BEBERAPA
CATATAN BERKAITAN DENGAN PUTUSAN
PRAPERADILAN “BG”
Oleh
: Alwesius, SH, MKn
1. Pendahuluan
Putusan
pra peradilan berkaitan dengan gugatan “BG” berkaitan dengan status tersangka yang
doberikannya telah dibacakan oleh hakim Sarpin pada hari Senin tanggal 16
Pebruari 2015.
Dengan
dibacakannya putusan tersebut maka bagi mereka yang berpihak kepada “BG” langusng
meluapkan kegembiraannya atas kemenagan mereka, sedangkan bagian mereka yang
berpihak kepada ‘KPK” hal ini dianggap sebagai awal dari suatu serangan balik
oleh para koruptor.
Terlepas
dari masalah pro kontra tersebut, putusan telah dibacakan dan tentunya kita
harus menghormati kepeutusan tersebut, sebab biar bagaimanapun juga hal
tersebut merupakan sutau keputusan hakim yang bebas dan mandiri. Bagi pihak KPK
yang meresa keberatan atas keputusan hukum tersebut tentunya dapat melakukan
keberatan-keneratan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. KPK dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung atas keputusan tersebut dengan menyampaikan
dalil-dalil hukum yang kuat agar keberatannya dapat diterima.
Walaupun
keputusan hakim tersebut harus kita hormati, namun kita dapat saja melakukan
penilaian atas keputusan dalam kasus BG tersebut. Tentunya penilaian yang kita ilakukan
harus mepunyai alasan yang cukup berdasarr, jika tidak mau dikatakan asal
jeplak.
2. Ketentuan mengenai Pra Peradilan di
dalam KUHAP
Di
dalam KUHAP ketentuan mengenai pra peradilan ini diatur di dalam pasal 10
KUHAP, yang menyebutkan :
“
Praperadilan adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,
tentang:
a.
sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya
hukum dan keadilan;
c.
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.
Berdasarkan asas
Legalitas yang kita anut sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 KUHP dan
berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP tersebut serta dikaitkan dengan
ketentuan pasal 3 KUHAP yang mementukan “Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini” maka jelas bahwa apa yang ditentukan
didalam pasal 10 mengenai pra peradilan tersebut bersifat limitatif. Jadi terhadap
alasan untuk diajukannya pra peradilan menurut penulis tidak dapat dilakukan penambahan
lain untuk mengajukan pra peradilan.Seandainya pun hendak ditambah tentunya
harus melalui perubahan UU.
3. Bebarapa catatan berkaitan dengan putusan
pra peradilan “BG”
Walaupun
penulis belum membaca secara lengkap putusan yang telah dicakan oleh hakim Sarpin,
namun dari apa yang penulis dengan melalui siaran di televisi, penulis henadk
memberi bberapa catan berkaitan dengan putusan tersebut, yang sekurang-kurang
menggelitik penulis untuk mengungkapkan pikiran penulis dalam tulisan ini.
Adapun
catatan penulis berkaitan dengan tulisan
tersebut adalah:
a.
Alasan
untuk mengajukan pra peradilan bersifat limitatif
Pasal 1 angka 10 KUHAP telah mengatur secara tegas mengenai maksud atau
pengertian atau definisi dari “pra
peradilan”, yang didalamnya mengatur hak-hak yang menjadi alsan atau dasar
diajukannya pra peradilan. Apa yang
dimaksud pra peradilan dicantumklan didalam pasal 1 yang mengtur mengenai pengertian
atau definisi dari suatu istilah yang dipakai di dalam KUHAP. Hal ini lazim
diketemukan di dalam semua undang-undang maupun
di dalam suatu perjanjian/kontrak.
Dengan melihat pada tempat pengaturannya, yaitu pada ketentuan yang
mengatur mengenai “difinis/isitilah/pengertian, hal
tersebut tentunya dimaksudkan untuk memberikan pengertian yang bersifat
membatasi agar tercapainya suatu kepastian mengenai arti atau makna dari
sitilah itu. Istilah yang dimasukan didalam ketentuan umum yang mengatur
mengenai difisi atau istilah atau pengertian dimaksudkan agar hal tersebut
mejadi acuan atau pegangan didalam mengartikan atau menggunakan istilah
tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut maka dipeoleh suatu kepastian atau
kepastian hukum bahwa istilah itu tidak akan diperluas melebihi dari apa yanbg
telah ditentukan didalamnya, kecuali ketentuan itu sendiri yang membolehkannya
untuk diperluas.( Definisi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
id.wikipedia.org/wiki/Definisi)
Disamping itu tentunya kita berpegang pada asas Legalitas sebagaimana
telah penulis sebutkan di atas.
Bersasarkan hal tersebut maka menurut penulis tidak tepat jika hakim memperluas
makna ketentuan pasal 1 angka 10 KUAP tersebut.
b.
Pra
peradilan merupakan “hak tersangka”
Para
sarjana hukum tentunya sepakat bahwa mengajukan pra peradilan merupakan hak
tersangka. Orang yang tidak berstatus
tersangka tentunya tidak dapat mengajukan pra peradilan. Pra peradilan dapat
diajukan oleh keurga tersangka maupun pihak lain yang telah mendapat kuasa dari
tersangka.
Karena
pra peradilan merupakan “hak tersangka” maka orang yang mengajukan pra
peradilan haruslah berstatus “tersangka” (dan mengakui statusnya tersebut) dan
karenanya ia harus menerima statusnya tersebut. Jika ia tidak mengakui
statusnya tentu akibatnya ia tidak dapat menggunakan hak-hak yang melekat pada
tersangka. Seandainya ada keberatan berkaitan dengan statusnya sebagai
tersangka maka keberatan itu hanya dapat diajukan pada proses pengadilan bukan dalam proses pra peradilan.
c.
Polisi
adalah merupalan aparat penegak hukum
Hakim
sarpin dalam putusannya menyatkan bahwa BG bukan penegak hukum dengan
alasan-alsan yang tersusun secara sistimatis untuk mendukung alasannya.
Mendengar hal tersebut penulis sempta terperangah sejenak, apakah benar
demikian, apakah benar hanya polisi yang bertindak sebagai penyelidik dan penyidik
yang dapat masuk sebagai “penegak hukum”.
Secara
sosiolgis tidak ada seorangpun yang akan membantah bahwa kepolisian adalah
lembaga penegang hukum, oleh karenea itu semua orang berdimas sebagai polisi
adalah merupakan aparat penegak hukum.
Secara
yuridis apakah polisi merupakan penegak hukum atau bukan, tentunya kita harus
melihat pada peraturan perundang-undangan yang mengatur menegnai kepolisian
serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pegak hukum.
Yang
pertama kita lihat tentunyan UU yang mangtaiurb mengenai kepolisian, yaitu UU
Nomor 2 tahun 2002 (UU Kepolisian).
Pasal
1 angka 1 UU Kepolisian menenetkan bahwa “ Kepolisian
adalah segala
hal ihwal yang
berkaitan dengan
fungsi dan
lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Dan selanjutnya kita melihat ketentuan
pasal 2 nya yang menentukan “Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Dari pengertian kepolisian sebagaimana imakusd di dalam ketentuan
pasal 1 angka 1 dikaitkan dengan pasal 2
UU Kepolisian jelas bahwa kepolisian aa;lah merupakan lembaga penegak hukum. Hal
tersebut juga ditentukan dio dalam Pasal 3 yang berbunyi:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan
kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Dan pasal 5 UU Kepolisian yang menentukan:
“(1) Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan alat
negara yang
berperan dalammemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri.
(2) Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan
satu kesatuan dalam
melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).”
Dan selanjutnyan
dapat kita lihat didalam pasal 1 ayat 3 UU Kepolisian yang menentukan “Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia
adalah anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum
Kepolisian.” Serta juga tugas pokok
Kepolkisian Negara Republik Indomesia, yang diatur di dalam Pasal 13 UU
Kepolisian yang menentukan “
“Tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum;
dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Nerdasarkan
uraian diatas menuerut penulis tidak dapat
lagi disangkal bahwa kepolisian Negara Republik Indonesia adalah merupakan
lembaga penegak hukum, dengan demikian semua anggota kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah merupakan aparat penegak hukum, termasuk tentunya “BG” sebagai
seorang polisi beliau adalah seorang penegak hukum, tanpa melihat jabatan apa
yang diembannnya di internal kepolisian.
Tks
Alwesius.SH,
MKn