Beberapa
Catatan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015
Oleh
: Alwesius, SH, MKn
1.
Pendahuluan
Peraturan
Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 (PP 103) diterbitkan untuk lebih memberikan
kepastian hukum pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing
yang berkedudukan di Indonesia demikian dinyatakan di dalam diktum “menimbang”
huruf a PP 103, oleh karena itu perlu dilakukan penggantian atas Peraturan
Pemerintah sebelumnya yaitu Peratiran Pemerintah nomor 41 tahun 1996 (PP 41).
Berkaitan
dengan tujuan diterbitkannya PP 103 tersebut ada beberapa hal yang menurut
penulis belum dapat dikatakan memeberikan jaminan kepastian hukum berkaitan
dengan kepemilikan rumah tinggal/hunian bagi orang asing tersebut. Untuk itu
penulis mencoba memberikan beberapa catatan terhadap hal-hal yang dituangkan di
dalam PP 103.
2.
Rumah
Tinggal yang dapat dimiliki oleh orang asing
PP
103 menentukan rumah yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah “Rumah
Tunggal”. Pasal 1 angka 2 PP 103 menentukan “Rumah
Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.”
Sehubungan
dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 PP 103 tersebut maka orang asing hanya dapat
memiliki rumah tinggal yang berupa “Rumah Tunggal”. Orang asing tidak dapat
memikili rumah tinggal yang didirikan dalam bentuk “rumah kopel” atau “rumah
deret”, dimana dinding rumah yang satu berdempetan dengan dinding rumah yang
lain yang berada disebelahnya. Penulis kurang menegrti maksud dari ketentuan tersebut, apakah karena rumah-rumah yang mempunyai
dinding yang dibangun di atas perbatasan kaveling pada umumnya merupakan
rumah-rumah yang masuk dalam kategori rumah sederhana atau rumah sangat
sederhana, yang pembangunannya pada umumnya ditujukan kepada masyarakat
Indonesia yang berpenghasilan kecil atau ada maksud lain.
3.
Jumlah
rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing
Di
dalam PP nomor 41 tahun 1996 (PP 41) di dalam pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa “Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia
dapat memiliki sebuah rumah tinggal untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak
atas tanah tertentu”. Jadi jelas sekali bahwa sebelumnya telah diatur
secara tegas jumlah pemilikan rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh
orang asing yaitu hanya “sebuah” rumah tinggal/hunian saja. PP 103 tidak
mengatur mengenai pembatasan jumlah kepemilikan rumah tinggal/hunian yang dapat
dimiliki oleh orang asing.
Tidak
ditentukannya pembatasan atau jumlah rumah tinggal yang dapat dimiliki oleh
orang asing menimbulkan pertanyaan
apakah orang asing dapat memiliki rumah tinggal/hunian lebih dari 1 (satu)
rumah tinggal/hunian, apakah pembatasan pemilikan rumah tinggal/orang asing
sama dengan pembatasan yang berlaku bagi waerga negara Indonesia. Pertanyaan
tersebut tentunya harus mendapatkan jawaban yang pasti, sehingga tercipta
kepasrian hukum sebagaimana tujuan diadakannya Pasal 103. Kepastian tersebut
tentunya dapat dituangkan didalam peraturan menteri agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
Penulis
berpendapat sebaiknya tetap dilakukan pembatasan pemilikan rumah tinggal/hunian
orang asing dan pemilikan itu dikaitkan dengan tempat tinggal dimana izin
tinggal kepada orang asing tersebut diberikan.
4.
Orang
Asing yang dapat memiliki rumah/hunian di Indonesia
Sesuai ketentuan UUPA dan PP 40, orang asing yang
dapat memiliki fhak atas tanah dan karenannya dapat memiliki rumah ringgal di
Indonesia adalah orang asing berkedudukan di Indonesia. Pasal 1 angka 1 PP 103
menentukan “Orang asing yang berkedudukan
di Indonesia yang selanjutnya disebut
Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Inddonesia yang keberadaannya
memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja atau berinvestasi di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) PP 103 menentukan “Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Orang Asing pemegang izin
tinggal di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.Ketentuan
ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya. PP 41 tidak menentukan persyaratan
“izin tinggal di Indonesia”.
Dengan
adanya persyaratan mempunyai “izin tinggal di Indonesia” maka yang dapat
memiliki rumah tinggal/hunian di Indonesia adalah benar-benar orang asing yang
tinggal di Indonesia, baik tinggal untuk
sementara waktu maupun bersifat menetap. Persyaratan yang diatur didalam
Pasal 1 dan Pasal 2 PP 103 tersebut
merupakan persyaratan kumulatif yang harus dipenuhi oleh orang asing yang
hendak memiliki rumah tinggal/hunian di Indonesia. Apabila
Apabila Orang
Asing atau ahli waris
yang merupakan Orang Asing yang memiliki rumah yang dibangun di atas tanah
Hak Pakai atau berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah tidak lagi
berkedudukan di Indonesia,
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak
atas
rumah
dan
tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut hak atas rumah dan tanahnya tersebut belum dilepaskan atau dialihkan
kepada pihak lain yang memenuhi syarat maka rumah di lelang oleh Negara, dalam hal dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara atau rumah
menjadi milik pemegang
hak atas tanah
yang bersangkutan, dalam hal rumah tersebut dibangun di atas tanah berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak milik (
Pasal 10 ayat 2 PP 103)
5.
Hak
atas tanah yang dapat dimiliki oleh Orang Asing untuk keperluan rumah
tinggal/hunian
Berdasarkan
ketentuan UUPS, orang asing hanya dapat memeiliki hak pakai atau hak sewa tanah
untuk bangunan. Hal ini ditegasklan lebihn lanjut di dalam PP nomor 40 tahiun
1996 (PP 40) maupun PP 41. PP 103 hanya mengatur kepemilikan rumah
tinggal/hunian untuk orang asing atas rumah tinggal/hunian diatas hak pakai,
baik hak pakai di atas tanah negara maupun hak pakai di atas tanah hak milik.
PP 103 tidak mengatur mengenai hak sewa.
Pasal 102 ayat
(1) PP 103 menenetukan “Orang Asing dapat memiliki
rumah untuk tempat tinggal
atau hunian dengan Hak Pakai”. Selanjutnya Pasal 4 PP 103 menentukan :
“(3) Dalam hal Orang
Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan.
(4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai
izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Jadi
jelas berdasarkan ketentuan PP 103 rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki
oleh orang asing adalah rumah tinggal/hunian yang berada di atas tanah hak
pakai. Tidak diaturnya rumah tinggal/hunian di atas tanah hak sewa bukan
berarti orang asing tidak dapat memiliki rumah tinggal/hunian di atas tanah hak
sewa.Orang asing tetap boleh memiliki rumah tinggal/hunian di atas tanah hakl
sewa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.
Pemindahan
hak atas rumah tinggal/hunian orang asing
Mengenai
pengalihan hak pakai diatur di dalam Pasal 54 PP 40. Sesuai ketentuan Pasal 54
PP 40 tersebut, pemindahan hak dapat dilakukan, antara lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar.
Untuk pemindahan hak atas hak pakai atas tanah negara harus memperoleh izin
dari pejabat yang berwenang, sedangkan untuk pemindahan hak pakat di atas hak
milik harus memperoleh izin dari pemegang hak milik yang bersangkutan.
Berkaitan
dengan hak pakai yang dimiliki oleh orang asing tentunya disamping harus
memenuhi syarat tersebut, calon penerima haknya juga harus memneuhi syarat yang
ditetapkan di dalam PP 103, jika calon penerima hak tersebut merupakan orang
asing yaitu yang bersangkutan juga harus memiliki izin tinggal di Indonesia
sesuai ketentuan peraturan perundang-undang yang beralku.
7.
Pewarisan
rumah tinggal/hunian orang asing
Prinsip
umum dalam pewarisan, dengan meninggalnya seseorang maka segala hak dan
kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya, dengan batasan-batasan atau
syarat-syarat tertentu.Asas tersebut terdapat di dalam Pasal 830 KUHPerdata dan
berlaku bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata, emikian juga di dalam hukum
Islam, walaupun terdapat perdendaan prinsip bahwa di dalam hukum Islam para
ahli waris hanya menanggung hutanh/kewajiban Pewaris sebatas harta penginggalan
yang ditinggalkan Pewaris. Demikian juga dengan ketentuan pewarisan lainnya
yang penulis pahami dari literatur yang penulis baca dan selanjutnya
tergantungb kepada sistem pewarisan yang dianut.
Sehubungan
dengan hal tersebut maka pada prinsipnya jika seorang asing meninggal dunia
maka haknya atas rumah tinggal/hunian tersebut beralih kepada ahli
warisnya.Oleh karena rumah tinggal/hunian yang diwarisi oleh para ahli waris
tersebut berada di Indonesia maka tentunya terhadap kepemlikan tanah
berdasarkan pewarisan tersebut berlaku ketentuan-ketentuan mengenai hukum
pertanahan di Indonesia.
Ketentuan
mengenai pewarisan rumah tinggal/hunian orang asing diatur didalam Pasal 2 ayat
(3) dan ayat (4) yang menentukan:
“(3) Dalam hal Orang
Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan.
(4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai
izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) PP 103 tersebut jelas bahwa apabila
orang asing yang memiliki rumah tinggal/hunian meninggal dunia maka rumah tinggal
tersebut beralih kepada ahli warisnya. Apabila ahli waris orang asing tersebut
juga merupakan orang asing maka ahli waris yang bersangkutan harus
mempunyai izin tinggal di Indonesia. Jika izin tersebut tidak dimiliki maka ia tidak lagi memenuhi syarat sebagai
orang asing yang dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia dan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun ia harus mengalihkan tanah tersebut kepada orang lain yang
memenuhi syarat, dengan segala akibat hukumnya sebagaimana diatur didalam Psal
7 PP 103.
8.
Perpanjangan
jangka waktu bagi Hak Pakai di atas tanah Hak Milik
Jangka
waktu hak pakai atas tanah negara untuk keperluan rumah tinggal/hunian bagi
orang asing adalah 30 tahun, demikian ditentukan di dalam Pasal 6 ayat (1) PP
103. Hak pakai tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan
selanjutnya dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 tahun.(Pasal 6 ayat 2 dan
ayat 3 PP 103).
Pasal
7 PP 103 memnetukan bahwa untuk hal Pakai di atas tanah hak milik dapat
diberikan sesuai jangka waktu yang disepakati dengan ketentuan tidak lebih lama dari 30 tahun. Dan
kemudian dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan selanjutnya dapat
diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai sesuai kesepakatan dengan pemegang hak
milik atas tanah yang bersangkutan.
Di
dalam PP 103 ada perubahan jangka waktu yang diberikan untuk hak pakai di atas
tanah negara. Di dalam PP 40 hak pakai atas tanah negara diberikan untuk jangka
waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun dan kemudian dapat diperbnaharui
paling lama 30 tahun. Sehingga dengan demikian akan terdapat perbedaan jangka
waktu antara hak pakai untuk orang asing dan hak pakai untuk Warga Negara
Indonesia.
Perbedaan
juga terjadi terhadap jangka waktu hak palai di atas tanah hak milik. Jika
sebelumnya hak pakai tersebut tidak dapat diperpanjang melainkan hanya dapat
diperharui, namun di dalam PP 103 hak pakai tersebut dapat diperpanjang jangka
waktunya. Yang menjadi pertanyaan bagaimana cara melakukan perpanjangannya.
Jika pemberiannya dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Pakai Atas
Tanah Hak Milik yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tentunya perpanjanganya juga harus dilakukan
dengan akta PPAT dan Mentyeri Agraria/Kepala BPN tentunya harus melakukan
perubahan terhadap peraturan meneteri yang megatur mengenai bentu-nemtuk akta
pertanahan, yang saat ini diatur di dalam
Perkaban nomor 8 tahun 2012.Berkaitan dengan hal tersebut tentunya
terdapat tambahan bentuk akta yaitu berupa Akta Perubahan Akta Pemberian Hak
Pakai Atas Tanah Hak Milik atau Akta
Perpanjangan Jangka Waktu Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.
9.
Perjanjian
Pemisahan Harta
Catatan terkahir penulis berkaitan
dengan PP 103 adalah berkaitan dengan ketentuan pasal 3 PP 103. Pasal 3 ayat 2
PP 103b menentukan Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing
dapat memiliki hak atas tanah
yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya. Ketentuan ini sebenarnya hanya merupakan
penegasan dari ketentuan yang terdapat di dalam UUPA maupun PP 40. Sesuai
ketentuan UUPA dan PP 40, seorang warga negara Indonesia dapat menjadi
subyek Hak Milik, HGU, HGB atau Hak
Pakai.
Sebenarnya sekalipun seorang WNI
tersebut menikah dengan orang asing, sepanjang tanah yang dimiliki oleh WNI
tersebut tidak ikut menjadi milik suami atau isterinya yang orang asing maka
WNI tersebut tetap dapat memiliki tanahnya tersebut sama seperti dengan WNI
lainnya. Yang menjadi permasalahan hukum adalah apabila disamping dimiliki oleh
seorang WNI, tanah tersebut juga ikut dimiliki oleh suami atau isterinya yang
orang asing . Apabila hal ini terjadi maka bagi mereka berlaku ketantuan Pasal
21 ayat 3 atau pasal 26 ayat 2 UUPA. Untuk menghindari yang bersangkutan
terkena ketentuan Pasal 21 ayat 3 atau 26 ayat 2 UUPA yang mengakibatkan hak
atas tanahnya hapus dan tanahnya menjadi tanah negara maka tentunya seorang WNI yang hendak
melangsungkan perkawinan dengan orang asing, yang merupakan hak asasinya untuk
menikah dengan sispapun juga tanpa ada yang dapat menghambatnya, sudah
sepatutnya jika tidak dapat dikatakan seharusnya, dia juga harus melakukan upaya untuk
melindungi hak asasi yang dimilikinya berdasarkan konstitusi tersebut. Ia harus
melakukan upaya untuk melindungi hak asasinya tersebut yaitu dengan membuat
Perjanjian Perkawinan.
Pasal
103 ayat 2 menentukan “Hak atas tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), bukan merupakan harta
bersama
yang
dibuktikan dengan perjanjian pemisahan
harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.”. Menjadi
pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “perjanjian pemisahan harta” di dalam
Pasal 3 ayat 2 tersebut?. Menurut penulis yang dimaksud “perjanjian pemisahan harta” tersebut adalah
“perjanjian perkawinan” yang isinya menyangkut pemisahan harta diantara suami
isteri. Perjanjian Perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat
perkawinan.Perjanjian Perkawinan tidak dapat dibuat sepanjang perkawinan dilangsungkan.
Jika benar yang dimausd di dalam pasal 3 ayat 2 tersebut adalah “perjanjian
perkawinan” maka pasal tersebut sifatnya hanya mempertegas ketentuan yang sudah
berlaku sebelumnya yang siatur di dalam KUHPerdata maupun peraturan
perundang-undangan lainnya. Yang menjadi persolan apabila “perjanjian pemisahan
harta” tersebut ditafsirkan nulan sebagi perjanjian perkawinan melainkan
perjanjian lain yang dapat dibuat oleh suami dan isteri sepanjang perkawinan
mereka. Jika ini yang terjadi maka tentunya telah terjadi ketidakpastian hukum
di dalan hukum perkawinan kita, khususnya hukum yang menyangkut harta benda
perkawinan. Yang terakhir ini dapat menimbulkan berbagai pembuatan perjanjian
simulasi, yang sebenarnya “terlarang”, akanm tetapi sekarang mendapat
perlidungan di dalam hukum positif kita atau dilindungi oleh Pemerintah.
10.
Kesimpulan
Dari
catatan-catatan diatas maka terlihat bahwa PP 103 ini belumlah tmemberikan
kepastian hukum sebagaimana tujuan
pembuatannya.Untuk itu perlu dilengkapi dengan penyusunan peraturan
pelaksanaannya yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum kepada semua
pihak/
Salam
Alwesius, SH,MKn.