CATATAN
MENGENAI HARTA BERSAMA DAN PERSETUJUAN PASANGAN KAWIN
Oleh:
Alwesius, SH, MKn
Pasal 35 ayat 1 menentukan “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama” . Dengan menggunakan kata-kata “Harta benda” menunjukkan
pasal ini tidak membedakan antara harta
bergerak maupun harta tidak bergerak, harta berwujud maupun tidak berwujud dll.
Selanjutnya Pasal 35 ayat 2 memnentukan “ Harta bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiha atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”. Jadi jelas berdasarkann
ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan tersebut di dalam setiap perkawinan terdapat
Harta Bersama Suami dan Isteri dan Harta Pribadi masing-masing suami isteri.
Harta Bersama Suami dan
Isteri adalah semua harta benda (bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh
suami dan/atau isteri selama/di dalam perkawinan mereka, kecuali yang diperoleh
dari hadiah atau warisan. Harta Pribadi terdiri
dari harta bawaan, yaitu yang dibawa masing-masing-masing pihak ke dalam
perkawinan dan harta yang diperoelh dari hadiah, hibah atau warisan.
Selanjutnya mari kita lihat pernyataan yang menyatakan “Ada
atau tidak adanya harta bersama baru akan ditentukan setelah perkawinan
berakhir (baca penjelasan pasal 35 (1) dan ketentuan pasal 37 UU 1/1974).
Jadi selama perkawinan masih
berlangsung, tidak ada penentuan mana yang menjadi harta bersama dan mana yang bukan harta bersama.”
Terkait hal ini mari kita lihat Pasal
36 ayat 1 UU Perkawinan menentukan “Mengenai
harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.
Kata-kata awal dari Pasal 36 ayat 1 ini yaitu “Mengenai harta bersama” menunjukan bahwa status harta bersama
tersebut telah ada sejak diperolehnya harta tersebut di dalam perkawinan. Keberadaan
“harta bersama” tidak menungguh perkawinan tersebut berakhir. Apabila keberadaan harta bersama baru dapat
ditentukan atau baru ada pada saat perkawinan berakhir, tentunya Pasal 36 ayat
1 UU Perkawinan ini tidak diperlukan atau dapat dikatakan sebagai kata-kata
mati. Demikian pula dalam kita menjalankan jabatan sebagai Notaris atau PPAT
kita tidak perlu mengetahui atau melihat apakah yang dijual atau dijadikan
jaminan utang itu masuk dalam harta bersama atau tidak. Kenapa demikian, karena
hal itu tidak diperlukan sepanjang pasangan suami isteri tersebut masih terikat
perkawinan, bukan begitu!. Jadi jika pasangan suami isteri tersebut masih
terikat perkawinan maka kita tidak perlu menerylidiki apakah harta yang dijual
atau dijaminkan itu masuk harta pribadi atau harta bersama dan karenanya tidak
perlu kita meminta persetujuan pasangan kawin. Hal ini tentunya akan membawa
permasalahan bagi para pihak yang menerima hak berdasarkan akta yang kita buat dan
dapat menimbulkan persoalan hukum bagi kita.
Adanya harta bersama
sepanjang perkawinan dan keberadaannya dimulai sejak saat diperolehnya harta
tersebut juga diakui di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69 PUU-XIII/2015
dalam perkara gugatan Nyonya Ike Farida, terkait ditolaknya penandatanganan AJB
oleh Nyonya Ike Farida oleh pihak pengembang dengan alasan bahwa Nyonya Farida
bersuamikan orang asing sehingga melanggar ketentuan mengenai pemilikan tanah
di dalam UUPA dan akhirnya membawa perubahan atas ketentuan Pasal 29 UU
Perkawinan.
Mengenai Penjelasan
Pasal 35 ayat 1 yang menentukan “Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama
tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing”.Kalimat ”... maka harta bersama tersebut”
setelah kalimat “Abila perkawinan putus...”
dalam pasal ini sudah sangat jelas dan tegas mengakui eksistensi harta bersama
yang telah ada sebelum perkawinan
putus/berakhir. Jadi keberadaannya bukan pada saat perkawinan tersebut
putus/berakhir. Tapi telah ada sebelumnya sepanjang perkawinan, yang dimulai
pada saat harta itu diperoleh dan kemudian apabila perkawinan tersebutn
putus/berakhir maka mengenai harta bersama tersebut diatur menuruit hukumnya
masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum mlainnya (Penjelasan
Pasal 37)
Selanjutnya terkait pernyataan
persetujuan suami/isteri yang menyatakan menyatakan “Persoalan persetujuan dari suami
atau isteri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 36 (1) UU 1/1974 adalah
persoalan internal dari suami atau isteri tersebut. Dalam arti, tidak adanya
persetujuan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan
tidak sahnya suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pemilik objek tersebut.
Tidak adanya persetujuan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk merugikan
pihak lainnya yang beritikad baik dalam transaksi yang bersangkutan.”
Pertama-tama yag pasti disini adanya “persetujuan” pasangan kawin disini
diperlukan terlepas apakah itu masalah internal atau eksternal atau sah atau
tidak sahnya perbuatan hukum tersebut. Adanya “persetujuan” tersebut diperlukan jika
yang akan dijual atau dijadikan jaminan utang tersebut masuk dalam harta
bersama sesuai ketentuan yang disebutkan di dalam Pasal 36 ayat 1 tersebut.
Penentuan harta yang bersangkutan masuk sebagai harta bersama kita tentukan pada
saat kita akan membuat akta pemindahan hak atau akta jaminan yang bersangkutan,
tidak menungguh berakhirnya perkawinan pihak yang menjual atau menjaminkan.
Jika tidak demikian bagaimana kita dapat menentukan diperlukannya persetujuan
tersebut apabila kita sebelumnya tidak menentukan bahwa harta tersebut masuk di
dalam harta bersama suami isteri.
Terkait diperlukannya persetujuan suami atau isteri jelas
disyaratkan di dalam asal 36 ayat 1. Persetujuan tersebut bukan masalah internal
suami isteri semata-mata tetapi merupakan masalah yang penting di dalam
melakukan perbuatan hukum atas harta bersama.Tidak adanya persetujuan dapat
membawa permasalahan hukum tersendiri dan akan merugikan pihak penerima hak,
yang menerima hak berdasarkan akta yang kita buat.Perbuatan tersebut dapat
dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.Telah banyak putusan
Mahkamah Agung terkait dengan hal ini. (Lihat Putusan MA RI No. 2690 K/Pdt/1985
tanggal 3 Nopember 1986, Putusan MA RI No. 33 K/AG/1983 tanggal 7 Juni
1984, Putusan MA RI No. 681 K/Sip /1975, Putusan MA RI No. 2691 K/Pdt/1996 tanggal 8
September 1998)..Sekian.Tks.Smoga Bermanfaat.Salam Alwesius.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar