PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 66 UUJN DAN
TINDAKAN YANG DAPAT KITA LAKUKAN KEDEPAN
Oleh : Alwesius, SH, MKn
1.
Pendahuluan
Selasa tanggal 23 Maret 2013 dengan
Putusan nomor 49/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membuat
suatu putusan yang mengagetkan para notaris di Indonesia. Saya katakan
mengagetkan karena dengan keluarnya putusan tersebut banyak notaris merasa
kehilangan “senjata pamungkas” untuk
melakukan penolakan dalam kaitan dengan pemanggilan dirinya sebagai saksi
maupun tersangka.
Putusan tersebut mengagetkan
karena putusan tersebut berkaitan dengan ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN yang
mensyaratkan terlebih dahulu harus ada persetujuan Majelis Pengawas Daerah
(MPD) jika penyidik, penuntut umum atau hakim akan memanggil notaris untuk
hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol
notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Bunyi ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut
selngkapnya dalah sebagai berikut:
“(1)
Untuk kepentingan proses
peradilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis
Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol
Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir
dalam pemeriksaan
yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam penyimpanan Notaris.”
Harus adanya persetujuan dari
MPD memang dirasakan oleh banyak pihak
termasuk pihak kepolisian “menghambat” proses perkara yang berkaitan
dengan notaris, termasuk yang dirasakan oleh Kant Kamal
yang kemudian melakukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi berkaitan dengan frasa “ dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”
yang terdapat dalam pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut, yag akhirnya melahirkan
putusan tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi
telah dikeluarkan, putusan tersebut sesuai ketentuan pasal 10 ayat 1 UU
Mahkamah Konstitusi merupakan keputusan yang bersifat final. Karena keputusan
tersebut bersifat final maka tidak terdapat lagi upaya hukum yang dapat dilakukan
atas putusan tersebut baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Bagi notaris yang terikat pada sumpah jabatan notaris maka kita wajib
menghormati dan mematuhi keputusan tersebut, namun demikian bagaimana kita
dapat mematuhi keputusan tersebut dengan sekaligus pada saat yang sama kita
dapat memenuhi kewajiban jabatan kita berdasarkan UUJN serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
bagaimana kita mematuhi putusan tersebut dan sekaligus tidak melanggar
sumpah jabatan kita khususnya yang berkaitan dengan kalimat “bahwa saya akan merahasiakan isi
akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan
saya”.
Berkaitan
dengan pertanyaan tersebut maka saya mencoba membuat tulisan ini agar dapat
menjadi renungan kita bersama sehingga kita dapat mengambil langkah-langkah
yang tepat dan bijak sesuai harkat dan martabat jabatan kita, notaris
Indonesia.
2.
Hak Ingkar atau Kewajiban Ingkar
Notaris
Hak ingkar (verschoningsrecht) atau kewajiban ingkar
(verschoning splicht) dari seorang notaris berkaitan dengan adanya ketentuan
yang berkaitan dengan rahasia jabatan notaris. Ketentuan mengenai rahasia jabatan
notaris dapat diketemukan di dalam pasal 4 UUJN yang mengatur mengenai sumpah
jabatan notaris, yang berbunyi “Saya bersumpah/berjanji:...bahwa
saya
bahwa
saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan
jabatan saya.”, pasal 16 ayat 1 huruf
e yang berbunyi “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban ...
merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan
yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan ...”, dan pasal 54 UUJN yang berbunyi “ Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli
waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”
Perihal hak ingkar
(verschoningsrecht) maka seseorang baik karena pekerajaan, harkat martabatnya
atau jabatannya diwajibkan untuk menyimpan rahasia dapat menggunakan haknya
untuk minta dibebaskan sebagai sebagai saksi baik dalam suatu perkara perdata
maupun dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata diatur dalam pasal 1909 KUHPerdata yang menentukan “ Semua orang yang cakap untuk
menjadi saksi, siharuskan memberikan kesaksian di muka hakim. Namun dapatlah
meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian: ... segala siapa
yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang
diwajibkan merahasikan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal
yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.” Untuk perkara pidana
diatur dalam pasal 170 KUHAP yang menentukan
:
“ 1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari
kewajiban untuk
memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka;
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.”
Orang-orang
yang mempunyai hak ingkar ini antara lain pendeta, dokter dan notaris.
Orang-orang ini dapat menolak untuk memberikan kesaksiannya berdasarkan hak
ingkar (verschoningsrecht) yang dimilikinya tersebut.
Berkaitan dengan masalah
rahasia jabatan notaris, dalam pembahasan mengenai pasal 17 dan 40 UUJN yang
pada intinya berisikan kewajiban notaris merahasiakan isi akta, GHSL Tobing menyatakan
sebagai berikut:
a.
Bahwa
para notaris wajib untuk merahasiakan, tidak hanya apa yang dicantumkan dalam
akta-aktanya, akan tetapi juga semua apa yang diberitahukan atau disampaikan
kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun itu tidak dicantumkan
dalam akta-aktanya;
b.
Bahwa
hak ingkar dari para notaris tidak hanya merupakan hak (verschoningsrecht),
akan tetapi meruapakan kewajiban (verschoningspicht), notaris wajib untuk tidak
bicara. Hal ini tidak didasarkan kepada pasal 1909n sub 3 KUHPerdata, yang
hanay membeikan kepadanya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, akan
tetapi didasarkan kepada pasal 17 dan pasal 40 PJN.
c.
Bahwa
di dalam menentukan sampai seberapa jauh jangkauan hak ingkar dari para notaris,
harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para notaris untuk tidak bicara mengenai
isi akta-aktanya, dalam arti baik mengenai yang tercantum dalam akta-aktanya
maupun mengenai yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam
kedudukannya sebagai notaris, sekalipun dimuka pengadilan, kecuali hal-hal
dimana terdapat kepentingan yang lebih tinggi atau dalam hal-hal simana untuk
itu notaris oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku
membebaskannya secara tegas dari sumpah rahasia jabatannya.
Sehubungan dengan
penjelasan GHSL Tobing tersebut maka jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 4,
16 dan 54 UUJN maka jelas bahwa untuk merahasiakan isi akta beserta hal-hal
yang diberitahukan kepada notaris sehubungan dengan pembuatan akta tersebut
adalah merupakan suatu kewajiban jabatan notaris, sehingga dengan demikian
untuk mengundurkan diri sebagai saksi atau menolak untuk memebrikan keterangan sebagai
saksi bukan hanya meruapakan hak tai juga meruapakan suatu kewajiban bagi
notaris. Jadi notaris tidak hanya mempunyai hak ingkar (verschongsrecht) akan
tetapi juga mempunyai kewajiban ingkar (verschoningssplicht).
3.
Akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
berlakunya pasal 66 UUJN
Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan
dengan gugatan yang diajukan oleh Kant Kamal yang diputus pada hari Selasa
tanggal 23 Maret 2013 dengan Putusan nomor 49/PUU-X/2012 telah memutuskan :
“1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya:
1.1
Menyatakan
frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
1.2
Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;”
Putusan tersebut jelas menyatakan bahwa frasa “
dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 UUJN dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dengan putusan tersebut yang menjadi
pertanyaan adalah apakah frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam
pasal 66 UUJN tersebut dianggap tidak ada atau tidak tertulis atau frasa
tersebut tetap dianggap ada sekalipun frasa tersebut dinayatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekauatan hukum mengikat.
Jika frasa “dengan persetujuan Pengawas Daerah”
dianggap tidak ada atau dianggap tidak tertulis menurut saya, notaris wajib memenuhi
panggilan penyidik, penuntut umum maupun hakim jika diminta untuk menjadi saksi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut. Notaris yang semula
dapat menolak sebelum adanya persetujuan MPD tidak lagi dapat menolak hal
tersebut karena hal tersebut menjadi kewajiban yang diatur dalam UUJN (dengan
adanya putusan tersebut makna pasal 66 ayat 1 UUJN berubah 180 derajat dari maknanya
semula).
Jika frasa tersebut tetap dianggap ada sekalipun
frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka dalam
rangka pemanggilan terhadap notaris dalam suatu perkara sekalipun tidak diperlukan adanya persetujuan
dari MPD akan tetapi secara prosedur pemanggilan tersebut tetap harus
diberitahukan kepada MPD sebagai pengawas Notaris. Untuk hal yang terkahir ini
hendaknya segera dikeluarkan peraturan Menteri Hukum dan Ham perihal pemanggilan
notaris sehubugan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut agar tidak
terjadi kesemena-menaan dalam pemaggilan notaris.
4.
Tindakan yang dapat kita lakukan
kedepan
Berkaitan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal-hal yang dapat dilakukan kedepan untuk
menjaga harkat martabat jabatan notaris adalah sebagi berikut:
a.
Meningkatkan profesionlisme
notaris serta harkat martabat jabatan notaris;
b.
Meningkatkan kekuatan lembaga
organisasi INI sebagai satu-satunya perkumpulan notaris, dengan menjaga
kehormatan dan kewibawaan lemabag INI;
c.
Memperkuat lembaga pengayoman pada
setiap tingkatan agar dapat melindungi semua anggota perkumpulan tanpa kecuali;
d.
Menjaga komunikasi dan hubungan
yang lebih baik dengan semua instansi atau lembaga;
e.
Mendorong PP INI agar mendesak
Menkumham segera menerbitkan peraturan mengenai tatacara pemanggilan notaris
dengan memasukan produr pemanggilan dengan cara adanya pemberitahuan kepada
MPD;
f.
Memasukan ketentuan dalam UUJN
perihal pengawasan notaris dikembalikan kepada Mahkamah Agung dan pemanggilan
terhadap notaris harus ada persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri;
g.
Jika huruf f tidak berhasil maka
dalam RUUJN dimasukan ketentuan bahwa untuk pemanggilan Notaris harus diberitahukan
kepada MPD.
Demikian sedikit tulisan yang memuat pemikiran saya,
mohon masukan dari rekan-rekan.
Salam
Alwesius,SH,MKn