Laman

Minggu, 27 Desember 2009

SUAMI MENINGGAL DUNIA DAN TANAH WARISAN YANG DITINGGALKAN TERDAFTAR ATAS NAMA ISTERI

Tanah yang merupakan harta bersama, sertipikatnya dapat terdaftar atas nama suami atau atas nama isteri. Jadi yang harus diketahui, sepanjang menyangkut tanah yang merupakan harta bersama atau harta gono gini terdaftaranya tanah tersebut atas nama suami atau atas nama isteri tidak menunjukan tanah tersebut merupakan milik suami atau isteri atas nama siapa tanah tersebut terdaftar. Jadi walaupun tanah tersebut terdaftar atas nama suami saja atau atas nama isteri saja, tanah tersebut merupakan milik bersama suami-isteri. Jadi seandainya salah seorang diantara mereka meninggal dunia maka  tanah tersebut dibagi dua yaitu 1/2 (setengah) bagian menjadi hak bagian suami/isteri yang masih hidup (karena kedudukannya sebagai suami atau sebagai isteri yang berhak atas harta bersama) dan 1/2 (setengah) bagian yang lain menjadi hak bagian isteri/suami  yang meninggal dan demi hukum beralih atau menjadi hak bagian para ahli waris suami atau isteri yang meninggal dunia (siapa-siapa yang menjadi ahli waris tergantung hukum mana yang berlaku bagi Pewaris). Dalam pembagian warisan ini, jika pembagian warisan tersebut dibagi menurut KUHPerdata atau Hukum Islam maka isteri atau suami yang masih hidup akan memperoleh bagian selaku ahli waris.
Misalnya A meninggal dunia., meninggalkan isteri (B) dan dua orang anak laki-laki (C dan D). dan meninggalkan harta warisan sebidang tanah dan bangunan senilai R. 1.200.000.000.-, yang merupakan harta bersama.
Jika berlaku KUHPerdata maka pembagiannya adalah harta bersama tersebut dibagi dua yaitu 1/2 (setengah) bagian untuk B (selaku isteri karena hukum perkawinan) dan 1/2 (setengah) bagian untuk A dan bagian A tersebut menjadi harta warisan A serta dibagikan kepada Isterinya (B) dan anak-anaknya C dan D, masing-masing memperoleh 1/3 x 1/2 = 1/6  bagian.Jadi dari harta bersama tersebut B memperoleh 1/2 + 1/6 = 4/6  bagian, sedangkan C dan D masing-masing memperoleh 1/6  bagian.
Jika berlaku Hukum Islam maka pembagiannya menjadi harta bersama tersebut dibagi dua yaitu 1/2 (setengah) bagian untuk B (selaku isteri karena hukum perkawinan) dan 1/2 (setengah) bagian untuk A dan menjadi harta warisan A serta dibagikan kepada B sebesar 1/8 x 1/2 = 1/16  bagian. Sisa 1/2 - 1/16 = 7/16 bagian untuk C dan D masing-masing sebesar 7/16 : 2 = 7/32  bagian. Jadi dari harta bersama tersebut B memperoleh 1/2 + 1/16 = 18/32 bagian, sedangkan C dan D masing-masing memperoleh 7/32 bagian.  
Berkaitan dengan hal tersebut maka apabila sertipikat tanah yang merupakan harta bersama tersebut   ternyata terdaftar atas nama B maka dengan meninggalnya A maka tanah dan bangunan tersebut sekarang menjadi milik bersama isteri A (B) dan anak-anaknya yaitu C dan D, sekalipun sertipikatnya terdaftar atas nama B.
Sehubungan dengan hal tersebut maka jika hendak dilakukan pemindahan hak atas tanah dan bangunan tersebut atau jika tanah tersebut hendak dijadikan jaminan hutang harus dilakukan oleh B dengan persetujuan anak-anaknya yaitu C dan D.
Ketentuan yang sama berlaku juga jika harta bersama terdaftar atas nama suami dan yang meninggal dunia adalah pihak isteri.

Salam
Alwesius,SH,MKn.

HIBAH TANAH KEPADA SALAH SEORANG ANAK, APAKAH PERLU PERSETUJUAN ANAK-ANAK YANG LAIN

Dalam praktek sering kita jumpai pemberian hibah tanah dari orang tua kepada anak-anaknya atau salah seorang anaknya. Hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si Pemberi Hibah, semasa hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak da[at ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si Penerima Hibah yang menerima penyerahan itu (Pasal 1666 KUHPerdata).  Hibah hanya dapat dilakukan atas benad-benada yang sudah ada, jika menyangkut benda yang baru akan ada dikemudian hari maka hibah tersebut batal (Pasal 1667 KUHPerdata).
Sesuai asas hukum yang berlaku maka pemberian hibah hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berhak atas benda yang dihibahkan dan ia cakap untuk melakukan perbuatan hukum tersebut. Jika harta yang dihibahkan menyangkut harta bersama atau harta gono gini maka pemebrian hibah yang bersangkutan harus disetujui oleh  isteri atau suami dari pihak yang menghibahkan (Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan).
Berkaitan dengan judul tulisan ini maka jika orang tua memberikan hibah kepada salah seorang anaknya, pada prinsipnya tidak diperlukan adanya persetujuan dari anak-anak yang lainnya. Karena orang tua tersebut bebas untuk melakukan perbuatan hukum berupa apapun juga terhadap harta kekayaannya, termasuk memberikan hibah kepada anaknya. Namun demikian pemberian hibah dapat berkaitan dengan masalah pewarisan dan masalah lainnya. Seseuai ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata, dalam suartu pembagian warisan, apabila terdapat anak-anak yang telah menerima hibah maka hibah tersebut  wajib dimasukan (di-inbreng) ke dalam boedel, jadi turut dihitung sebagai bagian dari harta kekayaan (Pasal 1086 KUHPerdata) dan dalam hal tidak terdapat kewajiban inbreng karena dinyatakan demikian oleh UU atau Pemberi Hibah maka jika ada anak-anak yang menuntut bagian mutlaknya maka hibah tersebut turut dihitung untuk menghitung bagiam mutlak dan ada kemungkinan dilakukan inkorting (pemotongan/engembalian ke dalam boedel)  atas hibah  tersebut (Pasal 921 KUHPerdata). Disamping  ketentuan nyang terdapat dalam KUHPerdata, dalam hukum Islam, pemberian hibah dapat diperhitungkan sebagai waeisan (Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam). Hal yang sama juga berlaku dalam hukum adat tertentu, misalnya di Jawa.Hal ini memeungkinkan adanya tuntutan-tuntutan di kemudian hari berkaitan dengan hibah yang bersangkutan. 
Disamping berkaitan dengan masalah pewarisan sebagaimana tersebut di atas, pemberian hibah juga menyangkut masalah sosial, yang kemungkinan akan menimbulkan sengketa diantara  orang tua dengan anak-anak yang tidak memperoleh hibah atau sengketa antara anak yang memperoleh hibah dengan yang tidak memperoleh hibah.
Jadi jelas dalam suatu pemberian hibah adanya kemungkinan timbulnya tuntutan atau sengketa berkaitan dengan pemberian hibah tersebut di kemudian hari. Sehubungan  dengan hal tersebut maka walaupun secara yuridis formal tidak ada kewajiban dalam hal orang tua memberi hibah kepada salah seorang anaknya  harus memperoleh persetujuan dari anak-anak yang lain namun persetujuan tersebut sebaiknya diminta, khusunya oleh Notaris atau PPAT yang akan membuat akta berkaitan dengan pembuatan hibah tersebut.


Salam
Alwesius,SH,MKn.


"Kelompok Belajar "INP" mengadakan Bimbel / Pelatihan / Tentiu Ujian masuk Program Magister Kenotariatan UI/ Pasca Sarjana UI  dan Ujian PPAT , hubungi  Alwesius,SH.MKn, HP : 0815 - 8825 - 748. Email:  alwesius_notaris@yahoo.co.id   ,   alwesius@gmail.com. "

Sabtu, 26 Desember 2009

PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PERSEROAN TERBATAS

Pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan merupakan kewenangan penuh dari  RUPS. 


Dalam hal para pemegang saham merasa cukup alasan untuk melakukan pemberhentian anggota Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan maka hal tersebut dapat mereka lakukan sewaktu-waktu dalam RUPS yang bertujuan untuk melakukan hal tersebut, dengan memperhatikan ketentuan y6ang ditetapkan dalam UU No. 40  tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan yang bersangkutan .


Ketentuan yang berlaku untuk melakukan pemberhentian seorang tenaga kerja/buruh sebagaimana diatur dalam UU dibidang Tenaga Kerja maupun praturan lainnya yang berkaitan dengan tenaga kerja/buruh tidak berlaku bagi pemberhentian terhadap anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan.


RUPS tersebut  dihadiri atau diwakili  lebih dari setengah dari   jumlah saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan atau jumlah lain yang lebih besar yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar PT, dengan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai  maka keputusan adalah ssah jika disetujui lebih dari setengah jumlah saham yang hadir atau diwakili yang mempunyai hak suara yang sah. kecuali Anggaran Dasar menentukan keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara yang setuju lebih banyak. (Pasal 94 ayat 1 / 111 ayat 1 jo  86 dan 87 UUPT ).

Saat mulai berlakunya pengangkatan dan pemberhentian tersebut ditetapkan dalam RUPS. Dalam hal RUPS tidak menetapkan maka keputusan mengenai pengangkatan dan pemberhentian tersebut mulai berlaku sejak ditutup0nya RUPS.(Pasal 94 ayat 5 dan ayat 6 / Pasal 111 ayat 5 dan ayat 6 UUPT) 

Pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut wajib diberitahukan oleh Direksi Perseroan kepada Menkumham untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal keputusan RUPS tersebut.(Pasal 94 ayat 7/ 111 ayat 7 UUPT). Jika hal tersebut tidak dilakukan maka Menkumham menolak setiap permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menkumham oleh Direksi yang belum tercatat dalam daftar Perseroan atau menolak setiap perubahan anggota Dewan Komisaris berikutnya (Pasal 94 ayat 8 /111 ayat 8 UUPT) .

Dalam praktek banyak terjadi pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris atau perpanjangan masa jabatannya dilakukan dengan RUPS yang dibuat dibawah tangan dan tidak dinyatakan dalam akta Notaris serta tidak diberitahukan kepada Menkumham atau ada juga anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang telah habis jangka waktunya tapi tidak diperpanjang masa jabatannya. 


Untuk kasus seperti ini biasanya diatasi dengan cara dibuatnya RUPS   yang mengesahkan semua tindakan anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut serta menegaskan kembali mengenai susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan selanjutnya hal tersebut diberitahukan kepada Menkumham.Hal ini dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 94 ayat 9 UUPT.

Salam
Alwesius, SH, Mkn.

"Kelompok Belajar "INP" mengadakan Bimbel / Pelatihan / Tentir Ujian masuk Program Magister Kenotariatan UI/ Pasca Sarjana UI  dan Ujian PPAT , hubungi  Alwesius,SH.MKn,     HP : 0815 - 8825 - 748. Email:  alwesius_notaris@yahoo.co.id   ,   alwesius.notaris@gmail.com. "


PERLUKAH PERSETUJUAN SUAMI ATAU ISTERI DALAM JUAL BELI SAHAM?

Berkaitan dengan judul tulisan ini terlebih dahulu saya akan mengemukakan sedikit mengenai status harta benda dalam suatu perkawinan. Berdasarkan ketentuan PasaL 35  UU Perkawinan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 
Jadi dari ketentuan Pasal 35 UUPerkawinan tersebut jelas terdapat dua macam harta dalam perkawinan 2) Harta Pribadi, yang terdiri dari Harta Bawaan yaitu harta yang dibawa masing-masing suami atau isteri ke dalam perkawinan mereka serta Harta yang diperoleh Suami atau Isteri selama perkawinan karena hibah atau hadiah.i  yaitu : 1) Harta Bersama, yaitu semua harta yang diperoleh suami dan/ atau isteri selama perkawinan, darimanapun perolehannya dan dengan cara apapun perolehannya, kecuali yang bersaal dari hadiah atau warisan, tanpa memandang siapa yang memperoleh harta tersebut,
Pasal 36 ayat 1 UU Perkawiaan menentukan bahwa mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 ayat 2 UU Perkawinan menentukan mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.   
Pengecualian atas status harta benda perkawinan yang diatur UU tersebut hanya mungkin dikesampingkan jika terdapat Perjanjian Perkawinan yang dibuat suami isteri tersebut sebelum atau pada saat perkawinan mereka yang kemudian dicatat oleh Pejabat Pencatat Pernikahan.Misalnya dibuatnya Perjanjian Perkawinan Diluar Persekutuan harta benda (harta Terpisah Berupa Apapun Juga), yang mengakibatkan tidak adanya persekutuan harta diantara suami isteri.
Kembali ke judul tulisan nini maka yang perlu diperhatikan adalah apakah saham yang tercatat atas nama suami atau isteri dalam suatu PT tersebut merupakan harta bersama (gono gini) atau harta pribadi. Jika saham tersebut merupakan harta bersama tau harta gono gini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 UU Perkawinan maka jika suami hendak menjual saham tersebut ia harus memperoleh persetujuan isteri, demikian pula sebaliknya jika si isteri yang hendak menjual maka ia harus memperoleh persetujuan suaminya. hal ini berlaku juga jika saham tersebut hendak dijadikan jaminan hutang.
Ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan lain. Jadi dalam pembuatan akta Jual beli saham dihadapan Notaris, jika hal tersebut tidak dipenuhi, Notaris wajib menolak pembauatan akta yang bersangkutan. Tetap dibuatnya akta yang bersangkutan tanpa dipenuhinya ketentuan mengenai adanya persetujuan suami atau isteri tersebut mengakibatkan perbuatan tersebut batal demi hukum
Batal demi hukumnya suatu perbuatan hukum berkaitan dengan harta bersama yang tidak memperoleh persetujuan suami atau isteri telah ditegaskan dalam beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung berkaitan dengan jual beli tanah yang termasuk dalam harta gono gini. Walaupun keputusan hakim tersebut berkaitan dengan tanah, tentunya ketentuan yang sama juga akan berlaku bagi saham sebab Pasal 36 UU Perkawinan tidak membedakannya.   
Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut oleh Notaris dapat mengakibatkan Notaris dituntut karena melakukan Pasal 1365 KUHPerdata.
Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk jual beli saham tidak memerlukan persetujuan suami atau isteri, karena termasuk kegiatan usaha.Menurut saya, hal itu kurang tepat. Hal tersebut baru dapat diterima oleh Notaris jika memang ada jurisprudensi yang bersifat tetap yang telah menguatkan itu.



Salam
Alwesius,SH,MKn.



"Kelompok Belajar "INP" mengadakan Bimbel / Pelatihan / Tentiu Ujian masuk Program Magister Kenotariatan UI/ Pasca Sarjana UI  dan Ujian PPAT , hubungi  Alwesius,SH.MKn, HP : 0815 - 8825 - 748. Email:  alwesius_notaris@yahoo.co.id   ,   alwesius@gmail.com. "


BERALIHNYA KEPEMILIKAN SAHAM DALAM JUAL BELI SAHAM, PENCATATAN DALAM DPS SERTA PEMBERITAHUAN KEPADA MENKUMHAM

Salah satu cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda adalah dengan cara penyerahan (levering) tas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik yang dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu, demikian ditentukan dalam Pasal 584 KUHPerdata..  Penyerahaan hak atas saham dilakukan dengan membuat akta pemindahan hak, demikian ditentukan  dalam Pasal 56 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2007 (UUPT). Akata pemindahan hak atas saham tersebut dapat berupa akta otentik atau akta dibawah tangan. Perbuatan hukum untuk melakukan pemindahan hak atas saham tersebut dapat berupa jual beli, hibag, tukar menukar dan perbutan hukum lainnya yang bermaksud untuk memindahkan hak atas saham tersebut.

Setelah selesai dibuatnya akta pemindahan hak atas saham maka selanjutnya akta pemindahan hak atas saham tersebut atau salinannya harus disampaikan kepada PT yang bersangkutan (Pasal 56 ayat 2 UUPT). Selanjutnya Direksi Perseroan wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam Daftar Pemegang Saham dan memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menkumham untuk dicatat dalam daftar Perseroan paling lambat 30 (tpgapuluh hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak (Pasalo 56 ayat 3 UUPT). Dalam hal pemberitahuan tersebut belum dilakukan, Menkumham menolak permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang dilaksanakan berdasarkan susunan dan nama pemegang sahm yang belum diberitahukan tersebut (Pasal 56 ayat 4 UUPT)
Sehubungan dengan hal tersebut, timbul beberapa pertanyaan yang sering diajukla oleh teman-teman Notaris yaitu sejak kapan hak kepemilikan atas saham tersebut beralih kepada penerima hak (misalnya pembeli dalam jual beli saham)? Apa akibatnya jika pemindahan hak atas saham tersebut tidak dicatat dalam Daftar Pemegang saham? Apa akibatnya jika perubahan pemegang saham tersebut tidak diberitahukan kepada Menkumham, apakah PT tersebut dapat mengadakan RUPS? . 

Berkaitan dengan pertanyaan pertama yaitu sejak kapan hak kepemilikan atas saham tersebut beralih kepada penerima hak (misalnya pembeli dalam jual beli saham)?  Maka dapat  saya kemukakan didini bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata dan Pasal 56 ayat 1 UUPT serta dapat juga didasarkan pada Pasal 613 KUHPerdata, kepemilikan atas saham tersebut beralih dari Pemilik semula kepada Pemilikm yang baru misalnya Pembeli sejak saat selesai ditandatanganinya akta pemindahan hak atas saham tersebut . Jadi misalnya jual beli saham dilakukan dihadapan Notaris maka begitu selesai ditandatanganinya akta Jual Beli Saham maka pembeli telah menjadi pemilik yang baru atas saham tersebut. namun demikian ia belum mempunyai hak-hak yang timbul berdasarkan kepemilikan saham tersebut samapi pada saat dicatatnya pemindahan hak atas saham tersebut dalam Daftar pemilikan Saham (Pasal 52 ayat 2 jo ayat 1 UUPT).

Berkaitan dengan pertanyaan kedua apa akibatnya jika pemindahan hak atas saham tersebut tidak dicatat dalam Daftar Pemegang saham? Jika pemindahan hak atas saham tersebut tidak dicatat dalam DPS maka si Pembeli yang merupakan pemilik baru atas saham tersebut belum mempunyai hak-hak yang timbul berkaitan dengan pemilikan saham tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat 1 UUPT, antara lain ia belum mempunyai hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS.

Berakiatan dengan pertanayan ketiga apa akibatnya jika perubahan pemegang saham tersebut tidak diberitahukan kepada Menkumham, apakah PT tersebut dapat mengadakan RUPS? Jika perubahan pemegang saham klarena adanya pemindahan hak tersebut tidak diberitahukan kepada Mekumham maka segala permohonan persetujuan perubahan AD yang ditujukan kepada Menkumham atau pemberitahuan peruabahan AD dan lain-lain kepada Menkumham akan ditolak oleh Menkumham, karena diajukan berdasarkan sususan dan nama  pemegang saham yang belum diberitahukan kepada Menkimham (Pasal 56 ayat 4 UUPT). Namun demikain sepanjang peubahan nama dan susunan pemegang saham tersebut telah dicacat dalam DPS maka PT tersebut dapat melaksanakan RUPD dengan susunan pemegang saham yang baru dan keputusan RUPS tersebut tetap sah sepanjang dilakasanakan sesuai ketentuan yang berlaku.Misalnya PT tersebut tetap dapat melaksanakan RUPS untuk menuetujui perbuatan Direksi guna meminjam uang atau menbaminkan aset PT., atau perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak memrerlukan persetujuan Menkumham atau tidak perlu diberitahukan kepada Menkumham.

Salam
Alwesius,SH,MKn.. 



"Kelompok Belajar "INP" mengadakan Bimbel / Pelatihan / Tentiu Ujian masuk Program Magister Kenotariatan UI/ Pasca Sarjana UI  dan Ujian PPAT , hubungi  Alwesius,SH.MKn, HP : 0815 - 8825 - 748. Email:  alwesius_notaris@yahoo.co.id   ,   alwesius@gmail.com. "


PENTINGNYA DAFTAR PEMEGANG SAHAM DALAM PEMBUATAN AKTA RUPS SUATU PERSEROAN TERBATAS

Salah satu hal yang harus diperhatikan bagi Notaris dalam pembuatan akta RUPS adalah adanya Daftar Pemegang Saham (DPS) Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan pasal 52 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2007 (UUPT) dinyatakan bahwa Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk : a) menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; 2) menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; serta c) menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT. Namun yang harus diketahui bahwa hak-hak sebagaimana tersebut di atas hanya ada atau berlaku setelah saham yang bersangkutan dicatat dalam DPS, demikian dinyatakan secara tegas dalam Pasal 52 ayat 2UUPT.
Jadi jika seseorang telah memiliki suatu saham dalam suatu PT dan ternyata namanya belum dicatat dalam DPS maka ia belum memiliki hakj-hak sebagaimana tersebut di atas, termasuk hak untuk mengahdiri dan mengeluarkan suara dalam suatu RUPS.Kewajiban mencatat saham dalam DPS adalah merupakan kewajiban Direksi Perseroan, demikain dinyatakan dalam Pasal 51 UUPT.
DPS memuat sekurang-kurangnya : a) nama dan alamat pemegang saham; b) jumlah, nomor, tanggal perolehan saham dan klasifikasinya dalam hal dikelaurkan lebih darib satu klasifikasi saham; c) jumlah yang disetor atas setiap saham; d) nama dan alamat pemegang saham serta yang mempunyai hak gadai atas saham tersebut; serta e) keterangan penyetoran saham dalam bentuk lain.
Berkaitan dengan hal tersebut maka sebelum dilakukannya RUPS Notaris harus meminta kepada Direksi mengenai DPS dari PT yang bersangkutan . Tanpa adanya DPS tersebut maka Notaris harus menolak pembuatan akta RUPS tersebut.  Sehubungan dengan hal tersebut, dalam akta RUPS yang dibuat hendaknya juga disebutkan mengenai kesesuaian pemegang saham yang hadir dan atau diwakili dalam RUPS  serta jumalhy saham yang dimiliki dengan DPS yang telah diperlihatkan kepada Notaris.

Salam

Alwesius, SH, MKn.

"Kelompok Belajar "INP" mengadakan Bimbel / Tentir guna membantu anda yang akan mengikuti ujian masuk Program Magister Kenotariatan, dan Ujian PPAT, hubungi Alwesius, SH, Mkn. HP: 0815 - 8825 - 748"

Kamis, 24 Desember 2009

MASALAH JANGKA WAKTU JABATAN ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS

Pasal 94 ayat (3) dan Pasal 111 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 (UUPT) menentukan bahwa anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali.   Pasal 105 ayat 1 dan Pasal 119 UUPT menentukan anggota Dreksi dan Dewan Komisaeis dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh RUPS dengan menyebutkan alasannya. 


Selanjutnya mengenai ketentuan pengangkatan , penggantian dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut diatur dalam anggaran dasar Perseroan.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka anggota Direksi maupun Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut harus ditetapkan dalam anggaran dasar Perseoan.Dalam praktek biasanya ditetapkan 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun.

Berkaitan dengan jangka waktu tersebut terdapat dua macam penafsiran mengenai berlakunya jangka waktu tersebut. 


Penafsiran Pertama menyatakan bahwa jangka waktu tersebut mulai berlaku terhitung sejak mulai berlakunya pengangkatan anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang ditetapkan dalam RUPS  atau jika dalam RUPS tidak ditetapkan maka mulai berlaku sejak saat ditutupnya RUPS dan berlaku untuk jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar, misalnya 5 (lima) tahun. Jadi setiap ada pengangkatan maka dengan sendirinya pengangkatan tersebut berlaku untuk 5 (lima) tahun kedepan.

Konsekwesi penafsiran ini adalah jika ditengah perjalanan seorang anggota Direksi diberhentikan dari jabatannya kemudian diangkat penggantinya maka penggantinya tersebut mempunyai masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung sejaka pengangkatannya.
  
Misalnya  A diangkat pada tanggal  3 Maret 2008 maka masa jabatannya adalah sampai tanggal 2   Maret 2013. Jika kemudian A dibehentikan pada tanggal 3 Maret 2009 kemudian diangkat B sebagai penggantinya, dalam hal ini B tidak meneruskan masa jabatan A sampai tanggal 2 Maret 2013 melainkan masa jabatan B adalah 5 (lima) tahun terhitung tanggal 3 Maret 2009  sampai tanggal 2 Maret 2014. 

Jadi dalam suatu PT bisa saja terjadi adanya jangka waktu yang berbeda-beda untuk masing-masing anggota Direksi dan Dewan Komisaris.

Penafsiran Kedua sebagai mana dikemukakan oleh Notaris P.S.A Tampubolon,S.H dalam beberapa tulisannya di majalah "Media Notariat" pada intinya menyatakan bahwa jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar adalah merupakan "Periode Masa Jabatan (PMJ)" anggota Direksi atau Dewan Komisaris. 


Misalnya jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar adalah 5 (lima) tahun maka PMJ anggota Direksi atau Dewan Komisaris adalah  5 (lima) tahun. Mulai berlakunya PMJ tersebut dibedakan antara PT yang didirikan sebelum UUPT dan PT yang didirikan setelah UUPT. Bagi PT yang didirikan sebelum UUPT maka PMJ tersebut mulai berlaku terhitung sejak tanggal Surat Keputusan Menkumham mengenai persetujuan atas penyesuaian AD PT ybs, misalnya tanggal 1 April 2008 maka PMJ tersebut adalah mulai 1 April  2008 sampai 31 Maret 2013, demikian seterusnya secara berulang sampai 5 (lima) tahun berikutnya. 


Untuk PT yang didirikan setelah UUPT maka PMJ tersebut mulai berlaku terhitung sejak tanggal Akta Pendiriannya. Misalnya didirikan pada 5 Pebruari 2008  maka PMJ tersebut adalah mulai  5 Pebruari 2008 sampai 4 Pebruari 2013.

Jadi menurut Penafsiran kedua ini jika terjadi penggantian anggota Direksi maka masa jabatan anggota Direksi yang baru adalah untuk jangka waktu sisa masa jabatan anggota Direksi yang digantikannya.   


Jadi disini tidak akan terdapat perbedaan jangka waktu berlakunya masa jabatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris, semua berakhir pada saat yang sama.

Penafsiran Kedua ini didasarkan pada penafsiran bahwa masa jabatan anggota Direksi diatur dalam anggaran dasar PT,  yang tidak dapat diubah selain melakukan perubahan anggaran dasar. Jika akan  dilakukan perubahan maka harus melalui RUPS yang disetujui oleh  Menkumham.
Di dalam praktek berdasarkan pengamatan penulis, sebagian besar kalau tidak mau dikatakan hampir seluruhnya Notaris maupun praktisi hukum , demikian juga para klien menganut pendapat yang pertama.

Saran penulis  untuk mengindari kesulitan berkaitan dengan pendapat mana yang benar sebaiknya dalam anggaran dasar PT kita tegaskan mengenai hal itu dengan membuat rumusan yang jelas mengenai ketentuan masa jabatan anggota Direksi maupun Dewan Komisaris dan mempertegas masa jabatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebuit dalam hal terjadi penggantian sebelum berakhirnya masa jabatan tersebut.

Salam

Alwesius.SH, MKn.

"Kelompok Belajar "INP" berpengalaman sejak tahun 1987 mengadakan Bimbel / Pelatihan / Tentir Ujian masuk Program Magister Kenotariatan UI  dan Ujian PPAT , hubungi  Alwesius,SH.MKn, HP : 0815 - 8825 - 748. Email:  alwesius_notaris@yahoo.co.id   ,   alwesius.notaris@gmail.com. "


BENTURAN KEPENTINGAN DALAM SUATU PT

Dalam praktek sering kita jumpai adanya benturan kepentingan antara Direksi Perseroan dengan Perseroan di dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.Kadangkala hal ini tidak disadari atau mungkin tidak diketahui oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan karena mungkin kurang memahami ketentuan yang berlaku bagi suatu Perseroan Terbatas. 
Untuk itu jika perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan kita sebagai Notaris atau PPAT kita harus memberikan penyuluhan hukum mengenai hal tersebut kepada kien atau pihak-pihak yang datang meminta bantuan kita.
Benturan kepentingan tersebut terjadi misalnya dalam jual beli atau pemindahan hak, dimana suatu PT hendak menjual asetnya sedangkan yang bertindak sebagai pembeli adalah anggota Direksinya atau seorang anggota Direksi PT memperoleh kredit dari Bank untuk usahanya secara pribadi. Kemudian yang dipakai sebagai jaminan atas permintaan Bank adalah aset PT.
Misalnya PT. X  Direktur Utamanya adalah tuan A dan Direkturnya adalah tuan B serta anggota Dewan Komisarisnya adalah tuan C. PT. X hendak menjual tanah dan yang menjadi pembelinya adalah tuan A. Maka dalam hal ini terjadi benturan kepentingan antara  tuan A dan PT.X.
Dalam kejadian demikian maka sesuai ketentuan Pasal 99  UU No. 40 Tahun 2007 (UUPT) anggota Direksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan tidak berwenang mewakili Perseroan. Yang berhak mewakili Perseroan adalah anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Jadi dalam kasus di atas yang berhak mewakili PT. X adalah tuan B. 

Selanjutnya Pasal 99 UUPT menentukan bahwa apabila semua anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan maka yang berhak mewakili Perseroan adalah Dewan Komisaris. Jika seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris berbenturan kepentingan dengan Perseroan maka yang berhak mewakili Perseroan adalah pihak lain yang ditunjuk dalam RUPS.


Jadi misalnya B juga mempunyai benturan kepentingan dengan PT.  yang mewakili PT. X adalah C. Jika ternyata ABC mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan maka yang berhak mewakilki PT. X adalah pihak lain yang yang ditunjuk dalam RUPS PT X.

Salam


Alwesius.SH, MKn

Kelompok Belajar "INP" Jakarta Sukses membimbing para peserta ujian masuk dan para peserta pendidikan Program Kenotariat UI  serta para peserta ujian jabatan PPAT sejak tahun 1987. Para peserta telah membuka praktek di seluruh wilayah di Indonesia dan sebagian besar berpaktek di Daerah Jabodetabek, Serang, Cianjur, Sukabumi dan daerah sekitar Jakarta lainnya.Hubungi kami Alwesius,SH.MKn, HP : 0815 - 8825 - 748. Email:  alwesius_notaris@yahoo.co.id   ,   alwesius@gmail.com.  Melayani konsultasi hal-hal yang berkaitan dengan bidang pendidikan dan praktek NOTARIS - PPAT.




Kamis, 03 Desember 2009

ALWESIUS BICARA MENGENAI KEDUDUKAN ANAK DARI PERKAWINAN YANG TIDAK DICATAT

Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") menentukan " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Selanjutnya Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan menentukan " Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan menyatakan " ... Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan."
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 6 ayat 2 ditentukan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dan pasal 7 ayat 1 KHI menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Berkaitan dengan ketentuan tersebut maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ahli mengenai sahnya suatu perkawinan. Namun yang pasti adalah bahwa jika suatu perkawinan dilangsungkan tanpa adanya pencatatan maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh Negara (Hukum Negara). Hal ini dapat dilihat dari akta kelahiran anak tersebut yang menyebutkan anak tersebut sebagai "anak luar nikah" dari ibunya tanpa ada penyebutan siapa yang menjadi ayah anak tersebut.
Jika suatu perkawinan tidak dilangsungkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka membawa akibat anak tersebut secara yuridis hanya berkedudukan sebagai anak luar nikah. Berdasarkan ketentuan pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan seorang anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Jadi ia hanya berhak mewaris dari ibunya saja jika ibunya meninggal dunia. Seandainya ayahnya yang meninggal dunia maka ia tidak berhak mewaris dari ayahnya.
Bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), seorang anak luar nikah dapat mewaris dari ayahnya, jika ayahnya meninggal dunia, apabila si ayah melakukan pengakuan atas anaknya tersebut sesuai ketentuan pasal 281, 282 dan 284 KUHPerdata, yaitu dilakukan dengan pembuatan akta Pengakuan Anak dihadapan Notaris atau dengan melakukan pengakuan anak dihadapan pegawai catatan sipl. Dengan adanya pengakuan anak tersebut maka si anak tersebut berhak mewaris dari ayahnya dengan hak bagian sebesar apa yang ditentukan dalam Pasal 863 KUHPerdata, yaitu sebesar sepertiga dari bagian yang seharusnya ia terima jika ia berkedudukan sebagai anak sah, dalam hal ia mewaris bersama ahli waris golongan pertama. Bahkan dapat pula meningkatkan status anaknya menjadi anak sah lewat perkawianan kedua orang tuanya menurut ketentuan hukum yang berlaku atau mengajukan permohonan pengesahan anak kepada pejabat yang berwenang.
Bagi mereka yang beragama Islam kedudukan anak luar nikah tersebut dapat ditingkatkan statusnya menjadi anak sah, sehingga ia akan memperoleh hak mewaris dari harta warisan ayahnya jika ayahnya meninggal dunia yaitu dengan mengajukan permohonan itsbat nikah. Permohonan tersebut dapat dilakukan oleh suami atau isteri, anak-anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan.



Salam
Alwesius



Rabu, 02 Desember 2009

ALWESIUS BICARA MENGENAI BAGIAN SUAMI/ISTERI KEDUA SEBAGAI AHLI WARIS

Bagian suami/isteri kedua sebagai ahli waris bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata berlaku ketentuan pasal 181 - 185 KUHPerdata dan pasal 852, 852a dan pasal 902 KUHPerdata.Jika seorang suami atau isteri meninggal dunia (Pewaris) dan meninggalkan isteri atau suami kedua maka kedudukan isteri atau suami kedua tersebut sebagai ahli waris dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya anak/keturunan Pewaris dari perkawinan pertama serta dipengaruhi oleh apakah dalam perkawinan Pewaris terdapat harta terpisah atau harta campur.
Misalnya Pewaris mempunyai anak dari perkawinan pertama dan perkawinan dilangsungkan dengan harta terpisah berupa apapun maka bagian isteri atau suami kedua tidak boleh melebihi besarnya bagian anak-anak Pewaris dari perkawinan pertama, dengan ketentuan maksimum sebesar seperempat harta warisan. Jadi seandainya Pewaris mempunyai 4 orang anak (2 orang merupakan anak dalam perkawinan pertama) maka masing-masing memperoleh seperlima bagian. Tapi jika Pewaris hanya mempunyai 2 orang anak maka bagian isteri/suami kedua maksimum sebesar seperempat.
Tapi jika misalnya dalam perkawinan tersebut terdapat harta campur (misalnya perkawinan dilangsungkan sebelum berlakunya UU Perkawinan - sebelum tahun 1974) maka ketentuan perhitungan tersebut diatas dipakai untuk melihat apakah bagian isteri atau suami kedua dari harta Pewaris lebih besar dari bagian anak-anak terdahulu atau melebihi ketentuan maksimum sebesar seperempat dari harta kekayaan Pewaris.Kalau lebih maka harus dilaukan pemotongan. Untuk menerapkan ketentuan ini maka harus secara persis diketahui berapa besar jumlah harta yang dibawa masing-masing suami isteri yang bersangkutan pada saat perkawinan.Karena hal tersebut akan menentukan perhitungan pembagian harta campur yang bersangkutan.

Salam
Alwesius