ayat (1) huruf c menentukan “Dalam menjalankan jabatannya,
Notaris wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;”
Ketentuan ini serta menimbulkan pertanyaan bagi
kita Notaris, apakah maksud dari ketentuan ini. Apakah dengan adanya ketentuan
tersebut berarti bahwa dalam setiap pembuatan akta dalam bentuk minuta akta
maka Notaris wajib meminta sidik jari dari semua penghadap dan sidik jari
tersebut dilekatkan pada minuta akta atau bagaimana.Adanya pertanayan tersebut
karena penjelasan RUU tersebut tidak memberikan penjelasan terhadap hal
tersebut.
Ada yang berpendapat demikian yaitu setiapa
pembuatan akta dalam bentuk minuta maka Notaris wajib meminta sidik jari para
penghadap dan melekatkannya pada minuta akta dan ada pula yang berpendapat
tidak demikian, Notaris tidak wajib meminta kepsada penghadap untuk meberikan
sidik jarinya dan kemudian dilekatkan pada minuta akta. Pendapat yang kedua ini
didasaekan pada ketentuan pasal 44 UUJN yang tidak mewajibkan bagi notaris
untuk meminta membubuhkan sidik jarinya disampinbg kewajibna untuk membubuhkan
tandatangannya.
Saya lebih setuju dengan pendapat yang kedua ini,
disamping memng pasal 44 UUJN tidak mewajibkan hal; tersebut, juga berdasarkan
bunyi pasal 16 ayat 1 huruf c UUJN tersebut. Pasal 16 ayat 1 UUJN menempatkan
kewajiban untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta satu nafas dengan
kewajiban untuk melekatkan surat dan dokuemn. Kewajiban untuk melekatkan surat
dan dokumen pada minuta akta wajib dilakukan apabila memng ada surat atau
dokumen yang dijadikan dasar untuk pembjuatan akta. Sehubungan dengan hal
tersebjut maka menurut saya demikian juga yang berlaku bagi “sidik jari”. Kewajiban untuk melekatkan sidik
jari pada minuta akta wajib dilakukan oleh Notaris apabila di dalam pembuatan
suatu akta ada digunakan sidik jari. Misalnya dalam hal penghadap tidak dapat
menandatangani akta maka disamping surrogat tandatangan apabila Notaris menggunakan
sidik jari sebagai pelngkap untuk menggantikan tandatangan penghadap maka sidik
jari tersebut wajib dilekatkan pada minuta akta, apakah dengan membubuhi ibu
jari kiri penghadap pada minuta akta atau menempelkan sdidik jari penghadap
pada lembar tersendiri dan kemudian dilekatkan pada minuta akta.
2.
Kewajiban Notaris untuk membackan Akta dihadapan
penghadap dengan dihadiri 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta
wasiat dibawa tangan
Pasal 16 ayat (1) huruf m menentukan: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri
oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus
untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan...”
Pasal ini juga serta menimbulkan pertanyaan, apakah
disamping berwenang, Notaris juga berwenag untuk membuat akta dibawah tangan,
bukankah setiap akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris merupakan akta
otentik.Akta yang mana yang dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi
kedudukannya hanya sebagi akta dibawah tangan selain akt-akatb yng tidak
memenuhi sayarat otentisitas atau akta-akta yang pembuatannya melaqnggar
ketentuan pasal tertentu dalam UUJN sehingga hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagi akta yang dibuat di bawah tangan.
Jika melihat redaksi pasal 16 ayat (1) huruf m
tersebut dimana kehadiran 4 (empat) orang saksi dikaitkan dengan akta wasiat,
menurut saya sebenarnya maksud dari pembuatan UU bgukanlan pembuatan akta
wasiat dibawah tangan akan tetapi pembjatan akta penyimpanan surat wasiar
rahasia (acte van supersciptie) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 940
KUHPerdata.Pasal 940 KUHPerdata menentukan bahwa dalam pembuatan surat wasiat
tertutup atau rahasia, surat wasiat tersebut diserahkan kepada notaris dan
kemudian Notaris membuat akta penyimpanan surat wasiat tersebut dengan dihadiri
oleh 4 (empat) orang saksi. Inilah yang munghkin dimaksud oleh pembuat UU. Menurut
saya terdapat kekeliruan redaksi di dalam pasal 16 ayat 1 huruf m tersebut,
yang seharusnya bisa diperbaiki sebelum UU tersebut disahkan.Kekeliruhan
tersebut hisa terjadi karena mereke terburu-buru di dalam merumuskan pasal
tersebut atau kurang paham terhadap masalah pembuatan surat wasiat.
3.
Tempat kedudukan Notaris sebagai PPAT wajib mengikuti
tempat kedudukan
Notaris
Pasal 19 ayat (2) di dalam RUU menentukan “Tempat
kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat
kedudukan Notaris.”
Ada beberapa cataan yang hendak saya kemukakan
berkaitan dengan ketentuan ini:
1)
Pasal ini berlebihan karena
sebenarnya di dalam pasal 17 ayat (1) huruf g telah mengatur larangan bagi
Notaris untuk merangkap jabatan sebagai PPAT di luar tempat kedudukan Notaris;
2)
Ketentuan ini tidak tepat
karena mengatur perihal jabatan lain di luar notaris.Pasal ini mewajibkan PPAT untuk mempunyai berkantor di kantor Notaris.
3)
Redaksi pasal ini juga kurang
tepat dengan menyatakan “... Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta tanah..”. Jabatan
Notaris dan Pejabat Pembuat Akta tanah adalah dua jabatan yang terpisah
sekalipun dapat dijabat oleh orang yang sama sekaligus (rangkap jabatan).
4.
Notaris dapat
menjalankan jabatnnya dalam bentuk persekutuan
Pasal 20 di dalam RUU menentukan:
“(1) Notaris dapat menjalankan
jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan
ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.
(2) Bentuk persekutuan perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 tersebut maka dengan
demikian untuk Nlotaris yang henadk membentuk suatu persekutuan dapat langsung
mengadakan hal tersebut tanpa perlu lagi menunggu persyaratan yang ditetapkan
di dalam peraturan menteri. Notaris dapat membentuk persekutuan perdata di
dalam menjalankan prakteknya dengan memperhatikan ketentuan mengenai
pembentukan persekutuan perdata yang diatur di dalam KUHPerdata dan sekaligus
memperhatikan rambu-rambu yang ada di dalam UUJN.
5.
Redaksi pasal 35 ayat 1 UUJN
Pasal 35 ayat 1 dalam RUU berbunyi:” Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis
lurus keturunan semenda sampai derajat kedua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas
Daerah.”
Jika kita perhatikan bunyi redaksi pasal 35 ayat 1
UUJN tersebut seolah-olah ada kata atau kalimat yang hilang. Kenapa demikian coba
kita lihat penggalan kalimat ini : “Apabila
Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan
semenda sampai derajat kedua...”. Siapa yang dimaksud dengan “keluarga sedarah dalam garis
lurus keturunan semenda sampai derajat kedua tersebut.
Sebelumnya di dalam UUJN Pasal 35 ayat 1 berbunyi: “Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis
lurus keturunan semenda dua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas
Daerah.” Rupanya sebelumnya sudah disadari adanay kesalah
redaksi di dalam pasal 35 ayat (1) UUJN tersebut, hal mana pernah saya
sampaikan kepada salah seorang yang terlibat di dalam penyususnan UUJN pada
saat pertama kali UUJN disahkan.
Namun ternyat perbaikan yang ada di dalam RUU juga
tetap tidak membuat redaksi pasal tersebut dapat dipahami.
Berkaitan dengan redajsi tersebut menurut say
seharusnya redaksi pasal tersebut berbunyi : Apabila
Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah atau keluarga semenda Notaris sampai derajat kedua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas
Daerah.”
6.
Bahasa yang
digunakan dalam pembuatan akta
Pasal 43 di dalam RUU menentukan:
(1)
Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia .
(2)
Dalam hal penghadap
tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta,
Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi Akta itu
dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3) Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat
dalam bahasa asing.
(4)
Dalam hal Akta dibuat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia .
(5)
Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, Akta
tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah
resmi.
(6)
Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.
Terhadap Pasal 43 ini saya mempunyai catatan
sebagai berikut:
1)
Pasal ini tidak menentukan
secar tegas bahwa akta wajib dibuat di dalam bahasa yang dimengerti oleh
notaris. Hal tersebut berbeda dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 43 ayat
(4) yang menentukan:” Akta dapat dibuat dalam bahsa lain yang dipahami oleh
notaris dan saksi ...”.Demikian juga di dalam Pasal 27 ayat (1) PJN yang
mennetukan “ Akta dapat di buat dalam bahasa yang dikehandaki oleh para pihak,
asal saja dimngerti oleh notaris”.Sudah seharusnya suatu akta yang dibuat oleh
atau dihadapan notaris wajib dibuat didalam bahasa yang dimengerti oleh
notaris. Bagaimana Notaris dapat mengetahui keinginanpara pihak, bagaimana
notaris mengetahui bahwa akta yang dibautnya telah sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh para pihak jika notaris tidak mengerti bahsa yang digunakan di
dalam pembuatan akta tersebut.
2)
Berdasarkan bunyi pasal 43
ayat (6) RUU tersirat bahwa jika Notaris dibuat dalam bahasa lain selain bahsa
Indonesia maka akta notaris tersebut dibuat dalam 2 (dua) bahasa (bilingual).
Akan tetapi jika kita perhatikan bunyi pasal 43 ayat (6) yang menunjuk kepada
pasal 43 ayat (2) maka kita lihat bahwa di dalam pasal 43 ayat (2) tidak
terdapat ketentuan untuk membuat akta di dalam 2 (dua) bahasa. Pasal 43 ayat (2)
menentukan:” Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan
isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.”Jadi
pasal 43 ayat (2) hanya mewajibkan kepada notaris untuk menerjemahkan atau
menjelaskan isi akta ybs kepada penghadap dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap. Tidak terdapat ketentuan adanya kewajiban untuk pembuatan akta dalam
2 (dua) bahasa.
7.
Pembetulan kesalahan pada akta
Pasal 51 di dalam RUU menentukan:
(1)
Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan
ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
(2)
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang
hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan.
(3)
Salinan Akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib disampaikan kepada para pihak.
(4)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada
Notaris.
Kewenangan untuk melakukan pembetulan pada suatu
akta akibat adanya kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada
minuta akta dapat dilakukan oleh notaris dengam membuat berita acar pembetulam.
Namun terdapat perbedaan ketentuan yang diatur didalam UUJN dengan yang ada di
dalam RUU.
Di dalam UUJN pembetulan tersebut dapat dilakukan
oleh Notaris tanpa perlu adanya kehadiran dari para penghadap. Namun di dalam
RUU kewenangan untuk melakukan pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan oleh
notaris apanila pembetulan itu dilakukan dengan kehadiran penghadap.
Terhadap ketentuan ini saya mempunyai catatan
sebagai berikut:
1)
Pasal 51 ayat 2 RUU menentukan
:” Pembetulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang
hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan.” Adanya ketentuan yang menyatakan bahwa “Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara ...” seolah-olah
menunjukkan bahwa pembetulan itu bukan dilakukan oleh Notaris akan tetapi
dilakukan oleh pihak lain dihadapan penghadap, saksi dan Notaris.
2)
Pasal 51 tidak menyebutkan
siap yang wajib menandatangani akta berita acara tersebut, apakah akta tersebut
ditandatangabni oelh notarius dan saksi-saksi saja atau ditandatangani penghadap,
saksi dan notaris.
3)
Dengan adanya kewajiban
hadirnya penghadap di dalam pelaksanaan pembetulan tersebut maka sebenarnya
ketentuan ini sudah kehilangan maknanya, jadi sebenarnyab tidak perlu dimuat di
dalam UUJN karena jika pembetulan tersebut harus dihadiri oleh penghadap maka pembetulan
atau perbaikan tersebut tidak dilakukan oleh Notaris atapi dilakukan oleh
penghadap dengan membuat akta perbaikan.
8.
Majelis Kehormatan
Notaris
Di dalam RUU terdapat satu lembaga baru yaitu Majelis
Kehornatan Notaris. Namun sangat disayangkan di dalam pasal 1 UUJN di dalam RUU
tidak disebutkan apoa yang dimaksud
dengan Majerlis Kehornatan tersebut, seperti pasal 1 menjelaskan
lembaga-lembaga lainnya antara lain majelis pengawas. Mungkin hal ini merupakan
kealfaan dari para perumus RUU, sehingga seolah-olah lembaga baru ini hanya
merupakan suatu tempelan belaka.
Adanya Majelis Kehormatan Notaris daqpat dilihat di
dalam ketentuan Pasal 66 ayat 1 UUJN dalam RUU yang menentukan:
“Untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:...”
Dan selanjutnya diatur di dalam pasal 66 A yang berbunyi:
(1)
Dalam melaksanakan pembinaan,
Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris.
(2)
Majelis kehormatan
Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur:
a.
Notaris
sebanyak 3 (tiga) orang;
b.
Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
c.
ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan
dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.”
Pasal-pasal tersebut tidak mengatur kewenangan apa
yang dimiliki oleh MKN. Karena kewenangan MKN tidak diatur di dalam UU maka
menurut saya sangat sulit bagi MKN ungtuk menjalankan tugasnya kelak yang
diatur berdasarkan Peraturan Menteri.
9.
Pengaturan sanski atas pelanggaran ketentuan di dalam
UUJN
Pengaturan sanksi terhadap pelanggaran yang ada di
dalam UUJN sudah cukup lengkap akan tetapi penempatan ketentuan-ketentuan
mengenai sanksi tersebut kurang dilihat dari sistimatika pembautan UU.
Ada sanksi yang diatur di dalam ayat-ayat pasal-pasal
UUJN yang bersangkutan seperti ayat (2) Pasal 7, ayat (11) pasal 16, ayat (2)
pasal 17 dan ada sanksi yang diatur dalam pasal tersendiri dengan menunjuk
pasal yang dilanggar, seperti sansk terhadap pelanggaran pasal 58 dan 59 UUJN
yang diatur di dalam pasal 65 A.
Menurut saya alangkah lebih baik jika sanksi
tersebut diatur didalam pasal tersendir dengan menyebutkan pasal-pasal yang dilanggar,
dengan mengelompokkannya sesuai jenis sanksinya.
Misalnya pelanggaran yang mengakibatkan akta notaris
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sepeti akta yang dibuat dibawah tangan dikelompokkan dalam pasal tersendiri dengan
menyebutkan pasal-pasal yang bersangkutan,
demikian juga pelanggaran yang mengakibatkan dikenakannya sanksi administratif
berupa peringatan tertulsi sanpai dengan pemberhentian dengan tidak hormat dikelompokkan
dalam pasal tersendiri dengan menyebutkan pasal-pasal yng bnesangkutan.
Demikian sedikit catan dari saya, semoga dapat menjadi
masukan bagi kita semua.
Salam
Alwesius, S.H., M.Kn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar