Minggu, 31 Agustus 2014

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH OLEH ORANG ASING MENURUT HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH OLEH ORANG ASING MENURUT HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA
Oleh: Alwesius, S.H., M.Kn


A.          Pendahuluan

Pada prinsipnya tanah-tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) disediakan untuk keperluan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat  Indonesia. Hal ini terlihat di dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar kita yang menentukan bahwa” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan konsepsi Hukum Tanah Nasional, sebagaimana dapat dilihat di dalam pasal 1 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA), seluruh bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah merupakan kepunyaan seluruh bangsa Indonesia, yang bersifat abadi, yang bersumber dari karuniah Tuan yang Maha Esa. Dengan demikian seluruh tanah di Indonesia adalah merupakan kepunyaan bersama/hak bersama dari seluruh bangsa/rakyat Indonesia, yang bersumber dari karuniah Tuhan Yang Maha Esa. Konsepsi tersebut disebut dengan Komunalistik Religius. Di dalam konsepsi in masing-masing anggota masyarakat dimungkinkan untuk memiliki tanah secara individu, yang dikuasai dengan hak-hak individu atau hak perorangan atasan tanah, yang bersumber dari hak bersama tersebut.
Penguasaan dan pengelolaan hak bersama masyarakat Indonesia (“Hak Bangsa) diserahkan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat Indonesia (Pasal 2 UUPA). Hubungan hukum antara Negara dengan tanah-tanah di Indonesia bukanlah merupakan hubungan kepemilikan seperti di dalam hubungan hukum antara negara dengan tanah di jaman Hindia Belanda (pada zaman ini di dalam memberikan tanah kepada pihak lain, negara berkedudkan sebagai pemilik tanah). Hubungan negara dengan tanah di Indonesia menurut ketentuan hukum tanah nasional adalah hubungan hukum yang bersifat publik. Sebagai badan pengusaan/badan hukum publik.Negara mempuntayi kewenangan untuk “mengatur” penguasaan, pemilikan dan peruntukan tanah di Indonesia, mengatur hubungan hukum antara orang perorangan dengan tanah-tanah di indonesia serta mengatur hubungan hukum antara orang –orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 ayat 3 UUPA.     
Berkaitan dengan hubungan hukum antara orang dengan tanah di Indonesia,  Pasal 9 ayat 1 UUPA menentukan “ Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyain hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2”. Pasal ini mengandung asas kebangsaan, yaitu mengutamakan bangsa sendiri dibandingkan dengan bangsa lainnya. Pasal ini menegaskan bahwa hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah di Indonesia. Jika dikaitkan dengan Pasal 21 ayat 1 UUPA maka pasal ini menegaskan bahwa hanya bangsa Indonesia yang boleh mempunyai tanah dengan status “hak mililk”.
Namun walaupun pada prinsipnya tanah di Indonesia diutamakan peruntukannya bagi warga negara Indonesia, hukum tanah nasional kita tidak menutup secara mutlak penguasaan dan pemilikan tanah untuk orang asing.

B.          Hak-hak tanah menurut Hukum Tanah Nasional

Dalam uraian terdahuklu telah dikatakan bahwa seluruh tanah di Indonesia merupakan kepunyaan bangsa Indonesia, jadi merupakan hak bersama bangsa Indonesia, yang bersifat abadi. Hak ini disebut “Hak Bangsa”. Hak bangsa inilah yang merupakan hak pengusaan atas tanah tertinggi di dalam hukum tanah kita. Penguasaan dan pengelolaan hak bangsa tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD kita pe;laksanaanya diserahkan kepada negara sebagai organisasai kekusaan seluruh rakyat Indonesia, negara sebagai badan penguasa, negara sebagai badan hukum publik, yang mempunyai kewenangan yang bersifat “mengatur”.      Hubungan antara negara dengan tanah di Indonesia tersebut disebut “Hak Menguasai Negara/Hak Menguasai dari pada Negara ”.
Di atas hak bangsa tersebut negara   dapat memberikan hak-hak individu atau hak-hak perorangan atas tanah, baik kepada orang pribadi maupun badan hukum, sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan.Hak-hak individu/perorangan atas tanah tersebut disebut dengan “Hak-hak atasTtanah”.

Hak atas tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang dikuasainya. Hak atas tanah ini dapat berupa hak atas tanah yang Primer dan hak atas tanah yang Sekunder.

Hak atas tanah yang Primer adalah hak atas tanah yang bersumber secara langsung dari Hak Bangsa,  yang diperoleh berdasarkan PEMBERIAN HAK oleh Negara. Disini pihak yang membutuhkan tanah mengajukan Permohonan Hak kepada Kepala BPN melalui Kantor Pertanahan setempat, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Apabila persyaratan tersebut dipenuhi maka akan dilakukan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang. Pemberian hak tersebut dibuktikan dengan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) yang ditandatangani oleh Kepala BPN atau Ka.Kanwil BPN atau Kepala Kantor Pertanahan sesuai kewenagannya .
Hak atas tanah yang Sekunder adalah hak atas tanah yang bersumber dari PEMBERIAN HAK oleh Pemilik Tanah berdasarkan Perjanjian. Untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberiannya dilakukan oleh pemgang hak milik yang bersangkutan dan di dasarkan pada  Perjanjian Pemberian Hak yang dilakukan dihadapan PPAT. Bukti pemberian hak ybs adalah AKTA PEMBERIAN HAK (Akta Pemberian HGB/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik) yang dibuat dihadapan PPAT.

Hak atas tanah yang Primer terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai, sedangkan hak atas tanah yang sekunder yang berda di atasa tanah hak Milik, terdiri dari  HGB, Hak Pakai, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Sewa, Hak Gadai dan Hak Menumpang).
Untuk HGB maupun Hak Pakai ada kemungkinan HGB atau hak pakai tersebut merupakan hak atas tanah yang Primer, yang bersumber dari hak bangsa, yang berada di atas tanah negara dan ada kemungkinan hak tersebut merupakan hak atas tanah yang sekunder, yang berada di atas tanah hak milik pihak lain.
Yang dapat menjadi subyek hak-hak atas tanah tersebut adalah:

a.            Subyek Hak Milik.

Yang dapat menjadi subyek hak milik adalah  Warga Negara  Indonesia.  (pasal 21 ayat 1  jo 9 ayat 1 UUPA)

Pengecualiannya : Badan-badan hukum yang ditunjuk dengan PP (ps.21 ayat 2 UUPA jo PP 38/1963), yaitu Bank-Bank Negara, Badan-badan Sosial, Badan-badan Keagamaan dan Koperasi Pertanian, dengan persyaratan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

b.            Subyek HGU

Yang dapat menjadi subyek  HGU adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menutut hukum di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (Pasal 30 ayat 1 UUPA jo Pasal  2 PP 40/1996)

c.             Subyek HGB

Yang dapat menjadi subyek  HGB adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menutut hukum di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (Pasal 36 ayat 1 UUPA jo Pasal  19 PP 40/1996)


d.            Subyek Hak Pakai

Yang dapat menjadi subyek  Hak Pakai adalah Warga Negara Indonesia; Badan Hk Indonesia; Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemda; Badan-badan keagamaan dan sosial;Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia;Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasinal.  (Pasal UUPA jo Pasal 39 PP 40/1996)

Apabila subyek hak atas tanah tersebut tidak lagi memneuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah yang bersangkutan maka  dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat,  jika tidak maka haknya hapus karena hukum, tanahnya menjadi Tanah Negara.   (Hak Milik pasal  21 ayat 3 UUPA, HGU,HGB,Hak Pakai Pasal  3, 20, 40 PP 40/1996)

C.          Pemilikan dan Penguasaan Tanah Oleh Orang Asing

Dari uraian yang di atas maka jelas kita lihat bahwa orang asing juga dapat menguasai dan memiliki tanah di Indonesia. Orang asing dapat menguasai dan memiliki tanah di Indonesia dengan Hak pakai maupun hak sewa. Penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang asing tersebut diataur lebih lanjut di dalam PP Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.(PP 41/1996).
Pasal 1 ayat 1 PP 41/1996 menentukan “Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu.”. Selanjutnya Pasal 1 ayat 2 PP 41/1996 menentukan “ Orang asing yang berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang  asing  yang  kehadirannya  di  Indonesia  memberikan  manfaat  bagi  pembangunan nasional.
Rumah atau Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
1.    Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah:
a.    Hak Pakai atas tanah Negara;
b.   Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemengang hak atas tanah.
2.    Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara.(Pasal 2 PP 41/1996)

Perjanjian antara pemegang hak atas tanah dengan orang asing yang bersangkutan harus dibuat secara tertulis, yang  dibuat dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah.(Pasal 3 PP 41/1996) dan  wajib dicatat dalam buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.(Pasal 4 PP 41/1996)
Jika melihat syarat yang ditetapkan di dalam Pasal 2, 3 dan 4 PP 41/1996 tersebut, nampaknya sepanjang berkaitan dengan perjanjian yang bukan meruapakan pemberiak hak pakai atas hak milik, misalnya sewa menyewa maka hal ini tentunya belum dapat dipenuhi karena bepum ada landasan yuridisnya, yang mengatur bagaimana bentuk dan tatacara pembuatan dan pendaftarannya.
Selanjutnya Pasal 5 ayat 1 PP 41/1996 mennetukan bahwa Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun. Dan ayat 2 Pasal 5 tersebut menemtukan:
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih  lama dari dua puluh lima tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam  perjanjian  yang  baru,   sepanjang  orang  asing  tersebut  masih  berkedudukan  di Indonesia.
Dengan adanya ketentuan Pasal 5 PP 41/1996, sebenarnya jelas bahwa perjanjian yang bertujuan untuk memberikan kewenangan bagi oranga sing untuk menguasai tanah di Indonesia, baik berupa perjanjian pinjam pakai maupun perjanjian sewa menyewa, jangka waktunya tidak boleh melebihi 25 (dua puluh lima) tahun. Namun di dalam praktek maish diketemukan perjanjian yang dibuat menlebihi jangka waktu tersebut dan kadangka justru perjanjian tersebut dibuta dihadapan notaris.Seharusnya notaris didalam membuat suatu perjanjian harus memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.


D.          Pemilikan dan Penguasaan Tanah oleh Orang Asing dengan status Hak Milik

Pada prinsipnya orang asing tidak dapat menguasai dan memiliki tanah dengan hak milik. Apabila orang asing membeli tanah dengan status hak milik maka sesuai ketentuan Pasal 26 ayat 2 UUPA akibatnya perbuatan hukum jual beli tersebut batal demi hukum dan hak atas tanah (hak milik) yang bersangkutan hapus dan tanah tersebut menjadi tanah negara.
Namun demikian masih terdapat kemungkinan orang sing menguasai dan memiliki tanah dengan status hak milik. Kemungkinan  tersebut diatur di dalam pasal 21 ayat 3 UUPA, yaitu    Orang asing dapat memiliki hak milik karena :

a.            Pewarisan secara ab-intestato (menurut UU);
b.            Perkawinan Campur dengan Persekutuan Harta;
c.             Peralihan Kewarganegaraan dari WNI menjadi WNA.

Jadi dengan terjadi peristiwa hukum tersebut maka tanah hak milik yang tadinya milik seorang WNI kemudian beralih kepemilikannnya menjadi milik seorang warga negara asing (WNA) maka hal tersebut diperbolehkan.Misalnya tanah hak milik A (WNI) yang meninggal dunia dan nenggalkan ahli waris (B) yang berkewarganegaraan Australia. Dengan meninggalnya A maka tanah hak milik tersebut demi hukum menjadi milik B yang berkjewarganegaraan asing. Hal ini diperbolehkan.

Namun selanjutnya harus diperhatikan bahwa  sesuai ketentuan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut, jika hal tersebut terjadi maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya tanah tersebut, tanah hak milik tersebut harus dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka haknya hapus dan tanahnya menjadi Tanah Negara.

Apabila orang asing tersebut tetap ingin menguasai tanah tersebut maka ia harus mengajukan permohonan perubahan hak miliknya menjadi hak pakai.

E.          Kesimpulan

Pemilikan dan penguasaan tanah oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan terhadap tanah-tanah yang berstatus hak pakai atau hak sewa. Hak Pakai tersebut dapat berupa hak pakai yang berada di atas tanah negara ataupun hak pakai yang berada di atasa tanah hak milik pihak lain.penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang asing tersebut harus memperhatikan ketentuan yang diatur di dalam PP 41/1996.  
Orang asing pada prinsipnya tidak dapat memiliki tanah dengan status hak milik, naumun demikian ada kemungkinan orang asing dapat menguasai dan memiliki tanah dengan status hak milik karena terjadinya peristiwa hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21 ayat 3 UUPA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar