Jumat, 10 April 2020

Pelaksanaan tugas jabatan Notaris dalam pembuatan akta di masa pandemi Covid-19

Pelaksanaan tugas jabatan Notaris dalam pembuatan akta di masa pandemi Covid-19[1]

Oleh : Alwesius, S.H, M.Kn[2]


A.            Pendahuluan

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19)  di Indonesia semakin hari semakin mengkhawatirkan. Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh para Notaris Indonesia. Khususnya dalam menghadapi anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah, Work From Home (WFH) dan juga dengan akan mulai diberlakukannya Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), masing-masing dengan melaksanakan Social Distancing dan Physical Distancing.
 Anjuran pemerintah untuk melaksanakan WFH tentunya harus didukung oleh para Notaris Indonesia, demikian juga apabila kemudian wilayah kabupaten/kota yang menjadi tempat kedudukan Notaris atau wilayah Provinsi yang menjadi wilayah jabatan Notaris dinyatakan sebagai wilayah yang masuk sebagai wilayah PSBB. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Permenkes No. 9 Tahun  2020 PSBB tersebut meliputi:
a.             peliburan sekolah dan tempat kerja;
b.            pembatasan kegiatan keagamaan;
c.             pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
d.            pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
e.             pembatasan moda transportasi; dan
f.             pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.[3]
Peliburan tempat kerja tersebut dikecualikan bagi kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.[4]
Sehubungan dengan hal tersebut maka terdapat permasalahan sebagai berikut:
1.             Apakah Notaris tetap dapat menjalankan jabatannya, termasuk untuk dapat melaksanakan pembuatan akta menghadapi anjuran WFH?
2.             Apakah pengecualian untuk menutup kantor sebagaimana ditetapkan dalam pasal 13 ayat (2) Permenkes No. 9 Tahun 2020 berlaku bagi Notaris?
3.             Apakah Notaris dapat melaksanakan pembuatan akta melalui media elektronik (media telekonference atau video konferensi)?


B.            Pembahasan


1.             Pelaksanaan jabatan Notaris dalam pembuatan akta sesuai Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)


a.             Kewenangan Notaris

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) menentukan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta authentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.[5]Selanjutnya Pasal 15 ayat (1) UUJN menentukan:

“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.  notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, sedangkan pejabat lain hanya merupakan kekecualian.”

Kewenangan Notaris dalam  pembuatan akta Authentik tersebut meliputi :
1)               Wewenang berkaitan dengan “Tempat”
2)               Wewenang berkaitan dengan “Waktu”
3)               Wewenang berkaitan dengan “Orang”
4)               Wewenang berkaitan dengan “Akta”

1)             Wewenang berkaitan dengan “Tempat”

Ini berarti wewenang yang dikaitkan dengan “tempat” dimana akta itu dibuat. Notaris harus mempunyai kewenangan di tempat dimana akta itu dibuat.  Pasal 18 UUJN menentukan:”

(1)        Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota.
(2)        Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.”
Berdasarkan ketentuan pasal 18 UUJN tersebut maka harus kita bedakan antara “tempat kedudukan notaris” serta “wilayah jabatan Notaris”.  Tempat kedudukan Notaris adalah satu wilayah kabupaten/kota dimana Notaris berkantor, sedangkan wilayah jabatan notaris meliputi satu wilayah provinsi yang meiputi tempat kedudukan Notaris. Seorang Notaris hanya mempunyai kewenangan untuk menjalankan jabatannya di dalam wilayah jabatannya yaitu dalam satu propinsi yang meliputi tempat kedudukan Notaris tersebut.P asal 17 ayat (1) huruf a UUJN, menentukan “Notaris dilarang untuk menjalankan jabatannya diluar wilayah jabatannya.”“Dilarang menjalankan jabatan” berarti tidak hanya dilarang untuk membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah jabatannya, akan tetapi menerima keterangan-keterangan dari klien sehubungan dengan pembuatan akta tersebut juga dilarang, karena menerima keterangan-keterangan tersebut dilakukan oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya selaku Notaris.[6] Misalnya seorang Notaris yang berkedudukan di Jakarta Pusat, suatu saat diminta oleh kliennya untuk mengadakan pertemuan di kota Bogor untuk membicarakan dan membahas suatu permasalahan yang terkait dengan akta yang akan dibuat dihadapan Notaris tersebut. Oleh karena pembicaraan dan pembahasan tersebut dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya maka hal tersebut termasuk di dalam larangan tersebut.
Pasal 17 ayat (2) UUJN menentukan :
“Notaris yang melanggar ketentuan ayat (1) dapat dikenakan sanksi berupa:
a.             Peringatan  tertulis;
b.             Pemberhentian sementara;
c.             Pemberhentian dengan hormat;
d.             Pemberhentian dengan tidak hormat.”
Pelanggaran akan hal tersebut mengakibatkan akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta yang dibuat di bawah tangan apabila ditandatangani oleh para pihak.[7]
Pasal 19 ayat (1) UUJN menentukan” Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya”, dan berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (3) UUJN Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. Penjelasan Pasal 19 (3) UUJN menyatakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (3) UUJN mengakibatkan akta yang bersangkutan  hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta yang dibuat dibawah tangan.


2)             Wewenang berkaitan dengan “Orang”

Ini berarti wewenang yang dikaitkan dengan “orang” untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.  Notaris harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta berkaitan dengan orang yang untuk kepentingan  siapa akta itu dibuat. Pada prinsipnya Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta untuk kepentingan setiap atau  semua orang, kecuali dilarang oleh undang-undang.
Orang-orang yang tidak dapat menjadi “pihak”  sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN,  adalah:
1)             Notaris yang bersangkutan;
2)             isteri/suami notaris;
3)             orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan sedarah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga.
Larangan tersebut berlaku baik mereka menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
Pasal 52 ayat (2) UUJN menentukan bahwa larangan tersebut tidak berlaku dalam hal mereka (kecuali Notaris), menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan di hadapan Notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris.


3)             Wewenang berkaitan dengan “Akta”

Ini berarti wewenang yang dikaitkan dengan “akta” yang dibuat oleh Notaris. Berdasarkan ketentauan Pasal 15 ayat (1) UUJN, pada prinsipnya Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.
Namun ada akta yang kewenangan pembuatannya oleh UU diberikan kepada pejabat  lain dimana Notaris tidak berwenang untuk membuat akta yang bersangkutan.Misalnya akta-akta Catatan Sipil (Akta perkawinan, akta kelahiran atau akta kematian) dimana yang berwenanag membuatnya adalah Pejabat Kantor Catatan Sipil (Dinas Dukcapil) atau akta risalah lelang dimana yang berwenang membuatnya adalah pejabat lelang. Ada akta otentik, dimana Notaris dan pejabat lain sama-sama berwenang untuk membuatnya. Misalnya akta Surat Kuasa Untuk membebankan Hak Tanggungan, yang dapat dibuat oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)


4)             Wewenang berkaitan dengan “Waktu”

Ini berarti wewenang yang dikaitkan dengan “waktu” . Pada prinsipnya Notaris dapat menjalankan jabatannya di setiap waktu, tanpa terkecuali, baik di hari kerja maupun di hari libur, sepanjang ia telah mengucapkan sumpah jabatannya selaku Notaris dan tidak sedang dalam keadaan cuti.
Notaris tidak mempunyai hari kerja. Notaris wajib menjalankan jabatannya, khususnya dalam pembuatan akta apabila diminta oleh masyarakat, sekalipun permnintaan itu dilakukan pada hari minggu atau libur nasional lainnya. Notaris dilarang untuk menolak pembuatan akta tanpa alasan yang sah. Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN mewajibkan  Notaris  memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN,  kecuali ada alasan untuk menolaknya. Penolakan pembuatan akta dapat dilakukan apabila:
a)     Notaris berhalangan karena sakit atau karena pekerjaan jabatan lain;
b)    Apabila para penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau identitasnya tidak dapat diterangkan kepada Notaris;
c)     Apabila para pihak tidak dapat menerangkan kemauan mereka dengan jelas kepada notaris;
d)    Apabila para penghadap menghyendaki sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang;
e)     Apabila pembuatan akta yang bersangkutan akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 52 UUJN.[8]

Tidak dipenuhinya salah satu syarat mengenai kewenangan  Notaris tersebut dapat mengakibatkan akta yang bersangkutan  tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta yang dibuat dibawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.[9] Misalnya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 52 ayat (1) UUJN (mengenai larangan orang tertentu untuk menjadi pihak)  dan Pasal 40 (mengenai akta harus dibuat dengan dihadiri oleh 2 orang saksi dan syarat untuk menjadi saksi).


b.            Syarat agar akta Notaris memenuhi syarat sebagai akta Authentik


Pasal 1868 KUHPerdata menentukan:

“Suatu akta autentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta dibuatnya.”[10]

Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut maka suatu akta dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai akta Authentik apabila:
1)             akta harus dibuat  ”oleh” (door) atau ”di hadapan” (ten overstaan) seorang pejabat umum;
2)             akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
3)             Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.[11]
Tidak dipenuhi salah satu syarat tersebut dapat mengakibatkan akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila ditandatangani oleh para pihak, sebagaimana ditentukan di dalam pasal 1869 KUHPerdata, yang menentukan :

“Suatu akta yang karena tidak  berkuasa  atau tidak cakapnya pegawai  termaksud  di atas atau karena suatu cacad dalam bentuknya , tidak dapat diperlakukan  sebagai akta otentik  namun demikian mempunyai  kekuatan sebagai tulisan di bawah  tangan jika ia  ditandatangani oleh para pihak.”


c.             Akta Partai dan Akta Relaas/Akta Pejabat

Ada 2 (dua) golongan akta Notaris, yaitu Akta yang dibuat ”dihadapan” Notaris atau Akta Partai/Akta Pihak (partij akten)  dan Akta yang dibuat ”oleh” Notaris atau akta Relaas/Akta Pejabat (ambttelijke akten).
Menurut G.H.S. Lumban Tobing,  Akta Partai/Akta pihak adalah  akta Notaris yang berisi ”cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris di dalam suatu Akta Autentik.[12] Herlien Budiono mengatakan  pada Akta Pihak, membuat akta (”verlijden”) terdiri atas penyusunan. pembacaan, dan penandatanganan akta oleh para penghadap, saksi-saksi dan notaris. Akta pihak merupakan akta yang berisikan mengenai apa yang terjadi berdasarkan keterangan yang diberikan oleh para penghadap kepada notaris dalam artian mereka menerangkan dan menceritakan kepada notaris agar keterangan atau perbuatan tersebut dinyatakan olehn notaris di dalam suatu akta notaris dan yang (para) penghadap menandatangani akta itu. Oleh karena itu, dikatakan akta tersebut dibuat “dihadapan” (ten overstaan)    notaris.[13] 
Jadi dalam suatu akta Partai/Akta Pihak  penghadap atau para penghadap hadir dihadapan Notaris, melakukan perbuatan , membuat perjanjian atau ketetapan dan/atau  memberikan keterangan-keterangan terkait dengan perbuatan, perjanjian atau ketetapan   tersebut, kemudian meminta kepada Notaris agar   perbuatan,  perjanjian atau ketetapan dan/atau  keterangan-keterangan yang diberikannya dituangkan atau dikonstatir oleh Notaris dalam akta. Akta Partij (Akta Partai) ini misalnya akta Perjanjian Sewa Menyewa, Akta Pendirian PT, Akta Hibah.
Pada akta “relaas”/akta Pejabat, “membuat” akta diartikan sebagai pengamatan Notaris pada suatu peristiwa atau fakta (hukum), menyusun berita acara, membacakan dan menandatangani akta tersebut bersama para saksi, termasuk keterangan alasan mengapa para penghadap tidak menandatangani aktanya.[14] Akta relaas adalah bentuk akta yang dibuat untuk bukti oleh (para) penghadap, di mana di dalam akta tersebut diuraikan secara otentik tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan sendiri oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat atas dasar apa yang dilihat dan disaksikan oleh Notaris dikenal sebagai akta yang dibuat “oleh”(door ) Notaris. [15] Akta relaas tidak memberikan bukti mengenai keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap dengan menandatangani akta tersebut, tetapi untuk bukti mengenai perbuatan dan kenyataan yang disaksikan oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya. [16] Yang termasuk di dalam akta pejabat (akta rellaas) ini misalnya akta Berita Acara Undian, Akta Berita Acara Rapat Umum Para Pemegang Saham  PT.
Terdapat satu perbedaan mendasar di antara akta Partai dan Akta Pejabat ini yaitu perihal “adanya tandatangan”  para penghadap dalam akta   tersebut. Di dalam akta Partai adanya tandatangan para pengahdap bersifat mutlak. Jika ada  penghadap yang tidak menandatangani akta tersebut maka tidak tercipta adanya akta tersebut (aktanya tidak ada). Di dalam akta partai jika ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangannya sementara  sebenarnya ia ingin menandatangani akta tersebut maka akan dilakukan “surrogaat” tandatangan yaitu berupa keterangan yang dicantumkan oleh notaris pada bagian akhir akta yang berasal dari penghadap, dimana penghadap menerangkan bahwa ia ingin menandatangani akta tersebut akan tetapi karena alasan tertentu ia tidak dapat membubuhkan                    tandatangannya. [17] Keterangan tersebut merupakan pengganti dari tandatangan penghadap yang bersangkutan.
Di dalam akta Pejabat  adanya tandatangan para penghadap bukan merupakan syarat mutlak. Jika ada penghadap yang tidak menandatangani akta yang bersangkutan baik karena ia tidak dapat membubuhkan tandatangannya maupun oleh karena ia menolak untuk menandatangani akta tersebut maka hal tersebut cukup diterangkan oleh Notaris pada bagian akhir akta dengan menyebutkan alasannya.[18]


d.            Kehadiran penghadap dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan  akta Notaris


Dalam dunia kenotariatan kalimat yang digunakan oleh Notaris untuk menunjukkan tindakan seseorang hadir dihadapan Notaris guna keperluan pembuatan akta adalah “Berhadapan dengan saya …”, “Menghadap kepada saya” atau “Hadir dihadapan saya”.  Dr. Herlien Budiono, SH, yang menyatakan:“Frasa “Menghadap kepada saya”, “Hadir dihadapan saya”, atau “Berhadapan” sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “verscheen” dari kata kerja “verschijnen” yang berarti “te voorcvhijn komen, zich vertonen” atau dalam bahasa Indonesia “datang dan menghadap” yang mengandung muatan “hadir”nya {para} penghadap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “menghadap” diantaranya, berarti “datang bertemu dengan”; “datang menjumpai”; “datang ke”; dan “bertemu muka dengan”. Ada kemungkinan penandatanganan akta notaris tidak dilakukan di kantor notaris, tetapi muatan isi dari kata “Menghadap”, “Hadir”, atau “Berhadapan” tidak mengurangi kenyataan atau ketegasan akan benar-benar hadirnya (para) penghadap pada waktu pembacaan dan penandatanganan akta. Oleh karena itu, terserah pada Notaris ingin menggunakan frasa yang mana, karena tidak lain frasa-frasa tersebut adalah jaminan yang diberikan Notaris bahwa (para) penghadap benar-benar telah hadir pada waktu pembacaan dan penandatanganan akta.” [19]    
Sehubungan dengan apa yang diuraikan diatas maka dalam rangka pembuatan akta Notaris seorang penghadap hadir dihadapan atau datang bertemu atau datang menjumpai Notaris dalam arti kehadiran penghadap adalah kehadiran secara fisik. Kehadiran penghadap dihadapan Notaris hanya dimungkinkan dengan kehadiran secara fisik atau berhadap-hadapan dengan Notaris secara langsung. Seseorang tidaklah dikatakan “hadir dihadapan” atau “berhadapan” atau “menghadap” Notaris apabila orang yang bersangkutan (penghadap) tidak benar-benar berada dihadapan Notaris, misalnya seorang penghadap tampil  melalui media elektronik.
Disamping apa yang diuraikan di atas,  sesuai ketentuan UUJN  pambuatan akta Notaris masih dilakukan dengan pembuatan akta dalam bentuk “minuta” akta.  Minuta  Akta  adalah  asli  Akta  yang  mencantumkan tanda  tangan  para  penghadap,  saksi,  dan  Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris. Penandatangan akta dilakukan penghadap (para penghadap) dengan langsung membubuhkan tandatangan mereka pada minuta akta yang bersangkutan yang disimpan oleh Notaris. Hal tersebut hanya dapat dilakukan apabila penghadap (para penghadap) hadir dihadapan Notaris.   Dalam pembuatan akta secara elektronik tentunya hal ini tidak dapat dipenuhi, oleh karena asli akta yang bersangkutan tidak dapat diserahkan kepada Notaris untuk disimpan. Asli akta dalam pembuatan akta secara elektronik berada di server penyelenggara sistem elektronik yang digunakan dalam pembuatan akta yang bersangkutan, yang tidak diketahui entah berada dimana.  


2.             Pelaksanaan jabatan Notaris menghadapi anjuran WFH,  Social Distancing dan Physical Distancing

Dalam usaha untuk memberantas penyebaran Covid-19, Pemerintah menganjurkan antara lain untuk dilakukan pekerjaan di rumah atau WFH, serta dilaksanakannya Social Distancing dan Physical Disatancing. Anjuran pemerintah tersebut dsangat didukung oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI). Dalam rangka mendungkung kebijakan pemerintah tersebut Pengurus Pusat INI (PP INI) telah memberikan himbauan kepadam para Notaris untuk mengikuti himbauan pemerintah tersebut dan agar tetap menjalankan jabatannya sesuai UUJN  dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka mendukung himbauan agar melakukan WFH tersebut, hal tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh Notaris yang bertempat tinggal di dalam wilayah jabatannya, yaitu bertempat tinggal di dalam wilayah propinsi dimana Notaris tersebut berkedudukan dan berkantor. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh Notaris, yang bertempat tinggal di luar wilayah jabatannya,  oleh karena Notaris dilarang menjalankan jabatannya diluar wilayah jabatannya sebagaimana telah diuraikan di atas. Pelanggaran jabatan ini akan berakibat kepada akta yang dibuat dimana akta yang bersangkutan hanya berlaku sebagai akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta yang dibuat dibawah tangan.[20]    


3.             Pelaksananaan jabatan Notaris dalam kondisi PSBB

Dalam uraian diatas telah disebutkan bahwa dalam hal suatu daerah telah ditetapkan sebagai daerah berlakunya PSBB maka berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Permenkes No. 9 Tahun  2020 PSBB, tersebut meliputi:
a.             peliburan sekolah dan tempat kerja;
b.            pembatasan kegiatan keagamaan;
c.             pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
d.            pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
e.             pembatasan moda transportasi; dan
f.             pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Peliburan tempat kerja tersebut dikecualikan bagi kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan Kantor Notaris? Apakah kantor Notaris juga harus diliburkan? Menurut Penulis, dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah tersebut dangan berlakunya PSBB Kantor Notaris juga harus diliburkan, jadi Notaris ikut menutup kantornya dan meliburkan para karyawannya. Namun demikian sebagai pejabat umum, yang merupakan pejabat yang tugas utamanya membuat akta authentik bagi kepentingan masyarakat yang dilayaninya maka Notaris tetap dapat menjalankan jabatannya untuk membuat akta. Pembuatan akta dimasa berlakunya PSBB tidaklah melanggar UU. Akta yang dibuat dan ditandatangani dalam masa PSBB tetap sah dan berlaku sebagai akta authentik sepanjang dibuat sesuai ketentuan UUJN dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagaimana telah diuraikan dalam uraian di atas, terkait dengan kewenangan pembuatan akta, yang berkaitan dengan  dengan “waktu” pembuatan akta, Notaris berwenang membuat akta dalam waktu kapanpun, sepanjang Notaris telah mengucapkan sumpah jabatannya dan tidak sedang dalam keadaan cuti. Notaris tidak mengenal jam kerja dan hari libur. Notaris tetap berwenang membuat akta sekalipun akta itu dibuat pada hari libur nasional maupun hari libur yang ditetapkan pemerintah sebagaimana berlaku bagi daerah-daerah yang dinyatakan dalam keadaan PSBB tersebut. Disamping berdasarkan alasan tersebut Notaris juga dapat menggunakan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 13 ayat (7) Permenkes No. 9 Tahun 2020 , yang menyatakan:

“Peliburan sekolah dan tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.”

Sehubungan dengan ketentuan tersebut, menurut Penulis Notaris tetap dapat menjalankan jabatannya untuk membuat akta (termasuk membuka kantor sehubungan dengan pembuatan akta tersebut)  sepanjang Notaris dibutuhkan untuk melayani pembuatan akta terkait bidang-bidang yang dikecualikan tersebut. Pembuatan akta tersebut, berupa pembuatan akta yang terkait dengan  perekenomian dan keuangan, misalnya untuk keperluan pembuatan akta terkait dengan perbankan atau PT Terbuka, yaitu membuat akta-akta  perjanjian kredit, akta-akta RUPS untuk perusahaan dalam rangka menyetujui transaksi dengan perbankan atau pembuatan akta RUPS PT Terbuka

4.             Pembuatan akta Notaris melalui media elektronik (media telekonference atau video konferensi)?

Di atas telah diuraikan bahwa dalam mengikuti anjuran pemerintah untuk WFH, Social Distancing dan Physical Distancing maupun dalam hal berlakunya PSBB, Notaris tetap dapat melakukan pembuatan akta dan akta tersebut sah berlaku sebagai akta Authentik, sepanjang tidak bertentanga dengan UUJN dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun yang menjadi pertanyaan apakah dalam rangkan WFH maupun PSBB sebagaimana telah diuraikankan di atas akta-akta tersebut dapat dibuat melalui media elektronik (media telekonference atau video konferensi)?
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam uraian terdahulu, sesuai ketentuan  UUJN dimana akta Notaris dibuat dalam bentuk Minuta akta maka pembuatan akta Notaris, baik untuk akta Partai/Akta Pihak maupun akta Relaas/akta Pejabat secara elektronik belum dimungkinkan.   Minuta  Akta  adalah  asli  Akta  yang  mencantumkan tanda  tangan  para  penghadap,  saksi,  dan  Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris. Jadi akta yang bersangkutan ditandatangani langsung oleh penghadap (para penghadap) pada akta yang bersangkutan ndan asli akta tersebut disimpan dalam protokol Notaris. Hal tersebut berbeda dengan akta ynag dibuat secara elektronik dimana asli akta yang bersangkutan dismpan dalam server pengnyelenggara sistem elektronik yang bersangturan yang tidak diketahui berada dimana.


5.             Pembuatan akta RUPS dalam pelaksanaan RUPS melalui media elektronik (media telekonference atau video konferensi)

RUPS suatu Perseroan Terbatas dapat dilakukan dengan berhadapan secara langsung maupun dilakukan melalui media elektronik (media telekonference atau video konferensi), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT, yang menentukan:

“Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan  melalui  media  telekonferensi,  video  konferensi,  atau sarana  media  elektronik lainnya  yang  memungkinkan  semua  peserta  RUPS  saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.”[21]

Penyelenggaran RUPS melalui media elektronik tersebut, harus memenuhi ketentuan yang berlaku bagi RUPS pada umumnya, seperti mengenai panggilan RUPS, tempat RUPS dan kuorum RUPS. Dalam hal dilakukan RUPS melalui media elektronik harus ada tempat dimana RUPS tersebut akan dilaksanakan, sehingga di tempat itu telah terpasang media elektronik yang akan dijadikan sarana untuk diselenggarakannya RUPS  dan di tempat tersebut hadir pihak penyelenggara RUPS, dalam hal ini pihak yang mengusulkan diadakannya RUPS tersebut misalnya Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan.  
Untuk penyelenggaran RUPS melalui media elektronik tersebut harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS. Penandatanganan tersebut dilakukan secara elektronik maupun secara fisik. [22] Dalam hal risalah tersebut dilakukan secara fisik maka dokumen tersebut dapat di print out oleh masing-masing peserta rapat untuk ditandatangani atau penandatangannya dilakukan dalam dalam satu dokumen yang sama dan kemudian ditandatangani secara sirkuler.
Risalah RUPS tersebut dapat dibuat secara elektronik yang merupakan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik maupun dibuat dengan akta Notaris. Dalam Risalah RUPS dibuat dengan akta Notaris tentunya Notaris harus hadir berdasarkan undangan dari penyelenggara RUPS di tempat RUPS tersebut diselengarakan dan kemudian membuat akta Risalah RUPS yang merupakan akta Relaas atau akta Pejabat yaitu akta yang dibuat oleh Notaris, yang berisikan keterangan mengenai apa yang dia lihat dan dia dengar dalam RUPS yang bersangkutan, sama seperti dalam pembuatan akta RUPS pada umumnya.
Disamping dengan cara membuat akta RUPS   sebagaimana tersebut di atas, Notaris juga dapat membuat akta terkait RUPS tersebut dengan akta Pernyataan Keputusan RUPS, yang dibuat berdasarkan keterangan dari Direksi (anggota Direksi) atau pihak lainnya, yang  telah diberikan kuasa oleh RUPS yang bersangkutan untuk menuangkan keputusan RUPS dalam suatu akta yang dibuat dihadapan Notaris, dan diperkuat dengan risalah RUPS yang dibuat secara elektronik yang dilekatkan pada minuta akta Notaris yang bersangkutan.[23] 
Pembuatan akta dengan cara yang terakhir ini yaitu dengan membuat akta PKR lebih aman bagi Notaris dalam menghadapi pandemi Covit-19 yang semakin hari semakin meningkat dan dalam susana WFH maupun PSBB. Seandainya klien Notaris tetap meminta Notaris untuk hadir, menyaksikan atau terlibat langsung dalam penyelenggaraan RUPS tersebut hal tersebut dapat dilakukan dengan cara Notaris tidak langsung hadir ditempat RUPS tapi dapat juga hadir melalui media elektronik namun Risalah RUPSnya tetap dibuat secara elektronik dan kemudian dituangkan dalam akta PKR. Cara ini menurut Penulis merupakan solusi terbaik dalam pembuatan akta guna melindungi diri Notaris dari bahaya tertular Covit-19.


6.             Perjanjian-perjanjian yang dibuat melalui media elektronik

Terkait dengan pembuatan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara elektronik dapat juga dilakukan dengan keterlibatan Notaris dengan cara yang sama seperti dalam penyelenggaraan RUPS di atas, yaitu Notaris terlibat melalui media elektronik. Perjanjian tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen elektronik dan satu eksemplar diserahkan kepada Notaris untuk disimpan dalam akta Notaris dengan membuat akta Penyimpanan atau isi perjanjian tersebut ditegaskan kembali dalam akta Notaris oleh penghadap yang diberi kuasa oleh para pihak.   Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan jika UU mennetukan bahwa akta yang bersangkutan harus dibuat secara authentik, misalnya untuk nakta pemberian hibah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1682 KUHPerdata atau akta Pendirian PT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UUPT.  
Sekalipun acara ini tetap melibatkan penghadap yang harus hadir dihadapan Notaris namun cara ini lebih meminimalisir kemungkinan Notaris untuk tertular Covid-19 karena Notaris dapat melakukann pembatasan diri untuk menjaga jarak dengan penghadap yang bersangkutan, misalnya berada dalam ruang terpisah melalui pembatasan dinding kaca yang memungkinkan antara Notaris dan penghadap untuk tetap saling melihat dan berkomunikasi.


C.            Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil simpulan sebagi berikut:

1.             Notaris tetap dapat menjalankan jabatannya, termasuk untuk dapat melaksanakan pembuatan akta menghadapi anjuran WFH dari pemerintah dan akta yang dibut tetap sah sebagai  akta Authentik, sepanjuang dibvuat sesuai UUJN dan nperaturan perundang-undangan lainnya.
2.             Jika suatu daerah atau wilayah telah ditetapkan berlakunya PSBB.  Kantor Notaris juga harus diliburkan, jadi Notaris ikut menutup kantornya dan meliburkan para karyawannya. Namun demikian sebagai pejabat umum, yang merupakan pejabat yang tugas utamanya membuat akta authentik bagi kepentingan masyarakat yang dilayaninya maka Notaris tetap dapat menjalankan jabatannya untuk membuat akta. Pembuatan akta dimasa berlakunya PSBB tidaklah melanggar UU. Akta yang dibuat dan ditandatangani dalam masa PSBB tetap sah dan berlaku sebagai akta authentik sepanjang dibuat sesuai ketentuan UUJN dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Terkait dengan kewenangan pembuatan akta, yang berkaitan dengan  dengan “waktu” pembuatan akta, Notaris berwenang membuat akta dalam waktu kapanpun, sepanjang Notaris telah mengucapkan sumpah jabatannya dan tidak sedang dalam keadaan cuti. Notaris tidak mengenal jam kerja dan hari libur. Notaris tetap berwenang membuat akta sekalipun akta itu dibuat pada hari libur nasional maupun hari libur yang ditetapkan pemerintah sebagaimana berlaku bagi daerah-daerah yang dinyatakan dalam keadaan PSBB tersebut.
3.               Dalam menjalankan jabatannya Notaris juga dapat menggunakan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 13 ayat (7) Permenkes No. 9 Tahgun 2020, dimana Notaris tetap dapat menjalankan jabatannya untuk membuat akta (termasuk membuka kantor sehubungan dengan pembuatan akta tersebut)  sepanjang Notaris dibutuhkan untuk melayani pembuatan akta terkait bidang-bidang yang dikecualikan tersebut. Notaris dapat membuat akta yang terkait dengan  perekenomian dan keuangan, misalnya untuk keperluan pembuatan akta terkait dengan perbankan atau PT Terbuka, yaitu membuat akta-akta  perjanjian kredit, akta-akta RUPS untuk perusahaan dalam rangka menyetujui transaksi dengan perbankan atau pembuatan akta RUPS PT Terbuka.
4.             Sesuai ketentuan UUJN, Akta Notaris dibuat dalam bentuk Minuta akta maka pembuatan akta Notaris, baik untuk akta Partai/Akta Pihak maupun akta Relaas/akta Pejabat secara elektronik belum dimungkinkan.   Minuta  Akta  adalah  asli  Akta  yang  mencantumkan tanda  tangan  para  penghadap,  saksi,  dan  Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris. Jadi akta yang bersangkutan ditandatangani langsung oleh penghadap (para penghadap) pada akta yang bersangkutan dan asli akta tersebut disimpan dalam protokol Notaris. Hal tersebut berbeda dengan akta yang dibuat secara elektronik dimana asli akta yang bersangkutan disimpan dalam server pengnyelenggara sistem elektronik yang bersangkutan, yang tidak tahu entah berada dimana.
5.               Untuk penyelenggaran RUPS melalui media elektronik tersebut harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.  Risalah RUPS tersebut dapat dibuat secara elektronik yang merupakan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU Indormasi dan Transaksi Elektronik maupun dibuat dengan akta Notaris. Dalam ARisalah RUPS dibuat dengan akta Notaris tentunya Notaris harus hadir berdasarkan undangan dari penyelenggara RUPS di tempat RUPS tersebut diselengarakan dan kemudian membuat akta Risalah RUPS yang mneruapkan akta Relaas atau akta Pejabat yaitu akta yang dibuat oleh Notaris, yang berisikan keterangan mengenai apa yang dia lihat dan dia dengan dalam RUPS yang bersangkutan, sama seperti dalam pembuatan akta RUPS pada umumnya. Disamping dengan cara membuat akta RUPS yang merupakan akta Relaas/akta Pejabat, Notaris juga dapat membuat akta terkait RUPS tersebut dengan akta Pernyataan Keputusan RUPS, yang merupakan akta Partai/Akta Pihak.
6.             Untuk pembuatan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara elektronik dapat juga dilakukan dengan keterlibatan Notaris dengan cara yang sama seperti dalam penyelenggaraan RUPS, yaitu Notaris terlibat melalui media elektronik. Perjanjian tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen elektronik dan satu eksemplar diserahkan kepada Notaris untuk disimpan dalam akta Notaris dengan membuat akta Penyimpanan atau isi perjanjian tersebut ditegaskan kembali dalam akta Notaris oleh penghadap yang diberi kuasa oleh para pihak, sepanjuang UU tidak mengharuskan perjanjian tersebut harus dituangkan dalam akta authentik.    






DAFTAR PUSTAKA


Alwesius, Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, (Depok: Badan Penerbir Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019)
 
_________, Pengetahuan dan Praktik Pembuatan Akta Perseroan Terbatas, Dilengkapi dengan contoh-contoh Akta terkait, Bagian Pertama (Bekasi: INP Jakarta, 2019)

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1982, Cet. Ke 2

Herlien Budiono, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Cet. Ke 1. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hal. 7

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijke Wetboek, diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan H. Tjitrodibio, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1985, Cet. 19,  Pasal 1868

Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun  2004, LN No. 117 Tahun 2004, TLN No. 4432  diubah dengan Undang-Undang  Perubahan Undang-Undang  Nomor  30 tahun  2004 Tentang  Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014, TLN No. 5491, Pasal 15 ayat (1)

Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756, [1]





[1] Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rekan-rekan Notaris, baik secara langsung kepada penulis maupun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di media sosial
[2] Penulis saat ini sebagai Notaris-PPAT di Kabupaten Tangerang, Pengajar di Prodi MKn Universitas Indonesia, Prodi Mkn Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dan Mahasiswa Prodi Doktoral Universitas Pelita Harapan Jakarta.
[3] Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Pengananan Corona Virus Disease 2019 (Cocid-19) (Permenkes 9 Tahun 2020), Pasal 13 ayat (1)
[4] Ibid., Pasal 13 ayat (2)
[5]Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun  2004, LN No. 117 Tahun 2004, TLN No. 4432  diubah dengan Undang-Undang  Perubahan Undang-Undang  Nomor  30 tahun  2004 Tentang  Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014, TLN No. 5491, Pasal 15 ayat (1)
[6]G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1982, Cet. Ke 2,  hal. 103
[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 1869
[8] Ibid., hal. 98 - 99
[9]Ibid., hal. 50.
[10] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijke Wetboek, diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan H. Tjitrodibio, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1985, Cet. 19,  Pasal 1868
[11]G.H.S Lumban Tobing, op.cit, hal. 48
[12]Ibid,  hal. 51
[13]Herlien Budiono, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Cet. Ke 1. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hal. 7
[14]Ibid
[15]G.H.S Lumban Tobing, op.cit, hal. 51
[16]Herlien Boediono, op.cit, hal. 8
[17]G.H.S Lumban Tobing, op.cit, hal. 212
[18]Ibid,hal. 53
[19] Herlien Budiono, di dalam Alwesius, Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, (Depok: Badan Penerbir Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019), hal.38 - 39 
[20] UUJN, Pasal 17 ayat (1) huruf  a dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 1869
[21] Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756, Pasal 77 ayat (1)
[22] Ibid., Pasal 77 ayat (4) dan penjelasannya
[23] Alwesius, Pengetahuan dan Praktik Pembuatan Akta Perseroan Terbatas, Dilengkapi dengan contoh-contoh Akta terkait, Bagian Pertama (Bekasi: INP Jakarta, 2019),  hal. 148 – 152. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar