A.
Pendahuluan
Pada
prinsipnya hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional kita bagi Warga Negara Asing (WNA) untuk menguasai dan
memiliki tanah di Indonesia adalah “Hak Pakai”. Ketentuan penguasaan dan pemilikan tanah oleh
WNA untuk keperluan rumah
tinggal saat ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 tentang
Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Untuk Orang Asing Yang Berkedudukan di
Indonesia (PP 103/2015)[3] pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah
Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.(PP
41/1996), dan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN RI Nomor 29 tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelapasan,
Atau Pengalihan Hak atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang
Asing yang berkedudukan di Indonesia
(Permen 29/2016).[4]
Sehubungan
dengan hal tersebut, maka perlu adanya pembatasan terhadap rumah tempat tinggal
atau hunian yang akan diberikan kepada Orang Asing.
Oleh karena WNA
hanay dapat memiliki tanah dengan status hak pakai maka WNA hanya dapat
memiliki Rumah atau Satuan Rumah Susun/Apartemen yang berada atau dibangun diatas tanah Hak Pakai, baik hak pakai atas
tanah negara maupun hak pakai atas tanah hak pengelolaan. Hak Pengelolaan
adalah hak menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.[5] Jadi pada prinsipnya tanah
hak pengelolaan sama dengan tanah negara, namun dikelola oleh pemegang hak
pengelolaan yang bersangkutan, dimana pemegang hak pengelolaan tersebut
mempunyai kewenangan :
a.
merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
b.
menggunakan
tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;
c.
menyerahkan
bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang
ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi
peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa
pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh
pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.[6]
Di dalam RUU Cipta Kerja, ditentukan bahwa
kewenangan pemegang hak Pengelolaan adalah:
a.
menyusun
rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana
tata ruang;
b.
menggunakan
dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah Hak Pengelolaan untuk digunakan
sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan
c.
menentukan
tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari
pihak ketiga sesuai dengan perjanjian. [7]
Pada prinsipnya
keweanagan pemegang Hak Pengelolaan yang disebutkan dalam PMDN No. 1 Tahun 1977
dan RUU Cipta Kerja. Di dalam RUU Cipta Kerja adanya penegasan kewenagan dari
pemegang Hak Pengelolaan untuk menentukan
tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari
pihak ketiga sesuai dengan perjanjian
Yang
menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana kepemilikan Apartemen bagi WNA di
atas tanah Hak Pengelolaan?
B.
Macam hak atas tanah dan hak atas
tanah yang dapat dimiliki oleh orang asing untuk keperluan bangunan
Hak atas tanah yang dapat diberikan di atas tanah
negara menurut UUPA, adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai. Dari macam ha katas tanah
tersebut, ha katas tanah yang
disediakan untuk keperluan atau sebagai wadah bangunan adalah Hak Milik, HGB
dan Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) jo Pasal 9 ayat (1)
, Hak Milik pada prinsipnya hanya dapat
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun demikian berdasarkan ketentuan
Pasal 21 ayat (3) UUPA, Warga Negara Asing dapat juga memperoleh tanah dengan
status hak milik, jika diperoleh karena terjadinya peristiwa hukum berupa
pewarisan berdasarkan UU, perkawinan campur dengan persekutuan harta benda dan
peralihan kewarganegaraan dari WNI menjadi WNA. Namun kebolehan tersebut
bersyarat, yaitu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak terjadinya peristiwa
tersebut, tanah hak milik yang bersangkutan wajib dialihkan kerpada pihak lain
yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut haknya tidak
dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan
hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan.[8]
Berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (2) UUPA jo Pasal
19 PP No. 40 tahun 1996, pada prinsipnya HGB hanya dapat dimiliki oleh WNI dan
Badan Hukum Indonesia. Apabila karena suatu peristiwa hukum subyek HGB tersebut
tidak lagi memenuhi syarat, misalnya karena pewarisan tanah HGB tewrsebut
berlaih kepada WNA, maka dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun HGB tersebut harus dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut haknya tidak dilepaskan atau
dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain
yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan.[9]
Hak Pakai merupakan hak atas
tanah yang peruntukannya dapat untuk bangunan maupun pertanian. Hak Pakai dapat
dimiliki oleh WNI, WNA maupun Badan Hukum Asing, bahkan dapat digunakan untuk
keperluan khusus oleh Instansi Pemerintah, Badan Sosial, Badan Keagamaan,
Perwakilan Negara Asing, Badan-Badan Internasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 PP No. 40
Tahun 1996, apabila pemegang Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi syarat,
misalnya tanah WNA pemegang Hak Pakai tersebut meninggal dunia, sementara ahli
warisnya juga merupakan WNA yang tidak memenuhgi syarat sebagai subyek Hak
Pakai (tidak berkedudukan di Indonesia) maka dalam waktu 1 (satu) tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat.
Apabila dalam jangka waktu tersebut haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak
tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di
atas tanah tersebut tetap diperhatikan.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas maka pada pada
prinsipnya WNA hanya dapat memiliki tanah di Indonesia dengan status Hak Pakai,
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-unadangan.
Apartemen dapat
didirikan diatas tanah HGB atau Hak Pakai di atas Tanah Negara dan diatas tanah
HGB atau Hak Pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan. Secara yuridis lembaga
kepemilikan Apartemen tersebut adalah merupakan pemilikan atas Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun (“HM Sarusun”), yang merupakan pemilikan atas unit satuan rumah susun (bagian-bagian
dari suatu bangunan Rumah Susun), yang dapat dimiliki secara terpisah dan
individual, yang pemilikannya meliputi pula pemilikan atas “kepemilikan
bersama” atas bagian bersama (misalnya dinding, lantai, lorong/selasar), benda
bersama (misalnya gedung pertemuan, lapangan tennis, kolam renang) dan tanah
bersama (tanah dimana bangunan Rusun tersebut didirikan), yang pemilikannya
ditetapkan berdasarkan Nilai Perbandingan Proposional.[11]
Bukti kepemilikan
atas Apartemen atau HM Sarusun tersebut adalah Sertipikat HM Sarusun, yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas:
a.
salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangkutan yang
menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan
c.
pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.[12]
Berdasarkan ketentuan Pasal 47
ayat (2) UURS, menentukan: “SHM
sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan bagi setiap orang yang
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.” Hal ini berarti bahwa
pada prinsipnya orang yang dapat memiliki HM Sarusun adalah orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah dimana Rumah
Susun tersebut berdiri.
Pemilikan
Apartemen dilakukan dengan menandatangani akta jual beli dihadapan PPAT,
setelah terbitnya Sertifikat HM Sarusun.
Pembelian tersebut dapat dilakukan dari tangan pertama (Pengembang) atau
dari tangan kedua, dengan memenuhi semua
persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembelian dari tangan pertama (pengembang) dapat juga dilakukan sebelum
Apartemen tersebut selesai dibangun, dengan membuat Perjanjian Pengikatan Jual
Beli yang dibuat dihadapan Notaris.[13]
Semua pemilik dan
penghuni Apartemen wajib berhimpun dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satus
Rumah Susun (P3SRS), yang merupakan nadan hukum, yang anggaran dasarnya
disahkan oleh Bupati/Walikota dan khusus untuk DKI Jakarta oleh Gubernur atau
Pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur.[14]
D.
WNA yang dapat memiliki
Apartemen di Indonesia
Saat ini pemilikan Apartemen oleh WNA diatur di dalam
PP No. 103 Tahun 2015 dan diatur lebih lanjut dalam Permen ATR No. 29 Tahun 2016. PP No. 103 Tahun 2015
membatasi pemilikan tanah bagi WNA, dimana WNA hanya dapat
memiliki tanah di Indonesia hanya untuk keperluan rumah tinggal atau
hunian.
WNA yang dapat mempunyai rumah tinggal atau
hunian tersebut adalah WNA yang berkedudukan di Indonesia.[15] WNA yang
berkedudukan di Indonesia menurut PP No. 103 Tahun 2015
adalah orang yang bukan WNI yang
keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi
di Indonesia. dan merupakan pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.Izin tinggal terdiri
atas izin tinggal diplomatik, izin tinggal dinas, izin tinggal kunjungan, izin
tinggal terbatas, dan izin tinggal tetap.[16]
Dalam hal WNA meninggal dunia, Apartemen
yang dimilikinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Jika ahli
warisnya juga merupakan WNA, ahli warisnya tersebut harus mempunyai
izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[17]
Apabila WNA atau ahli waris yang merupakan WNA yang
memiliki Apartemen yang dibangun di atas tanah Hak Pakai tidak lagi
berkedudukan di Indonesia, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut Apartemennya tersebut
belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat:
a.
rumah di lelang oleh Negara, dalam hal
dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara;
b.
rumah menjadi milik pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, dalam hal rumah tersebut dibangun di atas tanah
berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 1 huruf b.
E.
Ketentuan mengenai Apartemen yang
dapat dimiliki oleh WNA yang berlaku saat ini
Apartemen yang dapat dimiliki oleh WNA adalah Apartemen yang dibangun di atas bidang tanah Hak
Pakai atau berasal dari perubahan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang berasal dari pembelian unit baru, [19]yang dibeli langsung dari
pengembang dan bukan berasal dari tangan kedua.[20]
Batasan harga minimal yang dapat dibeli oleh WNA
adalah batasan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Permen ATR No. 29 Tahun 2016, sebagai
berikut:
No.
|
Lokasi/Provinsi
|
Harga Minimal
(Rupiah)
|
1
|
DKI Jakarta
|
3 Milyar
|
2
|
Banten 2 Milyar
|
2 Milyar
|
3
|
Jawa Barat 1 Milyar
|
1 Milyar
|
4
|
Jawa Tengah 1 Milyar
|
1 Milyar
|
5
|
DI Yogyakarta
|
1 Milyar
|
6
|
Jawa Timur
|
1,5 Milyar
|
7
|
Bali
|
2 Milyar
|
8
|
NTB
|
1 Milyar
|
9
|
Sumatera Utara
|
1 Milyar
|
10
|
Kalimantan Timur
|
1 Milyar
|
11
|
Sulawesi Selatan
|
1 Milyar
|
12
|
Daerah/Provinsi Lainnya
|
750 Juta
|
.
F.
Cara Memperoleh Rumah
Tinggal Oleh Asing
Sebagaimana
telah diuraikan diatas, apabila Apartemen tersebut berdiri diatas tanah Hak Pakai
maka WNA dapat memperoleh Apatemen tersebut dengan PEMBELIAN LANGSUNG unit baru dari PENGEMBANG, dengan menandatangani
akta jual beli dihadapan PPAT yang berwenang, dengan atau tanpa didahului
dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris.[21]
Oleh
karena WNA hanya boleh memiliki Apartemen yang didirikann
diatas tanah
dengan status Hak Pakai maka jika yang
tersedia adalah Apartemen
yang dibanguan di atas tanah HGB tentunya pada prinsipnya perolehan Apartemen tersebut tidak
dapat dilakukan melalui jual beli. Perolehan Apartemen tersebut melalui jual
beli hanya dapat dilakukan apabila HGB dimana Apartemen tersebut dibangun telah
diubah menjadi Hak Pakai. Namun cara ini dalam praktik tidak akan dilakukan
oleh Pengembang karena berbagai faktor, antara lain kurangnya peminat atas
tanah dengan status Hak Pakai dan juga pihak perbankan belum mau memberikan
kredit dengan tanah hak pakai sebagai agunan.Jadi kurang marketable dan bankable
Namun walaupun
pada prinsipnya secara yuridis Apartemen yang didirikan diatas HGB tidak dapat
dibeli oleh WNA, namun Pasal 6 ayat (2) Permen ATR No. 29
Tahun 2016 memungkinkan dilaksanakannya jual beli dihadapan PPAT, sekalipun Apartemen yang bersangkutan
dibangun diatas tanah HGB atas
Tanah Negara atau HGB di atas Tanah Hak Pengelolaan. Dan pada saat dilakukannya
pendaftaran peralihan hak karena jual beli tersebut Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun (Apartemena) langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai atas
Satuan Rumah Susun kepada WNA.
Pasal 10 ayat (2)
Permen ATR No. 29 Tahun 2016 menentukan bahwa perubahan Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun tersebut demi hukum terjadi langsung sesuai dengan asas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Permen ATR No. 29 Tahun 2016, yang berbunyi:
“Pemberian, pelepasan, dan pengalihan hak atas pemilikan rumah tempat
tinggal atau hunian yang dimiliki oleh Orang Asing berdasarkan pada asas bahwa
macam hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang mengikuti status subyek
hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”
Pendaftaran perubahan hak
merupakan proses administrasi dan tidak mengakibatkan putusnya hubungan
keperdataan antara subyek hak dengan haknya.
Hak Pakai atas
Satuan Rumah Susun yang diperoleh pertama kali dari unit Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun baru diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, serta dapat diperbaharui
untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun[22]
Permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun menjadi Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun sebagaimana
diajukan oleh yang bersangkutan, atau kuasanya, kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat, dengan disertai:
a.
blanko permohonan yang sudah diisi lengkap dan
ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah, yang berlaku sebagai
keterangan melepaskan hak atas tanah semula;
b.
Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang dimohon perubahan haknya;
c.
Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat
lelang, apabila hak yang bersangkutan dimenangkan oleh Orang Asing dalam suatu
pelelangan umum;
d.
surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila
Hak Milik atas
Rumah Susun tersebut dibebani Hak Tanggungan;
e.
bukti sah pembayaran Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan
sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan
f.
bukti identitas pemohon.
Pendaftaran
perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah
Susun tersebut dilakukan dengan cara:
a.
mencoret kata-kata dan nomor Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
bersangkutan berikut seluruh daftar-daftar dan peta-peta hak tanah dan bidang
tanah terkait, dan menggantikannya dengan kata-kata dan nomor Hak Pakai Atas
Satuan Rumah Susun;
b.
dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun dituliskan kata-kata: “Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun Nomor: ... /.................
ini berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata
Cara pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, dilepaskan
dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah
Susun Nomor: ... /...................... ”.
Tanah
Bersama, Bagian Bersama, dan Benda Bersama di mana Hak Pakai Atas Satuan Rumah
Susun ini berada, tetap dan tidak perlu dilakukan perubahan pencatatannya pada
Buku Tanah dan Sertifikat serta daftar-daftar dan peta-peta yang bersangkutan,
karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Permen ATYR No. 29 Tahun 2016 mutatis mutandis berlaku
bagi pemegang Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.
Dalam hal
kepemilikan seluruh Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun dalam suatu bangunan
gedung bertingkat beralih atau dialihkan kepada WNA, maka Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat
dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan perubahan menjadi
Hak Pakai. Dalam hal Tanah Bersama atas bangunan gedung bertingkat tersebut
merupakan Hak Guna Bangunan, maka di dalam kolom perubahan pada Buku Tanah dan
Sertifikat Hak Guna Bangunan dituliskan kata-kata: “Hak Guna Bangunan Nomor:
... /................. ini berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun
2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di
Indonesia, dilepaskan menjadi Tanah Negara dan langsung diberikan dengan
perubahan menjadi Hak Pakai Nomor: ... /...................”.
Dalam hal Tanah Bersama
atas bangunan gedung bertingkat tersebut merupakan Hak Pengelolaan, maka di dalam kolom
perubahan pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Pengelolaan dituliskan kata-kata:
“Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor ... Tahun ... tentang Tata Cara
Pemberian, Pelepasan, dan Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, maka atas Hak
Pengelolaan Nomor: ... / ........... dilepaskan menjadi Tanah Negara dan
langsung diberikan dengan perubahan menjadi Hak Pakai Nomor: ...
/...................... ”.
Jangka waktu berlakunya
Hak Pakai tersebut adalah sisa jangka
waktu berlakunya Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun.[24]
Menurut Penulis ketentuan
yang ditetapkan dalam Permen ATR/Ka.BPN No. 29 Tahun 2015 tersebut, secara
yuridis tidak dapat diterapkan karena mengandung permasalahan hokum terkait
dengan kepemilikan Apartemen tersebut. Perubahan lembaga HM Sarusun menjadi Hak
Pakai Sarusun tidak mempunyai cantolan hukum dalam UURS maupun PP diatasnya,
termasuk PP No. 103 Tahun2015. Seandainyapun diperbolehkan untuk
dilakukannya perubahan HM Sarusun menjadi Hak Pakai Sarusun, namun
karena kepemilikan Apartemen tersebut juga meliputi kepemilikan hak bersama
atas tanah HGB dimana Apartemen tersebut didirikan tentunya telah terjadi
pelanggaran syarat untuk dapat menjadi subyek HGB. Dalam hal ini subyek HGB
tersebut tidak lagi memenuhi syarat sebagai subyek HGB, sehingga dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sejak diperoleh, Apartemen tersebut wajib dialihkan kepada
pihak lain yang memenuhi syarat, sebagaimana telah diuraikan dalam uraian
terdahulu mengenai sunyek HGB. Permasalahan lanjutan juga akan timbul
seandainya suatu saat Apartemen tersebut hendak dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan, tentunya ini tidak dapat dilakukan. Terkait dengan hal
tersebut Penulis mengusulkan agar Apartemen yang memang disediakan untuk WNA, dibangun
diatas tanah hak pakai atau apabila tanahnya berstatus HGB terlebih dahulu
diubah menjadi HGB serta dilakukannya
perubahan atas ketentuan mengenai Hak Pakai agar Hak Pakai juga marketable dan bankable seperti halnya
dengan HGB.
G.
Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun yang dibangun diatas Tanah HGB/Hak Pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan
Pada prinsipnya
HMSRS yang dibangun diatas HGB di atas
tanah Hak Pengelolaan, sama seperti HM Sarusun yang dibangun diatas HGB di atas tanah Hak Negara.
Perbedaannya jika dibangun diatas tanah HPL berarti penguasan peruntukan
tanahnya berada di tangan pemegang HPL. Dan ada persyaratan khusus yang ditentukan
oleh Pemegang HPL terkait penggunaan peruntukan tanahnya. Hal tersebut dituang
dalam PP No. 40 Tahun 1996 dan Surat Perjanjian Penyerahan Penggunaan Tanahnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (6) PP No.
40 Tahun 1996, peralihan HGB diatas tanah HPL harus memperoleh persetujuan dari
pemegang HPL. Hal ini juga berlaku bagi pembebanan Hak Tanggungan atas HGB yang
berada diatas HPL.[25] Dengan demikian untuk
peralihan HM Sarusun dan pemebebanan Hak Tanggungan atas HM Sarusun harus
terlebih dahulu memperoleh persetujuan pemegang HPL. Hal tersebut juga berlaku
apabila tanahnya berstatus Hak Pakai.[26]
Untuk menjamin
kepastian hukum dan kepastian hak atas pemilikan tanah HGB atau Hak Pakai diatas tanah HPL, perlu
diatur dalam suatu UU dan Peraturan pelaksanaannya. Hal ini telah dimuat dalam
RUU Cipta Kerja, Pasal 129 – 135. Dan nantinya berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam UU Cipta Kerja (jika telah disahkan sebagai UU) tersebut, dapat diatur lebih lanjut ketentuan
yang lebih mendetail dalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri.Misalnya ketentuan mengenai
pemberian rekomendasi atas perpanjangan dan pembaharuan
HGB atau Hak Pakai yang lebih tegas, agar masing-masing pihak (Pemegang HPL dan
Pemegang HGB/Hak Pakai) dapat mengetahui secara pasti hak dan kewajibannya masing-masing,
serta mengetahui bahwa jika pemegang HGB atau Hak Pakai memeuhi semua
kewajibannya maka pemegang HPL pasti akan menrbitkan rekomendasi perpanjangan
atau pembaharuan hak tersebut. Terkait persetujuan yang diperlukan untuk
mengalihkan HGB atau Hak Pakai diatas HPL sebaiknya diubah menjadi “pemberitahuan
kepada pemegang HPL”, dengan ketentuan calon pembeli harus memenuhi persyaratan
tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau Perjanjian
Pemanfaatan Tanah yang bersangkutan.
H.
Permasalahan hukum terkait terjadinya Hak Pakai menurut
Pasal 6 Permen ATR No. 29 Tahun 2016
Terkait
dengan pelaksanaan jual beli Hak Milik atas Sarusun
di atas HGB dan kemudian pada saat dilakukannya pendaftaran Hak Milik atas
Sarusun tersebut diberikan
kepada WNA dengan Hak Pakai atas Sarusun, terdapat permasalahan sebagai berikut:
a.
Apakah dimungkinkan suatu peraturan Menteri menerbitkan
lembaga baru berupa Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun?
b.
Pemilikan Hak Pakai atas Sarusun tersebut meliputi juga
pemilikan bersama atas Tanah Bersama yang berstatus Hak Guna Bangunan, apakah
dimungkin orang asing memiliki tanah HGB ?
Dengan adanya permasalahan tersebut maka para Notaris/PPAT
harus berhati-hati di dalam melaksanakan pembuatan akta-akta
terkait dengan perlihan HM Sarusun kepada WNA dan juga akta-akta terkait
pemberian agunan dengan obyek Sarusun yang bersangkutan yang akan dijadikan jaminan utang kepada Kreditor/Bank.
Sekian, semoga bermanfaat
Salam
Alwesius, SH, MKn
[1] RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang apabila disetujui
oleh DPR akan menjadi salah satu Omnibus Law yang diberlaku di Indonesia.
Omnibus Law merupakan UU yang memuat perubahan atas beberapa UU sekaligus. Hal
ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indoinesia, karena sebelumnya juga
pernah ada UU yang sekaligus menguvbah beberapa ketentuan UU sekaligus,
misalnya Perppu
AEoI yang disahkan menjadi UU No.9 Tahun 2017 oleh DPR membatalkan
pasal-pasal di beberapa undang-undang. Antara lain Pasal 35 ayat (2) dan Pasal
35A UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta
perubahannya, Pasal 40 dan Pasal 41 UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
beserta perubahannya, Pasal 47 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal
17, Pasal 27, dan Pasal 55 UU No.32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi beserta perubahannya, serta Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.Lihat www.hukumonline.com,
Menelusuri Asal Usul Konsep Omni Bus Law
[2] Penulis saat ini merupakan Pengajar Mata Kuliah
Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris di Program Magister Kenotariatan FHUI
dan Program Magister Kenotaritan Universitas Jayabaya serta Pengajar Mata
Kuliah Hukum Agraria pada Pasca Program Magister Kenotariatan UNS Solo
[3] Indonesia, Peraturan
Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Orang Asing Yang
Berkedudukan di Indonesia, PP No. 103 Tahun 2015 , LNRI No, 325 Tahun 2015,
TLN No. 5793 (PP No. 103 Tahun 2015)
[4] Indonesia,
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang
/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang
Tata Cara Pemberian, Pelapasan,
Atau Pengalihan Hak atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang
Asing yang berkedudukan di Indonesia, Permen
ATR/Ka.BPN No. 29 Tahun 2019, BNRI No. 1442 Tahun 2016 (Permen ATR No. 29 Tahun
2019)
[5] Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, PP No. 40 Tahun 1996, LNRI Nomor
58 Tahun1996, TLN No. 3643 (PP No. 40 Tahun 1996). Lihat juga RUU Cipta Kerja,
Pasal 129
[6] Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun
1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas
Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolan Serta Pendaftarannya, Pasal 1 ayat (1) (PMDN
No. 1 Tahun 1977). Peraturan ini saat ini sudah tidak berlaku lagi karena telah
dicabut dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999.
[8] Oleh karena hak milik tersebut hapus karena hukum maka
sekalipun sertipikat hak milik tersebut masih dipegang oleh bekas pemegang
haknya dan di dalam sertipikat status tanahnya masih tertulsi hak milik serta
tidak adanya SK Menteri menegnai hapusnya hak milik tersebut, namun hak milik
tersebut telah berakhir dan status tanahnya secara yuridis adalah tanah negara.
Seandainyapun atas hapusnya hak tersebut harus diikuti dengan terbit SK
Menteri, namun SK tersebut hanya berisi keputusan yang bersifat deklaratoir,
yang artinya hanya menegaskan mengenai telah hapusnya hak miklik tersebut bukan
bersifat konstitutif, yang menentukan hapusnya hak milik tersebut.
[10] Apartemen adalah meryupakan kepemilikan atas Hak Milik
atas satuan Rumah Susun yang bersifat komersial, yang dibangun untuk keperluan
bisnis, baik untuk sewa maupun untuk milik.
[11] Lihat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UURS),
Pasal 1 dan Pasal 46, serta Lihat Arie S. Hutagalung, Kondominium dan Pewrmasalahannya, Edisi Revisi, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 9 - 15
[13] Kewajiban membuat akta PPJB dengan akta yang dibuat
dihadapan Notaris dinyatakan dalam UURS, Pasal 43 dan Permen PUPR No. 11 Tahun
2019, Pasal 12 ayat (2) dan ditegaskan kembali dalam RUU Cipta Kerja. Adanya
kewajiban ini PPJB dibuat dihadapan
Notaris sudah tepat karena untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum
bagi pihak pembeli terhadap hak dan kewajibannya yang dimuat dalam PPJB
tersebut. Dengan dibuatnya PPJB
dihadapan Notaris maka terdapat pihak ketiga yang memantau perihal hak dan
kewajiban para pihak, karena akta tersebut dibacakan dan dijelaskan kepada para
pihak, khususnya pembeli, sehingga pihak pembeli memahami haka pa yang akan ia
terima dan kewajigban apa yang harus ia penuhi sebagai pembeli dana pa akibat
hukumnya apabila ia tidak memeunhi kewajibannya. Dan apa yang ia dapat lakukan
seandainya ia telah memenuhi mkewajibannya sementara ia tidak memperoleh
hak-haknya sebagai pembeli. Hal ini sulit untuk dipenuhi dalam hal PPJB
tersebut dibuat dibawah tangan.
[14] Lihat PP No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun (PP No.
4 Tahun 1988), Pasal 54 ayat (2). Dalam praktek ternyata ada P3SRS yang dibuat
dalam bentuk Perkumpulan yang dibuat dengan akta yang dibuat dihadapan Notaris
dan pengesahannya sebagai Badan Hukum diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM.
Hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya dualisme P3SRS dan menimbulkan
perselisihan diantara keduanya.
[15] Syarat bagi WNA untuk memiliki properti di Indonesia,
yaitu WNA yang berkedudukan di Indonesia memang dipandang oleh kalangan bisnis
khususnya para pengembang membuat properti di Indonesia tidak marketable dibandingkan dengan pemilikan
properti di negara-negara lain, seperti Singapura, yang hanya mensyaratkan
Passport sebagai syarat untuk pembelian properti. Menurut penulis bisa saja
syarat tersebut lebih dipermudah, namun harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan bangsa di Indonesia, jangan sampai masyaratkat dan bangsa di
Indonesia jadi penonton di negaranya sendiri dalam hal kepemilikan yang properti. Syarat tersebut
memang perlu dipermudah agar orang asing dapat dengan mudah memiliki properti
di Indonesia, sehingga dapat merangsang pertumbuhan bisnis properti di
Indonesia, tapi sekaligus dibuat pembatasan dan syarat-syarat yang ketat untuk
kepemilikannya, dimana apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, diberikan
sanksi yang keras dan tegas. Pembatasan dan syarat-syarat apa yang akan
ditentukan tentunya dapat dibicarakan oleh semua pengampu kepentingan termasuk
para akademisi. Misalnya untuk pembelian tersebut dikenakan pajak yang cukup
tinggi, adanya pembatasan jangka waktu untuk menjual kembali Apartemen tersebut
dalam waktu tertentu, agar tidak dijadikan obyek spekulasi, dan adanya
kewajiban untuk memnafaatkan Apartemen tersebut sesuai peruntukkannya, dengan
larangan menelantarkan Apartemen tersebut dalam keadaan kosiong tanpa penghuni.
Perlindungan terhadap kepentingan dan
masyarakat dan bangsa Indonesia disatu sisi, dan menggairahkan perkembangan
pembangunan dan bisnis properti disisi lain haruslah berjalan seimbang untuk
kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu dalam Peraturan Pemerintah yang akan
menjadi pelaksanaan UU Cipta Kerja (jika telah diundangkan) serta UURS haruslah
mengatur hal tersebut dengan baik untuk tercapainya kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum dalam pembangunan di
Indonesia yang berkeadilan.
[19] Lihat, PP No. 103 tahun 2015, Pasal 4 dan
Pasal 5 jo Permen ATR No. 29 Tahun 2016. Ketentuan ini dirasakan oleh para
pengembang mempersulit penjualan Apartemen di Indonesia. Misalnya seorang WNA
yang telah memiliki Apartemen kemudian hendak menjual Apartemen miliknya
tersebut kepada rekannya seorang WNA maka hal tersebut tidak dapat dilakukan.
Para pengembang menginginkan agar syarat harus membali apartemn yang baru dari
pengembang ini ditiadakan.
[25] Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan No. 630.1-3430
tanggal 17 September 1998 menyatakan
bahwa : “karena eksekusi Hak
Tanggungan mengakibatkan HGB beralih kepada pihak lain maka pembebanan Hak
Tanggungan diperlukan persetujuan tertulis dari pemegang HPL yang akan berlaku
sebagai persetujuan untuk pengalihan hak tersebut dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan.”