PPJB TIDAK DAPAT DIPAKAI SEBAGAI DASAR UNTUK
PEMBUATAN SKMHT
Walaupun sudah beberapa kali dibahas
di dalam grup FBm masih saja banyak pertanyaan yang ditujukan kepada penulis, sehubungan
dengan adanya permintaan bank untuk membuat akta jaminan (SKMHT) yang obyeknya
masih didasarkan pada PPJB (belum AJB). Pertanyaan
tersebut telah beberapa kali diajukan kepada saya oleh rekan Notaris yang berbeda
karena adanya permintaan dari bank yang berbeda.Rekan Notaris ybs menyatakan ketika
ia ,menolak permintaan bank untuk membuat aktanya dan menyatkan bahwa PPJB
tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk pengikatan jaminan maka dijawan oleh
pihak bank “kenapa tidak bisa , kenapa di bank X itu bisa dibuat dan notarisnya
mau membuat akta jaminan tersebut”.Atas pertanayan rekan Notaris tersebut penulis
tetap mengatakan tidak bisa dan tolak
saja pembuatan aktanya.
Rekan-rekan memang ada rekan kita
yang berpendapat bisa saja dibuat SKMHTnya walaupun obyeknya masih berdasarkan
PPJB, yaitu dengan membuat SKMHT dengan syarat tangguh, dengan menambah kalimat
kurang lebih berbunyi “ ... sekarang ini untuk nanatinya apabila jual beli
sebagaimana dimaksud dalam akta Perjanjian pengikatan Jual beli tanggal ....
nomor .... yang dibuat dihadapan ......, yang salinannya bermetari cukup
diperlihatkan kepada saya, notaris, yang dibuat dan ditandatangani oleh dan diantara
........ dan ...............”.Pendapat rekan notaris tersebut dapat dibenarkan
jika kita hanya melihat hal tersebut dari sudut hukum perjanjian semata-mata. Benar
memang perjanjian (skmht) tersebut diperbolehkan, tidak bertentangan dengan
hukum perjanjian. Perikatan dengan syarat tangguh memng diperbolehkan sebagaimana
dimasksud dalam pasal 1253 KHUPerdata dan seterusnya. Demikian juga apabila dilihat
dari obyek perjanjian, benar obyek perjanjian dapat berupa barang/benda yang
akan ada sebagaimana ditentukan dalam pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan
“Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu
persetujuan”.
Berkaitan dengan hal tersebut menurut
penulis sebaiknya untuk melihat sesuatu masalah kita tidak hanya memandangnya dari
sudut yang sempit saja, kita harus melihat masalah tersebut dari segala aspek
baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut.Pertama; karena hal ini berkaitan
dengan aspek pemberian kredit, maka mari kita lihat ketentuan yang diatur di
dalam UU Perbankan (UU no. 7 tahun 1992 jo UU No 10 tahun 1998) yang mengatur
hal tersebut:
Pasal 8 ayat 1 UU Perbankan menentukan:
“(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, Bank
Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Penjelasan pasal 8 ayaat 1 UU Perbankan menjelaskan:
“Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung
risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti
keyakinan atas
kemampuan dan
kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan
merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan
kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur....”
Berdasarkan ketentuan
UU Perbankan tersebut sangat jelas bahwa kerdit yang diberikan oelh bank mengandung
risiko dan untuk mengurangi risiko tersebut bank harus memperhatikan asas-asas pemberian kredit yang sehar dalam
arti harus ada keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan Debitur
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dan untuk
mmeperoleh hal tersebut sebelum memberi kredit, bank harus melalukan penilaian
yang seksama antara lain terhadap agunan yang diberikan Debitur/Penjamin/pemberi
Agunan.
Kedua; Di
dalam pemberian kredit bank harus meperhatikan prinsip pemberian kredit, yang
dikenal dengan istilah “5 C Principle”, yaitu Character(karakter), Capacity (kemampuan
mengembalikan utang), Collateral (jaminan), Capital (modal),
dan Condition(situasi dan kondisi).Jadi salah satu primsip di dalam
pemberian kredit tersebut adalah adanya Colateral (jaminan). Collateral atau jaminan
adalah agunan atau jaminan berupa barang atau benda yang mungkin bisa disita atau dijual apabila
ternyata Debitur benar-benar tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pemberian
jaminan ini harus sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam SK Direksi BI
No. 23/69/Kep/Dir tanggal 28 Februari 1991.
Dengan melihat apa yang diuraikan
diatas maka adanya jaminan atau agunan merupakan salah satu hal yang penting
didalam pemberian kredit.Tanpa adanya jaminanyan dimaksud di dalam SK Direksi
BI tersebut berarti telah terjadi pemberian kredit tanpa agunan, yang tentunya
bertentangan dengan prinsip kehati-hatian di dalam pemberiann kredit, yang dapat
menimbulkan kerugian dan risiko pada bank.Tidak dipenuhinya prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana
bagi pihak Direksi, Dewan Komisaris atau pegawai bank yang bersangkutan karena
telah melakukan tindak pidana perbankan sebagaiman ditentuan din dalam pasal 49
UU Perbankan. Di dalam kejadian tertentu hal tersebut dapat juga terkena kepada
pihak-pihak yang turut membantu terjadinya peristiwa pidana tersebut (mungkin
saja Notaris).
Kita kembali kepada pemberian
jaminan yang didasarkan pada PPJB, yang diikat dengan SKMHT, yang menjadi
pertanyaan, apakah dengan dibuatnya SKMHT tersebut telah dipenuhinya prinsip
pemberian kredit, antara lain mengharuskan adanya collateral (jaminan/agunan).Penulis
berpendapat bahwa apabila SKMHT tersebut telah menjadi dasar bagi persyaratan
pencairan atau penarikan kredit oleh debitur maka dalam hal ini belum ada
pemberian jaminan.Kenapa demikian? Oleh karena dengan PPJB berarti hak kepemilikan
atas obyek agunan/jaminan tersebut belum berada ditangan pemberi agunan/pemberi
jaminan/pemnberi hak tanggungan.Obyek jaminan tersebut masih merupakan ,ilik
pihak lain, dengan demikian ketikan SKMHT ditandataganai dan kemudian dipakai
seewbgaia salah satu syarat pencioatan/penarikan kredit tidak ada
jaminan/agunan yang diberikan oleh Debitur dan karennya bertentangan dengan
ketentuan UU Perbankan dan Peraturan BI.
Sehubungan dengan hal tersebut
maka Notaris atau PPAT wajib menolak pembuatan akta SKMHT yang obyeknya belum
menjadi milik pemberi agunan. Sekalipun pemebri agunan di dadalam pembelian
obyek jaminan tersebut telah membayar lunas harga obyek jaminan tersebut dan
mengikatnya dengan PPJB lunas, tetap saja menurut ketentuan hukum tanah kita,
yang bersangkutan belum menjadi pemilik dari obyek jaminan, apalagi kita
ketahui masih saja ada kemungkinan jual beli sebagaimana dimaksud di dalam PPJB
tersebut dapat tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Salam Penulis
Alwesius, SH,MKn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar