PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH OLEH ORANG ASING MENURUT HUKUM PERTANAHAN DI
INDONESIA
Oleh: Alwesius, S.H., M.Kn
A.
Pendahuluan
Pada prinsipnya tanah-tanah
yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) disediakan untuk
keperluan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini terlihat di dalam ketentuan
pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar kita yang menentukan bahwa” Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan konsepsi
Hukum Tanah Nasional, sebagaimana dapat dilihat di dalam pasal 1 UU No. 5 tahun
1960 (UUPA), seluruh bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya adalah merupakan kepunyaan seluruh bangsa Indonesia, yang bersifat
abadi, yang bersumber dari karuniah Tuan yang Maha Esa. Dengan demikian seluruh
tanah di Indonesia adalah merupakan kepunyaan bersama/hak bersama dari seluruh bangsa/rakyat
Indonesia, yang bersumber dari karuniah Tuhan Yang Maha Esa. Konsepsi tersebut
disebut dengan Komunalistik Religius. Di dalam konsepsi in masing-masing
anggota masyarakat dimungkinkan untuk memiliki tanah secara individu, yang dikuasai
dengan hak-hak individu atau hak perorangan atasan tanah, yang bersumber dari
hak bersama tersebut.
Penguasaan dan pengelolaan
hak bersama masyarakat Indonesia (“Hak Bangsa) diserahkan kepada Negara sebagai
organisasi kekuasaan masyarakat Indonesia (Pasal 2 UUPA). Hubungan hukum antara
Negara dengan tanah-tanah di Indonesia bukanlah merupakan hubungan kepemilikan
seperti di dalam hubungan hukum antara negara dengan tanah di jaman Hindia
Belanda (pada zaman ini di dalam memberikan tanah kepada pihak lain, negara
berkedudkan sebagai pemilik tanah). Hubungan negara dengan tanah di Indonesia
menurut ketentuan hukum tanah nasional adalah hubungan hukum yang bersifat
publik. Sebagai badan pengusaan/badan hukum publik.Negara mempuntayi kewenangan
untuk “mengatur” penguasaan, pemilikan dan peruntukan tanah di Indonesia,
mengatur hubungan hukum antara orang perorangan dengan tanah-tanah di indonesia
serta mengatur hubungan hukum antara orang –orang dan perbuatan-perbuatan hukum
mengenai tanah, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 ayat 3 UUPA.
Berkaitan dengan hubungan
hukum antara orang dengan tanah di Indonesia, Pasal 9 ayat 1 UUPA menentukan “ Hanya warga negara Indonesia dapat
mempunyain hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam
batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2”. Pasal ini mengandung asas kebangsaan,
yaitu mengutamakan bangsa sendiri dibandingkan dengan bangsa lainnya. Pasal ini
menegaskan bahwa hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan tanah di Indonesia. Jika dikaitkan dengan Pasal 21 ayat 1 UUPA maka
pasal ini menegaskan bahwa hanya bangsa Indonesia yang boleh mempunyai tanah dengan
status “hak mililk”.
Namun walaupun pada
prinsipnya tanah di Indonesia diutamakan peruntukannya bagi warga negara Indonesia,
hukum tanah nasional kita tidak menutup secara mutlak penguasaan dan pemilikan
tanah untuk orang asing.
B.
Hak-hak tanah menurut Hukum Tanah
Nasional
Dalam uraian
terdahuklu telah dikatakan bahwa seluruh tanah di Indonesia merupakan kepunyaan
bangsa Indonesia, jadi merupakan hak bersama bangsa Indonesia, yang bersifat
abadi. Hak ini disebut “Hak Bangsa”. Hak bangsa inilah yang
merupakan hak pengusaan atas tanah tertinggi di dalam hukum tanah kita.
Penguasaan dan pengelolaan hak bangsa tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 33
ayat 3 UUD kita pe;laksanaanya diserahkan kepada negara sebagai organisasai
kekusaan seluruh rakyat Indonesia, negara sebagai badan penguasa, negara
sebagai badan hukum publik, yang mempunyai kewenangan yang bersifat “mengatur”.
Hubungan
antara negara dengan tanah di Indonesia tersebut disebut “Hak Menguasai Negara/Hak Menguasai
dari pada Negara ”.
Di atas hak bangsa tersebut
negara dapat memberikan hak-hak individu atau hak-hak
perorangan atas tanah, baik kepada orang pribadi maupun badan hukum, sesuai
dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ditetapkan di dalam peraturan
perundang-undangan.Hak-hak individu/perorangan atas tanah tersebut disebut
dengan “Hak-hak atasTtanah”.
Hak atas tanah
adalah hak penguasaan atas
tanah yang memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang dikuasainya. Hak atas tanah ini dapat berupa
hak atas tanah yang Primer dan hak atas tanah yang Sekunder.
Hak atas tanah yang
Primer adalah hak atas tanah
yang bersumber secara langsung dari Hak Bangsa, yang
diperoleh berdasarkan PEMBERIAN HAK oleh Negara. Disini pihak yang membutuhkan tanah mengajukan Permohonan Hak kepada Kepala BPN
melalui Kantor Pertanahan setempat, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Apabila
persyaratan tersebut dipenuhi maka akan dilakukan pemberian hak oleh pejabat
yang berwenang. Pemberian hak
tersebut dibuktikan dengan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) yang
ditandatangani oleh Kepala BPN atau Ka.Kanwil BPN atau Kepala Kantor Pertanahan sesuai kewenagannya .
Hak atas tanah yang
Sekunder adalah hak atas tanah
yang bersumber dari PEMBERIAN HAK oleh Pemilik Tanah berdasarkan Perjanjian. Untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberiannya dilakukan oleh
pemgang hak milik yang bersangkutan dan di dasarkan pada Perjanjian Pemberian Hak yang dilakukan
dihadapan PPAT. Bukti pemberian hak ybs
adalah AKTA PEMBERIAN HAK (Akta Pemberian HGB/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik)
yang dibuat dihadapan PPAT.
Hak atas tanah yang
Primer terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB)
dan Hak Pakai, sedangkan hak atas tanah yang sekunder yang berda di atasa tanah
hak Milik, terdiri dari HGB, Hak Pakai, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Sewa, Hak Gadai dan Hak
Menumpang).
Untuk HGB maupun Hak
Pakai ada kemungkinan HGB atau hak pakai tersebut merupakan hak atas tanah yang
Primer, yang bersumber dari hak bangsa, yang berada di atas tanah negara dan
ada kemungkinan hak tersebut merupakan hak atas tanah yang sekunder, yang
berada di atas tanah hak milik pihak lain.
Yang dapat menjadi
subyek hak-hak atas tanah tersebut adalah:
a.
Subyek Hak Milik.
Yang dapat menjadi subyek hak milik
adalah Warga Negara
Indonesia. (pasal 21 ayat 1 jo 9
ayat 1 UUPA)
Pengecualiannya : Badan-badan hukum yang ditunjuk dengan PP (ps.21 ayat
2 UUPA jo PP 38/1963), yaitu Bank-Bank Negara, Badan-badan Sosial, Badan-badan
Keagamaan dan Koperasi Pertanian, dengan persyaratan tertentu sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b.
Subyek HGU
Yang dapat menjadi subyek HGU adalah warga negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan menutut hukum di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (Pasal 30 ayat 1 UUPA jo Pasal 2 PP 40/1996)
c.
Subyek HGB
Yang dapat menjadi subyek HGB adalah warga negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan menutut hukum di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (Pasal 36 ayat 1 UUPA jo Pasal 19 PP
40/1996)
d.
Subyek Hak Pakai
Yang dapat menjadi subyek Hak Pakai adalah Warga Negara Indonesia; Badan
Hk Indonesia; Departemen, Lembaga
Pemerintah Non Departemen dan Pemda; Badan-badan
keagamaan dan sosial;Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia;Badan Hukum
Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan
Internasinal. (Pasal UUPA jo Pasal 39
PP 40/1996)
Apabila subyek hak atas tanah
tersebut tidak lagi memneuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah yang
bersangkutan maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi
syarat, jika
tidak maka haknya hapus karena hukum, tanahnya menjadi Tanah Negara. (Hak Milik pasal 21 ayat 3 UUPA, HGU,HGB,Hak
Pakai Pasal 3,
20, 40 PP 40/1996)
C.
Pemilikan dan Penguasaan Tanah Oleh
Orang Asing
Dari uraian yang di
atas maka jelas kita lihat bahwa orang asing juga dapat menguasai dan memiliki
tanah di Indonesia. Orang asing dapat menguasai dan memiliki tanah di Indonesia
dengan Hak pakai maupun hak sewa. Penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang
asing tersebut diataur lebih lanjut di dalam PP Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.(PP
41/1996).
Pasal 1 ayat 1 PP
41/1996 menentukan “Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu.”. Selanjutnya
Pasal 1 ayat 2 PP 41/1996 menentukan “ Orang asing yang berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat
bagi
pembangunan nasional.”
Rumah atau Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 adalah:
1. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah:
a. Hak Pakai atas tanah Negara;
b. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemengang hak atas tanah.
2. Satuan rumah susun yang
dibangun di atas bidang tanah Hak
Pakai atas tanah Negara.(Pasal 2 PP 41/1996)
Perjanjian antara pemegang hak atas tanah
dengan orang asing yang bersangkutan harus dibuat secara tertulis, yang dibuat dengan akta Pejabat
Pembuat
Akta Tanah.(Pasal 3
PP 41/1996) dan wajib dicatat
dalam buku tanah dan
sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.(Pasal 4 PP 41/1996)
Jika
melihat syarat yang ditetapkan di dalam Pasal 2, 3 dan 4 PP 41/1996 tersebut,
nampaknya sepanjang berkaitan dengan perjanjian yang bukan meruapakan pemberiak
hak pakai atas hak milik, misalnya sewa menyewa maka hal ini tentunya belum
dapat dipenuhi karena bepum ada landasan yuridisnya, yang mengatur bagaimana
bentuk dan tatacara pembuatan dan pendaftarannya.
Selanjutnya Pasal 5 ayat 1 PP 41/1996 mennetukan
bahwa” Perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 angka 1 dibuat untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak lebih
lama dari dua puluh lima tahun.” Dan ayat 2 Pasal 5 tersebut menemtukan:
“Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun,
atas dasar kesepakatan yang dituangkan
dalam perjanjian yang baru, sepanjang orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.”
Dengan
adanya ketentuan Pasal 5 PP 41/1996, sebenarnya jelas bahwa perjanjian yang
bertujuan untuk memberikan kewenangan bagi oranga sing untuk menguasai tanah di
Indonesia, baik berupa perjanjian pinjam pakai maupun perjanjian sewa menyewa, jangka
waktunya tidak boleh melebihi 25 (dua puluh lima) tahun. Namun di dalam praktek
maish diketemukan perjanjian yang dibuat menlebihi jangka waktu tersebut dan
kadangka justru perjanjian tersebut dibuta dihadapan notaris.Seharusnya notaris
didalam membuat suatu perjanjian harus memperhatikan ketentuan hukum yang
berlaku.
D.
Pemilikan dan Penguasaan Tanah
oleh Orang Asing dengan status Hak Milik
Pada prinsipnya
orang asing tidak dapat menguasai dan memiliki tanah dengan hak milik. Apabila
orang asing membeli tanah dengan status hak milik maka sesuai ketentuan Pasal
26 ayat 2 UUPA akibatnya perbuatan hukum jual beli tersebut batal demi hukum dan
hak atas tanah (hak milik) yang bersangkutan hapus dan tanah tersebut menjadi
tanah negara.
Namun demikian masih
terdapat kemungkinan orang sing menguasai dan memiliki tanah dengan status hak
milik. Kemungkinan tersebut diatur di
dalam pasal 21 ayat 3 UUPA, yaitu Orang asing dapat memiliki hak
milik karena :
a.
Pewarisan
secara ab-intestato (menurut UU);
b.
Perkawinan
Campur dengan Persekutuan Harta;
c.
Peralihan
Kewarganegaraan dari WNI menjadi WNA.
Jadi dengan terjadi peristiwa
hukum tersebut maka tanah hak milik yang tadinya milik seorang WNI kemudian
beralih kepemilikannnya menjadi milik seorang warga negara asing (WNA) maka hal
tersebut diperbolehkan.Misalnya tanah hak milik A (WNI) yang meninggal dunia
dan nenggalkan ahli waris (B) yang berkewarganegaraan Australia. Dengan meninggalnya
A maka tanah hak milik tersebut demi hukum menjadi milik B yang
berkjewarganegaraan asing. Hal ini diperbolehkan.
Namun selanjutnya harus
diperhatikan bahwa sesuai ketentuan
pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut, jika
hal tersebut terjadi maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya tanah
tersebut, tanah hak
milik tersebut harus dialihkan
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka
haknya hapus dan tanahnya menjadi Tanah Negara.
Apabila orang asing tersebut
tetap ingin menguasai tanah tersebut maka ia harus mengajukan permohonan perubahan
hak miliknya menjadi hak pakai.
E.
Kesimpulan
Pemilikan dan
penguasaan tanah oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan terhadap
tanah-tanah yang berstatus hak pakai atau hak sewa. Hak Pakai tersebut dapat
berupa hak pakai yang berada di atas tanah negara ataupun hak pakai yang berada
di atasa tanah hak milik pihak lain.penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang
asing tersebut harus memperhatikan ketentuan yang diatur di dalam PP 41/1996.
Orang asing pada
prinsipnya tidak dapat memiliki tanah dengan status hak milik, naumun demikian
ada kemungkinan orang asing dapat menguasai dan memiliki tanah dengan status
hak milik karena terjadinya peristiwa hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal
21 ayat 3 UUPA.