Dalam praktek sering sekali kita bertemu dengan pembuatan akta yang berkaitan dengan tanah-tanah yang sedang atau akan diurus perubahan haknya, misalnya hak milik menjadi HGB atau sebaliknya HGB menjadi Hak Milik.
Oleh karena perubahan hak belum terjadi atau sedang dalam pengurusan atau masih akan dilakukan pengurusannya maka Para pihak yang bersangkutan belum dapat membuat akta jual beli dan karenanya terlebih dahulu membuat akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa Untuk Menjual (KUM). Atau dalam hal tanah tersebut hendak dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan maka Akta Pemberian hak Tanggungannya belum dapat dibuat dan karenanya terlebih dahulu dibuat Surat Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
Sehubungan dengan pembuatan PPJB atau akta KUM maupun SKMHT tersebut yang harus kita pahami adalah bahwa jual beli maupun pembebanan Hak tangungan yang akan dilakukan adalah jual beli atau pembebanan hak tanggungan atas tanah hak hasil perubahan hak bukan tanah hak yang ada sekarang. Dan juag yang harus kita pahami bahwa dengan dilakukannya perubahan hak berarti hak atas tanah yang lama telah hapus diganti dengan hak atas tanah yang baru.
Oleh karena yang akan menjadi obyek jual beli maupun pembebanan Hak Tanggungan adalah tanah hak yang baru maka di dalam pembuatan PPJB dan KUM maupun SKMHT yang kita sebutkan sebagai obyek jual beli maupun obyek pembebanan hak tanggungannya adalah tanah hak yang baru dan hal tersebut harus disebutkan secara tegas guna memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dimana kuasa untuk menjual maupun kuasa untuk pemberian jaminan harus bersifat khusus dan harus tegas.
Permasalahannya adalah hak yang akan menjadi obyek jual beli atau pembebanan hak tanggungan tersebut belum ada, lalau bagaimana menyebutkannya.
Memang benar hak atas tanah yang bersangkutan belum ada, untuk itu di dalam PPJB, KUM maupun SKMHT kita sebutkan misalnya "sebidang tanah Hak Guna Bangunan yang berasal dari perubahan Hak Milik Nomor 123/Cidodol, ....... dstnya".
Jadi dalam penyebutannya kita tetap menyebutkan identitas tanah yang ada sekarang, akan tetapi didahuli dengan kata-kata yang menyebutkan hak yang baru.
Kenapa hal ini perlu menjadi perhatian kita karena saya khawatirkan jika dalam KUM atau SKMHT kita menyebutkan obyeknya dengan hanya menyebutkan identitas yang lama sementara dengan lahirnya hak yang baru, hak yang lama tersebut akan hapus, dengan hapusnya hak yang lama maka hapus juga obyek perjanjian ybs (hapus juga obyek KUM atau SKMHT), sehingga mengakibatkan KUM atau SKMHTnya batal demi hukum dan karenanya tidak dapat dipergunakan lagi. Hal tersebut akan merugikan bagi para pihak dan yang pada akhirnya akan berdampak kepada kita sebagai PPAT yang membjuat akta tersebut.
Tks. semoga bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian.Mohon masukannya apakah pendapat saya tersebut bisa diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar