Pembuatan
Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
(Revisi)
Oleh :
Alwesius, SH,Mkn
1. Pendahuluan
Pada
tanggal 21 Maret 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan
putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang terkait dengan gugatan yang
diajukan oleh Nyonya Ike Farida terhadap beberapa pasal di dalam UU Nomor 5
Tahun 1960 (UUPA) dan Pasal 29 dan 35 UU Nomor 1 Tahun 1974. Dari
gugatan-gugatan yang diajukan tersebut Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan
salah satu guguatan yaitu yang terkait Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur
mengenai perjanjian perkawinan.
Mahkamah
Konsitusi mengubah ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 tahun 1974, sehingga Pasal 29
tersebut yang semula berbunyi:
“(1)Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan
bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan.
(4)Selama
perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk mengrubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak
ketiga.”,
menjadi
berbunyi sebagai berikut:
“(1)Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau
selama perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan, kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(5)Selama perkawinan dilangsungkan, perjanjian dapat mengenai harta perkawinan
atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk mengubah atau mencabut dan
perubahan atau pencabutan tersebut tidak
merugikan pihak ketiga.
Dengan
adanya perubahan ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka
terdapat beberapa perubahan yang terjadi terkair perjanjian perkawinan, yaitu:
a.
Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau
pada saat perjanjian perkawina, sekarang dapat juga dibuat sepanjang
perkawinan;
b.
Perjanjian perkawinan yang semula berlaku terhitung sejaka perkawinan
dilangsungkan, sekarang dapat juga berlaku mulai saat yang diperjanjikan oleh
suami isteri;
c.
Perjanjian perkawinan yang
semula hanya dapat diubah oleh kedua belah pihak, sekarang disamping dapat dapat
diubah, juga dapat dicabut oleh kedua belha pihak.
Namun
demikian dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Notaris tidak
serta merta dapat melayani permintaan pasangan suami isteri untuk membuat
perjanjian perkawinan. Masih terdapat permasalahan yang memerlukan kejelasan
dan kepastian sehubungan dengann pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berupa:
a.
Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa perjanjian perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan tersebut tidak merugikan pihak ketiga?
b.
Bagaimana tatacara pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat
sepanjang perkawinan?
c.
Sejak kapan sebaiknya perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang
perekawinan mulai berlaku, apakah berlaku surut sejak tanggal perkawinan
dilangusngkan atau mulai berlaku sejak saat dibuatnya perjanjian perkawinan
tersebut?
2. Pengertian Perjanjian
Perkawinan
Jika
kita melihat ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan
maka tidak terdapat pengertian yang jelas mengenai perjanjian perkawinan. Oleh
karena itu banyak para ahli yang memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan
perjanjian perkawinan.
Dari
berbagai pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, penulis mencoba
untuk menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian yang
dibuat oleh calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap
harta benda/harta kekayaan mereka, dengan menyimpang dari prinsip harta benda
perkawinan menurut undang-undang.
Namun demikian walaupun perjanjian perkawinan pada prinsipnya berisikan pengaturan
mengenai harta perkawinan, sesuai bunyi Pasal 29 ayat 4 UU Perkawinan,
perjanjian perkawinan dapat juga berisikan hal lain selain mengenai harta perkawinan.
3. Pembuatan Perjanjian
Perkawinan Menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan
Ada
perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata dan
UU Perkawinan. Menurut ketetntuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman
kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris dan dibuat
sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan tersebut mulai berlaku
terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148 KUHPerdata menentukan bahwa
sepanjang perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga perjanjian perkawinan
tidak dapat diubah.
UU
Perkawinan mengatur perihal perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal
yaitu Pasal 29. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian
perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan
suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangusng perjanjian perkawinan
tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian
untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dengan
demikian terlihat ada perbedaan ketentuan mengenai pembuatan perjanjian menurut
KUHPerdata dan UUPerkawinan, yaitu:
1) Menurut KUHPerdata,
perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, sedangkan menurut UU
Perkawinan, perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis, jadi bisa
dibuat dengan akta notaris atau dibuat dibawah tangan;
2) Menurut KUHPerdata,
perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangusngkan,
sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan;
3) Menurut KUHPerdata,
sepanjang perkawinan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun
juga, sedangkan menurut UU Perkawinan, prinsipnya perjanjian perkawinan tidak
dapat diubah sepanjang perkawinana kecuali bila dari kedua belah pihak
ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
4. Pencatatan Perjanjian
Perkawinan
Setelah
dibuatnya perjanjian perkawinan maka selanjutnya perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh suami isteri tersebut kemudian harus dicatat, agar perjanjian
perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga. Perjanjian perkawinan yang tidak
dicatat tidak mengikat pihak ketiga akan tetapi hanya mengikat para pihak
yang membuatnya.
Menurut
152 KUHPerdata, pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Panitera
Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan tersebut
dilangsungkan. Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negeri maka pencatatan
perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Paniteran Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat dimana perkawinan tersebut dicatat.
Sesuai
ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan. Menurut penulis “disahkan” dalam kalimat ketentuan
Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian perkawinan
tersebut tidak sisahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian
perkawinan tersebut tidak sah. Pengesahan tersebut dilakukan dengan melakukan
pembukuan atau pencatatan perjanjian perkawinan tersebut di dalam buku daftar
yang memng disediakan untuk melakukan pencatatan.
Pencatatan
perjanjian perkawinan setelah berlakunya UU Perkawinan tidak lagi dilakukan di
Kantor Panitera Pengadilan Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil) atau Kantor Urusan Agama.
5. Pembuatan Perjanjian
Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
a.
Perjanjian Perkawinan Dapat Dibuat
Sepanjang Perkawinan Suami Isteri
Dengan
keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, pada tanggal 21
Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan dengan pembuatan perjanjian
perkawinan. Apabila sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat
sebelum atau pada saat perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat
juga dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka.
Dengan
adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka pasangan suami isteri, yang
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan tidak membuat perjanjian perkawinan,
jika mereka ingin membuat perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan mereka
tidak lagi harus meminta penetapan pengadilan untuk keperluan pembuatan
perjanjian perkawinan tersebut, seperti yang telah beberapa kali terjadi.
Mereka yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat membuat perjanjian
perkawinan tersebut dihadapan Notaris.
b. Bentuk Perjanjian
Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan
Jika
kita melihat ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur di dalam
KUHPerdata maupun pendapat para ahli, maka dapat kita ketahui ada beberapa
bentuk perjanjian perkawinan, antara lain:
1)
Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau harta
terpisah berupa apapun juga;
2)
Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi;
3)
Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan;
Perjanjian
perkawinan diluar persekutuan harta benda dibuat dengan maksud agar dinatara
suami isteri tidak terdapat harta persatuan berupa apapaun juga. Jadi semua
harta yang dibawa kedalam perkawinan maupun semua harta atau penghasilan yang
diperoleh sepanjang perkawinan, darimanapun harta tersebut berasal dan apapun
sebab perolehannya merupakan milik pribadi/harta pribadi pihak yang membawa
atau memperolehnya.
Perjanjian
perkawinan persatuan untung dan rugi dibuat dengan maksud agar semua harta yang
dibawa ke dalam perkawinan, demikian juga harta yang diperoleh dari warisan
atau hibah tetap merupakan milik pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya,
sementara segala keuntungan dan kerugian sepanjang perkawinan dibagi dua
dinatara suami isteri masing-masing dengan bagian yang sama besarnya.
Perjanjian
perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, hampir sama dengan perjanjian
perkawinan persatuan untung dan rugi. Perbedaannya adalah bahwa didalam
perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, yang dibagi dua diantara
suami isteri adalah hasil dan pendapatannya saja (keuntungan), sedangkan
apabila di dalam perkawinan tersebut terdapat kerugian (lebih besar utang/beban
dari pada penghasilan) maka utang tersebyut ditanggung dan dibayar oleh suami.
Disamping
bentuk-bentuk perjanjian perkawinan sebagaimana diuraikan diatas tentunya masih
ada berbagai bentuk perjanjian perkawinan lain. Berkaitan dengan hal tersebut
tentunya bentuk perjanjian perkawinan yang mana yang akan dibuat oleh suami isteri
sepanjang perkawinan mereka tergantung dari tujuan dibuatnya perjanjian
perkawinan tersebut. Namun apabila kita melihat latar belakang dari adanya
tuntutan nonya Ike Farida yang menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut tentunya yang diinginkan untuk dibuat adalah perjanjian perkawinan
diluar persekutuan harta benda atau perjanjian perkawinan harta terpisah berupa
apapun juga, agar Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan dengan
Warga Negara Asing dapat tetap membeli tanah denganstatus Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan (HGB) di dalam perkawinan mereka.
Dengan
adanya berbagai bentuk perjanjian perkawinan maka didalam melayani permintaan
pembautan akta perjanjian perkawinan, para notaris harus memahami dan
mengetahui secara pasti keinginan dan tujuan para pihak untuk membuat perjanjian
perkawinan tersebut. Isi akta perjanjian perkawinan yang dibuat harus sesuai
dengan keinginan dan tujuan para pihak, bukan sesuai keinginan notaris.Misalnya
apakah maksud mereka membuat perjanjian perkawinan tersebut agar semua harta
yang kemudian diperoleh masing-masing suami isteri menjadi milik pribadi yang
memperolehnya atau yang menjadi milik masing-maisng pihak yang memperoleh hanya
yang berupa harta tidak bergerak (tanah) saja dan lain-lain.
c. Pembuatan Perjanjian
Perkawinan Sepanjang Perkawinan Tidak Boleh Merugikan Pihak Ketiga
Oleh
karena pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap
status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan
tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh
merugikan pihak ketiga. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya kita
dapat mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan pembuatan
perjanjian perkawinan.
Putusan
Mahkamah konstitusi maupun UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur hal tersebut. UU Nomor 1 Tahun
1974 hanya menentukan bahwa apabila perjanjian perkawinan tersebut telah
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut
mengikat pihak ketiga.
Untuk
melindungi kepentingan pihak ketiga tersebut sudah seharusnya terdapat tatacara
yang harus ditempuh agar pihak ketiga diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri
sepanjang perkawinan yang ternyata merugikan dirinya.
Berkaitan
dengan hal tersebut menurut pendapat penulis, sepanjang belum diatur tatacara
tersebut maka sebaiknya para notaris berhati-hati di dalam melayani permintaan
pembuatan akta perjanjian perkawinan tersebut, agar jangan sampai akta
perjanjian perkawinan yang dibuatnya menimbulkan permasalahan atau sengketa
dikemudian hari karena adanya gugatan dari pihak ketiga yang dirugikan atau dibuatnya
perjanjian perkawinan tersebut.
d. Mulai Berlakunya
Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan
Di
atas telah diuraikan bahwa untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau
pada saat perkawinan, sesuai ketentuan Pasa 29 UU Perkawinan, perjanjian
perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Lalu bagaimana
dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, apakah
perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak pembuatan perjanjian
perkawinan atau berlaku surut sejak tanggal perkawinan.
Jika
kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas bahwa terhadap perjanjian
perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan juga berlaku terhitung sejak
perkawinan dilangsungkan (berlaku surut), kecuali ditentukan lain di dalam
perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Pasal 29 UU Perkawinan yang berbunyi
“Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangusngkan.” menurut
Mahkamah Konstitusi harus dimaknai bahwa berbunyi “Perjanjian perkawinan
mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan.”
Sehubungan
dengan hal tersebut maka apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian
perkawinan tersebut mulai berlaku maka perjanjian perkawinan mulai berlaku
terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut).
Permasalahan
yang timbul apabila perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak
perkawinan dilangusngkan adalah apakah perjanjian perkawinan tersebut demi
hukum mengubah status hukum yang ada sebelum
dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut, apakah harta yang semula merupakan
harta bersama (harta gono gini) sumai isteri, dengan dibuatnya perjanjian
perkawinan tersebut berubah menjadi harta pribadi milik suami atau isteri yang
memperoleh harta tersebut. Jika memang benar demikian maka akan timbul
permasalahan, apakah suami isteri dapat melakukan pembagian dan pemidsahan
harta dalam perkawinan tanpa terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan.
Permasalahan berikutrnya terkait hal tersebut adalah apakah adanya perubahan
status harta tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
Sehubungan
dengan adanya permasalahan tersebut menurut penulis memang sebaiknya di dalam
membuat perjanjian perkawinan, suami isteri bersepakat bahwa perjanjian
perkawinan yang mereka buat mulai berlaku terhitung sejak saat dibuat
perjanjian perkawinan atau hanya berlaku terhadap harta-harta yang mereka
peroleh setelah dibuatnya perjanjian perkawinan, sehingga tidak mengubah staus
hukum harta yang telah ada sebelumnya.
Sehubyungan
dengan hal tersebut maka sebaiknya Notaris di dalam menerima permintaan
pembuatan perjanjian perkawinan memberikan penyuluhan hukum kepada pasangan
suami isteri tersebut mengenai mulai berlakunya perjanjian perkawinan serta permasalahan-permasalahan
yang ada, sehingga mereka dapat dengan sadar dapat memilih jangka waktu yang
berkaitan mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut.
d.
Pencatatan Perjanjian Perkawinan Yang
Dibuat Sepanjang Perkawinan
Sebagaimana
telah diuraikan diatas, dengan berlakunyan UU Nomor 1 Tahun 1974, pencatatan perjanjian
perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri.
Pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Pegawai Pencatatan
Perkawinan, yaitu di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, demikian
pula halnya terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Berkaitan
dengan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan,
apabila ternyata pegawai pencatat perkawinan (kantor catatan sipil/KUA) menolak
untuk melakukan pencatatan perjanjian perkawinan tersebut maka pasangan suami isteri yang bersangfkutan
dapat meminta penetapan pengadilan negeri untuk memerintahkan pegawai
pencatatan perkawinan (Kantor Catatan Sipil/KUA) untuk mecatat perjanjian
perkawinan tersebut.
6. Contoh Premisse Akta dan Pasal tertentu
dalam Perjanjian Perkawinan yang dibuta sepanjang perkawinan
a. Premisse
Akta
-Para penghadap
menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut:
-bahwa Para Pihak adalah merupakan suami
isteri, yang perkawinannya dilangsungkan di .............., pada tanggal
......................
sebagaimana
ternyata dalam Akta Perkawinan nomor
.........yang kutipan resminya dikeluarkan oleh ............. pada
tanggal ........................... diperlihatkan kepada saya, Notaris dan foto
copi sesuai asalinya dilekatkan pada minuta akta ini;
-bahwa perkawinan
Para Pihak dilangsungkan tanpa membuat perjanjian perkawinan, sehingga terhadap
harta benda mereka berlaku ketentuan harta benda perkawinan, yang diatur
didalam peraturan perundang-undang yang berlaku;
-bahwa oleh karena
satu dan lain hal yang telah diketahui oleh Para Pihak, sehingga tidak perlu
diuraikan di dalam akta ini, Para Pihak bermaksud membuat perjanjian
perkawinan, dengan tujuan untuk mengenyampingkan ketentuan undang-undang yang
mengatur harta benda perkawinan, dengan membuat perjanjian perkawinan (perjanjian
perkawinan harta terpisah berupa apapun juga);
-Sehubungan dengan
apa yang diuraikan diatas selanjutnya para penghadap menerangkan bahwa Para
Pihak dengan ini telah saling sepakat
kesepakatan untuk membuat perjanjian perkawinan (harta terpisah berupa
apapun juga, dengan memakai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
b. Bunyi pasal tertentu
Contoh Pasal terkait adanya harta terpisah
Pasal .....
Terhitung mulai hari ini, antara suami
isteri tidak akan terdapat persekutuan harta benda, bukan hanya tidak adanya
persekutuan menurut hukum, akan tetapi persekutuan untung dan rugi, persekutuan
hasil dan pendapatan serta persekutuan berupa apapun juga secara tegas
ditiadakan.
Contoh Pasal terkait barang yang telah ada
sebelumnya
Pasal ....
1.
Bahwa
barang-barang yang ada sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini, baik yang
merupakan harta pribadi masing-masing pihak yang bersalal dari harta bawaan, warisan
atau hadiha/hibah maupun harta bersama (harta gono gini Para Pihak adalah
sebagaimana diuraikan di dalam Daftar Harta yang dibuat dibawah tangan,
tertanggal hari ini, bermeterai cukup dan ditandatangani oleh Para Pihak, yang
aslinya dilekatkan pada minuta akta ini.
2.
Terhadap
barang-barang sebagaimana dimaksud di dalam ayat 1 Pasal ini tetap berlaku
ketentuan hukum sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini dan merupakan
pengecualian dari perjanjian perkawinan ini.
7.
Perjanjian perkawinan dapat diubah atau dicabut sewaktu-waktu
Pasal 29 ayat 4
UU Nomor 1 tahun 1974 memungkinkan perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh
pasangan suami isteri diubah atau dicabut sewaktu-waktu berdasarkan kesepakatan
suami isteri. Pembatasan yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 4 UU Nomor 1 tahun
1974, perubahan atau pencabutan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Dengan adanya
kemungkinan dilakukannya perubahan sewaktu-waktu dan bahkan dapat diubah
beberapa kali, hal ini akan membawa permasalahan tersendiri bagi notaris di
dalam praktek karena belum adanya cara untuk mengetahui atau melakukan
pengecekan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat suami isteri yang
bersangkutan apakah merupakah perjanjian perkawinan satu-satunya, apakah pernah
mengalami perubahan, jika ada sudah berapa kali diubah, apakah akta yang
ditunjukkan kepada notaris merupakan perubahan yang terakhir kali dan apakah
pernah dicabut atau tidak.
8.
Penutup
a. Simpulan
Sehubungan dengan apa yang diuraikan
diatas maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan setelah
perkawinan dilangsungkan;
2) Pembuatan perjanjian
perkawinan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
3) Perjanjian perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, akan
tetapi para pihak dapat menentukan di dalam perjanjian perkawinan tersebut saat
mulai berlaku perjanjian perkawinan yang bersangkutan, misalnya mulai berlaku
terhitung sejak tanggal pembuatan perjanjian perkawiann tersebut.
4) Pencatatan
perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan masih menjadi persoalan
karena belum adanya ketentuan mengenai pencatatannya. Oleh karena masih adanya
permasalahan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan tersebut, dapat
mengakibatkan tidak dapat dilakukannya pencatatan atas perjanjian perkawinan
yang telah dibuat. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat mengakibatkan
perjanjian perkawinan tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku
diantara para pihak. Untuk
itu agar perjanjian perkawinan tersebut dapat dicatat maka dapat diminta
penetapan pengadilan.
Semoga
bermanfaat
Salam
Alwesius,SH,MKn