Blog ini membahas mengenai segala hal berkaitan dengan Notaris dan PPAT, Ilmu Kenotariatan dan Pertanahan, Praktek Notaris dan PPAT, serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi Notaris dan PPAT dalam praktek.
Selasa, 03 Oktober 2017
ALWESIUS BICARA SEGALANYA TENTANG NOTARIS DAN PPAT: PENYEGARAN PENGETAHUAN HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPA...
ALWESIUS BICARA SEGALANYA TENTANG NOTARIS DAN PPAT: PENYEGARAN PENGETAHUAN HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPA...: PENYEGARAN PENGETAHUAN HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPAT-AN OLEH LP3H “INP JAKARTA” ALWESIUS, SH.MKn Akan diadakan: Pada Hari :Waktu : Sab...
PENYEGARAN PENGETAHUAN HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPAT-AN
PENYEGARAN PENGETAHUAN HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPAT-AN
OLEH LP3H “INP JAKARTA” ALWESIUS, SH.MKn
OLEH LP3H “INP JAKARTA” ALWESIUS, SH.MKn
Akan diadakan:
Pada Hari :Waktu : Sabtu (28 -10- 2017) dan Minggu (28-10-2017)
JAM O8.30 - 16.00
materi:HUKUM PERTANAHAN, PERATURAN JABATAN PPAT, PENDAFTARAN TANAH, PEMBUATAN AKTA PPAT, ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN BPN, KODE ETIK PPAT
PEMATERI: ALWESIUS, SH, MKn
BIAYA :
Rp. 1.750.000.- (SATU JUTA TUJUH RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH) (sampai dengan TANGGAL 10 OKTOBER 2017)
-PEMBAYARAN SETELAH TANGGAL 10 OKTOBER 2017 DIKENAKAN TAMBAHAN SEBESAR Rp. 350.000. (TIGA RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH).
PEMBAYARAN SETELAH TANGGAL 20 OKTOBERT 2017 SEBESAR: RP. 2.500.000 (DUA JUTA LIMA RATUS RIBU RUPIAH)
JAM O8.30 - 16.00
materi:HUKUM PERTANAHAN, PERATURAN JABATAN PPAT, PENDAFTARAN TANAH, PEMBUATAN AKTA PPAT, ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN BPN, KODE ETIK PPAT
PEMATERI: ALWESIUS, SH, MKn
BIAYA :
Rp. 1.750.000.- (SATU JUTA TUJUH RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH) (sampai dengan TANGGAL 10 OKTOBER 2017)
-PEMBAYARAN SETELAH TANGGAL 10 OKTOBER 2017 DIKENAKAN TAMBAHAN SEBESAR Rp. 350.000. (TIGA RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH).
PEMBAYARAN SETELAH TANGGAL 20 OKTOBERT 2017 SEBESAR: RP. 2.500.000 (DUA JUTA LIMA RATUS RIBU RUPIAH)
(KHUSUS PESERTA YANG SEBELUMNYA PERNAH MENGIKUTI ACARA SEJENIS (HUKUM PERTANAHAN DAN KE-PPAT-AN) YANG DISELENGGARAKAN OLEH INP “JAKARTA” , DENGAN MENGIRIM BUKTI TANDA PESERTA, DENGAN MENYEBUTKAN NO. PENDAFTARAN DAN TEMPAT PELAKSANAANNYA, DIKENAKAN BIAYA RP. 1.250.000.- ( SATU JUTA DUA RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH, (UNTUK PEMBAYARAN SEBELUM 10 OKTOBER 2017)
TEMPAT:
Jakarta, Hotel Sentral, Jln Pramuka No. 63-64, Jakarta Pusat, Telp: 021 -4257565 (Booking Hotel Hubungi: Yuni : 0821-2259-2136)
PESERTA MEMPEROLEH MATERI DAN CONTOH AKTA (MATERI DAN CONTOH AKTA AKAN DI EMAIL KEPADA PESERTA SEBELUM HARI PELAKSANAAN, TIDAK MENYEDIAKAN HARD COPY, hard copy silahkan di print sendiri) , SERTIPIKAT INP, MAKAN SIANG DAN 2 X COFFE BREAK
PENDAFTARAN
Kirim WA ke No. 081285725200 untuk memperoleh nomor pendaftaran dengan menyebutkan Nama Lengkap, Pekerjaan/Jabatan, Wilayah Jabatan, Nomor WA dan ALAMT EMAIL).
Lakukan pembayaran melalui transfer ke Rek. Bca no. 5735062449 a.n ALWESIUS. SH(BOLEH LEWAT ATM, DLL)
Konfirmasi pembayaran dengan mengirim bukti pembayaran melalui WA ke 081285725200. dengan menyebutkan Nama Lengkap, Pekerjaan/Jabatan, Wilayah Jabatan, Nomor WA dan ALAMT EMAIL.
Asli bukti transfer dibawa dan diserahkan ke panitia pada saat daftar ulang pada hari pelaksanaan.
PENDAFTARAN DITUTUP PADA TANGGAL 24 OKTOBER 2017 (ATAU SEBELUMNYA JIKA TELAH MEMENUHI KUOTA) === TEMPAT TERBATAS
Informasi lebih lanjut hubungi Alwesius (081310438333), Sekretariat INP Jakarta, Jalan Kramat Raya No. 23 J, Telp: 021-3100337 (Herry, Herman)
Jakarta, Hotel Sentral, Jln Pramuka No. 63-64, Jakarta Pusat, Telp: 021 -4257565 (Booking Hotel Hubungi: Yuni : 0821-2259-2136)
PESERTA MEMPEROLEH MATERI DAN CONTOH AKTA (MATERI DAN CONTOH AKTA AKAN DI EMAIL KEPADA PESERTA SEBELUM HARI PELAKSANAAN, TIDAK MENYEDIAKAN HARD COPY, hard copy silahkan di print sendiri) , SERTIPIKAT INP, MAKAN SIANG DAN 2 X COFFE BREAK
PENDAFTARAN
Kirim WA ke No. 081285725200 untuk memperoleh nomor pendaftaran dengan menyebutkan Nama Lengkap, Pekerjaan/Jabatan, Wilayah Jabatan, Nomor WA dan ALAMT EMAIL).
Lakukan pembayaran melalui transfer ke Rek. Bca no. 5735062449 a.n ALWESIUS. SH(BOLEH LEWAT ATM, DLL)
Konfirmasi pembayaran dengan mengirim bukti pembayaran melalui WA ke 081285725200. dengan menyebutkan Nama Lengkap, Pekerjaan/Jabatan, Wilayah Jabatan, Nomor WA dan ALAMT EMAIL.
Asli bukti transfer dibawa dan diserahkan ke panitia pada saat daftar ulang pada hari pelaksanaan.
PENDAFTARAN DITUTUP PADA TANGGAL 24 OKTOBER 2017 (ATAU SEBELUMNYA JIKA TELAH MEMENUHI KUOTA) === TEMPAT TERBATAS
Informasi lebih lanjut hubungi Alwesius (081310438333), Sekretariat INP Jakarta, Jalan Kramat Raya No. 23 J, Telp: 021-3100337 (Herry, Herman)
Note: PESERTA YG TELAH MENDAFTAR DAN MEMBAYAR TIDAK DAPAT DIBATALKAN DAN HANYA DAPAT DIGANTIKAN DENGAN PESERTA LAIN.
Salam,
ALWESIUS, SH, MKn
Salam,
ALWESIUS, SH, MKn
Jumat, 22 September 2017
CATATAN SINGKAT MENGENAI HARTA BERSAMA (HARTA GONO GINI) SUAMI DAN ISTERI
CATATAN
SINGKAT MENGENAI HARTA BERSAMA (HARTA GONO GINI) SUAMI DAN ISTERI
1.
Macam-macam
Harta Dalam Perkawinan
Pasal
35 Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), menentukan:
1)
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama
2)
Harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
Berdasarkan ketentuan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa di dalam perkawinan terdapat Harta
Pribadi dan Harta Bersama.
Harta
Pribadi terdiri dari Harta Bawaan yaitu harta yang dibawa masing-masing suami isteri
keda lam perkawinan, dan harta yang diperoleh suami atau isteri dari warisan
atau hadiah, termasuk didalamnya harta yang berasal dari hibah.
Sedangkan Harta Bersama
(Harta Gono Gini) adalah harta yang diperoleh suami dan/atau isteri sepanjang
perkawinan, kecuali harta yang berasal dari warisan atau hadiah.
Jadi siapapun yang
memperoleh harta tersebut, dari manapun perolehannya, sebab apapun perolehannya
(kecuali warisan atau hadiah), jika perolehan tersebut terjadi sepanjang
perkawinan maka harta tersebut menjadi harta bersama suami isteri.
2.
Perbuatan
hukum atas Harta Bersama
Pasal
36 ayat 1 UU Perkawinan menentukan “ Mengenai
harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.” Jadi apabila suami atau isteri hendak melakukan perbuatan hukum
atas harta bersama maka pihak suami atau isteri harus memperoleh persetujuan
dari pihak lainnya.
Pasal
36 ayat 1 UU Perkawinan tidak membedakan apakah harta tersebut merupakan harta
bergerak atau harta tidak bergerak.
Ada pendapat yang menyatakan
bahwa ketentuan ini tidak berlaku terhadap harta bergerak, karena
terhadap harta bergerak berlaku asas “Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna”
sebagaimana tercantum didalam Pasal 1977 KUHPerdata, yaitu siapa yang menguasai
harta bergerak dianggap sebagai pemilik. Penulis tidak sependapat dengan
pendapat tersebut. Menurut penulis, asas
tersebut berlaku terhadap harta bergerak pada umumnya (merupakan ketentuan
umum), sedangkan terkait dengan harta bergerak yang terdapat di dalam
perkawinan tunduk pada ketentuan hukum harta benda perkawinan (merupakan
ketentuan khusus). Ketentuan hukum harta benda perkawinan yang diatur didalam pasal
35 UU Perkawinan berlaku untuk semua harta, baik harta bergerak maupun harta
tidak bergerak. Seorang suami yang memegang harta tertentu yang merupakan harta
bergerak tidak serta merta dapat menyatakan bahwa harta tersebut merupakan
harta pribadinya, bukan merupakan harta bersama (harta gono gini). Ia harus
membuktikan bahwa harta tersebut adalah merupakan harta pribadinya, apalagi
jika harta tersebut diperoleh sepanjang perkawinan dengan isterinya. Hal yang
sama juga berlaku bagi pihak isteri.
Sekalipun
harta bergerak tersebut diperoleh suami atau isteri dari warisan atau hibah
pihak suami atau isteri yang memperoleh harta tersebut harus membuktikan bahwa harta tersebut merupakan harta miliknya,
merupakan harta pribadinya. Suami atau isteri tidak dapat menyatakan harta
tersebut sebagai miliknya hanya berdasarkan asas yang terkandung di dalam Pasal
1977 KUHPerdata sebagaimana disebutkan diatas. Hal ini bisa dilihat dari adanya
ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 166 KUHPerdata yang mewajibkan pihak
suami atau isteri yang memperoleh harta bergerak dari warisan atau hibah sepanjang
perkawinan untuk membuktikan perolehan
tersebut dalam suatu surat pertelaan. Apabila surat tersebut tidak ada maka
pihak suami tidak dapat mengambil harta bergerak tersebut sebagai miliknya,
sedangkan pihak isteri dapat menggunakan bukti dengan menggunakan saksi-saksi. Terkait
dengan hal tersebut maka sebagai Notaris dalam hal terdapat harta bergerak,
misalnya saham, yang akan
dipindahtangankan atau dijadikan jaminan utang maka Notaris harus terlebih
dahulu menentukan apakah harta tersebut merupakan harta pribadi suami atau
isteri, atau merupakan harta bersama
(harta gono gini) suami dan isteri. Jika termasuk harta bersama maka untuk
melakukan perbuatan hukum pemindahan hak atau penjaminan harus ada persetujuan
dari pihak lainnya, baik dengan hadir dihadapan Notaris maupun dengan
memberikan persetujuan tertulis.
Sekian,smoga
bermanfaat. Mohon maaf jika ada kesalahan. Mohon masukan rekan-rekan.
Salam,
Alwesius, SH, Mkn
Jumat, 11 Agustus 2017
CATATAN MENGENAI HARTA BERSAMA DAN PERSETUJUAN PASANGAN KAWIN
CATATAN
MENGENAI HARTA BERSAMA DAN PERSETUJUAN PASANGAN KAWIN
Oleh:
Alwesius, SH, MKn
Pasal 35 ayat 1 menentukan “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama” . Dengan menggunakan kata-kata “Harta benda” menunjukkan
pasal ini tidak membedakan antara harta
bergerak maupun harta tidak bergerak, harta berwujud maupun tidak berwujud dll.
Selanjutnya Pasal 35 ayat 2 memnentukan “ Harta bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiha atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”. Jadi jelas berdasarkann
ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan tersebut di dalam setiap perkawinan terdapat
Harta Bersama Suami dan Isteri dan Harta Pribadi masing-masing suami isteri.
Harta Bersama Suami dan
Isteri adalah semua harta benda (bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh
suami dan/atau isteri selama/di dalam perkawinan mereka, kecuali yang diperoleh
dari hadiah atau warisan. Harta Pribadi terdiri
dari harta bawaan, yaitu yang dibawa masing-masing-masing pihak ke dalam
perkawinan dan harta yang diperoelh dari hadiah, hibah atau warisan.
Selanjutnya mari kita lihat pernyataan yang menyatakan “Ada
atau tidak adanya harta bersama baru akan ditentukan setelah perkawinan
berakhir (baca penjelasan pasal 35 (1) dan ketentuan pasal 37 UU 1/1974).
Jadi selama perkawinan masih
berlangsung, tidak ada penentuan mana yang menjadi harta bersama dan mana yang bukan harta bersama.”
Terkait hal ini mari kita lihat Pasal
36 ayat 1 UU Perkawinan menentukan “Mengenai
harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.
Kata-kata awal dari Pasal 36 ayat 1 ini yaitu “Mengenai harta bersama” menunjukan bahwa status harta bersama
tersebut telah ada sejak diperolehnya harta tersebut di dalam perkawinan. Keberadaan
“harta bersama” tidak menungguh perkawinan tersebut berakhir. Apabila keberadaan harta bersama baru dapat
ditentukan atau baru ada pada saat perkawinan berakhir, tentunya Pasal 36 ayat
1 UU Perkawinan ini tidak diperlukan atau dapat dikatakan sebagai kata-kata
mati. Demikian pula dalam kita menjalankan jabatan sebagai Notaris atau PPAT
kita tidak perlu mengetahui atau melihat apakah yang dijual atau dijadikan
jaminan utang itu masuk dalam harta bersama atau tidak. Kenapa demikian, karena
hal itu tidak diperlukan sepanjang pasangan suami isteri tersebut masih terikat
perkawinan, bukan begitu!. Jadi jika pasangan suami isteri tersebut masih
terikat perkawinan maka kita tidak perlu menerylidiki apakah harta yang dijual
atau dijaminkan itu masuk harta pribadi atau harta bersama dan karenanya tidak
perlu kita meminta persetujuan pasangan kawin. Hal ini tentunya akan membawa
permasalahan bagi para pihak yang menerima hak berdasarkan akta yang kita buat dan
dapat menimbulkan persoalan hukum bagi kita.
Adanya harta bersama
sepanjang perkawinan dan keberadaannya dimulai sejak saat diperolehnya harta
tersebut juga diakui di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69 PUU-XIII/2015
dalam perkara gugatan Nyonya Ike Farida, terkait ditolaknya penandatanganan AJB
oleh Nyonya Ike Farida oleh pihak pengembang dengan alasan bahwa Nyonya Farida
bersuamikan orang asing sehingga melanggar ketentuan mengenai pemilikan tanah
di dalam UUPA dan akhirnya membawa perubahan atas ketentuan Pasal 29 UU
Perkawinan.
Mengenai Penjelasan
Pasal 35 ayat 1 yang menentukan “Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama
tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing”.Kalimat ”... maka harta bersama tersebut”
setelah kalimat “Abila perkawinan putus...”
dalam pasal ini sudah sangat jelas dan tegas mengakui eksistensi harta bersama
yang telah ada sebelum perkawinan
putus/berakhir. Jadi keberadaannya bukan pada saat perkawinan tersebut
putus/berakhir. Tapi telah ada sebelumnya sepanjang perkawinan, yang dimulai
pada saat harta itu diperoleh dan kemudian apabila perkawinan tersebutn
putus/berakhir maka mengenai harta bersama tersebut diatur menuruit hukumnya
masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum mlainnya (Penjelasan
Pasal 37)
Selanjutnya terkait pernyataan
persetujuan suami/isteri yang menyatakan menyatakan “Persoalan persetujuan dari suami
atau isteri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 36 (1) UU 1/1974 adalah
persoalan internal dari suami atau isteri tersebut. Dalam arti, tidak adanya
persetujuan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan
tidak sahnya suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pemilik objek tersebut.
Tidak adanya persetujuan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk merugikan
pihak lainnya yang beritikad baik dalam transaksi yang bersangkutan.”
Pertama-tama yag pasti disini adanya “persetujuan” pasangan kawin disini
diperlukan terlepas apakah itu masalah internal atau eksternal atau sah atau
tidak sahnya perbuatan hukum tersebut. Adanya “persetujuan” tersebut diperlukan jika
yang akan dijual atau dijadikan jaminan utang tersebut masuk dalam harta
bersama sesuai ketentuan yang disebutkan di dalam Pasal 36 ayat 1 tersebut.
Penentuan harta yang bersangkutan masuk sebagai harta bersama kita tentukan pada
saat kita akan membuat akta pemindahan hak atau akta jaminan yang bersangkutan,
tidak menungguh berakhirnya perkawinan pihak yang menjual atau menjaminkan.
Jika tidak demikian bagaimana kita dapat menentukan diperlukannya persetujuan
tersebut apabila kita sebelumnya tidak menentukan bahwa harta tersebut masuk di
dalam harta bersama suami isteri.
Terkait diperlukannya persetujuan suami atau isteri jelas
disyaratkan di dalam asal 36 ayat 1. Persetujuan tersebut bukan masalah internal
suami isteri semata-mata tetapi merupakan masalah yang penting di dalam
melakukan perbuatan hukum atas harta bersama.Tidak adanya persetujuan dapat
membawa permasalahan hukum tersendiri dan akan merugikan pihak penerima hak,
yang menerima hak berdasarkan akta yang kita buat.Perbuatan tersebut dapat
dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.Telah banyak putusan
Mahkamah Agung terkait dengan hal ini. (Lihat Putusan MA RI No. 2690 K/Pdt/1985
tanggal 3 Nopember 1986, Putusan MA RI No. 33 K/AG/1983 tanggal 7 Juni
1984, Putusan MA RI No. 681 K/Sip /1975, Putusan MA RI No. 2691 K/Pdt/1996 tanggal 8
September 1998)..Sekian.Tks.Smoga Bermanfaat.Salam Alwesius.,
Jumat, 26 Mei 2017
KETENTUAN MENGENAI BATAS KEWAJARAN PEMBUATAN AKTA PERHARI BAGI NOTARIS, BUKAN MERUPAKAN PEMBATASAN PEMBUATAN AKTA BAGI NOTARIS
KETENTUAN MENGENAI BATAS KEWAJARAN PEMBUATAN AKTA PERHARI BAGI NOTARIS,
BUKAN MERUPAKAN PEMBATASAN PEMBUATAN AKTA BAGI NOTARIS
Oleh : Alwesius, SH,
MKn
1.
Pendahuluan
Pada tanggal 28 Pebruari 2017, Dewan
Kehormatan Pusat yang merupakan salah satu alat perlengkapan Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), mengeluarkan
Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
tentang Batas Jumlah Kewajaran Pembuatan Akta Perhari (Per.DKP No.1/2017).
Terbitnya peraturan tersebut membawa pendapat dan komentar dari anggota
Perkumpulan baik dalam bentuk tulisan maupun komentar-komentar yang bertebaran
di media sosial (facebook dan grup-grup WA) serta secara lisan dalam berbagai
perbincangan dan diskusi terbatas. Ada yang pro dan pula yang kontra atas
terbitnya peraturan tersebut.
Menurut penulis komentar-komentar
yang ada, baik yang pro maupun yang kontra tersebut sebagian besar diberikan
tanpa memahami makna atau tujuan dikeluarkannya peraturan tersebut dan terlihat
juga ada yang hanya bersifat sekedar memberi komentar tanpa membaca dan
memahami Per.DKP No.1/2017 tersebut.
Dengan adanya pendapat yang pro dan
kontra tersebut maka ada beberapa permasalahan yang perlu dibahas lebih lanjut
terkait dengan terbitnya Per.DKP No. 1/2017 tersebut, yaitu antara lain:
a.
Apakah
INI mempunyai kewenangan untuk menentukan batas kewajaran dalam pembuatan akta?
b.
Apakah
DKP berwenang membuat Peraturan DKP yang menentukan batas kewajaran pembuatan
akta?
c.
Apakah
Per.DKP No. 1 tahun 2017 tersebut membatasi kewenangan Notaris di dalam
pembuatan akta?
d.
Apakah
Per.DKP No. 1 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan UUJN?
e.
Apakah
pelanggaran terhadap Per. DKP No. 1/2017 tersebut merupakan pelanggaran
terhadap Kode Etik Notaris?
f.
Apakah
Notaris yang tidak mematuhi ketentuan Per.No. 1 tahun 2017 tersebut dapat
dikenakan sanksi menurut UUJN?
2.
Ikatan Notaris Indonesia (INI)
merupakan satu-satunya Organisasi Notaris
Pasal 82 ayat 1 Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 2 Tahaun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menentukan “Notaris berhimpun dalam
satu wadah Organisasi Notaris.”
Selanjutnya Pasal 82 ayat 2 dan ayat 3 UUJN menentukan
secara tegas bahwa Wadah Organisasai Notaris tersebut adalah Ikatan Notaris
Indonesia dan Ikatan Notaris Indonesia adalah merupakan satu-satunya wadah bagi
Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk
dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas Notaris.
3.
Batasan kewajaran Pembuatan Akta
Perhari merupakan Kode Etik Notaris yang disepakati oleh Kongres
Pasal 7 Anggaran Dasar Ikatan Notaris
Indonesia menentukan bahwa tujuan perkumpulan adalah tegaknya kebenaran dan keadilan serta
terpeliharanya keluhuran martabat jabatan Notaris sebagai pejabat umum yang
bermutu dalam rangka pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan
Negara agar terwujudnya kepastian hukum dan terbinanya persatuan dan kesatuan
serta kesejahteraan anggotanya.
Pasal 13 ayat 1 Anggaran Dasar
Perkumpulan menentukan bahwa untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat
jabatan Notaris tersebut Perkumpulan mempunyai Kode Etik Notaris yang
ditetapkan oleh Kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh
setiap anggota Perkumpulan.
Keputusan kongres adalah merupakan
kesepakatan bersama para anggota perkumpulan yang sah. Apa yang telah
disepakati di dalam Kongres wajib dipatuhi oleh semua anggota perkumpulan.
Salah satu yang telah disepakati di
dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia adalah mengenai batas kewajaran
pembuatan akta. Hal ini tercantum di dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris, yang
menentukan “ Notaris maupun orang lain (selama yang
bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) dilarang : ... 16. Membuat akta melebihi batas kewajaran
yang batas jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan;”
Dengan ditetapkannya ketentuan
tersebut maka sangat jelas bahwa batasan kewajaran pembuatan akta adalah
merupakan norma yang masuk dalam Kode Etik Notaris, yang wajib dipatuhi oleh
semua notaris atau semua orang yang menjalankan jabatan Notaris.
4.
Dewan Kehormatan mempunyai kewenangan
untuk membuat peraturan terkait penegakan kode etik notaris
Sebagaimana telah diuraikan diatas
terbitnya Per.DKP No. 1/2017 menimbulkan pro dan kontra di kalangan Notaris.
Pro dan kontra tersebut merupakan suatu yang wajar. Semua pendapat dapat
disampaikan untuk memperkaya wawasan kita di dalam berorganisasi. Pro dan
kontra membuat kita semakin dewasa di dalam memandang uatu permasalahan dan
dapat menyelesaikan permasalahan yang ada untuk memperoleh solusi yang terbaik
bagi semua anggota dan perkumpulan.
Yang pertanyaan adalah apakah Dewan
Kehormatanh Pusat berwenang membuat peraturan terkait dengan penegakan kode
etik notaris?
Pasal 12 ayat 1 anggaran dasar
perkumpulan menentukan bahwa Dewan Kehormatan mewakili Perkumpulan dalam hal
pembinaan, pengawasan dan pemberian sanksi dalam penegakan Kode Etik Notaris. Dalam rangka melakukan pembinaan,
pengawasan dan pemberian sanski tersebut, Dewan Kehormatan mempunyai tugas dan
kewenangan, antara lain untuk memeriksa
dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan Kode Etik Notaris
dann membuat peraturan dalam rangka penegakan Kode Etik Notaris bersama-sama
dengan Pengurus Pusat.
Jadi jelas bahwa pada prinsipnya
sesuai ketentuan anggaran dasar perkumpulan, Dewan Kehormatan mempunyai
kewenangan untuk membuat peraturan dalam rangka penegakan Kode Etik Notaris.
Pembuatan peraturan tersebut dilakukan bersama-sama oleh Dewan Kehormatan Pusat
dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia.
5.
Kewenangan Dewan Kehormatan membuat Peraturan
Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 bersumber dari Keputusan Kongres
Diatas telah diuraikan bahwa sesuai
ketentuan Pasal 12 anggaran dasar Perkumpulan, Dewan Kehormatan Pusat berwenang
membuat pertauran terkait penegakan kode etik Notaris bersama-sama dengan
Pengurus Pusat.
Yang menjadi pertanyaan apakah
penerbitan Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun
2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari yang diterbitkan oleh Dewan
Kehormatan Pusat tanpa melibatkan PP INI (tidak bersama-sama PP INI)
melanggaran anggaran dasar Perkumpulan?
Menurut penulis jalan yang diambil
oleh Dewan Kehormatan Pusat untuk menerbitkan peraturan mengenai batas
kewajaran dalam pembuatan akta sudah tepat dan tidak melanggar anggaran dasar
Perkumpulan, khususnya Pasal 12. Keweanangan yang dimiliki oleh Dewan Kehormatan Pusat tersebut bersumber
langusng dari Keputusan Kongres.
Sebagaimana telah diuraikan diatas
Pasal 4 Kode Etik Notaris, angka 16 menentukan
bahwa “ Notaris maupun orang lain
(selama yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) dilarang : ... 16. Membuat akta melebihi batas kewajaran
...”. elanjutnya pada akhir kalimat Pasal 4 angka 16 tersebut ditentukan
bahwa “... batas jumlahnya ditentukan
oleh Dewan Kehormatan;”. Dengan adanya kalimat terakhir dari Pasal 4 angka
16 Kode Etik Notaris tersebut maka Kongres Ikatan Notaris Indonesia telah
memberikan kewenangan secara khusus kepada Dewan Kehormatan untuk menentukan
batas jumlah kewajaran pembuatan akta. Ketentuan tersebut menurt penulis
merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 12 anggaran dasar perkumpulan, yang
mengharuskan Dewan Kehormatan Pusat membauta peraturan bersama-sama dengan
Pengurus Pusat.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan
diatas maka menurt pendapat penulis Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari
yang diterbitkan oleh Dewan Kehormatan Pusat tanpa melibatkan PP INI (tidak
bersama-sama PP INI) tidak melanggar anggaran dasar Perkumpulan.
6.
Batasan kewajaran pembuatan akta
tidak membatasi Notaris di dalam pelaksanaan jabatannya dalam pembuatan akta dan
karenanya tidak melanggar UUJN
Terbitnya Per.DKP No. 1/2017
menimbulkan pertanyaan di kalangan Notaris yang menyatakan bahwa pearturan
tersebut membatasi notaris di dalam pembuatan akta. Pembatasan tersebut
melanggar UUJN karena UUJN tidak mengatur perihal pembatasan pembuatan akta, peraturan
tersebut bertentangan dengan anggaran dasar Perkumpulan, pertauran tersebut
bukan merupakan kode etik notaris. Dan ada yang menyatakan bahwa jika kita mau
menjadi Peraturan DKP berlaku sebagai kode etik notaris maka harus terlebih
dahulu melakukan perubahan anggaran dasar.
Pendapat-pendapat tersebut
menimbulkan kegelisahan di kalangan notaris, khususnya notaris yang biasa
melayani pembuatan akta Jaminan Fidusia dan akta-akta terkait dengan Kredit
Pemilikan rumah (KPR), yang biasa melayani pembuatan akta lebih dari 20 (dua
puluh) akta dalam satu kali pengikatan, bahkan ada sampai dengan 100 (seratus)
akta dalam satu kali pengikatan.
Kegelisahan tersebut sebenarnya tidak
perlu terjadi apabila kita memahami hakekat pelaksanaan tugas jabatan kita selaku
Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna sesuai UUJN. peraturan perundang-undangan lainnya,
anggaran dasar Perkumpulan, Kode Etik Notaris, kepatutan dan kepantasan serta
tatacara pembuatan akta notaris.
Yang harus kita pahami bersama adalah
bahwa Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan
Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta
Perhari, TIDAK MEMBATASI NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA, TIDAK SEDIKITPUN
MENGURANGI HAK DAN KEWENANGAN NOTARIS DI DALAM MENJALANKAN JABATANNYA SELAKU
PEJABAT UMUM, KHUSUSNYA MEMBUAT AKTA, tidak, tidak ada yang dibatasi haknya,
tidak, tidak ada yang dikurangi haknya. Ini yang terlebih dahulu harus dipahami
oleh kita semua. Tidak perlu kita gelisah, galau bahkan marah dan benci, sehingga
mengambil sikap yang “aneh-aneh”.
Mari kita lihat isi ketentuan
Peraturan tersebut. Pasal 2 ayat 1 menentukan “Batas Kewajaran dalam pembuatan akta oleh Notaris sebagai anggota
Perkumpulan adalah 2O (dua puluh) akta perhari.” Dengan ditetapkannya
ketentuan ayat 1 ini maka DKP memandang bahwa sebagai seorang manusia, maka
berdasarkan kodrat manusia, didalam menjalankan jabatannya khususnya didalam
melayani pembuatan akta mulai dari adanya permintaan bantuan dari masyarakat,
mempelajari dokumen yang disampaikan, menyusun pembuatan akta, membacakan akta,
memberikan penjelasan kepada para penghadap terkait dengan isi akta tersebut
dan menandatangani akta serta, singkatnya membuat akta sesuai dengan ketentuan
UUJN, pertauran perundang-undangan lainnya, Kode Etik Notaris, kepatutan dan
kepantasan serta tatacara pembuatan akta notaris, ditambah dengan beban notaris
didalam menjalankan jabatan selaku PPAT, maka ditetapkan bahwa batas kewajaran
dalam pembuatan akta adalah 20 (dua puluh) akta perhari, yang sebelumnya ada
wacana untuk menetapkan sebesar 15 (lima belas) akta perhari.
Pertanyaan selanjutnya adalah apabila
pembatasan tersebut bukan merupakan pembatasan jumlah pembuatann akta, apakah
Notaris boleh membuat lebih dari 20 (dua puluh) akta.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut mari kita
lihat ketentuan Pasal 2 ayat 2, yang menentukan:
“Apabila Notaris akan membuat
akta melebihi 20 (dua puluh) akta perhari dalam satu rangkaian perbuatan hukum
yang memerlukan akta yang saling berkaitan, dan/atau akta-akta lainnya,
sepanjang dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai dengan
Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), tatacara pembuatan akta notaris, Kode
Etik Notaris (KEN), kepatutan dan kepantasan serta peraturan perundang-
undangan lainnya. “
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2, ternyata sangat jelas
bahwa Notaris tetap boleh membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta perhari,
apabila:
a.
akta-akta
yang dibuat tersebut merupakan satu rangkaian perbuatan hukum yang memerlukan
akta yang saling berkaitan; dan/ atau
b.
akta-akta
lainnya;
- sepanjang dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai
dengan :
a.
Undang-undang
Jabatan Notaris (UUJN);
b.
tatacara
pembuatan akta notaris;
c.
Kode
Etik Notaris (KEN);
d.
kepatutan
dan kepantasan; serta
e.
peraturan
perundang- undangan lainnya. “
Jadi sudah sangat jelas bahwa Notaris dapat membuat akta
berapapun jumlahnya, tanpa ada pembatasan jumlah, sepanjang pembuatan akta
tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 Peraturan
Per.DKP No. 1/2017 tersebut. Notaris boleh membuat akta kurang dari 20 (dua
puluh) akta perhari atau membuat lebih dari 20 (dua puluh) akta perhari,
notaris dapat membuat 15 (lima belas) akta perhari dan dapat membuat 50 (lima
puluh) akta perhari.
Pertanyaan selanjutnya, apa akibatnya
jika ada Notaris yang membuat akta lebih
dari 20 (dua puluh) akta perhari?
Sehubungan dengan pertanyaan ini,
mari kita lihat ketentuan Pasal 2 ayat 3, yang menentukan:
“Anggota Perkumpulan yang melanggar ketentuan yang tersebut dalam ayat
(1) dan (2) pasal ini merupakan objek
permeriksaan Dewan Kehormatan Notaris (Dewan Kehorrnatan Daerah (DKD),
Dewan Kehormatan Wilayah (DKW), Dewan Kehormatan Pusat (DKP) yang dilakukan secara
berjenjang.”
Rekan Dr. Pieter Latumeten, SH, MH, SpN, dalam ceramahnya di
dalam seminar yang diadakan oleh Pengda Bekasi Ikatan Notaris Indonesia, pada
tanggal 24 Mei 2017, menyatakan bahwan Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan
Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta
Perhari, bukan bertujuan untuk membatasi pembuatan akta, akan tetapi untuk
membatasi perilaku Notaris di dalam pelaksanaan jabatannya, agar diperoleh
notaris-notaris yang menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan tetap menjaga harkat martabat jabatan notaris.
Sejalan dengan pernyataan rekan Piter
Latumenten tersebut dan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 tersebut, maka
apabila terdapat Notaris yang membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta
perhari, maka belum tentu terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris,
adanya ketentuan pembatasan kewajaran pembuatan akta menjadi dasar bagi Dewan
Kehormatan Notaris untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka penegakan kode etik
Notaris terhadap Notaris yang bersangkutan, karena dengan adanya pembuatan akta
melebihi batas kewajaran yang ditetapkan dalam satu hari maka Notaris yang
bersangkutan menjadi “Objek Pemeriksaan Dewan Kehormatan Notaris”.
Apabila dari hasil pemeriksaaan Dewan
Kehormatan Notaris ternyata pembuatan akta-akta yang bersangkutan telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku maka sudah seharusnya Dewan Kehormatan Notaris
menyatakan bahwa Notaris yang bersangkutan dinyatakan tidak bersalah, dan
bilamana perlu apa yang dilakukan oleh Notaris tersebut dapat dijadikan contoh
bagi rekan-rekan lainnya, dalam arti contoh yang positif dalan menjalankan
jabatan khusunya pembuatan akta yang melebihi batas kewajaran yang ditetapkan,
akan tetapi dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Dan disamping itu sudah
seharusnya segala hak yang seharusnya menjadi haknya dapat diberikan
sebagaimana mestinya, misalnya hak untuk memperoleh rekomendasi untuk pindah
jabatan.
Namun demnikian apabila ternyata dari
hasil pemeriksaan memang terdapat pelanggaran maka tentunya Dewan Kehormatan
Notaris harus dapat memberikan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan. Dalam
pemberian sanksi seperti yang juga disampaikan oleh Rekan Pieter latumenten,
sansksi tersebut bukanlah bersifat menghukum, akan tetapi bersifat mendidik dan
merupakan pembinaan bagi Notaris yang
bersaangkutan.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah
bahwa ketentuan pembatasan yang tercantum didalam Per.DKP No. 1/2017 bukanlah
pembatasan pembuatan akta, oleh karena itu tidak bertentangan dengan UUJN,
melainkan merupakan pembatasan perilaku Notaris di dalam pembuatan akta, agar
Dewan Kehormatan Notaris dapat melakukan pemanggilan dan pemeriksaan bagi
Notaris yang bersangkutan karena adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris
akibat telah melakukan pembuatan akta yang melebihi batasan kewajaran pembuatan
akta perhari.
7.
Pelanggaran terhadap pembatasan kewajaran
pembuatan akta yang diatur dalam Per.DKP No. 1/20017 merupakan pelanggaran kode
etik notaris
Dalam uraian terdahulu telah
diuraikan bahwa ketentuan mengenai pembatasan keqwajaran pembuatan akta perhari
oleh Notaris yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Pusat merupakan pelaksanaan
dari keputusan kongres yang dituangkan didalam Pasal 4 angka 16 Kode Etik
Notaris.
Oleh karena pembatasan pembuatan akta
ditetapkan didalam Kode Etik Notaris maka jelaslah bahwa pelangaran terhadap
ketentuan yang ditaur didalam peraturan DKP tersebut juga merupakan pelanggaran
terhadap kode etik notaris.
8.
Pelanggaran terhadap ketentuan
pembatasan kewajaran pembuatan akta perhari dapat dikenakan sanksi sesuai
ketentuan UUJN
Notaris didalam menjalankan
jabatannya terikat atas sumpah jabatan Notaris sebagaimana ditentukan di dalam
Pasal 4 UUJN. Didalam sumpah jabatan Notaris, Notaris menyatakan bahwa Notaris akan menjalankan jabatan dengan amanah, jujur,
saksama, mandiri, dan tidak berpihak serta akan menjalankan kewajibannya sesuai
dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai
Notaris. Dengan demikian apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran terhadap
kode etik notaris maka ia telah melakukan pelanggaran terhadap sumpah
jabatannya dan karenanya melanggar ketentuan UUJN.
Sesuai ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUJN,
pelanggaran terhadap kode etik Notaris dapat dikenakan sanksi berupa
pemberhentian sementara dari jabatannya. Oleh karena pelanggaran terhadap
ketentuan batasan kewajaran pembuatan akta merupakan pelanggaran terhadap
larangan yang diatur dalam Kode Etik Notaris maka atas pelanggaran tersebut
juga dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan UUJN sebagaimana ditetapkan di
dalam Pasal 9 ayat 1 UUJN.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan
Pasal 70, 73 dan Pasal 77 UUJN, Majelis Pengawas dapat melakukan pemeriksaan
atas dugaan pelanggaran kode etik notaris, dan apabila terbukti maka atas
pelnggran tersebut dapat dikenakan sanski berupa:
a.
peringatan
lisan;
b.
pringatan
tertulis;
c.
pemberhentian
sementara 3 (tiag) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
d.
usulan
pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
Sekian. Tks. Semoga bermanfaat
Salam
Alwesius, SH, MKn
Kamis, 26 Januari 2017
Pembuatan
Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
(Revisi)
Oleh :
Alwesius, SH,Mkn
1. Pendahuluan
Pada
tanggal 21 Maret 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan
putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang terkait dengan gugatan yang
diajukan oleh Nyonya Ike Farida terhadap beberapa pasal di dalam UU Nomor 5
Tahun 1960 (UUPA) dan Pasal 29 dan 35 UU Nomor 1 Tahun 1974. Dari
gugatan-gugatan yang diajukan tersebut Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan
salah satu guguatan yaitu yang terkait Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur
mengenai perjanjian perkawinan.
Mahkamah
Konsitusi mengubah ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 tahun 1974, sehingga Pasal 29
tersebut yang semula berbunyi:
“(1)Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan
bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan.
(4)Selama
perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk mengrubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak
ketiga.”,
menjadi
berbunyi sebagai berikut:
“(1)Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau
selama perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan, kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(5)Selama perkawinan dilangsungkan, perjanjian dapat mengenai harta perkawinan
atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk mengubah atau mencabut dan
perubahan atau pencabutan tersebut tidak
merugikan pihak ketiga.
Dengan
adanya perubahan ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka
terdapat beberapa perubahan yang terjadi terkair perjanjian perkawinan, yaitu:
a.
Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau
pada saat perjanjian perkawina, sekarang dapat juga dibuat sepanjang
perkawinan;
b.
Perjanjian perkawinan yang semula berlaku terhitung sejaka perkawinan
dilangsungkan, sekarang dapat juga berlaku mulai saat yang diperjanjikan oleh
suami isteri;
c.
Perjanjian perkawinan yang
semula hanya dapat diubah oleh kedua belah pihak, sekarang disamping dapat dapat
diubah, juga dapat dicabut oleh kedua belha pihak.
Namun
demikian dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Notaris tidak
serta merta dapat melayani permintaan pasangan suami isteri untuk membuat
perjanjian perkawinan. Masih terdapat permasalahan yang memerlukan kejelasan
dan kepastian sehubungan dengann pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berupa:
a.
Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa perjanjian perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan tersebut tidak merugikan pihak ketiga?
b.
Bagaimana tatacara pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat
sepanjang perkawinan?
c.
Sejak kapan sebaiknya perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang
perekawinan mulai berlaku, apakah berlaku surut sejak tanggal perkawinan
dilangusngkan atau mulai berlaku sejak saat dibuatnya perjanjian perkawinan
tersebut?
2. Pengertian Perjanjian
Perkawinan
Jika
kita melihat ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan
maka tidak terdapat pengertian yang jelas mengenai perjanjian perkawinan. Oleh
karena itu banyak para ahli yang memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan
perjanjian perkawinan.
Dari
berbagai pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, penulis mencoba
untuk menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian yang
dibuat oleh calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap
harta benda/harta kekayaan mereka, dengan menyimpang dari prinsip harta benda
perkawinan menurut undang-undang.
Namun demikian walaupun perjanjian perkawinan pada prinsipnya berisikan pengaturan
mengenai harta perkawinan, sesuai bunyi Pasal 29 ayat 4 UU Perkawinan,
perjanjian perkawinan dapat juga berisikan hal lain selain mengenai harta perkawinan.
3. Pembuatan Perjanjian
Perkawinan Menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan
Ada
perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata dan
UU Perkawinan. Menurut ketetntuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman
kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris dan dibuat
sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan tersebut mulai berlaku
terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148 KUHPerdata menentukan bahwa
sepanjang perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga perjanjian perkawinan
tidak dapat diubah.
UU
Perkawinan mengatur perihal perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal
yaitu Pasal 29. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian
perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan
suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangusng perjanjian perkawinan
tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian
untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dengan
demikian terlihat ada perbedaan ketentuan mengenai pembuatan perjanjian menurut
KUHPerdata dan UUPerkawinan, yaitu:
1) Menurut KUHPerdata,
perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, sedangkan menurut UU
Perkawinan, perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis, jadi bisa
dibuat dengan akta notaris atau dibuat dibawah tangan;
2) Menurut KUHPerdata,
perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangusngkan,
sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan;
3) Menurut KUHPerdata,
sepanjang perkawinan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun
juga, sedangkan menurut UU Perkawinan, prinsipnya perjanjian perkawinan tidak
dapat diubah sepanjang perkawinana kecuali bila dari kedua belah pihak
ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
4. Pencatatan Perjanjian
Perkawinan
Setelah
dibuatnya perjanjian perkawinan maka selanjutnya perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh suami isteri tersebut kemudian harus dicatat, agar perjanjian
perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga. Perjanjian perkawinan yang tidak
dicatat tidak mengikat pihak ketiga akan tetapi hanya mengikat para pihak
yang membuatnya.
Menurut
152 KUHPerdata, pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Panitera
Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan tersebut
dilangsungkan. Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negeri maka pencatatan
perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Paniteran Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat dimana perkawinan tersebut dicatat.
Sesuai
ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan. Menurut penulis “disahkan” dalam kalimat ketentuan
Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian perkawinan
tersebut tidak sisahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian
perkawinan tersebut tidak sah. Pengesahan tersebut dilakukan dengan melakukan
pembukuan atau pencatatan perjanjian perkawinan tersebut di dalam buku daftar
yang memng disediakan untuk melakukan pencatatan.
Pencatatan
perjanjian perkawinan setelah berlakunya UU Perkawinan tidak lagi dilakukan di
Kantor Panitera Pengadilan Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil) atau Kantor Urusan Agama.
5. Pembuatan Perjanjian
Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
a.
Perjanjian Perkawinan Dapat Dibuat
Sepanjang Perkawinan Suami Isteri
Dengan
keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, pada tanggal 21
Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan dengan pembuatan perjanjian
perkawinan. Apabila sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat
sebelum atau pada saat perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat
juga dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka.
Dengan
adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka pasangan suami isteri, yang
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan tidak membuat perjanjian perkawinan,
jika mereka ingin membuat perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan mereka
tidak lagi harus meminta penetapan pengadilan untuk keperluan pembuatan
perjanjian perkawinan tersebut, seperti yang telah beberapa kali terjadi.
Mereka yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat membuat perjanjian
perkawinan tersebut dihadapan Notaris.
b. Bentuk Perjanjian
Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan
Jika
kita melihat ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur di dalam
KUHPerdata maupun pendapat para ahli, maka dapat kita ketahui ada beberapa
bentuk perjanjian perkawinan, antara lain:
1)
Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau harta
terpisah berupa apapun juga;
2)
Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi;
3)
Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan;
Perjanjian
perkawinan diluar persekutuan harta benda dibuat dengan maksud agar dinatara
suami isteri tidak terdapat harta persatuan berupa apapaun juga. Jadi semua
harta yang dibawa kedalam perkawinan maupun semua harta atau penghasilan yang
diperoleh sepanjang perkawinan, darimanapun harta tersebut berasal dan apapun
sebab perolehannya merupakan milik pribadi/harta pribadi pihak yang membawa
atau memperolehnya.
Perjanjian
perkawinan persatuan untung dan rugi dibuat dengan maksud agar semua harta yang
dibawa ke dalam perkawinan, demikian juga harta yang diperoleh dari warisan
atau hibah tetap merupakan milik pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya,
sementara segala keuntungan dan kerugian sepanjang perkawinan dibagi dua
dinatara suami isteri masing-masing dengan bagian yang sama besarnya.
Perjanjian
perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, hampir sama dengan perjanjian
perkawinan persatuan untung dan rugi. Perbedaannya adalah bahwa didalam
perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, yang dibagi dua diantara
suami isteri adalah hasil dan pendapatannya saja (keuntungan), sedangkan
apabila di dalam perkawinan tersebut terdapat kerugian (lebih besar utang/beban
dari pada penghasilan) maka utang tersebyut ditanggung dan dibayar oleh suami.
Disamping
bentuk-bentuk perjanjian perkawinan sebagaimana diuraikan diatas tentunya masih
ada berbagai bentuk perjanjian perkawinan lain. Berkaitan dengan hal tersebut
tentunya bentuk perjanjian perkawinan yang mana yang akan dibuat oleh suami isteri
sepanjang perkawinan mereka tergantung dari tujuan dibuatnya perjanjian
perkawinan tersebut. Namun apabila kita melihat latar belakang dari adanya
tuntutan nonya Ike Farida yang menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut tentunya yang diinginkan untuk dibuat adalah perjanjian perkawinan
diluar persekutuan harta benda atau perjanjian perkawinan harta terpisah berupa
apapun juga, agar Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan dengan
Warga Negara Asing dapat tetap membeli tanah denganstatus Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan (HGB) di dalam perkawinan mereka.
Dengan
adanya berbagai bentuk perjanjian perkawinan maka didalam melayani permintaan
pembautan akta perjanjian perkawinan, para notaris harus memahami dan
mengetahui secara pasti keinginan dan tujuan para pihak untuk membuat perjanjian
perkawinan tersebut. Isi akta perjanjian perkawinan yang dibuat harus sesuai
dengan keinginan dan tujuan para pihak, bukan sesuai keinginan notaris.Misalnya
apakah maksud mereka membuat perjanjian perkawinan tersebut agar semua harta
yang kemudian diperoleh masing-masing suami isteri menjadi milik pribadi yang
memperolehnya atau yang menjadi milik masing-maisng pihak yang memperoleh hanya
yang berupa harta tidak bergerak (tanah) saja dan lain-lain.
c. Pembuatan Perjanjian
Perkawinan Sepanjang Perkawinan Tidak Boleh Merugikan Pihak Ketiga
Oleh
karena pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap
status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan
tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh
merugikan pihak ketiga. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya kita
dapat mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan pembuatan
perjanjian perkawinan.
Putusan
Mahkamah konstitusi maupun UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur hal tersebut. UU Nomor 1 Tahun
1974 hanya menentukan bahwa apabila perjanjian perkawinan tersebut telah
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut
mengikat pihak ketiga.
Untuk
melindungi kepentingan pihak ketiga tersebut sudah seharusnya terdapat tatacara
yang harus ditempuh agar pihak ketiga diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri
sepanjang perkawinan yang ternyata merugikan dirinya.
Berkaitan
dengan hal tersebut menurut pendapat penulis, sepanjang belum diatur tatacara
tersebut maka sebaiknya para notaris berhati-hati di dalam melayani permintaan
pembuatan akta perjanjian perkawinan tersebut, agar jangan sampai akta
perjanjian perkawinan yang dibuatnya menimbulkan permasalahan atau sengketa
dikemudian hari karena adanya gugatan dari pihak ketiga yang dirugikan atau dibuatnya
perjanjian perkawinan tersebut.
d. Mulai Berlakunya
Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan
Di
atas telah diuraikan bahwa untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau
pada saat perkawinan, sesuai ketentuan Pasa 29 UU Perkawinan, perjanjian
perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Lalu bagaimana
dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, apakah
perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak pembuatan perjanjian
perkawinan atau berlaku surut sejak tanggal perkawinan.
Jika
kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas bahwa terhadap perjanjian
perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan juga berlaku terhitung sejak
perkawinan dilangsungkan (berlaku surut), kecuali ditentukan lain di dalam
perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Pasal 29 UU Perkawinan yang berbunyi
“Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangusngkan.” menurut
Mahkamah Konstitusi harus dimaknai bahwa berbunyi “Perjanjian perkawinan
mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan.”
Sehubungan
dengan hal tersebut maka apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian
perkawinan tersebut mulai berlaku maka perjanjian perkawinan mulai berlaku
terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut).
Permasalahan
yang timbul apabila perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak
perkawinan dilangusngkan adalah apakah perjanjian perkawinan tersebut demi
hukum mengubah status hukum yang ada sebelum
dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut, apakah harta yang semula merupakan
harta bersama (harta gono gini) sumai isteri, dengan dibuatnya perjanjian
perkawinan tersebut berubah menjadi harta pribadi milik suami atau isteri yang
memperoleh harta tersebut. Jika memang benar demikian maka akan timbul
permasalahan, apakah suami isteri dapat melakukan pembagian dan pemidsahan
harta dalam perkawinan tanpa terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan.
Permasalahan berikutrnya terkait hal tersebut adalah apakah adanya perubahan
status harta tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
Sehubungan
dengan adanya permasalahan tersebut menurut penulis memang sebaiknya di dalam
membuat perjanjian perkawinan, suami isteri bersepakat bahwa perjanjian
perkawinan yang mereka buat mulai berlaku terhitung sejak saat dibuat
perjanjian perkawinan atau hanya berlaku terhadap harta-harta yang mereka
peroleh setelah dibuatnya perjanjian perkawinan, sehingga tidak mengubah staus
hukum harta yang telah ada sebelumnya.
Sehubyungan
dengan hal tersebut maka sebaiknya Notaris di dalam menerima permintaan
pembuatan perjanjian perkawinan memberikan penyuluhan hukum kepada pasangan
suami isteri tersebut mengenai mulai berlakunya perjanjian perkawinan serta permasalahan-permasalahan
yang ada, sehingga mereka dapat dengan sadar dapat memilih jangka waktu yang
berkaitan mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut.
d.
Pencatatan Perjanjian Perkawinan Yang
Dibuat Sepanjang Perkawinan
Sebagaimana
telah diuraikan diatas, dengan berlakunyan UU Nomor 1 Tahun 1974, pencatatan perjanjian
perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri.
Pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Pegawai Pencatatan
Perkawinan, yaitu di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, demikian
pula halnya terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Berkaitan
dengan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan,
apabila ternyata pegawai pencatat perkawinan (kantor catatan sipil/KUA) menolak
untuk melakukan pencatatan perjanjian perkawinan tersebut maka pasangan suami isteri yang bersangfkutan
dapat meminta penetapan pengadilan negeri untuk memerintahkan pegawai
pencatatan perkawinan (Kantor Catatan Sipil/KUA) untuk mecatat perjanjian
perkawinan tersebut.
6. Contoh Premisse Akta dan Pasal tertentu
dalam Perjanjian Perkawinan yang dibuta sepanjang perkawinan
a. Premisse
Akta
-Para penghadap
menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut:
-bahwa Para Pihak adalah merupakan suami
isteri, yang perkawinannya dilangsungkan di .............., pada tanggal
......................
sebagaimana
ternyata dalam Akta Perkawinan nomor
.........yang kutipan resminya dikeluarkan oleh ............. pada
tanggal ........................... diperlihatkan kepada saya, Notaris dan foto
copi sesuai asalinya dilekatkan pada minuta akta ini;
-bahwa perkawinan
Para Pihak dilangsungkan tanpa membuat perjanjian perkawinan, sehingga terhadap
harta benda mereka berlaku ketentuan harta benda perkawinan, yang diatur
didalam peraturan perundang-undang yang berlaku;
-bahwa oleh karena
satu dan lain hal yang telah diketahui oleh Para Pihak, sehingga tidak perlu
diuraikan di dalam akta ini, Para Pihak bermaksud membuat perjanjian
perkawinan, dengan tujuan untuk mengenyampingkan ketentuan undang-undang yang
mengatur harta benda perkawinan, dengan membuat perjanjian perkawinan (perjanjian
perkawinan harta terpisah berupa apapun juga);
-Sehubungan dengan
apa yang diuraikan diatas selanjutnya para penghadap menerangkan bahwa Para
Pihak dengan ini telah saling sepakat
kesepakatan untuk membuat perjanjian perkawinan (harta terpisah berupa
apapun juga, dengan memakai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
b. Bunyi pasal tertentu
Contoh Pasal terkait adanya harta terpisah
Pasal .....
Terhitung mulai hari ini, antara suami
isteri tidak akan terdapat persekutuan harta benda, bukan hanya tidak adanya
persekutuan menurut hukum, akan tetapi persekutuan untung dan rugi, persekutuan
hasil dan pendapatan serta persekutuan berupa apapun juga secara tegas
ditiadakan.
Contoh Pasal terkait barang yang telah ada
sebelumnya
Pasal ....
1.
Bahwa
barang-barang yang ada sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini, baik yang
merupakan harta pribadi masing-masing pihak yang bersalal dari harta bawaan, warisan
atau hadiha/hibah maupun harta bersama (harta gono gini Para Pihak adalah
sebagaimana diuraikan di dalam Daftar Harta yang dibuat dibawah tangan,
tertanggal hari ini, bermeterai cukup dan ditandatangani oleh Para Pihak, yang
aslinya dilekatkan pada minuta akta ini.
2.
Terhadap
barang-barang sebagaimana dimaksud di dalam ayat 1 Pasal ini tetap berlaku
ketentuan hukum sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan ini dan merupakan
pengecualian dari perjanjian perkawinan ini.
7.
Perjanjian perkawinan dapat diubah atau dicabut sewaktu-waktu
Pasal 29 ayat 4
UU Nomor 1 tahun 1974 memungkinkan perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh
pasangan suami isteri diubah atau dicabut sewaktu-waktu berdasarkan kesepakatan
suami isteri. Pembatasan yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 4 UU Nomor 1 tahun
1974, perubahan atau pencabutan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Dengan adanya
kemungkinan dilakukannya perubahan sewaktu-waktu dan bahkan dapat diubah
beberapa kali, hal ini akan membawa permasalahan tersendiri bagi notaris di
dalam praktek karena belum adanya cara untuk mengetahui atau melakukan
pengecekan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat suami isteri yang
bersangkutan apakah merupakah perjanjian perkawinan satu-satunya, apakah pernah
mengalami perubahan, jika ada sudah berapa kali diubah, apakah akta yang
ditunjukkan kepada notaris merupakan perubahan yang terakhir kali dan apakah
pernah dicabut atau tidak.
8.
Penutup
a. Simpulan
Sehubungan dengan apa yang diuraikan
diatas maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan setelah
perkawinan dilangsungkan;
2) Pembuatan perjanjian
perkawinan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
3) Perjanjian perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, akan
tetapi para pihak dapat menentukan di dalam perjanjian perkawinan tersebut saat
mulai berlaku perjanjian perkawinan yang bersangkutan, misalnya mulai berlaku
terhitung sejak tanggal pembuatan perjanjian perkawiann tersebut.
4) Pencatatan
perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan masih menjadi persoalan
karena belum adanya ketentuan mengenai pencatatannya. Oleh karena masih adanya
permasalahan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan tersebut, dapat
mengakibatkan tidak dapat dilakukannya pencatatan atas perjanjian perkawinan
yang telah dibuat. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat mengakibatkan
perjanjian perkawinan tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku
diantara para pihak. Untuk
itu agar perjanjian perkawinan tersebut dapat dicatat maka dapat diminta
penetapan pengadilan.
Semoga
bermanfaat
Salam
Alwesius,SH,MKn
Langganan:
Postingan (Atom)